KISAH RATU LAUT SELATAN
KISAH RATU LAUT SELATAN
Orientasi
Ratu Laut Selatan adalah sebutan yang pada umumnya merujuk pada dua
tokoh, yaitu Kanjeng
Ratu Kidul dan Nyi Roro
Kidul. Tokoh ini sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Kepercayaan akan
adanya penguasa lautan di selatan Jawa (Samudera Hindia) terutama
dikenal oleh suku Sunda
dan suku Jawa. Orang Bali juga meyakini adanya
kekuatan yang menguasai pantai selatan ini.
Legenda dari Sunda
Nyi Roro Kidul
(juga disebut Nyai Loro Kidul)
adalah tokoh legendaris Indonesia yang
sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Tokoh ini dikenal
sebagai Ratu Laut Selatan (Samudra Hindia). Menurut
legenda Sunda, Nyi Rara Kidul mulanya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir
ayahnya karena ulah ibu tirinya. Dalam perkembangannya, masyarakat cenderung
menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng
Ratu Kidul. Kedudukan Nyai Loro Kidul sebagai Ratu-Lelembut tanah
Jawa menjadi motif populer dalam cerita rakyat dan mitologi, selain juga
dihubungkan dengan kecantikan putri-putri Sunda dan Jawa.
Kepercayaan
Kejawen
Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda yang sangat populer
di kalangan masyarakat Pulau Jawa
dan Bali. Ia memiliki kuasa
atas ombak keras samudra
Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudra. Dalam
mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu. Ia mengisi alam kehidupan
sebagai Dewi Padi (Dewi Sri)
dan dewi-dewi alam yang lain.
Menurut
kepercayaan, ia merupakan pasangan spiritual para sultan dari Mataram
dan Yogyakarta,
dimulai dari Panembahan
Senapati hingga sekarang. Ia juga menjadi istri spiritual Susuhunan Surakarta. Pengamat sejarah
kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk
melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.
Keraton
Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari. Ia dipercaya mampu untuk berubah
wujud beberapa kali dalam sehari. Sultan
Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya
dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita
muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang
lain.
Dalam
keyakinan orang Jawa,
Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Nyi Rara
Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang
mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan
pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau
Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan
Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk
tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.
Ratu Ayu Pagedongan
Ratu
Pagedongan adalah putri Raden Panji, seorang putra raja Jenggala, dengan Retnaning
Dyah Angin-Angin yang merupakan putri lelembut. Saat membuka hutan (babat alas) Sigaluh, pohon beringin
putih yang merupakan pusat kerajaan lelembut ikut tumbang. Roh raja lelembut,
Prabu Banjaran Seta, masuk ke dalam tubuh Raden Panji sehingga ia menjadi
semakin sakti. Dengan demikian, kekuasaan hutan Sigaluh dan kerajaan lelembut
menjadi miliknya. Retnaning Dyah Angin-Angin adalah adik dari Prabu Banjaran Seta.
Saat
Ratu Hayu lahir, kakek Ratu Hayu yang bernama Eyang Sindhula datang dan
memberinya nama Ratu Pagedongan dengan harapan ia menjadi wanita tercantik di
seluruh alam. Setelah beranjak dewasa, Ratu Pagedongan meminta kakeknya agar
kecantikannya abadi. Hal tersebut dapat terjadi hanya jika Ratu Pagedongan
menjadi lelembut. Setelah menjadi lelembut, Raden Panji menyerahkan laut
selatan di bawah kekuasaan putrinya, sampai saatnya ia bertemu dengan Wong Agung ("orang besar")
yang memerintah Jawa.
Lara Kidul Nawangwulan
Lara
Kidul Dewi Nawangwulan adalah ratu sebuah kerajaan kecil pada masa Kerajaan
Majapahit. Ia adalah keturunan raja Melayu yang diambil menantu oleh Bhre Wengker (1456-1466), seorang raja Majapahit. Suaminya adalah Jaka Tarub, sementara ia
sendiri menjadi salah satu dari tujuh bidadari yang mandi di telaga. Keduanya
memiliki putri bernama Dewi Nawangsih. Nawangsih menikah dengan Raden Bondan Kejawan atau Lembu
Peteng, pangeran Majapahit yang diangkat anak oleh Jaka Tarub. Keduanya adalah
moyang dari Panembahan
Senapati, pendiri Kesultanan
Mataram.
