Jumat, 10 Agustus 2018

KISAH RATU LAUT SELATAN


KISAH RATU LAUT SELATAN


KISAH RATU LAUT SELATAN
Orientasi
Ratu Laut Selatan adalah sebutan yang pada umumnya merujuk pada dua tokoh, yaitu Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul. Tokoh ini sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Kepercayaan akan adanya penguasa lautan di selatan Jawa (Samudera Hindia) terutama dikenal oleh suku Sunda dan suku Jawa. Orang Bali juga meyakini adanya kekuatan yang menguasai pantai selatan ini.

Legenda dari Sunda
Nyi Roro Kidul (juga disebut Nyai Loro Kidul) adalah tokoh legendaris Indonesia yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Tokoh ini dikenal sebagai Ratu Laut Selatan (Samudra Hindia). Menurut legenda Sunda, Nyi Rara Kidul mulanya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Dalam perkembangannya, masyarakat cenderung menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul. Kedudukan Nyai Loro Kidul sebagai Ratu-Lelembut tanah Jawa menjadi motif populer dalam cerita rakyat dan mitologi, selain juga dihubungkan dengan kecantikan putri-putri Sunda dan Jawa.

Kepercayaan Kejawen
Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Ia memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudra. Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu. Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi-dewi alam yang lain.

Menurut kepercayaan, ia merupakan pasangan spiritual para sultan dari Mataram dan Yogyakarta, dimulai dari Panembahan Senapati hingga sekarang. Ia juga menjadi istri spiritual Susuhunan Surakarta. Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.
Keraton Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari. Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam sehari. Sultan Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.

Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.

Ratu Ayu Pagedongan
Ratu Pagedongan adalah putri Raden Panji, seorang putra raja Jenggala, dengan Retnaning Dyah Angin-Angin yang merupakan putri lelembut. Saat membuka hutan (babat alas) Sigaluh, pohon beringin putih yang merupakan pusat kerajaan lelembut ikut tumbang. Roh raja lelembut, Prabu Banjaran Seta, masuk ke dalam tubuh Raden Panji sehingga ia menjadi semakin sakti. Dengan demikian, kekuasaan hutan Sigaluh dan kerajaan lelembut menjadi miliknya. Retnaning Dyah Angin-Angin adalah adik dari Prabu Banjaran Seta.

Saat Ratu Hayu lahir, kakek Ratu Hayu yang bernama Eyang Sindhula datang dan memberinya nama Ratu Pagedongan dengan harapan ia menjadi wanita tercantik di seluruh alam. Setelah beranjak dewasa, Ratu Pagedongan meminta kakeknya agar kecantikannya abadi. Hal tersebut dapat terjadi hanya jika Ratu Pagedongan menjadi lelembut. Setelah menjadi lelembut, Raden Panji menyerahkan laut selatan di bawah kekuasaan putrinya, sampai saatnya ia bertemu dengan Wong Agung ("orang besar") yang memerintah Jawa.

Lara Kidul Nawangwulan
Lara Kidul Dewi Nawangwulan adalah ratu sebuah kerajaan kecil pada masa Kerajaan Majapahit. Ia adalah keturunan raja Melayu yang diambil menantu oleh Bhre Wengker (1456-1466), seorang raja Majapahit. Suaminya adalah Jaka Tarub, sementara ia sendiri menjadi salah satu dari tujuh bidadari yang mandi di telaga. Keduanya memiliki putri bernama Dewi Nawangsih. Nawangsih menikah dengan Raden Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, pangeran Majapahit yang diangkat anak oleh Jaka Tarub. Keduanya adalah moyang dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram.

Dalam legenda, saat Nawangwulan sampai di khayangan, ia ditolak karena sudah berbau manusia. Nawang Wulan kembali turun ke bumi tetapi tidak bermaksud kembali ke suaminya. Ia naik gunung Merbabu dan meloncat ke laut selatan untuk bunuh diri. Di laut selatan, Nyi Nawang Wulan perperang dengan Nyi Roro Kidul dan memperoleh kemenangan, sehingga ia menguasai laut selatan. Dengan demikian, Nawangwulan menjadi salah satu dari tiga penguasa laut selatan disamping Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong.

