Senin, 03 September 2018

KISAH JAYABHAYA


KISAH JAYABHAYA


Orientasi

Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135), prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157). Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang, terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala. Dari prasasti tersebut dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala dan mempersatukannya kembali dengan Kediri. Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157. Jayabhaya dalam Tradisi Jawa Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya.


Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa. Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati. Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.

Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya. Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.

Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.

Jayabaya adalah sejarah atau legenda cerita rakyat ? Nama Jayabaya sangat populer bukan hanya dikalangan orang tradisional Jawa, tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, itu semua dikarenakan adanya ramalan kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan Indonesia 1945 – terbukti kebenaranya. Indonesia merdeka didahului dengan masuknya tentara Jepang selama 3,5 tahun dengan mengusir kolonialis Belanda yang telah bercokol lebih dari 3.5 abad dinegeri ini. Dengan tepat pula meramalkan siapa Ratu, maksudnya Pemimpin , Presiden pertama R.I dan bagaimana perjalanan perjuangannya. Isi ramalan Jayabaya adalah :
Ø Ramalan tentang perjalanan negara di Nusantara/Indonesia.
Ø Sikap ratu/pemimpin yang baik yang seharusnya dilakukan dan sikap jelek yang pantang dilakukan.
Ø Contoh perilaku ratu/pemimpin yang bisa jadi panutan.
Ø Sikap pamong/priyayi/birokrat dan tingkah laku manusia dimasyarakat pada saat tertentu.
Ø Gejolak alam, yaitu berbagai bencana alam termasuk wabah dan penyakit, perubahan iklim dan geologis/geografis. termasuk jebolnya Lapindo ( tambak segaran kedua )
Ø Watak dan tindakan manusia yang mempengaruhi kehidupan secara umum, keadaan negara dan perilaku alam. Esensi pralambang Jayabaya mengandung nasehat yang bijak, bagaimana manusia bisa hidup selamat sejahtera dengan berkah Tuhan.

Tentu harus punya kesadaran yang tinggi, selalu berbuat baik terhadap sesama manusia, mahluk, bumi, alam dan menyadari kodratnya sebagai titah dari Sang Pencipta. Dengan berbudi luhur, manusia akan mengalami kehidupan di jaman Kalasuba, yang serba baik,enak, makmur, tetapi kalau masih saja melanggar norma-norma baku kehidupan seperti moralitas, tata susila , maka masyarakat dan negeri ini akan berada pada jaman Kalabendu, yang serba nista, terpuruk, tidak karuan. Watak mulia Jayabaya Semua pihak berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak, kuat tirakatnya dalam mengemban tugas negara.

Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik, Sang Prabu disertai oleh Permaisuri, Ratu Pagedhongan ( sering di sebut-sebut dalam bacaan mantra-mantra Jendra), disertai pula oleh beberapa menteri dan punggawanya yang terkait, melakukan perenungan/ngelelimbang di Padepokan Mamenang, memohon petunjuk Gusti, Tuhan. Perenungan/ngelelimbang bisa berlangsung beberapa hari, minggu, bisa juga sebulan bahkan tahun, ini di lakukan demi mendapatkan jawaban/petunjuk dari Dewata Agung, mengenai langkah yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara. Selama masa perenungan/ngelelimbang di Mamenang, Raja dan Ratu hanya menyantap sedikit kencur, kunyit dan temulawak (tiga buah sebesar jari telunjuk) dan minum secangkir air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau 3 kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkok bubur jagung dan secangkir air putih setiap waktu makan.

Dan setelah mendapatkan jawaban/solusi , Raja dan rombongan kembali ke istana di Kediri. Sabdo Pandito Ratu Di istana diadakan Pasewakan Agung , rapat kerajaan yang dipimpin raja, dikesempatan tersebut raja mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan yang mesti dijalankan dan ditaati seluruh pejabat dan kawula. Apa yang diputuskan dan telah diucapkan oleh raja didepan rapat itu, disebut Sabdo Pandito Ratu atau Sabdo Brahmono Rojo, harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh raja sendiri. Jadi, seorang raja/pemimpin itu harus memenuhi janjinya dan apa yang diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle , cedera janji. Ini adalah salah satu falsafah kepemimpinan Kejawen yang sudah dikenal sejak dari masa lampau. Rahayu...! Perselisihan dengan Jenggala.... Sejak tahun 1135 Masehi, yang menduduki tahta kerajaan Panjalu ialah Shri Aji Jayabaya, yang bergelar Shri Maharaja Shri Warmeshwara Madhusudanamataranindhitta Suhrtsingha Paramakrama Digjayatunggadewanama Jayabhayalancana. Pada waktu peng-hadapan di hari Kamis, Shri baginda duduk di atas singgasana bersama dengan prameswari Dyah Hayu Sarameshwari. Nampak telah menghadap Shri baginda .ialah putra, mahkota sang Maha Mantri Sarweswara yang duduk berdampingan dengan patih Dyah Suksara. Mereka bersama-sama membahas kesejahteraan rakyat.