Dalam
legenda, saat Nawangwulan sampai di khayangan, ia ditolak karena sudah berbau
manusia. Nawang Wulan kembali turun ke bumi tetapi tidak bermaksud kembali ke
suaminya. Ia naik gunung
Merbabu dan meloncat ke laut selatan untuk bunuh diri. Di laut
selatan, Nyi Nawang Wulan perperang dengan Nyi Roro Kidul dan memperoleh
kemenangan, sehingga ia menguasai laut selatan. Dengan demikian, Nawangwulan
menjadi salah satu dari tiga penguasa laut selatan disamping Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong.
Dalam
versi lain, penguasa khayangan menjadikan Nawangwulan penguasa laut kidul
karena ia sudah tidak layak untuk tinggal di khayangan, tetapi juga tidak
pantas untuk kembali tinggal di antara manusia di bumi. Semenjak saat itu,
Nawangwulan dikenal dengan nama Nyi Roro Kidul.
Bodhisatwa Kwan Im Laut Selatan
Kwan Im adalah bodhisatwa welas asih dalam
ajaran
Buddha Mahayana. Ia bersumpah tidak akan beristirahat hingga ia
berhasil membebaskan seluruh makhluk hidup dari penderitaan samsara (atau kelahiran kembali
berulang ke dunia). Di China,
para nelayan berdoa kepadanya agar selamat selama di laut mencari ikan. Itulah
sebabnya Bodhisatwa Kwan Im juga dijuluki Kwan Im Laut Selatan, yang sebenarnya merujuk pada Laut Cina Selatan.
Pada
saat terjadi diaspora penduduk China ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Kwan Im Laut
Selatan dianggap sebagai pelindung para imigran tersebut. Seluruh wilayah di
selatan China (termasuk Laut
China Selatan) dipercaya berada di bawah perlindungan (kekuasaan)
Kwan Im. Oleh sebab itu, pemujaan terhadap Kwan Im cukup populer di Indonesia,
misalnya di Klenteng Sanggar
Agung di Surabaya
dan Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa
di Simpenan,
Sukabumi.
Putri Raja Thailand ke IV
Menurut
legenda yang beredar di Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, Simpenan,
Sukabumi, Ratu Pantai Selatan merupakan putri Raja Thailand, yaitu
Raja kelima dari dinasti
Chakri, Chulalongkorn.
Kanjeng Ratu
Kidul
Kanjeng Ratu Kidul
adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Sosok ini secara umum sering disamakan dengan Nyi Roro Kidul, meskipun sebenarnya dia berdua sangatlah
berbeda. Kanjeng Ratu Kidul adalah Roh Suci yang mempunyai sifat mulia dan baik
hati, dia berasal dari tingkat langit yang tinggi, pernah turun di berbagai
tempat di dunia dengan jati diri tokoh-tokoh suci setempat pada zaman yang
berbeda-beda pula. Pada umumnya dia menampakkan diri hanya untuk memberi
isyarat / peringatan akan datangnya suatu kejadian penting. Dalam mitologi
Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu.
Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi-dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul awalnya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya.
Cerita-cerita yang terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara
Kidul" bisa dikatakan berbeda fase tahapan kehidupan menurut mitologi
Jawa.
Kanjeng Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak
keras samudra Hindia dari
istananya yang terletak di jantung samudra. Menurut kepercayaan Jawa, ia
merupakan pasangan spiritual para sultan dari Mataram dan Yogyakarta, dimulai dari Panembahan Senapati.
Namun, kini ia dipandang sebagai ibu spiritual para sultan Yogyakarta maupun Susuhunan Surakarta. Kedudukannya berhubungan dengan
Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo dan Yogyakarta.
Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul
memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.
Nama dan wujud
Keraton Surakarta
menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu
Kencono Sari. Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam
sehari. Sultan Hamengkubuwono IX
menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat
berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat
bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain. Babad Dipanegara menceritakan
kedatangan Ratu Kidul selalui didahului pancaran sebesar sinar (daru)
Asal Usul
Legenda mengenai penguasa mistik laut selatan
ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan dimulai. Namun, legenda ini
mencapai puncak tertinggi karena pengaruh kalangan penguasa keraton dinasti Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta).