Dalam versi lain, penguasa khayangan menjadikan Nawangwulan penguasa laut kidul karena ia sudah tidak layak untuk tinggal di khayangan, tetapi juga tidak pantas untuk kembali tinggal di antara manusia di bumi. Semenjak saat itu, Nawangwulan dikenal dengan nama Nyi Roro Kidul.

Bodhisatwa Kwan Im Laut Selatan
Kwan Im adalah bodhisatwa welas asih dalam ajaran Buddha Mahayana. Ia bersumpah tidak akan beristirahat hingga ia berhasil membebaskan seluruh makhluk hidup dari penderitaan samsara (atau kelahiran kembali berulang ke dunia). Di China, para nelayan berdoa kepadanya agar selamat selama di laut mencari ikan. Itulah sebabnya Bodhisatwa Kwan Im juga dijuluki Kwan Im Laut Selatan, yang sebenarnya merujuk pada Laut Cina Selatan.

Pada saat terjadi diaspora penduduk China ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Kwan Im Laut Selatan dianggap sebagai pelindung para imigran tersebut. Seluruh wilayah di selatan China (termasuk Laut China Selatan) dipercaya berada di bawah perlindungan (kekuasaan) Kwan Im. Oleh sebab itu, pemujaan terhadap Kwan Im cukup populer di Indonesia, misalnya di Klenteng Sanggar Agung di Surabaya dan Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa di Simpenan, Sukabumi.

Putri Raja Thailand ke IV
Menurut legenda yang beredar di Vihara Nam Hai Kwan Se Im Pu Sa, Simpenan, Sukabumi, Ratu Pantai Selatan merupakan putri Raja Thailand, yaitu Raja kelima dari dinasti Chakri, Chulalongkorn.

Kanjeng Ratu Kidul
Kanjeng Ratu Kidul adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Sosok ini secara umum sering disamakan dengan Nyi Roro Kidul, meskipun sebenarnya dia berdua sangatlah berbeda. Kanjeng Ratu Kidul adalah Roh Suci yang mempunyai sifat mulia dan baik hati, dia berasal dari tingkat langit yang tinggi, pernah turun di berbagai tempat di dunia dengan jati diri tokoh-tokoh suci setempat pada zaman yang berbeda-beda pula. Pada umumnya dia menampakkan diri hanya untuk memberi isyarat / peringatan akan datangnya suatu kejadian penting. Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu. Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi-dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul awalnya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Cerita-cerita yang terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan berbeda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.

Kanjeng Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudra. Menurut kepercayaan Jawa, ia merupakan pasangan spiritual para sultan dari Mataram dan Yogyakarta, dimulai dari Panembahan Senapati. Namun, kini ia dipandang sebagai ibu spiritual para sultan Yogyakarta maupun Susuhunan Surakarta. Kedudukannya berhubungan dengan Merapi-Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Kesultanan Solo dan Yogyakarta. Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.


Nama dan wujud
Keraton Surakarta menyebutnya sebagai Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari. Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud beberapa kali dalam sehari. Sultan Hamengkubuwono IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain. Babad Dipanegara menceritakan kedatangan Ratu Kidul selalui didahului pancaran sebesar sinar (daru)

Asal Usul
Legenda mengenai penguasa mistik laut selatan ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan dimulai. Namun, legenda ini mencapai puncak tertinggi karena pengaruh kalangan penguasa keraton dinasti Mataram Islam (Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta). Dalam kepercayaan tersebut, Kanjeng Ratu Kidul merupakan "istri spiritual" bagi raja-raja kedua keraton tersebut. Pada saat tertentu, keraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusuma, Bantul, dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri. Panggung Sanggabuwana di komplek kraton Surakarta dipercaya merupakan tempat bercengkerama antara Sunan (raja) dengan Kanjeng Ratu. Konon, Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga purnama, terapi berangsur-angsur menua pada saat bulan menuju bulan mati.

Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Roro Kidul
Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.

Di kalangan masyarakat Sunda berkembang anggapan bahwa Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa, tokoh ini dianggap bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan kepercayaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran.