Belum selesai Shri baginda bersabda, perbincangan pun terganggu oleh keributan di luar sitinggil, yang ternyata adalah datangnya putri sulung Shri baginda, prameswari raja Janggala, yang bernama Dyah Pramesthi. Sang putri menghadap ayahanda baginda sambil menangis tersedu-sedu. Betapa terkejutnya Shri baginda menerima kedatangan putri sulungnya, pulang ke Kadhiri tanpa pengawal dalam keadaan yang lemah lunglai lusuh membiaskan kesusahan yang sangat mendalam, sebab diusir oleh suaminya dituduh sebagai mata-mata dari Panjalu. Serasa ditendang dada Shri Jayabaya mendengar laporan sang putri sulung. Sehingga keluarlah perintahnya yang sangat mahal, untuk mempersiapkan perang melawan Janggala Alkisah peijalanan prajurit Panjalu yang meninggalkan gerbang kota, menum­buhkan rasa bangga bagi masyarakat pedesaan yang dilaluinya. Suara tambur dan bendera perang yang bersulam emas bergambarkan singa berbadan manusia, menggetarkan hati siapapun yang melihatnya.

Di praja Janggala, Shri Narpati Darmatungga telah mendengar bahwa mertuanya tidak menerimakan perlakuannya terhadap Dyah Pramesthi, maka segeralah Shri Darmatungga mempersiapkan pasukan untuk menghadapi ‘singa’ dari Panjalu. Pertempuran dahsyat pun tak terhin­darkan di bulak Hantang. Kedua pasukan telah bermandikan keringat dibakar matahari yang sedang bertengger di puncak langit. Debu ber­gelung-gelung menyelimuti medan pertem­puran, menempel lekat di tubuh para prajurit yang bersimbah darah.’Gelung rambutterurai awut-awutan, yang nampak bukan lagi manusia yang beradab melainkan jin setan janggitan yang gentayangan mencari mangsa. Shri Aji Jayabaya benar-benar seorang maha jurit yang pantas disebut sebagai titisan Wishnu. Meloncat menyerang barisan lawan, bagai harimau kelaparan menyergap, mang­sanya. Barisan Janggala hancur berantakan diteijang oleh sang ‘singa’ Jayabaya. Bangkai musuh pun berserakan bagai glagah yang diamukgajah.

Pada akhirnya, kedua narpati yang sedang bertikai itu pun telah berhadaphadapan, antara mertua dan menantu, masing-masing menempatkan diri sebagai senopati agung. Keduanya telah siap untuk berperang tanding. Ternyatalah Shri Aji Darmatungga bukan tandingan Shri Aji Jayabaya. Dalam pertarungan yang singkat tangan Shri Jayabaya sempat menyentuh dada Shri Darmatungga, menimbulkan suara gemeretak, dadanya pecah Shri Darmatungga gugur di medan laga. Pasukan Panjalu pun bersorak gegap gempita, menyaksikan junjungannya unggul dalam perang tanding. Janggala telah takluk dan sepenuhnya dikuasai oleh Panjalu. Shri Jayabaya dengan pasukannya segera pulang ke Panjalu, di gerbang kota mereka dijemput oleh para kawula yang mengelu elukan para pahlawannya.

Untuk memperingati kemenangan yang telah diperoleh, maka sejak saat itu kota Dahana pura juga disebut Pamenang. Dalam kesempatan itu pula Shri Jayabaya berkenan memanggil Mpu Sedah, untuk diperintahkan menulis sejarah perang saudara antara raja Janggala dengan Panjalu dalam bentuk gubahan kesusasteraan yang berjudul Baratayuda. Memenuhi titah baginda, segeralah Mpu Sedah pamit pulang ke Wukir Padang, memusatkan fikiran untuk mulai menggubah kesusasteraan Baratayuda. Setelah beberapa lama kemudian, dalam rangka baginda berkeliling ke desa-desa, maka singgahlah Shri baginda ke padepokan Wukir Padang, untuk menjenguk hasil kerja Mpu Sedah. Dalam kesempatan itu Mpu Sedah dengan jelas menyampaikan cerita Baratayuda yang sebagian telah diselesaikannya.

Pada bagian awalnya, nampak Shri baginda sangat ‘ berkenan di hati. Namun demikian, setelah sampai pada kisah Prabu Salya dengan dewi Pujawati, serta merta Shri baginda murka. Mpu Sedah dituduh telah mencemooh dan menyinggung perkawinan Shri Jayabaya dengan prameswari Retnayu Sarameshwari, putri maha pendeta Mpungku ‘ Naiyayikadarsana. keris pusaka, bagai didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata bagai kilat keris itu pun menyambar menghujam dada Mpu Sedah tembus belikat. Mpu Sedah menjerit roboh seketika. Geger di Wukir Padang, para cantrik berlarian menyingkir takut pada Shri baginda yang sedang murka. Mayat Mpu Sedah segera disempurnakan melalui upacara sesuai dengan tuntunan agama. Shri baginda pun pulang ke Pamenang. Sesampainya di istana, segera Shri Baginda memanggil Mpu Panuluh untuk menyelesaikan cerita Baratayuda yang belum selesai. Mpu Panuluh menyatakan kesediaannya. Nampaklah bahwa Shri baginda sangatlah menyesal telah membunuh Mpu Sedah, oleh sebab itu untuk memulihkan rasa prihatin, Shri baginda berkenan mengangkat menantu cucu Mpu Sedah anak Ajar Subrata yang bernama Endang Sulastri untuk dinikahkan dengan putra baginda satria di Pakanjunan yang bernama Jaya Hamisena. Tak terlukiskan megahnya upacara pernikahan antara Endang Sulastri dengan Jaya Hamisena.