Dalam kepercayaan tersebut, Kanjeng Ratu Kidul merupakan "istri
spiritual" bagi raja-raja kedua keraton tersebut. Pada saat tertentu,
keraton memberikan persembahan di Pantai
Parangkusuma, Bantul, dan di Pantai
Paranggupita, Wonogiri. Panggung Sanggabuwana di komplek kraton Surakarta dipercaya
merupakan tempat bercengkerama antara Sunan (raja) dengan Kanjeng Ratu. Konon,
Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga
purnama, terapi berangsur-angsur menua pada saat bulan menuju bulan mati.
Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul
Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu
setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Nyi Rara
Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan
pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau
pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di
Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta,
hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak
mengenakan pakaian berwarna hijau.
Di kalangan masyarakat Sunda berkembang
anggapan bahwa Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh
keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya
malu. Dalam kepercayaan Jawa, tokoh ini dianggap bukanlah Ratu Laut Selatan
yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini
berdasarkan kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai
Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran.
Menurut pengalaman seorang spiritualis pada
tahun 1998, ia bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul di pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Saat itu, Eyang Ratu Kidul didampingi oleh Nyi Roro Kidul. Keduanya persis tetapi Eyang Ratu Kidul
kulitnya kuning langsat, sementara Nyi Roro Kidul agak coklat. Selain itu, Eyang
ratu Kidul mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat
mengelilingi seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Roro Kidul berwarna putih
susu seperti cahaya lampu neon, tipis putih mengikuti postur tubuhnya. Ia
diberi penjelasan bahwa Nyi Roro Kidul adalah
patih atau kepala pengawalnya. Nyi Roro Kidul adalah makhluk halus jenis jin
yang mengabdi dan berguru kepada Eyang ratu. Nyi Roro Kidul ditugaskan untuk
mengontrol dan meredam angkara murka dari makhluk-makhluk gaib jenis jin dan
kekuatan gaib serta ilmu gaib yang berada disepanjang pantai selatan Pulau
Jawa.
Ni Mas Ratu Anginangin
Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh
makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut
selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari
cerita babad Kadhiri.
Ø Samuksane Sang Prabu
Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan
kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning
dhêmit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu
Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe
tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.
Ø Yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggul Wulung juga
sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus
pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu
Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta
kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin.
Serat Centhini juga menyebut nama Ratu Anginangin sebagai
pemilik istana di laut selatan. Buaya putih penjelmaan Prabu Dewatacengkar,
raja Medang Kamulan sebelum
kedatangan Aji Saka, adalah musuhnya. Ia memberi gelar Jaka Linglung yang saat itu masih belum memiliki nama sebagai
Linglung Tunggulwulung dan menjodohkannya dengan Nyai Blorong. Serat Centhini menulis kesediaan Ratu Anginangin
menjadi tunangan Aji Saka atas perantaraan Jaka Linglung.
Ajar Cemara Tunggal
Sebuah cerita rakyat dari Jawa Barat
menceritakan seorang penerawang pria bernama Ajar Cemara Tunggal dari Gunung
Kombang di Kerajaan Pajajaran.
Sebenarnya, ia adalah seorang wanita cantik, bibi buyut dari Raden Jaka Suruh.
Ia mengubah dirinya menjadi dukun dan memberitahu Raden Jaka Suruh untuk menuju
timur pulau Jawa dan mendirikan kerajaan di lokasi sebuah pohon maja
yang hanya memiliki buah satu butir. Karena buah maja rasanya pahit, kerajaan
yang didirikannya bernama Majapahit. Cemara Tunggal berjanji akan
menikahi pendiri Majapahit dan setiap penerus dari garis keturunan yang sulung
untuk membantu mereka dalam setiap permasalahan. Roh Cemara Tunggal dianggap
menjadi "ratu-lelembut dari selatan" yang menguasai seluruh lelembut.
Legenda Kesultanan Mataram
Legenda Jawa dari abad ke-16 menyatakan
Kanjeng Ratu Kidul sebagai pelindung dan pasangan spiritual para raja Kerajaan
Mataram. Panembahan Senapati
(1586-1601 M), pendiri Kesultanan Mataram, dan
cucunya Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1645 M) menyebut Kanjeng Ratu Kidul sebagai mempelai mereka. Hal tersebut
tertuang dalam Babad Tanah Jawi.