Menurut pengalaman seorang spiritualis pada tahun 1998, ia bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul di pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Saat itu, Eyang Ratu Kidul didampingi oleh Nyi Roro Kidul. Keduanya persis tetapi Eyang Ratu Kidul kulitnya kuning langsat, sementara Nyi Roro Kidul agak coklat. Selain itu, Eyang ratu Kidul mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat mengelilingi seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Roro Kidul berwarna putih susu seperti cahaya lampu neon, tipis putih mengikuti postur tubuhnya. Ia diberi penjelasan bahwa Nyi Roro Kidul adalah patih atau kepala pengawalnya. Nyi Roro Kidul adalah makhluk halus jenis jin yang mengabdi dan berguru kepada Eyang ratu. Nyi Roro Kidul ditugaskan untuk mengontrol dan meredam angkara murka dari makhluk-makhluk gaib jenis jin dan kekuatan gaib serta ilmu gaib yang berada disepanjang pantai selatan Pulau Jawa.

Ni Mas Ratu Anginangin
Dalam Serat Darmogandul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.
Ø Samuksane Sang Prabu Jayabaya lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locaya lan kiyai Tunggulwulung uga padha muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nusa Jawa, kuthane ana sagara kidul sarta jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ana ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jawa, kabeh padha sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.

Ø Yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggul Wulung juga sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin.

Serat Centhini juga menyebut nama Ratu Anginangin sebagai pemilik istana di laut selatan. Buaya putih penjelmaan Prabu Dewatacengkar, raja Medang Kamulan sebelum kedatangan Aji Saka, adalah musuhnya. Ia memberi gelar Jaka Linglung yang saat itu masih belum memiliki nama sebagai Linglung Tunggulwulung dan menjodohkannya dengan Nyai Blorong. Serat Centhini menulis kesediaan Ratu Anginangin menjadi tunangan Aji Saka atas perantaraan Jaka Linglung.

Ajar Cemara Tunggal
Sebuah cerita rakyat dari Jawa Barat menceritakan seorang penerawang pria bernama Ajar Cemara Tunggal dari Gunung Kombang di Kerajaan Pajajaran. Sebenarnya, ia adalah seorang wanita cantik, bibi buyut dari Raden Jaka Suruh. Ia mengubah dirinya menjadi dukun dan memberitahu Raden Jaka Suruh untuk menuju timur pulau Jawa dan mendirikan kerajaan di lokasi sebuah pohon maja yang hanya memiliki buah satu butir. Karena buah maja rasanya pahit, kerajaan yang didirikannya bernama Majapahit. Cemara Tunggal berjanji akan menikahi pendiri Majapahit dan setiap penerus dari garis keturunan yang sulung untuk membantu mereka dalam setiap permasalahan. Roh Cemara Tunggal dianggap menjadi "ratu-lelembut dari selatan" yang menguasai seluruh lelembut.

Legenda Kesultanan Mataram
Legenda Jawa dari abad ke-16 menyatakan Kanjeng Ratu Kidul sebagai pelindung dan pasangan spiritual para raja Kerajaan Mataram. Panembahan Senapati (1586-1601 M), pendiri Kesultanan Mataram, dan cucunya Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M) menyebut Kanjeng Ratu Kidul sebagai mempelai mereka. Hal tersebut tertuang dalam Babad Tanah Jawi.

Menurut legenda, pangeran Panembahan Senopati berkeinginan untuk mendirikan sebuah kerajaan yang baru, yaitu Kesultanan Mataram, untuk melawan kekuasaan Kesultanan Pajang. Ia melakukan tapa di pantai Parang Kusumo yang terletak di selatan kediamannya di Kota Gede. Meditasinya menyebabkan terjadinya fenomena supernatural yang mengganggu kerajaan di Laut Selatan. Sang Ratu datang ke pantai untuk melihat siapa yang menyebabkan gangguan di kerajaannya. Saat melihat pangeran yang tampan, ia jatuh cinta dan meminta Panembahan Senopati untuk menghentikan tapanya. Sebagai gantinya, sang Ratu penguasa alam spiritual di laut selatan setuju untuk membantunya dalam mendirikan kerajaan yang baru. Untuk menjadi pelindung spiritual kerajaan tersebut, sang Ratu dilamar oleh Panembahan Senopati untuk menjadi pasangan spiritualnya serta semua penggantinya nanti, yaitu para raja Mataram.

