KISAH JAYABHAYA
Orientasi
Maharaja Jayabhaya adalah raja Kadiri yang memerintah
sekitar tahun 1135-1157. Nama gelar lengkapnya adalah Sri Maharaja Sang Mapanji
Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama
Uttunggadewa. Pemerintahan Jayabhaya Pemerintahan Jayabhaya dianggap sebagai
masa kejayaan Kediri. Peninggalan sejarahnya berupa prasasti Hantang (1135),
prasasti Talan (1136), dan prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha
(1157). Pada prasasti Hantang, atau biasa juga disebut prasasti Ngantang,
terdapat semboyan Panjalu Jayati, yang artinya Kediri menang. Prasasti ini
dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugerah untuk penduduk desa Ngantang
yang setia pada Kediri selama perang melawan Jenggala. Dari prasasti tersebut
dapat diketahui kalau Jayabhaya adalah raja yang berhasil mengalahkan Janggala
dan mempersatukannya kembali dengan Kediri. Kemenangan Jayabhaya atas Jenggala
disimbolkan sebagai kemenangan Pandawa atas Korawa dalam kakawin Bharatayuddha
yang digubah oleh empu Sedah dan empu Panuluh tahun 1157. Jayabhaya dalam
Tradisi Jawa Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa,
sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau
sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya.
Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah
Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa. Dikisahkan Jayabaya adalah titisan
Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama
Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari
keluarga Pandawa. Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya
Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya
menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam.
Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan
Anglingdarma raja Malawapati. Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia
dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri.
Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh
penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang. Prabu Jayabaya
adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat
beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya
Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya. Dikisahkan dalam Serat Jayabaya
Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana
Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan
Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau
naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa.
Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah
menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka,
si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu
Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri. Tokoh pujangga besar yang juga ahli
ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis
naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan
namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan
Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.
Jayabaya adalah sejarah atau legenda cerita rakyat ?
Nama Jayabaya sangat populer bukan hanya dikalangan orang tradisional Jawa,
tetapi juga bagi orang Indonesia umumnya, itu semua dikarenakan adanya ramalan
kuno yang disebut Jangka Jayabaya, yang ramalannya seputar kemerdekaan
Indonesia 1945 – terbukti kebenaranya. Indonesia merdeka didahului dengan
masuknya tentara Jepang selama 3,5 tahun dengan mengusir kolonialis Belanda
yang telah bercokol lebih dari 3.5 abad dinegeri ini. Dengan tepat pula
meramalkan siapa Ratu, maksudnya Pemimpin , Presiden pertama R.I dan bagaimana
perjalanan perjuangannya. Isi ramalan Jayabaya adalah :
Ø
Ramalan tentang perjalanan negara di Nusantara/Indonesia.
Ø
Sikap ratu/pemimpin yang baik yang seharusnya
dilakukan dan sikap jelek yang pantang dilakukan.
Ø
Contoh perilaku ratu/pemimpin yang bisa jadi panutan.
Ø
Sikap pamong/priyayi/birokrat dan tingkah laku manusia
dimasyarakat pada saat tertentu.
Ø
Gejolak alam, yaitu berbagai bencana alam termasuk
wabah dan penyakit, perubahan iklim dan geologis/geografis. termasuk jebolnya
Lapindo ( tambak segaran kedua )
Ø
Watak dan tindakan manusia yang mempengaruhi kehidupan
secara umum, keadaan negara dan perilaku alam. Esensi pralambang Jayabaya
mengandung nasehat yang bijak, bagaimana manusia bisa hidup selamat sejahtera
dengan berkah Tuhan.
Tentu harus punya kesadaran yang tinggi, selalu
berbuat baik terhadap sesama manusia, mahluk, bumi, alam dan menyadari
kodratnya sebagai titah dari Sang Pencipta. Dengan berbudi luhur, manusia akan
mengalami kehidupan di jaman Kalasuba, yang serba baik,enak, makmur, tetapi
kalau masih saja melanggar norma-norma baku kehidupan seperti moralitas, tata
susila , maka masyarakat dan negeri ini akan berada pada jaman Kalabendu, yang
serba nista, terpuruk, tidak karuan. Watak mulia Jayabaya Semua pihak
berpendapat bahwa Prabu Jayabaya sangatlah bijak, kuat tirakatnya dalam
mengemban tugas negara.