Konon, Mpu Panuluh telah berhasil menyelesaikan tulisan Baratayuda dan menghaturkannya kepada Shri baginda. Puas hati Shri baginda menerima sastra Baratayuda, hal tersebut tercatat dalam sandi sastra yang berbunyi SANGA KUDA SUDDA CANDRAMA (1079 Saka = 1157 Masehi)Selamat sejahtera Shri Jayabaya bertahta sampai dengan tahun 1157 Masehi. Cerita ini terangkum dalam untaian tembang, MIJIL, SINOM, MASKUMAMBANG dan PANGKUR. Cerita Mokswanya Prabu Jayabaya Beserta Para Punggawanya Sebelumnya mohon maaf, jika penjabaran lewat tulisan ini sama sekali berbeda dengan versi sejarah resmi. Karena apa yang akan kami bahas ini adalah versi legenda dan mitos termasuk supranatural yang berkembang di sekitar masyarakat dimana dulu kerajaan ini berdiri. Menurut sejarah, tepatnya legenda, kerajaan Kediri yang kala itu diperintah oleh Prabu Jayabaya sama-sama “mokswa” beserta raja dan punggawanya. Konon, keduanya berpindah ke alam gaib.

Menurut kepercayaan kabuyutan, Wisnu ngejawantah atau turun ke Arcapada di bumi Jawa. Tanah yang dipilih oleh sang Wisnu adalah Kediri, dan kemudian dia bergelar Sri Jayabaya. Wisnu sendiri berarti hidup, urip nurcahyo, suksma. Sedang arti nejawantah adalah ngeja = muncul, kelihatan dan wantah = nyata. Dan bernama Jayabaya berarti = kesaktian, kemenangan, benih hidup yang berwujud menjadi baya = bayi. Di Kediri dia berwujud badan raga, atau manusia hidup yang dilengkapi suksma dan raga. Oleh karena itu, banyak yang percaya kalau Kediri itu tempat yang paling tua di tanah jawa, tempat hidup manusia pertama di tanah Jawa yang sudah lengkap dengan suksma dan raganya. Kelahiran Wisnu di tanah Kediri sendiri persisnya berlangsung di sebuah desa kecil yang dibuka ditengah rimba belantara di pinggir sungai Kediri, Jawa Timur. Karena tanahnya yang subur, maka banyak warga yang ikut bergabung dan menjadi ramailah tempat itu. Yang babad alas adalah kakak beradik yang sakti dan bijaksana bernama Kyai Doho dan Kyai Doko. Ngejawantahnya Wisnu yang kemudian berganti nama menjadi Jayabaya di Kediri, kelak akan membuat tempat ini menjadi pesat sekali perkembangannya. Karena itu, akhirnya dibentuk sebuah negeri yang diberi nama kerajaan Doho. Sedangkan desanya, atau mungkin ibukotanya jika di jaman sekarang, diberi nama Daka.

Istananya sendiri di beri nama Mamenang. Di bawah pemerintahan prabu Jayabaya, banyak kerajaan kecil yang ikut melebur jadi satu. Dengan begitu, kerajaan Doho makin bertambah besar dan berjaya. Kyai Doho sendiri selaku pembabat hutan diberi kepercayaan oleh raja dengan kedudukan sangat tinggi dengan nama kebesaran Ki Butolocoyo, yang berarti orang bodoh yang bisa dipercaya. Hal ini sebagai bentuk penghargaan raja atas jasanya yang telah membuka wilayah tersebut. Sementara itu, Kyai Doko, adiknya, diberi pangkat senopati perang dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung. Raja dan ratu Mamenang ini punya pesanggrahan bernama pesanggrahan Wanasatur. Di pesanggrahan ini, pasangan pemimpin ini sangat besar sekali tirakatnya. Meski tinggal puluhan hari, keduanya hanya makan rimpang kunir dan temulawak saja. Didekat pesanggrahan yang dulunya digunakan untuk menanam kedua tanaman obat ini sampai sekarang masih bernama desa SiKunir dan Silawak.

Makanya tak mengherankan bila prabu Jayabaya waskita batin. Mengerti sak durunge winarang (tahu sebelum kejadian). Jauh hari sudah diprediksikan kalau sepeninggal dirinya negeri Doho ini akan pindah ke Medang Kamulan, yaitu Prambanan, dan kembali ke Jenggala (daerah Kediri), selanjutnya ke Sigaluh (Jawa Barat), Majapahit (Jatim), ke Jawa Tengah lagi (Demak, Pajang, Mataram), lalu ke jaman baru (kemerdekaan). Setiap raja memutuskan pindah pusat pemerintahan selalu diikuti kawulanya. Dan daerah yang ditinggalkannya menjadi hutan kembali. Karena satu peristiwa sang Prabu Jayabaya akhirnya mokswa, dan tak diketahui jejaknya. Bahkan sepeninggal dirinya, negeri Doho dilanda banjir bandang, dan keraton Mamenang rusak parah diterjang ganasnya lahar gunung kelud, hingga akhirnya negeri Doho kembali menjadi hutan belantara. Ki Butolocoyo yang ikut mokswa akhirnya diminta oleh prabu Jayabaya untuk menjadi raja makhluk halus di Goa Selebale, yang terletak di selatan Bengawan Solo. Kyai Tunggul Wulung ditunjuk untuk menjadi penguasa gunu kelud. Abdi kinasihnya, Ki Kramataruna, tinggal di sebuah sindang atau telaga kecil di desa Kalasan, yang terletak di sebelah barat keraton Mamenang.