Babad Dipanegara
Babad Dipanegara mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dengan Pangeran Diponegoro sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1805 dan pertengahan Juli 1826. Pertemuan pertama terjadi di Gua Langse, Pantai Parangtritis di selatan Yogyakarta, pada saat Pangeran Diponegoro tengah bersamadi sehingga Ratu Kidul tidak berkeingnan untuk mengganggu. Pertemuan kedua berlangsung pada saat terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830). Pada pertemuan kedua, Ratu Kidul yang ditemani dua patihnya -yaitu Nyi Roro Kidul dan Raden Dewi- menawarkan bantuan dalam perang tetapi dengan syarat Pangeran Diponegoro bersedia memohon kepada Allah Ingkang Rabulngalimin agar Ratu Kidul diperkenankan kembali menjadi manusia. Namun, Pangeran Diponegoro menolak dengan halus dengan alasan bahwa pertolongan hanya datang dari Hyang Agung sehingga ia tidak akan bersekutu dengan makluk gaib. Hal ini sesuai dengan tujuan utamanya untuk berperang, yaitu untuk memajukan agama Islam di seluruh Jawa.

Ritual dan kepercayaan
Tari Bedaya Ketawang
Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi. Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. Dari kepercayaan ini diciptakan Tari Bedaya Ketawang dari kraton Kasunanan Surakarta (pada masa Sunan Pakubuwana I), yang digelar setiap tahun, yang dipercaya sebagai persembahan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sunan duduk di samping kursi kosong yang disediakan bagi Sang Ratu Kidul.

Pelabuhan Ratu dan kota-kota pesisir lainnya
Pelabuhan Ratu adalah sebuah kota nelayan di Jawa Barat. Masyarakat setempat menyelenggarakan hari suci khusus untuk Kanjeng Ratu Kidul setiap tanggal 6 April. Hari tersebut merupakan hari peringatan bagi penduduk lokal dan mereka memberikan banyak persembahan untuk menyenangkan sang Ratu. Para nelayan lokal juga menyelenggarakan ritual sedekah laut setiap tahunnya, memberikan persembahan seperti nasi, sayuran, dan berbagai produk pertanian, hingga ayam, tenunan batik, dan kosmetik. Persembahan tersebut dilarungkan ke laut sebagai persembahan untuk Ratu. Para nelayan lokal percaya persembahan mereka akan menyenangkan Ratu Laut Selatan sehingga ia akan memberkahi mereka dengan hasil tangkapan yang berlimpah serta memberikan cuaca yang bagus, tidak terlalu banyak badai serta ombak.

Di sekitar lokasi Pantai Palabuhanratu, tepatnya di Karang Hawu, terdapat petilasan (persinggahan) Ratu Pantai Selatan yang dapat dikunjungi untuk melakukan ritual tertentu ataupun hanya sekadar melihat-lihat. Di komplek keramat ini terdapat sekurangnya dua ruangan besar yang didalamnya terdapat beberapa makam yang dipercaya penduduk sebagai makam Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta, dan Eyang Syeh Husni Ali. Di beberapa ruangan juga terpampang gambar penguasa Laut Selatan. Kanjeng Ratu Kidul juga diasosiasikan dengan Parangtritis, Parangkusumo, Pangandaran, Karang Bolong, Ngliyep, Puger, Banyuwangi, dan berbagai tempat di sepanjang pantai selatan Jawa seperti Tulungagung.

Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda Kanjeng Ratu Kidul. Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada sri sultan.

Sedekah laut
Masyarakat nelayan pantai selatan Jawa setiap tahun melakukan sedekah laut sebagai persembahan kepada sang Ratu agar menjaga keselamatan para nelayan dan membantu perbaikan penghasilan. Upacara ini dilakukan nelayan di pantai Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng, Pangandaran, Cilacap, Sakawayana dan sebagainya. Sebagian besar para wisatawan yang berkunjung baik itu lokal maupun manca negara datang ke Pelabuhan Ratu karena keindahan panoramanya sekaligus tradisi ritual ini. Disaat-saat tertentu banyak acara ritual yang sering digelar penduduk setempat sebagai rasa terima kasih mereka terhadap sang penguasa laut selatan.