Untuk memecahkan persoalan negara yang pelik, Sang
Prabu disertai oleh Permaisuri, Ratu Pagedhongan ( sering di sebut-sebut dalam
bacaan mantra-mantra Jendra), disertai pula oleh beberapa menteri dan
punggawanya yang terkait, melakukan perenungan/ngelelimbang di Padepokan
Mamenang, memohon petunjuk Gusti, Tuhan. Perenungan/ngelelimbang bisa
berlangsung beberapa hari, minggu, bisa juga sebulan bahkan tahun, ini di
lakukan demi mendapatkan jawaban/petunjuk dari Dewata Agung, mengenai langkah
yang harus dilakukan demi kebaikan kawula dan negara. Selama masa
perenungan/ngelelimbang di Mamenang, Raja dan Ratu hanya menyantap sedikit
kencur, kunyit dan temulawak (tiga buah sebesar jari telunjuk) dan minum secangkir
air putih segar yang langsung diambil dari mata air, sehari cukup 2 atau 3
kali. Sedangkan para menteri hanya menyantap semangkok bubur jagung dan
secangkir air putih setiap waktu makan.
Dan setelah mendapatkan jawaban/solusi , Raja dan
rombongan kembali ke istana di Kediri. Sabdo Pandito Ratu Di istana diadakan
Pasewakan Agung , rapat kerajaan yang dipimpin raja, dikesempatan tersebut raja
mengumumkan kebijakan yang diambil kerajaan dan yang mesti dijalankan dan
ditaati seluruh pejabat dan kawula. Apa yang diputuskan dan telah diucapkan
oleh raja didepan rapat itu, disebut Sabdo Pandito Ratu atau Sabdo Brahmono
Rojo, harus diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak termasuk oleh raja
sendiri. Jadi, seorang raja/pemimpin itu harus memenuhi janjinya dan apa yang
diucapkan harus ditepati, tidak boleh mencla-mencle , cedera janji. Ini adalah
salah satu falsafah kepemimpinan Kejawen yang sudah dikenal sejak dari masa
lampau. Rahayu...! Perselisihan dengan Jenggala.... Sejak tahun 1135 Masehi,
yang menduduki tahta kerajaan Panjalu ialah Shri Aji Jayabaya, yang bergelar
Shri Maharaja Shri Warmeshwara Madhusudanamataranindhitta Suhrtsingha
Paramakrama Digjayatunggadewanama Jayabhayalancana. Pada waktu peng-hadapan di
hari Kamis, Shri baginda duduk di atas singgasana bersama dengan prameswari
Dyah Hayu Sarameshwari. Nampak telah menghadap Shri baginda .ialah putra,
mahkota sang Maha Mantri Sarweswara yang duduk berdampingan dengan patih Dyah
Suksara. Mereka bersama-sama membahas kesejahteraan rakyat.
Belum selesai Shri baginda bersabda, perbincangan pun
terganggu oleh keributan di luar sitinggil, yang ternyata adalah datangnya
putri sulung Shri baginda, prameswari raja Janggala, yang bernama Dyah
Pramesthi. Sang putri menghadap ayahanda baginda sambil menangis tersedu-sedu.
Betapa terkejutnya Shri baginda menerima kedatangan putri sulungnya, pulang ke
Kadhiri tanpa pengawal dalam keadaan yang lemah lunglai lusuh membiaskan
kesusahan yang sangat mendalam, sebab diusir oleh suaminya dituduh sebagai
mata-mata dari Panjalu. Serasa ditendang dada Shri Jayabaya mendengar laporan
sang putri sulung. Sehingga keluarlah perintahnya yang sangat mahal, untuk
mempersiapkan perang melawan Janggala Alkisah peijalanan prajurit Panjalu yang
meninggalkan gerbang kota, menumbuhkan rasa bangga bagi masyarakat pedesaan
yang dilaluinya. Suara tambur dan bendera perang yang bersulam emas
bergambarkan singa berbadan manusia, menggetarkan hati siapapun yang
melihatnya.