Menurut legenda, pangeran Panembahan Senopati
berkeinginan untuk mendirikan sebuah kerajaan yang baru, yaitu Kesultanan Mataram, untuk
melawan kekuasaan Kesultanan Pajang. Ia
melakukan tapa di pantai Parang Kusumo yang terletak di selatan kediamannya di Kota Gede. Meditasinya menyebabkan terjadinya fenomena
supernatural yang mengganggu kerajaan di Laut Selatan. Sang Ratu datang ke
pantai untuk melihat siapa yang menyebabkan gangguan di kerajaannya. Saat
melihat pangeran yang tampan, ia jatuh cinta dan meminta Panembahan Senopati
untuk menghentikan tapanya. Sebagai gantinya, sang Ratu penguasa alam spiritual
di laut selatan setuju untuk membantunya dalam mendirikan kerajaan yang baru.
Untuk menjadi pelindung spiritual kerajaan tersebut, sang Ratu dilamar oleh
Panembahan Senopati untuk menjadi pasangan spiritualnya serta semua
penggantinya nanti, yaitu para raja Mataram.
Babad Dipanegara
Babad Dipanegara
mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dengan Pangeran Diponegoro
sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1805 dan pertengahan Juli 1826.
Pertemuan pertama terjadi di Gua Langse, Pantai Parangtritis
di selatan Yogyakarta, pada
saat Pangeran Diponegoro tengah bersamadi sehingga Ratu Kidul tidak berkeingnan
untuk mengganggu. Pertemuan kedua berlangsung pada saat terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830). Pada pertemuan kedua, Ratu
Kidul yang ditemani dua patihnya -yaitu Nyi Roro Kidul dan Raden Dewi- menawarkan bantuan dalam perang
tetapi dengan syarat Pangeran Diponegoro bersedia memohon kepada Allah Ingkang Rabulngalimin agar Ratu Kidul
diperkenankan kembali menjadi manusia. Namun, Pangeran Diponegoro menolak
dengan halus dengan alasan bahwa pertolongan hanya datang dari Hyang Agung sehingga ia tidak akan
bersekutu dengan makluk gaib. Hal ini sesuai dengan tujuan utamanya untuk berperang,
yaitu untuk memajukan agama Islam di seluruh Jawa.
Ritual
dan kepercayaan
Tari Bedaya Ketawang
Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang
tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi. Panembahan Senopati adalah
orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. Dari
kepercayaan ini diciptakan Tari Bedaya
Ketawang dari kraton Kasunanan Surakarta (pada masa Sunan Pakubuwana
I), yang digelar setiap tahun, yang dipercaya sebagai persembahan kepada
Kanjeng Ratu Kidul. Sunan duduk di samping kursi kosong yang disediakan bagi
Sang Ratu Kidul.
Pelabuhan Ratu dan kota-kota pesisir lainnya
Pelabuhan Ratu adalah sebuah kota nelayan di Jawa Barat. Masyarakat setempat menyelenggarakan hari suci
khusus untuk Kanjeng Ratu Kidul setiap tanggal 6 April. Hari tersebut merupakan
hari peringatan bagi penduduk lokal dan mereka memberikan banyak persembahan
untuk menyenangkan sang Ratu. Para nelayan lokal juga menyelenggarakan ritual sedekah laut setiap tahunnya,
memberikan persembahan seperti nasi, sayuran, dan berbagai produk pertanian,
hingga ayam, tenunan batik, dan kosmetik. Persembahan tersebut dilarungkan ke
laut sebagai persembahan untuk Ratu. Para nelayan lokal percaya persembahan
mereka akan menyenangkan Ratu Laut Selatan sehingga ia akan memberkahi mereka dengan
hasil tangkapan yang berlimpah serta memberikan cuaca yang bagus, tidak terlalu
banyak badai serta ombak.
Di sekitar lokasi Pantai Palabuhanratu,
tepatnya di Karang Hawu, terdapat petilasan (persinggahan) Ratu Pantai Selatan yang
dapat dikunjungi untuk melakukan ritual tertentu ataupun hanya sekadar
melihat-lihat. Di komplek keramat ini terdapat sekurangnya dua ruangan besar
yang didalamnya terdapat beberapa makam yang dipercaya penduduk sebagai makam
Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta, dan Eyang Syeh Husni Ali. Di
beberapa ruangan juga terpampang gambar penguasa Laut Selatan. Kanjeng Ratu
Kidul juga diasosiasikan dengan Parangtritis, Parangkusumo, Pangandaran, Karang Bolong,
Ngliyep, Puger, Banyuwangi, dan berbagai tempat di sepanjang pantai selatan
Jawa seperti Tulungagung.
Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda
Kanjeng Ratu Kidul. Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu
Kanjeng Ratu Kidul. Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat
penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya
kepada sri sultan.
Sedekah laut
Masyarakat nelayan pantai selatan Jawa setiap
tahun melakukan sedekah laut sebagai persembahan kepada sang Ratu agar menjaga
keselamatan para nelayan dan membantu perbaikan penghasilan. Upacara ini
dilakukan nelayan di pantai Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng, Pangandaran, Cilacap, Sakawayana
dan sebagainya. Sebagian besar para wisatawan yang berkunjung baik itu lokal
maupun manca negara datang ke Pelabuhan Ratu karena keindahan panoramanya
sekaligus tradisi ritual ini. Disaat-saat tertentu banyak acara ritual yang
sering digelar penduduk setempat sebagai rasa terima kasih mereka terhadap sang
penguasa laut selatan.
Ruang khusus di hotel
Pemilik hotel yang berada di pantai selatan
Jawa dan Bali menyediakan ruang khusus bagi Sang Ratu. Yang terkenal adalah
Kamar 327 dan 2401 di Hotel
Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak
terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar
327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi
suguhan (sesaji) setiap hari, tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi
Ratu Kidul. Hal yang sama juga dilakukan di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308
disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di
dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33.
Sang Kanjeng Ratu
Hotel Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, menyediakan kamar 308 yang dicat
berwarna hijau untuk Kanjeng Ratu Kidul. Setidaknya pada awal tahun 1966,
presiden pertama Indonesia, Sukarno, terlibat dalam penentuan lokasi
serta ide Hotel Samudra Beach Hotel. Di depan kamar 308 terdapat pohon Ketapang
tempat Sukarno memperoleh inspirasi spiritualnya.
Di dalam kamar tersebut juga dipasang lukisan terkenal "Nyai Rara
Kidul" oleh Basuki Abdullah.
Kepercayaan Kejawen
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok
agung yang dimuliakan dan dihormati. Masyarakat Jawa mengenal istilah "telu-teluning atunggal"
("tiga sosok yang menjadi satu kekuatan"), yaitu Eyang Resi
Projopati, Panembahan Senopati, dan
Ratu Kidul. Panembahan Senopati merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam
yang bertemu dengan Ratu Kidul ketika bertiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga untuk memperoleh wangsit. Saat itu, ia
bermaksud membangun sebuah keraton pada sebuah tempat yang sebelumnya sebuah
hutan bernama "alas mentaok" (kini Kotagede di Daerah Istimewa Yogyakarta).
Saat ia bertapa, semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan
gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram,
bahkan dipercaya menjadi "istri spiritual" bagi Raja-raja trah
Mataram Islam.
Agama Konghucu
Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng
Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di bilangan
Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta.[15] Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Roro Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Roro Kidul hanya
menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Tara (Bodhisatwa).
Nyi Roro Kidul
Nyi Roro Kidul
(juga Nyai Roro Kidul atau Nyai Loro Kidul) adalah sesosok roh
atau dewi legendaris Indonesia yang sangat populer di kalangan
masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Tokoh ini dikenal sebagai Ratu Laut Selatan (Samudra Hindia) dan secara umum disamakan dengan Kanjeng Ratu Kidul,
meskipun beberapa kalangan sebenarnya keduanya berbeda. Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul
merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu
yang mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul
mulanya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir
ayahnya karena ulah ibu tirinya. Dalam perkembangannya, masyarakat cenderung
menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun dalam kepercayaan
Kejawen, Nyi Rara Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul. Kedudukan
Nyai Loro Kidul sebagai Ratu-Lelembut tanah Jawa menjadi motif populer dalam
cerita rakyat dan mitologi, selain juga dihubungkan dengan kecantikan
putri-putri Sunda dan Jawa.
Nama
Nyai Roro Kidul juga dikenal dengan berbagai
nama yang mencerminkan berbagai kisah berbeda dari asal-usulnya, legenda,
mitologi, dan kisah turun-temurun. Ia lazim dipanggil dengan nama Ratu Laut Selatan dan Gusti Kanjeng Ratu Kidul.