Ramalan Tanah Jawa Dari Raja Kediri ( Jayabaya ) Asal muasal ramalan ini adalah saat prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu ditempatkan di pegunungan Kendeng, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dengan mengambil orang dari India, Kandi, Siam.

Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Hajar Subroto di G. Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan Pulau Jawa sejak ditanami yang kedua kalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 th matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu : I. Jaman permulaan disebut KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waku itu di jawa banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa turun kebumi menjadi manusia. II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak perobahan pada bumi,bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak makhluk yangsalah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis). III. Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang tetap memegang ilmunya.Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Silahkan dicermati dan perhatikan secara seksama. Apakah ramalan ini sudah terjadi atau belum.

Sumber Artikel : https://sclm17.blogspot.com/2016/03/jayabaya.html, Sejarah, Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs

Ramalan Jayabaya
Ramalan Jayabaya atau sering disebut Jangka Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga. Asal usul utama serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya yang membuat ramalan-ramalan tersebut. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.

Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, sama sekali tidak menyebut bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis dalam kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin Bharatayuddha, Kakawin Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa yang disebut peperangan Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna ingin menikah dengan Rukmini dari negeri Kundina, putri prabu Bismaka. Rukmini adalah titisan Dewi Sri.

Asal Usul
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya kitab Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).

Kitab "Jangka Jayabaya" pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang dia keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila dia dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayagenggong.

Disamping itu dia menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.

Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M).  Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh putranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.

Sumber : Google Wikipedia

Analisis
Jangka Jayabaya yang dikenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.  Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.

Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo") ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.

Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.

Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah dia turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan Agung wafat. Ini berarti raja-raja pengganti dia dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).

Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "Jangka Jayabaya" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.  Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari.

Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "Republik Indonesia". Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.

Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan tambahan riwayat buat negeri ini.

Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk puisi, yakni Kitab Musarar. Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.

Kitab Musasar Jayabaya
Asmarandana
Ø Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Ø Dia sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Ø Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
Ø Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum bernama, Sultan Maolana.
Ø Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa pantas dihormati.
Ø Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar.
Ø Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan sebaik-baiknya. Karena dia telah mengerti kehendak Dewata.
Ø Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita. Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Diapun ingat tinggal menitis 3 kali.
Ø Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
Ø Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Ø Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk. Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
Ø Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
Ø Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu..
Ø Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Ø Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
Ø Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
Ø Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam, kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon kajar dan kembang mojar satu bungkus.
Ø Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
Ø Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
Ø Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
Ø Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh. Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih muda.

Sinom
Ø Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
Ø Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada zaman lagi bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
Ø Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
Ø Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut. Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Ø Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama Kala-wisesa.
Ø Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka. Itu negara Pajajaran. Negara tersebut tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
Ø Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Ø Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata. Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
Ø Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman lagi. Di Gelagahwangi dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati Kalawisaya.
Ø Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang. Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Ø Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga. Beribukota Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun kemudian musnah.
Ø Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange. Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram. Kalasakti Prabu Anyakrakusuma.
Ø Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya, disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Ø Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar. Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
Ø Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu. Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Ø Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di pulau Jawa. zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
Ø Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa. Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti. Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian berganti.
Ø Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan.
Ø Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.
Ø Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
Ø Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Ø Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang tersebut.
Ø Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
Ø Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang tua.
Ø Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada tanda negara pecah.
Ø Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.
Ø Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
Ø Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Ø Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.