Di praja Janggala, Shri Narpati Darmatungga telah
mendengar bahwa mertuanya tidak menerimakan perlakuannya terhadap Dyah
Pramesthi, maka segeralah Shri Darmatungga mempersiapkan pasukan untuk
menghadapi ‘singa’ dari Panjalu. Pertempuran dahsyat pun tak terhindarkan di
bulak Hantang. Kedua pasukan telah bermandikan keringat dibakar matahari yang
sedang bertengger di puncak langit. Debu bergelung-gelung menyelimuti medan
pertempuran, menempel lekat di tubuh para prajurit yang bersimbah
darah.’Gelung rambutterurai awut-awutan, yang nampak bukan lagi manusia yang
beradab melainkan jin setan janggitan yang gentayangan mencari mangsa. Shri Aji
Jayabaya benar-benar seorang maha jurit yang pantas disebut sebagai titisan
Wishnu. Meloncat menyerang barisan lawan, bagai harimau kelaparan menyergap,
mangsanya. Barisan Janggala hancur berantakan diteijang oleh sang ‘singa’
Jayabaya. Bangkai musuh pun berserakan bagai glagah yang diamukgajah.
Pada akhirnya, kedua narpati yang sedang bertikai itu
pun telah berhadaphadapan, antara mertua dan menantu, masing-masing menempatkan
diri sebagai senopati agung. Keduanya telah siap untuk berperang tanding.
Ternyatalah Shri Aji Darmatungga bukan tandingan Shri Aji Jayabaya. Dalam
pertarungan yang singkat tangan Shri Jayabaya sempat menyentuh dada Shri
Darmatungga, menimbulkan suara gemeretak, dadanya pecah Shri Darmatungga gugur
di medan laga. Pasukan Panjalu pun bersorak gegap gempita, menyaksikan
junjungannya unggul dalam perang tanding. Janggala telah takluk dan sepenuhnya
dikuasai oleh Panjalu. Shri Jayabaya dengan pasukannya segera pulang ke Panjalu,
di gerbang kota mereka dijemput oleh para kawula yang mengelu elukan para
pahlawannya.
Untuk memperingati kemenangan yang telah diperoleh,
maka sejak saat itu kota Dahana pura juga disebut Pamenang. Dalam kesempatan
itu pula Shri Jayabaya berkenan memanggil Mpu Sedah, untuk diperintahkan
menulis sejarah perang saudara antara raja Janggala dengan Panjalu dalam bentuk
gubahan kesusasteraan yang berjudul Baratayuda. Memenuhi titah baginda,
segeralah Mpu Sedah pamit pulang ke Wukir Padang, memusatkan fikiran untuk
mulai menggubah kesusasteraan Baratayuda. Setelah beberapa lama kemudian, dalam
rangka baginda berkeliling ke desa-desa, maka singgahlah Shri baginda ke
padepokan Wukir Padang, untuk menjenguk hasil kerja Mpu Sedah. Dalam kesempatan
itu Mpu Sedah dengan jelas menyampaikan cerita Baratayuda yang sebagian telah
diselesaikannya.
Pada bagian awalnya, nampak Shri baginda sangat ‘
berkenan di hati. Namun demikian, setelah sampai pada kisah Prabu Salya dengan
dewi Pujawati, serta merta Shri baginda murka. Mpu Sedah dituduh telah
mencemooh dan menyinggung perkawinan Shri Jayabaya dengan prameswari Retnayu
Sarameshwari, putri maha pendeta Mpungku ‘ Naiyayikadarsana. keris pusaka,
bagai didorong oleh kekuatan yang tak kasat mata bagai kilat keris itu pun menyambar
menghujam dada Mpu Sedah tembus belikat. Mpu Sedah menjerit roboh seketika.
Geger di Wukir Padang, para cantrik berlarian menyingkir takut pada Shri
baginda yang sedang murka. Mayat Mpu Sedah segera disempurnakan melalui upacara
sesuai dengan tuntunan agama. Shri baginda pun pulang ke Pamenang. Sesampainya
di istana, segera Shri Baginda memanggil Mpu Panuluh untuk menyelesaikan cerita
Baratayuda yang belum selesai. Mpu Panuluh menyatakan kesediaannya. Nampaklah
bahwa Shri baginda sangatlah menyesal telah membunuh Mpu Sedah, oleh sebab itu
untuk memulihkan rasa prihatin, Shri baginda berkenan mengangkat menantu cucu
Mpu Sedah anak Ajar Subrata yang bernama Endang Sulastri untuk dinikahkan
dengan putra baginda satria di Pakanjunan yang bernama Jaya Hamisena. Tak
terlukiskan megahnya upacara pernikahan antara Endang Sulastri dengan Jaya
Hamisena.