Ruang khusus di hotel
Pemilik hotel yang berada di pantai selatan Jawa dan Bali menyediakan ruang khusus bagi Sang Ratu. Yang terkenal adalah Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul. Hal yang sama juga dilakukan di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33.

Sang Kanjeng Ratu
Hotel Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, menyediakan kamar 308 yang dicat berwarna hijau untuk Kanjeng Ratu Kidul. Setidaknya pada awal tahun 1966, presiden pertama Indonesia, Sukarno, terlibat dalam penentuan lokasi serta ide Hotel Samudra Beach Hotel. Di depan kamar 308 terdapat pohon Ketapang tempat Sukarno memperoleh inspirasi spiritualnya. Di dalam kamar tersebut juga dipasang lukisan terkenal "Nyai Rara Kidul" oleh Basuki Abdullah.

Kepercayaan Kejawen
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati. Masyarakat Jawa mengenal istilah "telu-teluning atunggal" ("tiga sosok yang menjadi satu kekuatan"), yaitu Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan Senopati merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam yang bertemu dengan Ratu Kidul ketika bertiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga untuk memperoleh wangsit. Saat itu, ia bermaksud membangun sebuah keraton pada sebuah tempat yang sebelumnya sebuah hutan bernama "alas mentaok" (kini Kotagede di Daerah Istimewa Yogyakarta). Saat ia bertapa, semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram, bahkan dipercaya menjadi "istri spiritual" bagi Raja-raja trah Mataram Islam.

Agama Konghucu
Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di bilangan Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta.[15] Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Roro Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Roro Kidul hanya menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Tara (Bodhisatwa).

Nyi Roro Kidul
Nyi Roro Kidul (juga Nyai Roro Kidul atau Nyai Loro Kidul) adalah sesosok roh atau dewi legendaris Indonesia yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa dan Bali. Tokoh ini dikenal sebagai Ratu Laut Selatan (Samudra Hindia) dan secara umum disamakan dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun beberapa kalangan sebenarnya keduanya berbeda. Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu yang mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul mulanya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Dalam perkembangannya, masyarakat cenderung menyamakan Nyi Rara Kidul dengan Kanjeng Ratu Kidul, meskipun dalam kepercayaan Kejawen, Nyi Rara Kidul adalah bawahan setia Kanjeng Ratu Kidul. Kedudukan Nyai Loro Kidul sebagai Ratu-Lelembut tanah Jawa menjadi motif populer dalam cerita rakyat dan mitologi, selain juga dihubungkan dengan kecantikan putri-putri Sunda dan Jawa.

Nama
Nyai Roro Kidul juga dikenal dengan berbagai nama yang mencerminkan berbagai kisah berbeda dari asal-usulnya, legenda, mitologi, dan kisah turun-temurun. Ia lazim dipanggil dengan nama Ratu Laut Selatan dan Gusti Kanjeng Ratu Kidul. Menurut adat-istiadat Jawa, penggunaan gelar seperti Nyai, Kanjeng, dan Gusti untuk menyebutnya sangat penting demi kesopanan. Orang-orang juga menyebutnya sebagai eyang (nenek). Dalam wujud sejenis putri duyung, ia disebut sebagai Nyai Blorong. Terkadang orang juga menyebut namanya sebagai Nyai Loro Kidul. Bahasa Jawa loro merupakan sebuah homograf untuk "dua - 2" dan "sakit, menderita". Sementara bahasa Jawa rara (atau roro) memiliki arti "gadis". Seorang ortografer Belanda memperkirakan terjadinya perubahan dari bahasa Jawa kuno roro menjadi bahasa Jawa baru loro, sehingga terjadi perubahan arti dari "gadis cantik" menjadi "orang sakit".