Menurut adat-istiadat Jawa, penggunaan gelar seperti Nyai, Kanjeng,
dan Gusti untuk menyebutnya
sangat penting demi kesopanan. Orang-orang juga menyebutnya sebagai eyang (nenek). Dalam wujud sejenis putri duyung, ia disebut sebagai Nyai Blorong. Terkadang orang juga menyebut namanya sebagai
Nyai Loro Kidul. Bahasa Jawa loro merupakan sebuah homograf untuk "dua - 2" dan "sakit,
menderita". Sementara bahasa Jawa rara (atau roro)
memiliki arti "gadis". Seorang ortografer Belanda memperkirakan terjadinya perubahan
dari bahasa Jawa kuno roro
menjadi bahasa Jawa baru loro,
sehingga terjadi perubahan arti dari "gadis cantik" menjadi "orang
sakit".
Asal Usul
Masyarakat Sunda mengenal legenda mengenai
penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan
cantik yang disebut Nyi Rara Kidul. Legenda yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran berumur lebih tua daripada legenda Kerajaan Mataram Islam
dari abad ke-16. Meskipun demikian, penelitian atropologi dan kultur
masyarakat Jawa dan Sunda mengarahkan bahwa legenda Ratu Laut Selatan Jawa
kemungkinan berasal dari kepercayaan animistik prasejarah yang jauh lebih tua lagi, dewi
pra-Hindu-Buddha dari samudra selatan. Ombak samudra Hindia yang ganas di pantai selatan Jawa, badai serta
terkadang tsunaminya, kemungkinan telah membangkitkan rasa hormat serta
takut terhadap kekuatan alam, yang kemudian dianggap sebagai alam spiritual
para dewata serta lelembut yang menghuni lautan selatan yang dipimpin oleh ratu
mereka, sesosok dewi, yang kemudian diidentifikasikan sebagai Ratu Kidul.
Dewi Kandita
Salah satu cerita rakyat Sunda menceritakan
Dewi Kandita atau Kadita, putri cantik dari kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa Barat, yang melarikan diri ke lautan
selatan setelah diguna-gunai. Guna-guna tersebut dikeluarkan oleh seorang dukun
atas perintah saingannya di istana, dan membuat putri tersebut menderita
penyakit kulit yang menjijikkan. Ia melompat ke lautan yang berombak ganas dan
menjadi sembuh serta kembali cantik. Para lelembut kemudian mengangkatnya
menjadi Ratu-Lelembut Lautan Selatan yang legendaris.
Versi yang serupa adalah Dewi Kandita, putri
tunggal Raja Munding Wangi dari Kerajaan Pajajaran. Karena
kecantikannya, ia dijuluki Dewi
Srêngéngé (lit. "Dewi Matahari"). Meskipun mempunyai seorang
putri yang cantik, Raja Munding Wangi bersedih karena ia tidak memiliki putra
yang dapat menggantikannya sebagai raja. Raja kemudian menikah dengan Dewi
Mutiara dan mendapatkan putra dari pernikahan tersebut. Dewi Mutiara ingin
putranya dapat menjadi raja tanpa ada rintangan di kemudian hari, sehingga ia
berusaha menyingkirkan Dewi Kandita. Dewi Mutiara menghadap Raja dan memintanya
untuk menyuruh Kadita pergi dari istana. Raja berkata bahwa ia tidak akan
membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putrinya. Mendengar jawaban
itu, Dewi Mutiara tersenyum dan berkata manis sampai Raja tidak marah lagi
kepadanya.
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit,
Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang tukang tenung. Dia
menyuruh sang dukun untuk meneluh Kadita. Pada malam harinya, tubuh Kadita
gatal-gatal dipenuhi kudis, berbau busuk dan penuh bisul. Ia menangis tak tahu
harus berbuat apa. Raja mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan Kandita
serta sadar bahwa penyakit tersebut tidak wajar, pasti berasal dari guna-guna.
Ratu Dewi Mutiara memaksa raja mengusir puterinya karena dianggap akan
mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan
puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, ia terpaksa menyetujui usul Ratu
Mutiara untuk mengirim putrinya keluar dari negeri mereka.
Kandita pergi berkelana sendirian tanpa
tujuan dan hampir tidak dapat menangis lagi. Ia tidak dendam kepada ibu
tirinya, melainkan meminta agar Sanghyang Kersa
mendampinginya dalam menanggung penderitaan. Hampir tujuh hari dan tujuh malam,
akhirnya ia tiba di Samudera Selatan. Air samudra itu bersih dan jernih, tidak
seperti samudera lain yang berwarna biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar
suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Ia melompat dan
berenang, air Samudera Selatan melenyapkan bisulnya tanpa meninggalkan bekas,
malah ia semakin cantik. Ia memiliki kuasa atas Samudera Selatan dan menjadi
seorang dewi yang disebut Nyi Roro Kidul yang hidup abadi. Kawasan Pantai Palabuhanratu
secara khusus dikaitkan dengan legenda ini.