Konon, Mpu Panuluh telah berhasil menyelesaikan
tulisan Baratayuda dan menghaturkannya kepada Shri baginda. Puas hati Shri
baginda menerima sastra Baratayuda, hal tersebut tercatat dalam sandi sastra
yang berbunyi SANGA KUDA SUDDA CANDRAMA (1079 Saka = 1157 Masehi)Selamat
sejahtera Shri Jayabaya bertahta sampai dengan tahun 1157 Masehi. Cerita ini
terangkum dalam untaian tembang, MIJIL, SINOM, MASKUMAMBANG dan PANGKUR. Cerita
Mokswanya Prabu Jayabaya Beserta Para Punggawanya Sebelumnya mohon maaf, jika
penjabaran lewat tulisan ini sama sekali berbeda dengan versi sejarah resmi.
Karena apa yang akan kami bahas ini adalah versi legenda dan mitos termasuk
supranatural yang berkembang di sekitar masyarakat dimana dulu kerajaan ini
berdiri. Menurut sejarah, tepatnya legenda, kerajaan Kediri yang kala itu
diperintah oleh Prabu Jayabaya sama-sama “mokswa” beserta raja dan punggawanya.
Konon, keduanya berpindah ke alam gaib.
Menurut kepercayaan kabuyutan, Wisnu ngejawantah atau
turun ke Arcapada di bumi Jawa. Tanah yang dipilih oleh sang Wisnu adalah
Kediri, dan kemudian dia bergelar Sri Jayabaya. Wisnu sendiri berarti hidup,
urip nurcahyo, suksma. Sedang arti nejawantah adalah ngeja = muncul, kelihatan
dan wantah = nyata. Dan bernama Jayabaya berarti = kesaktian, kemenangan, benih
hidup yang berwujud menjadi baya = bayi. Di Kediri dia berwujud badan raga,
atau manusia hidup yang dilengkapi suksma dan raga. Oleh karena itu, banyak
yang percaya kalau Kediri itu tempat yang paling tua di tanah jawa, tempat
hidup manusia pertama di tanah Jawa yang sudah lengkap dengan suksma dan
raganya. Kelahiran Wisnu di tanah Kediri sendiri persisnya berlangsung di
sebuah desa kecil yang dibuka ditengah rimba belantara di pinggir sungai
Kediri, Jawa Timur. Karena tanahnya yang subur, maka banyak warga yang ikut
bergabung dan menjadi ramailah tempat itu. Yang babad alas adalah kakak beradik
yang sakti dan bijaksana bernama Kyai Doho dan Kyai Doko. Ngejawantahnya Wisnu
yang kemudian berganti nama menjadi Jayabaya di Kediri, kelak akan membuat
tempat ini menjadi pesat sekali perkembangannya. Karena itu, akhirnya dibentuk
sebuah negeri yang diberi nama kerajaan Doho. Sedangkan desanya, atau mungkin
ibukotanya jika di jaman sekarang, diberi nama Daka.
Istananya sendiri di beri nama Mamenang. Di bawah
pemerintahan prabu Jayabaya, banyak kerajaan kecil yang ikut melebur jadi satu.
Dengan begitu, kerajaan Doho makin bertambah besar dan berjaya. Kyai Doho
sendiri selaku pembabat hutan diberi kepercayaan oleh raja dengan kedudukan
sangat tinggi dengan nama kebesaran Ki Butolocoyo, yang berarti orang bodoh
yang bisa dipercaya. Hal ini sebagai bentuk penghargaan raja atas jasanya yang
telah membuka wilayah tersebut. Sementara itu, Kyai Doko, adiknya, diberi
pangkat senopati perang dan diberi nama Kyai Tunggul Wulung. Raja dan ratu
Mamenang ini punya pesanggrahan bernama pesanggrahan Wanasatur. Di pesanggrahan
ini, pasangan pemimpin ini sangat besar sekali tirakatnya. Meski tinggal
puluhan hari, keduanya hanya makan rimpang kunir dan temulawak saja. Didekat
pesanggrahan yang dulunya digunakan untuk menanam kedua tanaman obat ini sampai
sekarang masih bernama desa SiKunir dan Silawak.