Isi Ramalan
Ø Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran ---> Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda.
Ø Tanah Jawa kalungan wesi ---> Pulau Jawa berkalung besi.
Ø Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang ---> Perahu berjalan di angkasa.
Ø Kali ilang kedhunge ---> Sungai kehilangan mata air.
Ø Pasar ilang kumandhang ---> Pasar kehilangan suara.
Ø Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak ---> Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Ø Bumi saya suwe saya mengkeret --- Bumi semakin lama semakin mengerut.
Ø Sekilan bumi dipajeki ---> Sejengkal tanah dikenai pajak.
Ø Jaran doyan mangan sambel ---> Kuda suka makan sambal.
Ø Wong wadon nganggo pakeyan lanang --->Orang perempuan berpakaian lelaki.
Ø Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking zaman ---> Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik.
Ø Akeh janji ora ditetepi ---> Banyak janji tidak ditepati.
Ø Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe ---> Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri.
Ø Manungsa padha seneng nyalah ---> Orang-orang saling lempar kesalahan.
Ø Ora ngendahake hukum Hyang Widhi ---> Tak peduli akan hukum Hyang Widhi.
Ø Barang jahat diangkat-angkat ---> Yang jahat dijunjung-junjung.
Ø Barang suci dibenci ---> Yang suci (justru) dibenci.
Ø Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwi t---> Banyak orang hanya mementingkan uang.
Ø Lali kamanungsan ---> Lupa jati kemanusiaan.
Ø Lali kabecikan ---> Lupa hikmah kebaikan.
Ø Lali sanak lali kadang ---> Lupa sanak lupa saudara.
Ø Akeh bapa lali anak ---> Banyak ayah lupa anak.
Ø Akeh anak wani nglawan ibu --->Banyak anak berani melawan ibu.
Ø Nantang bapa ---> Menantang ayah.
Ø Sedulur padha cidra ---> Saudara dan saudara saling khianat.
Ø Kulawarga padha curiga ---> Keluarga saling curiga.
Ø Kanca dadi mungsuh ---> Kawan menjadi lawan.
Ø Akeh manungsa lali asale ---> Banyak orang lupa asal usul.
Ø Ukuman Ratu ora adil ---> Hukuman Raja tidak adil.
Ø Akeh pangkat sing jahat lan ganji l---> Banyak pejabat jahat dan ganjil
Ø Akeh kelakuan sing ganjil ---> Banyak ulah-tabiat ganjil
Ø Wong apik-apik padha kapencil ---> Orang yang baik justru tersisih.
Ø Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin ---> Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
Ø Luwih utama ngapusi ---> Lebih mengutamakan menipu.
Ø Wegah nyambut gawe ---> Malas untuk bekerja.
Ø Kepingin urip mewah ---> Inginnya hidup mewah.
Ø Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka ---> Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
Ø Wong bener thenger-thenger ---> Orang (yang) benar termangu-mangu.
Ø Wong salah bungah ---> Orang (yang) salah gembira ria.
Ø Wong apik ditampik-tampik ---> Orang (yang) baik ditolak ditampik (diping-pong).
Ø Wong jahat munggah pangkat ---> Orang (yang) jahat naik pangkat.
Ø Wong agung kasinggung ---> Orang (yang) mulia dilecehkan
Ø Wong ala kapuja ---> Orang (yang) jahat dipuji-puji.
Ø Wong wadon ilang kawirangane ---> perempuan hilang malu.
Ø Wong lanang ilang kaprawirane ---> Laki-laki hilang jiwa kepemimpinan.
Ø Akeh wong lanang ora duwe bojo ---> Banyak laki-laki tak mau beristri.
Ø Akeh wong wadon ora setya marang bojone ---> Banyak perempuan ingkar pada suami.
Ø Akeh ibu padha ngedol anake ---> Banyak ibu menjual anak.
Ø Akeh wong wadon ngedol awake ---> Banyak perempuan menjual diri.
Ø Akeh wong ijol bebojo ---> Banyak orang gonta-ganti pasangan.
Ø Wong wadon nunggang jaran ---> Perempuan menunggang kuda.
Ø Wong lanang linggih plangki ---> Laki-laki naik tandu.
Ø Randha seuang loro ---> Dua janda harga seuang (Red.: seuang = 8,5 sen).
Ø Prawan seaga lima ---> Lima perawan lima picis.
Ø Dhudha pincang laku sembilan uang ---> Duda pincang laku sembilan uang.
Ø Akeh wong ngedol ngelmu ---> Banyak orang berdagang ilmu.
Ø Akeh wong ngaku-aku ---> Banyak orang mengaku diri.
Ø Njabane putih njerone dhadhu ---> Di luar putih di dalam jingga.
Ø Ngakune suci, nanging sucine palsu ---> Mengaku suci, tapi palsu belaka.
Ø Akeh bujuk akeh lojo---> Banyak tipu banyak muslihat.
Ø Akeh udan salah mangsa---> Banyak hujan salah musim.
Ø Akeh prawan tuwa---> Banyak perawan tua.
Ø Akeh randha nglairake anak---> Banyak janda melahirkan bayi.
Ø Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne---> Banyak anak lahir mencari bapaknya.
Ø Agama akeh sing nantang---> Agama banyak ditentang.
Ø Prikamanungsan saya ilang---> Perikemanusiaan semakin hilang.
Ø Omah suci dibenci---> Rumah suci dijauhi.
Ø Omah ala saya dipuja---> Rumah maksiat makin dipuja.
Ø Wong wadon lacur ing ngendi-endi---> Perempuan lacur dimana-mana.
Ø Akeh laknat---> Banyak kutukan.
Ø Akeh pengkianat---> Banyak pengkhianat.
Ø Anak mangan bapak---> Anak makan bapak.
Ø Sedulur mangan sedulur---> Saudara makan saudara.
Ø Kanca dadi mungsuh---> Kawan menjadi lawan.
Ø Guru disatru---> Guru dimusuhi.
Ø Tangga padha curiga--->Tetangga saling curiga.
Ø Kana-kene saya angkara murka ---> Angkara murka semakin menjadi-jadi.
Ø Sing weruh kebubuhan---> Barangsiapa tahu terkena beban.
Ø Sing ora weruh ketutuh---> Sedang yang tak tahu disalahkan.
Ø Besuk yen ana peperangan---> Kelak jika terjadi perang.