Putri Banyu Bening Gelang Kencana
Dalam salah satu cerita rakyat Sunda, Banyu Bening (lit. "Air
Jernih") menjadi ratu dari kerajaan Joyo Kulon. Ia menderita lepra
kemudian berkelana menuju selatan. Ia ditelan ombak yang besar dan menghilang
ke dalam samudra.
Legenda dan kepercayaan
Patih tentara laut selatan
Nyi Roro Kidul dipercaya menjabat sebagai
patih Kanjeng Ratu Kidul yang
memimpin bala tentara makluk halus di laut selatan. Kiai Iman Sampurno dari Blitar, Jawa Timur (abad ke-19) mengeluarkan
ramalan bahwa Nyi Roro Kidul dan Sunan Lawu akan memimpin bala tentara masing-masing akan
menyebarkan wabah kepada para manusia berkelakuan buruk.
Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong
Nyai Loro Kidul terkadang digambarkan
berwujud putri duyung dengan tubuh bagian bawah
berwujud seekor ular atau ikan ,terkadang pula digambarkan sebagai wanita yang
amat cantik. Ia dipercaya mengambil jiwa siapapun yang ia inginkan. Terkadang ia disebut memiliki wujud ular.
Kepercayaan ini mungkin berasal dari legenda tentang putri Pajajaran yang
menderita penyakit lepra.
Penyakit kulit yang dialami putri tersebut kemungkinan
dianggap sama seperti ular yang berganti kulit.
Nyi Roro Kidul dan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga
memiliki hubungan mendalam dengan Nyai Loro Kidul karena aspek yang sama, yaitu
air (dalam bahasa Jawa, kali memiliki arti "sungai"). Panembahan Senopati
(1584–1601), pendiri ekspansi imperial Mataram, mencari dukungan dewi dari
Samudra Selatan (Kanjeng Ratu Kidul dan
Nyai Loro Kidul) di Pemancinang, selatan Jawa, untuk menjadi pelindung khusus
keluarga bangsawan Mataram. Ketergantungan Senopati pada Sunan Kalijaga dan
Nyai Loro Kidul menurut catatan sejarah mencerminkan ambivalen Dinasti Mataram
terhadap Islam dan kepercayaan asli Jawa.
Larangan berpakaian hijau
Terdapat kepercayan lokal bahwa jika
mengenakan pakaian berwarna hijau akan membuatnya sehingga membuat pemakainya
tertimpa kesialan, karena hijau adalah warna kesukaannya. Warna hijau laut (gadhung m'lathi dalam bahasa Jawa) adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul dan tidak
boleh ada yang memakai warna tersebut di sepanjang pantai selatan Jawa. Peringatan selalu diberikan kepada orang yang
berkunjung ke pantai selatan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.
Mitosnya mereka dapat menjadi sasaran Nyai Rara Kidul untuk dijadikan tentara
atau pelayannya (budak). Secara logika, alasan tersebut muncul karena air laut
pada daerah pantai selatan warnanya cenderung kehijauan sehingga korban
tenggelam yang mengenakan pakaian hijau akan sulit ditemukan. Serat Centhini menyebut bahwa Gusti Kanjeng Nyai Rara Kidul
memiliki kampuh gadhung mlathi
atau "kain dodot panjang berwarna hijau dan tengahnya putih" yang
berperada emas.
Sarang burung walet
Nyai Loro Kidul adalah dewi pelindung
pengumpul sarang burung
di selatan Jawa. Para pengumpul menuruni tebing menggunakan tali serabut kelapa
hingga sekitar ketinggian sembilan meter (30 kaki) di atas permukaan laut.
Disana, mereka menunggu arus ombak di atas teras bambu, kemudian terjun dan
terbawa arus masuk ke gua. Dalam kegelapan total, mereka mengambil sarang
burung dan memasukkan dalam tas mereka. Perjalanan pulang juga sangat berbahaya
dan membutuhkan waktu yang tepat, agar tidak terbawa ombak yang ganas.