Asal Usul
Masyarakat Sunda mengenal legenda mengenai penguasa spiritual kawasan Laut Selatan Jawa Barat yang berwujud perempuan cantik yang disebut Nyi Rara Kidul. Legenda yang berasal dari Kerajaan Sunda Pajajaran berumur lebih tua daripada legenda Kerajaan Mataram Islam dari abad ke-16. Meskipun demikian, penelitian atropologi dan kultur masyarakat Jawa dan Sunda mengarahkan bahwa legenda Ratu Laut Selatan Jawa kemungkinan berasal dari kepercayaan animistik prasejarah yang jauh lebih tua lagi, dewi pra-Hindu-Buddha dari samudra selatan. Ombak samudra Hindia yang ganas di pantai selatan Jawa, badai serta terkadang tsunaminya, kemungkinan telah membangkitkan rasa hormat serta takut terhadap kekuatan alam, yang kemudian dianggap sebagai alam spiritual para dewata serta lelembut yang menghuni lautan selatan yang dipimpin oleh ratu mereka, sesosok dewi, yang kemudian diidentifikasikan sebagai Ratu Kidul.

Dewi Kandita
Salah satu cerita rakyat Sunda menceritakan Dewi Kandita atau Kadita, putri cantik dari kerajaan Sunda Pajajaran di Jawa Barat, yang melarikan diri ke lautan selatan setelah diguna-gunai. Guna-guna tersebut dikeluarkan oleh seorang dukun atas perintah saingannya di istana, dan membuat putri tersebut menderita penyakit kulit yang menjijikkan. Ia melompat ke lautan yang berombak ganas dan menjadi sembuh serta kembali cantik. Para lelembut kemudian mengangkatnya menjadi Ratu-Lelembut Lautan Selatan yang legendaris.
Versi yang serupa adalah Dewi Kandita, putri tunggal Raja Munding Wangi dari Kerajaan Pajajaran. Karena kecantikannya, ia dijuluki Dewi Srêngéngé (lit. "Dewi Matahari"). Meskipun mempunyai seorang putri yang cantik, Raja Munding Wangi bersedih karena ia tidak memiliki putra yang dapat menggantikannya sebagai raja. Raja kemudian menikah dengan Dewi Mutiara dan mendapatkan putra dari pernikahan tersebut. Dewi Mutiara ingin putranya dapat menjadi raja tanpa ada rintangan di kemudian hari, sehingga ia berusaha menyingkirkan Dewi Kandita. Dewi Mutiara menghadap Raja dan memintanya untuk menyuruh Kadita pergi dari istana. Raja berkata bahwa ia tidak akan membiarkan siapapun yang ingin bertindak kasar pada putrinya. Mendengar jawaban itu, Dewi Mutiara tersenyum dan berkata manis sampai Raja tidak marah lagi kepadanya.

Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk memanggil seorang tukang tenung. Dia menyuruh sang dukun untuk meneluh Kadita. Pada malam harinya, tubuh Kadita gatal-gatal dipenuhi kudis, berbau busuk dan penuh bisul. Ia menangis tak tahu harus berbuat apa. Raja mengundang banyak tabib untuk menyembuhkan Kandita serta sadar bahwa penyakit tersebut tidak wajar, pasti berasal dari guna-guna. Ratu Dewi Mutiara memaksa raja mengusir puterinya karena dianggap akan mendatangkan kesialan bagi seluruh negeri. Karena Raja tidak menginginkan puterinya menjadi gunjingan di seluruh negeri, ia terpaksa menyetujui usul Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya keluar dari negeri mereka.

Kandita pergi berkelana sendirian tanpa tujuan dan hampir tidak dapat menangis lagi. Ia tidak dendam kepada ibu tirinya, melainkan meminta agar Sanghyang Kersa mendampinginya dalam menanggung penderitaan. Hampir tujuh hari dan tujuh malam, akhirnya ia tiba di Samudera Selatan. Air samudra itu bersih dan jernih, tidak seperti samudera lain yang berwarna biru atau hijau. Tiba-tiba ia mendengar suara gaib yang menyuruhnya terjun ke dalam Laut Selatan. Ia melompat dan berenang, air Samudera Selatan melenyapkan bisulnya tanpa meninggalkan bekas, malah ia semakin cantik. Ia memiliki kuasa atas Samudera Selatan dan menjadi seorang dewi yang disebut Nyi Roro Kidul yang hidup abadi. Kawasan Pantai Palabuhanratu secara khusus dikaitkan dengan legenda ini.