Ø Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---> Datang dari timur, barat, selatan, dan utara.
Ø Akeh wong becik saya sengsara---> Banyak orang baik makin sengsara.
Ø Wong jahat saya seneng---> Sedang yang jahat makin bahagia.
Ø Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul---> Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
Ø Wong salah dianggep bener---> Orang salah dipandang benar.
Ø Pengkhianat nikmat---> Pengkhianat nikmat.
Ø Durjana saya sempurna---> Durjana semakin sempurna.
Ø Wong jahat munggah pangkat---> Orang jahat naik pangkat.
Ø Wong lugu kebelenggu---> Orang yang lugu dibelenggu.
Ø Wong mulya dikunjara---> Orang yang mulia dipenjara.
Ø Sing curang garang---> Yang curang berkuasa.
Ø Sing jujur kojur---> Yang jujur sengsara.
Ø Pedagang akeh sing keplarang---> Pedagang banyak yang tenggelam.
Ø Wong main akeh sing ndadi---> Penjudi banyak merajalela.
Ø Akeh barang haram---> Banyak barang haram.
Ø Akeh anak haram---Banyak anak haram.
Ø Wong wadon nglamar wong lanang---> Perempuan melamar laki-laki.
Ø Wong lanang ngasorake drajate dhewe---> Laki-laki memperhina derajat sendiri.
Ø Akeh barang-barang mlebu luang---> Banyak barang terbuang-buang.
Ø Akeh wong kaliren lan wuda---> Banyak orang lapar dan telanjang.
Ø Wong tuku ngglenik sing dodol---> Pembeli membujuk penjual.
Ø Sing dodol akal okol---> Si penjual bermain siasat.
Ø Wong golek pangan kaya gabah diinteri---> Mencari rizki ibarat gabah ditampi.
Ø Sing kebat kliwat---> Yang tangkas lepas.
Ø Sing telah sambat---> Yang terlanjur menggerutu.
Ø Sing gedhe kesasar---> Yang besar tersasar.
Ø Sing cilik kepleset---> Yang kecil terpeleset.
Ø Sing anggak ketunggak---> Yang congkak terbentur.
Ø Sing wedi mati---> Yang takut mati.
Ø Sing nekat mbrekat---> Yang nekat mendapat berkat.
Ø Sing jerih ketindhih---> Yang hati kecil tertindih
Ø Sing ngawur makmur---> Yang ngawur makmur
Ø Sing ngati-ati ngrintih---> Yang berhati-hati merintih.
Ø Sing ngedan keduman---> Yang main gila menerima bagian.
Ø Sing waras nggagas---> Yang sehat pikiran berpikir.
Ø Wong tani ditaleni---> Orang (yang) bertani diikat.
Ø Wong dora ura-ura---> Orang (yang) bohong berdendang.
Ø Ratu ora netepi janji, musna panguwasane--> -Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
Ø Bupati dadi rakyat---> Pegawai tinggi menjadi rakyat.
Ø Wong cilik dadi priyayi---> Rakyat kecil jadi priyayi.
Ø Sing mendele dadi gedhe---> Yang curang jadi besar.
Ø Sing jujur kojur---> Yang jujur celaka.
Ø Akeh omah ing ndhuwur jaran---> Banyak rumah di punggung kuda.
Ø Wong mangan wong---> Orang makan sesamanya.
Ø Anak lali bapak---> Anak lupa bapa.
Ø Wong tuwa lali tuwane---> Orang tua lupa ketuaan mereka.
Ø Pedagang adol barang saya laris---> Jualan pedagang semakin laris.
Ø Bandhane saya ludhes---> Namun harta mereka makin habis.
Ø Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---> Banyak orang mati lapar di samping makanan.
Ø Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara---> Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
Ø Sing edan bisa dandan---> Yang gila bisa bersolek.
Ø Sing bengkong bisa nggalang gedhong---> Si bengkok membangun mahligai.
Ø Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil---> Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
Ø Ana peperangan ing njero---> Terjadi perang di dalam.
Ø Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham---> Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
Ø Durjana saya ngambra-ambra---> Kejahatan makin merajalela.
Ø Penjahat saya tambah---> Penjahat makin banyak.
Ø Wong apik saya sengsara---> Yang baik makin sengsara.
Ø Akeh wong mati jalaran saka peperangan---> Banyak orang mati karena perang.
Ø Kebingungan lan kobongan---> Karena bingung dan kebakaran.
Ø Wong bener saya thenger-thenger---> Si benar makin tertegun.
Ø Wong salah saya bungah-bungah---> Si salah makin sorak sorai.
Ø Akeh bandha musna ora karuan lungane---> Banyak harta hilang entah ke mana
Ø Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe---> Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
Ø Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram---> Banyak barang haram, banyak anak haram.
Ø Bejane sing lali, bejane sing eling---> Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
Ø Nanging sauntung-untunge sing lali---> Tapi betapapun beruntung si lupa.
Ø Isih untung sing waspada---> Masih lebih beruntung si waspada.
Ø Angkara murka saya ndadi---> Angkara murka semakin menjadi.
Ø Kana-kene saya bingung---> Di sana-sini makin bingung.
Ø Pedagang akeh alangane---> Pedagang banyak rintangan.
Ø Akeh buruh nantang juragan---> Banyak buruh melawan majikan.
Ø Juragan dadi umpan---> Majikan menjadi umpan.
Ø Sing suwarane seru oleh pengaruh---> Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh.
Ø Wong pinter diingar-ingar---> Si pandai direcoki.
Ø Wong ala diuja---> Si jahat dimanjakan.
Ø Wong ngerti mangan ati---> Orang yang mengerti makan hati.
Ø Bandha dadi memala---> Hartabenda menjadi penyakit
Ø Pangkat dadi pemikat---> Pangkat menjadi pemukau.
Ø Sing sawenang-wenang rumangsa menang ---> Yang sewenang-wenang merasa menang
Ø Sing ngalah rumangsa kabeh salah---> Yang mengalah merasa serba salah.