Makanya tak mengherankan bila prabu Jayabaya waskita
batin. Mengerti sak durunge winarang (tahu sebelum kejadian). Jauh hari sudah
diprediksikan kalau sepeninggal dirinya negeri Doho ini akan pindah ke Medang
Kamulan, yaitu Prambanan, dan kembali ke Jenggala (daerah Kediri), selanjutnya
ke Sigaluh (Jawa Barat), Majapahit (Jatim), ke Jawa Tengah lagi (Demak, Pajang,
Mataram), lalu ke jaman baru (kemerdekaan). Setiap raja memutuskan pindah pusat
pemerintahan selalu diikuti kawulanya. Dan daerah yang ditinggalkannya menjadi
hutan kembali. Karena satu peristiwa sang Prabu Jayabaya akhirnya mokswa, dan
tak diketahui jejaknya. Bahkan sepeninggal dirinya, negeri Doho dilanda banjir
bandang, dan keraton Mamenang rusak parah diterjang ganasnya lahar gunung
kelud, hingga akhirnya negeri Doho kembali menjadi hutan belantara. Ki
Butolocoyo yang ikut mokswa akhirnya diminta oleh prabu Jayabaya untuk menjadi
raja makhluk halus di Goa Selebale, yang terletak di selatan Bengawan Solo.
Kyai Tunggul Wulung ditunjuk untuk menjadi penguasa gunu kelud. Abdi
kinasihnya, Ki Kramataruna, tinggal di sebuah sindang atau telaga kecil di desa
Kalasan, yang terletak di sebelah barat keraton Mamenang.
Ramalan Tanah Jawa Dari Raja Kediri ( Jayabaya ) Asal
muasal ramalan ini adalah saat prabu Jayabaya raja Kediri bertemu pendita dari
Rum yang sangat sakti, Maulana Ali Samsuyen. Ia pandai meramal serta tahu akan
hal yang belum terjadi. Jayabaya lalu berguru padanya, sang pendeta menerangkan
berbagai ramalan yang tersebut dalam kitab Musaror dan menceritakan penanaman orang
sebanyak 12.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum, orang itu lalu
ditempatkan di pegunungan Kendeng, lalu bekerja membuka hutan tetapi banyak
yang mati karena gangguan makhluk halus, jin dsb, itu pada th rum 437, lalu
Sultan Rum memerintahkan lagi di Pulau Jawa dan kepulauan lainnya dengan
mengambil orang dari India, Kandi, Siam.
Sejak penanaman orang-orang ini sampai hari kiamat
kobro terhitung 210 tahun matahari lamanya atau 2163 tahun bulan, Sang pendeta
mengatakan orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah
Hajar Subroto di G. Padang. Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan
Pulau Jawa sejak ditanami yang kedua kalinya hingga kiamat, lamanya 2.100 th
matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, yaitu : I. Jaman permulaan disebut
KALI-SWARA, lamanya 700 th matahari (721 th bulan). Pada waku itu di jawa
banyak terdengar suara alam, gara-gara geger, halintar, petir, serta banyak
kejadian-kejadian yang ajaib dikarenakan banyak manusia menjadi dewa dan dewa
turun kebumi menjadi manusia. II. Jaman pertengahan disebut KALI-YOGA, banyak
perobahan pada bumi,bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil-kecil, banyak
makhluk yangsalah jalan, karena orang yang mati banyak menjelma (nitis). III.
Jaman akhir disebut KALI-SANGARA, 700 th. Banyak hujan salah mangsa dan banyak
kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya, menghambat datangnya
kebahagian, mengurangi rasa-terima, sebab manusia yang yang mati banyak yang
tetap memegang ilmunya.Ramalan Jayabaya adalah ramalan dalam tradisi Jawa yang
dipercaya ditulis oleh Jayabaya, raja Kerajaan Kediri. Ramalan ini dikenal pada
khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Silahkan dicermati dan perhatikan secara
seksama. Apakah ramalan ini sudah terjadi atau belum.