Putri Banyu Bening Gelang Kencana
Dalam salah satu cerita rakyat Sunda, Banyu Bening (lit. "Air Jernih") menjadi ratu dari kerajaan Joyo Kulon. Ia menderita lepra kemudian berkelana menuju selatan. Ia ditelan ombak yang besar dan menghilang ke dalam samudra.

Legenda dan kepercayaan
Patih tentara laut selatan
Nyi Roro Kidul dipercaya menjabat sebagai patih Kanjeng Ratu Kidul yang memimpin bala tentara makluk halus di laut selatan. Kiai Iman Sampurno dari Blitar, Jawa Timur (abad ke-19) mengeluarkan ramalan bahwa Nyi Roro Kidul dan Sunan Lawu akan memimpin bala tentara masing-masing akan menyebarkan wabah kepada para manusia berkelakuan buruk.

Nyi Roro Kidul dan Nyi Blorong
Nyai Loro Kidul terkadang digambarkan berwujud putri duyung dengan tubuh bagian bawah berwujud seekor ular atau ikan ,terkadang pula digambarkan sebagai wanita yang amat cantik. Ia dipercaya mengambil jiwa siapapun yang ia inginkan. Terkadang ia disebut memiliki wujud ular. Kepercayaan ini mungkin berasal dari legenda tentang putri Pajajaran yang menderita penyakit lepra.
Penyakit kulit yang dialami putri tersebut kemungkinan dianggap sama seperti ular yang berganti kulit.

Nyi Roro Kidul dan Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga memiliki hubungan mendalam dengan Nyai Loro Kidul karena aspek yang sama, yaitu air (dalam bahasa Jawa, kali memiliki arti "sungai"). Panembahan Senopati (1584–1601), pendiri ekspansi imperial Mataram, mencari dukungan dewi dari Samudra Selatan (Kanjeng Ratu Kidul dan Nyai Loro Kidul) di Pemancinang, selatan Jawa, untuk menjadi pelindung khusus keluarga bangsawan Mataram. Ketergantungan Senopati pada Sunan Kalijaga dan Nyai Loro Kidul menurut catatan sejarah mencerminkan ambivalen Dinasti Mataram terhadap Islam dan kepercayaan asli Jawa.


Larangan berpakaian hijau
Terdapat kepercayan lokal bahwa jika mengenakan pakaian berwarna hijau akan membuatnya sehingga membuat pemakainya tertimpa kesialan, karena hijau adalah warna kesukaannya. Warna hijau laut (gadhung m'lathi dalam bahasa Jawa) adalah warna kesukaan Nyi Roro Kidul dan tidak boleh ada yang memakai warna tersebut di sepanjang pantai selatan Jawa. Peringatan selalu diberikan kepada orang yang berkunjung ke pantai selatan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau. Mitosnya mereka dapat menjadi sasaran Nyai Rara Kidul untuk dijadikan tentara atau pelayannya (budak). Secara logika, alasan tersebut muncul karena air laut pada daerah pantai selatan warnanya cenderung kehijauan sehingga korban tenggelam yang mengenakan pakaian hijau akan sulit ditemukan. Serat Centhini menyebut bahwa Gusti Kanjeng Nyai Rara Kidul memiliki kampuh gadhung mlathi atau "kain dodot panjang berwarna hijau dan tengahnya putih" yang berperada emas.

Sarang burung walet
Nyai Loro Kidul adalah dewi pelindung pengumpul sarang burung di selatan Jawa. Para pengumpul menuruni tebing menggunakan tali serabut kelapa hingga sekitar ketinggian sembilan meter (30 kaki) di atas permukaan laut. Disana, mereka menunggu arus ombak di atas teras bambu, kemudian terjun dan terbawa arus masuk ke gua. Dalam kegelapan total, mereka mengambil sarang burung dan memasukkan dalam tas mereka. Perjalanan pulang juga sangat berbahaya dan membutuhkan waktu yang tepat, agar tidak terbawa ombak yang ganas.