Ø Ana Bupati saka wong sing asor imane---> Ada raja berasal orang beriman rendah.
Ø Patihe kepala judhi---> Maha menterinya benggol judi.
Ø Wong sing atine suci dibenci---> Yang berhati suci dibenci.
Ø Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat---> Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
Ø Pemerasan saya ndadra---> Pemerasan merajalela.
Ø Maling lungguh wetenge mblenduk ---> Pencuri duduk berperut gendut.
Ø Pitik angrem saduwure pikulan---> Ayam mengeram di atas pikulan.
Ø Maling wani nantang sing duwe omah---> Pencuri menantang si empunya rumah.
Ø Begal pada ndhugal---> Penyamun semakin kurang ajar.
Ø Rampok padha keplok-keplok---> Perampok semua bersorak-sorai.
Ø Wong momong mitenah sing diemong---> Si pengasuh memfitnah yang diasuh
Ø Wong jaga nyolong sing dijaga---> Si penjaga mencuri yang dijaga.
Ø Wong njamin njaluk dijamin---> Si penjamin minta dijamin.
Ø Akeh wong mendem donga---> Banyak orang mabuk doa.
Ø Kana-kene rebutan unggul---> Di mana-mana berebut menang.
Ø Angkara murka ngombro-ombro---> Angkara murka menjadi-jadi.
Ø Agama ditantang---> Agama ditantang.
Ø Akeh wong angkara murka---> Banyak orang angkara murka.
Ø Nggedhekake duraka---> Membesar-besarkan durhaka.
Ø Ukum agama dilanggar---> Hukum agama dilanggar.
Ø Prikamanungsan di-iles-iles---> Perikemanusiaan diinjak-injak.
Ø Kasusilan ditinggal---> Tata susila diabaikan.
Ø Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi---> Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
Ø Wong cilik akeh sing kepencil---> Rakyat kecil banyak tersingkir.
Ø Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---> Karena menjadi kurban si jahat si laknat.
Ø Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit---> Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
Ø Lan duwe prajurit---> Dan punya prajurit.
Ø Negarane ambane saprawolon---> Lebar negeri seperdelapan dunia.
Ø Tukang mangan suap saya ndadra---> Pemakan suap semakin merajalela.
Ø Wong jahat ditampa---> Orang jahat diterima.
Ø Wong suci dibenci---> Orang suci dibenci.
Ø Timah dianggep perak---> Timah dianggap perak.
Ø Emas diarani tembaga---> Emas dibilang tembaga.
Ø Dandang dikandakake kuntul---> Gagak disebut bangau.
Ø Wong dosa sentosa---> Orang berdosa sentosa.
Ø Wong cilik disalahake---> Rakyat jelata dipersalahkan.
Ø Wong nganggur kesungkur---> Si penganggur tersungkur.
Ø Wong sregep krungkep---> Si tekun terjerembab.
Ø Wong nyengit kesengit---> Orang busuk hati dibenci.
Ø Buruh mangluh---> Buruh menangis.
Ø Wong sugih krasa wedi---> Orang kaya ketakutan.
Ø Wong wedi dadi priyayi---> Orang takut jadi priyayi.
Ø Senenge wong jahat---> Berbahagialah si jahat.
Ø Susahe wong cilik---> Bersusahlah rakyat kecil.
Ø Akeh wong dakwa dinakwa---> Banyak orang saling tuduh.
Ø Tindake manungsa saya kuciwa---> Ulah manusia semakin tercela.
Ø Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi---> Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
Ø Wong Jawa kari separo---> Orang Jawa tinggal setengah.
Ø Landa-Cina kari sejodho ---> Belanda - Cina tinggal sepasang.
Ø Akeh wong ijir, akeh wong cethil---> Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.
Ø Sing eman ora keduman---> Si hemat tidak mendapat bagian.
Ø Sing keduman ora eman---> Yang mendapat bagian tidak berhemat.
Ø Akeh wong mbambung---> Banyak orang berulah dungu.
Ø Akeh wong limbung---> Banyak orang limbung.
Ø Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka---> Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
Ø Polahe wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\
Ø Banjir bandang ana ngendi-endi\ gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni\ marga wedi kapiyak wadine sapa sira sing sayekti\
Ø Pancen wolak-waliking jaman\ amenangi jaman edan\ ora edan ora kumanan\ sing waras padha nggagas\ wong tani padha ditaleni\ wong dora padha ura-ura\ beja-bejane sing lali,\ isih beja kang eling lan waspadha\
Ø Ratu ora netepi janji\ musna kuwasa lan prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong padha mangan wong\ kayu gligan lan wesi hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti bolu\ yen wengi padha ora bisa turu\
Ø Sing edan padha bisa dandan\ sing ambangkang padha bisa\ nggalang omah gedong magrong-magrong\
Ø Wong dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes\ akeh wong mati kaliren gisining panganan\ akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara\
Ø Wong waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\ sing pinter duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat padha minggat tan karuan sebabe\
Ø Bumi sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\
Ø Akeh wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha seneng ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\ barang suci dibenci\
Ø Akeh wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali kadang\ akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\ keluarga padha curiga\ kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\
Ø Ukuman ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\
Ø Wanita nglamar pria\ isih bayi padha mbayi\ sing pria padha ngasorake drajate dhewe\