Sarang burung Jawa merupakan salah satu
sarang burung terbaik di dunia. Sup sarang burung yang dipasarkan di China,
Thailand, Malaysia, dan Singapura didedikasikan kepada Nyai Loro Kidul,
demikian menurut tulisan Sultan Agung. Terdapat tiga jenis panen, yaitu Unduan-Kesongo (April), Unduan-Telor (Agustus, terbanyak),
dan Unduan-Kepat (Desember).
Rongkob dan Karang Bolong yang terdapat di pantai selatan Jawa Tengah terkenal
sebagai tempat mengumpulkan sarang burung walet (disebut Salanganen
atau Collocalia fuciphaga).
Proses panen terkenal karena juga dilakukan pertunjukan wayang serta tarian ritual yang diiringi musik gamelan. Setelah panen selesai, masyarakat memberikan
persembahan yang disebut "Ranjang Nyai Loro Kidul". Persembahan
tersebut digantung bersama dengan kain batik
dan cermin yang diletakkan di atas bantal berwarna hijau.
Ratu Laut Utara
Ratu
Laut Utara adalah sosok legenda
penguasa laut utara pulau Jawa,
khususnya di utara Pekalongan,
Jawa Tengah. Dalam
kepercayaan masyarakat Pekalongan, nama Ratu Laut Utara yang sebenarnya adalah Dewi
Lanjar. Lanjar adalah sebutan bagi wanita yang bercerai dengan suaminya
dalam usia yang masih muda dan belum mempunyai anak.
Legenda
Masyarakat
Pekalongan pada khususnya
masih memiliki kepercayaan kental terhadap sosok Dewi Lanjar. Misalnya jika ada
anak hilang saat bermain di pantai, masyarakat percaya bahwa anak tersebut
dibawa oleh Dewi Lanjar. Konon letak keraton Dewi Lanjar terletak di pantai
Pekalongan sebelah sungai Slamaran.
Dewi Lanjar
Pada
zaman dahulu di Pekalonganhiduplah seorang putri cantik bernama Dewi Rara Kuning. Ia telah menjadi janda
di usia yang sangat muda karena suaminya meninggal beberapa waktu setelah
pernikahan mereka. Itulah sebabnya Dewi Rara Kuning kemudian terkenal dengan
sebutan Dewi Lanjar. Karena hal tersebut, Dewi Lanjar memutuskan untuk
meninggalkan kampung halamannya agar tidak terus-menerus dirudung duka. Setibanya
di sungai Opak, ia bertemu
Raja Mataram
Panembahan
Senopati bersama Mahapatih Singaranu yang sedang bertapa mengapung
di atas air sungai. Dewi Lanjar mengutarakan isi hatinya dan berkata tidak akan
menikah lagi. Panembahan
Senopati dan Mahapatih Singoranu merasa kasihan kemudian
menasehatinya agar bertapa di Pantai Selatan menghadap Ratu
Kidul. Selanjutnya mereka berpisah, Panembahan Senopati beserta
patihnya melanjutkan bertapa menyusuri sungai Opak sedangkan Dewi Lanjar menuju
Pantai Selatan. Ia bertapa dengan tekun kemudian moksa dan bertemu dengan Ratu Kidul.
Dalam
pertemuan itu, Dewi Lanjar memohon menjadi anak buah Kanjeng
Ratu Kidul, Ratu Kidul tidak keberatan. Suatu hari, Dewi Lanjar
bersama pasukan jin diperintahkan untuk
mengganggu dan mencegah Raden Bahu yang sedang membuka hutan Gambiren (kini
berada di sekitar jembatan anim Pekalongan dan desa Sorogenen). Namun, Raden
Bahu tidak terpengaruh semua godaan Dewi Lanjar dan pasukan jinnya. Karena
tidak berhasil menunaikan tugas, Dewi Lanjar memutuskan untuk tidak kembali ke
Pantai Selatan, tetapi memohon izin kepada Raden Bahu untuk dapat bertempat
tinggal di Pekalongan. Hal tersebut disetujui baik oleh Raden Bahu maupun oleh
Ratu Kidul. Dewi Lanjar diperkenankan tinggal dipantai utara Jawa Tengah
terutama di Pekalongan.
Sumber
: Google Wikipedia
BalasHapusmenarik sekali ceritanya gan..
mampir sini ya gan..
buat 18++
SATUQQ
SATUQQ
SATUQQ
SATUQQ