Sarang burung Jawa merupakan salah satu sarang burung terbaik di dunia. Sup sarang burung yang dipasarkan di China, Thailand, Malaysia, dan Singapura didedikasikan kepada Nyai Loro Kidul, demikian menurut tulisan Sultan Agung. Terdapat tiga jenis panen, yaitu Unduan-Kesongo (April), Unduan-Telor (Agustus, terbanyak), dan Unduan-Kepat (Desember). Rongkob dan Karang Bolong yang terdapat di pantai selatan Jawa Tengah terkenal sebagai tempat mengumpulkan sarang burung walet (disebut Salanganen atau Collocalia fuciphaga). Proses panen terkenal karena juga dilakukan pertunjukan wayang serta tarian ritual yang diiringi musik gamelan. Setelah panen selesai, masyarakat memberikan persembahan yang disebut "Ranjang Nyai Loro Kidul". Persembahan tersebut digantung bersama dengan kain batik dan cermin yang diletakkan di atas bantal berwarna hijau.

Ratu Laut Utara
Ratu Laut Utara adalah sosok legenda penguasa laut utara pulau Jawa, khususnya di utara Pekalongan, Jawa Tengah. Dalam kepercayaan masyarakat Pekalongan, nama Ratu Laut Utara yang sebenarnya adalah Dewi Lanjar. Lanjar adalah sebutan bagi wanita yang bercerai dengan suaminya dalam usia yang masih muda dan belum mempunyai anak.

Legenda
Masyarakat Pekalongan pada khususnya masih memiliki kepercayaan kental terhadap sosok Dewi Lanjar. Misalnya jika ada anak hilang saat bermain di pantai, masyarakat percaya bahwa anak tersebut dibawa oleh Dewi Lanjar. Konon letak keraton Dewi Lanjar terletak di pantai Pekalongan sebelah sungai Slamaran.

Dewi Lanjar
Pada zaman dahulu di Pekalonganhiduplah seorang putri cantik bernama Dewi Rara Kuning. Ia telah menjadi janda di usia yang sangat muda karena suaminya meninggal beberapa waktu setelah pernikahan mereka. Itulah sebabnya Dewi Rara Kuning kemudian terkenal dengan sebutan Dewi Lanjar. Karena hal tersebut, Dewi Lanjar memutuskan untuk meninggalkan kampung halamannya agar tidak terus-menerus dirudung duka. Setibanya di sungai Opak, ia bertemu Raja Mataram Panembahan Senopati bersama Mahapatih Singaranu yang sedang bertapa mengapung di atas air sungai. Dewi Lanjar mengutarakan isi hatinya dan berkata tidak akan menikah lagi. Panembahan Senopati dan Mahapatih Singoranu merasa kasihan kemudian menasehatinya agar bertapa di Pantai Selatan menghadap Ratu Kidul. Selanjutnya mereka berpisah, Panembahan Senopati beserta patihnya melanjutkan bertapa menyusuri sungai Opak sedangkan Dewi Lanjar menuju Pantai Selatan. Ia bertapa dengan tekun kemudian moksa dan bertemu dengan Ratu Kidul.

Dalam pertemuan itu, Dewi Lanjar memohon menjadi anak buah Kanjeng Ratu Kidul, Ratu Kidul tidak keberatan. Suatu hari, Dewi Lanjar bersama pasukan jin diperintahkan untuk mengganggu dan mencegah Raden Bahu yang sedang membuka hutan Gambiren (kini berada di sekitar jembatan anim Pekalongan dan desa Sorogenen). Namun, Raden Bahu tidak terpengaruh semua godaan Dewi Lanjar dan pasukan jinnya. Karena tidak berhasil menunaikan tugas, Dewi Lanjar memutuskan untuk tidak kembali ke Pantai Selatan, tetapi memohon izin kepada Raden Bahu untuk dapat bertempat tinggal di Pekalongan. Hal tersebut disetujui baik oleh Raden Bahu maupun oleh Ratu Kidul. Dewi Lanjar diperkenankan tinggal dipantai utara Jawa Tengah terutama di Pekalongan.

Sumber : Google Wikipedia
 

1 komentar:

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...