Bait 152 sampai dengan 156 hilang

Ø Wong golek pangan pindha gabah den interi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\
Ø Cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\ mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong injir, akeh centhil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\
Ø Selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun\ sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu\ bakal ana dewa ngejawantah\ apengawak manungsa\ apasurya padha bethara Kresna\ awatak Baladewa\ agegaman trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\ wong nyilih mbalekake,\ wong utang mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang wirang nyaur wirang\
Ø Sadurunge ana tetenger lintang kemukus lawa\ ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\ lawase pitung bengi,\ parak esuk bener ilange\ bethara surya njumedhul\ bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur\ iku tandane putra Bethara Indra wus katon\ tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa\
Ø Dunungane ana sikil redi Lawu sisih wetan\ wetane bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden Gatotkaca\ arupa pagupon dara tundha tiga\ kaya manungsa angleledha\
Ø Akeh wong dicakot lemut mati\ akeh wong dicakot semut sirna\ akeh swara aneh tanpa rupa\ bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis\ tan kasat mata, tan arupa\ sing madhegani putrane Bethara Indra\ agegaman trisula wedha\ momongane padha dadi nayaka perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna tanpa aji-aji.
Ø Apeparap pangeraning prang\ tan pokro anggoning nyandhang\ ning iya bisa nyembadani ruwet rentenging wong sakpirang-pirang\ sing padha nyembah reca ndhaplang,\ cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang\
Ø Putra kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya krisna, hiya herumukti\ mumpuni sakabehing laku\ nugel tanah Jawa kaping pindho\ ngerahake jin setan\ kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah saeko proyo\ kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda\ landhepe triniji suci\ bener, jejeg, jujur\ kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong\
Ø Pendhak Sura nguntapa kumara\ kang wus katon nembus dosane\ kadhepake ngarsaning sang kuasa\ isih timur kaceluk wong tuwa\ paringane Gatotkaca sayuta\
Ø Idune idu geni\ sabdane malati\ sing mbregendhul mesti mati\ ora tuwo, enom padha dene bayi\ wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada\ garis sabda ora gentalan dina,\ beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira\ tan karsa sinuyudan wong sak tanah Jawa\ nanging inung pilih-pilih sapa\
Ø Waskita pindha dewa\ bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir bareng sadina\ ora bisa diapusi marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\ ngerti sakdurunge winarah\ bisa pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning zaman Jawa\ ngerti garise siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
Ø Mula den upadinen sinatriya iku\ wus tan abapa, tan bibi, lola\ awus aputus weda Jawa\ mung angandelake trisula\ landheping trisula pucuk\ gegawe pati utawa utang nyawa\ sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir tolak colong njupuk winanda\
Ø Sirik den wenehi\ ati malati bisa kesiku\ senenge anggodha anjejaluk cara nistha\ ngertiyo yen iku coba\ aja kaino\ ana beja-bejane sing den pundhuti\ ateges jantrane kaemong sira sebrayat\
Ø Ing ngarsa Begawan\ dudu pandhita sinebut pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya dene manungsa\ dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh\ gawang-gawang terang ndrandhang\
Ø Aja gumun, aja ngungun\ hiya iku putrane Bethara Indra\ kang pambayun tur isih kuwasa nundhung setan\ tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh\ hiya siji iki kang bisa paring pituduh\ marang jarwane jangka kalaningsun\ tan kena den apusi\ marga bisa manjing jroning ati\ ana manungso kaiden ketemu\ uga ana jalma sing durung mangsane\ aja sirik aja gela\ iku dudu wektunira\ nganggo simbol ratu tanpa makutha\ mula sing menangi enggala den leluri\ aja kongsi zaman kendhata madhepa den marikelu\ beja-bejane anak putu\
Ø Iki dalan kanggo sing eling lan waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa\ cures ludhes saka braja jelma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\ larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\
Ø Nglurug tanpa bala\ yen menang tan ngasorake liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga adiling pangeran wus teka\ ratune nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para pandhita hiya padha muja\ hiya iku momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang nanging kondhang\ genaha kacetha kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula kurang\ hiya iku tandane kalabendu wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\ andayani indering jagad raya\ padha asung bhekti\

Sumber : Google Wikipedia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...