Sumber Artikel : https://sclm17.blogspot.com/2016/03/jayabaya.html, Sejarah,
Cerita, Legenda, Mitos, TOKOH, Situs
Ramalan Jayabaya
Ramalan Jayabaya
atau sering disebut Jangka Jayabaya
adalah ramalan
dalam tradisi Jawa
yang salah satunya dipercaya ditulis oleh Jayabaya,
raja Kerajaan
Kediri. Ramalan ini dikenal pada khususnya di kalangan
masyarakat Jawa yang dilestarikan secara turun temurun oleh para pujangga.
Asal usul utama serat ramalan Jayabaya dapat dilihat pada kitab Musasar
yang digubah oleh Sunan Giri Prapen. Sekalipun banyak keraguan keasliannya, tapi
sangat jelas bunyi bait pertama kitab Musasar yang menuliskan bahwa Jayabaya
yang membuat ramalan-ramalan tersebut. Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu
Jayabaya di Kediri yang gagah perkasa, musuh takut dan takluk, tak ada yang
berani.
Meskipun demikian, kenyataannya dua pujangga
yang hidup sezaman dengan Prabu Jayabaya, yakni Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh,
sama sekali tidak menyebut bahwa Prabu Jayabaya memiliki karya tulis dalam
kitab-kitab mereka yang berjudul Kakawin
Bharatayuddha, Kakawin
Hariwangsa, dan Kakawin Gatotkacasraya. Kakawin
Bharatayuddha hanya menceritakan peperangan antara kaum Korawa
dan Pandawa
yang disebut peperangan Bharatayuddha, sedangkan Kakawin Hariwangsa dan Kakawin
Gatotkacasraya berisi tentang cerita ketika sang prabu Kresna
ingin menikah dengan Rukmini
dari negeri Kundina,
putri prabu Bismaka.
Rukmini adalah titisan Dewi Sri.
Asal Usul
Dari berbagai sumber dan keterangan yang ada
mengenai Ramalan Jayabaya, maka pada umumnya para sarjana sepakat bahwa sumber
ramalan ini sebenarnya hanya satu, yakni Kitab Asrar (Musarar) karangan Sunan Giri
Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5
tahun dengan selesainya kitab Pararaton
tentang sejarah Majapahit
dan Singosari
yang ditulis di pulau Bali
1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak zamannya Sultan Agung
dari Mataram
bertahta (1613-1645 M).
Kitab "Jangka Jayabaya" pertama dan
dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu
(sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa =
1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai
hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang
berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak. Memang dia keturunan Sunan Kalijaga,
sehingga logis bila dia dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat,
terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya
terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara
Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon
dan Nayagenggong.
Disamping itu dia menjabat sebagai Kepala
Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala zamannya Sri Paku Buwana II
(1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad
Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja
Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll. Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719)
yang penobatannya di Semarang, Gubernur
Jenderalnya benama van Outhoorn yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian
diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu
masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu
untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van
Hoorn.
Ketika keraton Kartasura akan dipindahkan ke
desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II. Ia
kemudian diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki
keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan
didirikan tahun 1669 Jawa (1744 M). Sang
Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M,
yang pada zamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai
Pangeran Merdeka diganti oleh putranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu
berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III),
sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi
Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.
Analisis
Jangka Jayabaya yang dikenal sekarang ini
adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab
Asrar" Karangan Sunan Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga
dibelakang juga menyebut nama baru itu.
Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu
gambaran gilir bergantinya negara sejak zaman purbakala hingga jatuhnya
Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Islam pertama
di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedaton". Giri Kedaton ini nampaknya
Merupakan zaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung
antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di
Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri
ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai zaman Sunan Giri ke-3.
Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis
kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari
Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini
lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di
Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481
M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau
mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H).
Setelah kesultanan Demak jatuh pada masa Sultan Trenggono, lalu tahta kerajaan
jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo")
ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang
berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh
kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali
masih hidup.
Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di
ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram bertahta dengan
gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung)
yang berkuasa di seluruh Jawa
dan Madura.
Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari
Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan
Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu
Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.
Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat
ramalan, bahwa kelak sesudah dia turun dari tahta, kerajaan besar ini akan
pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dizaman jauh sesudah Sultan Agung
wafat. Ini berarti raja-raja pengganti dia dinilai (secara pandangan batin)
sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada
tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang
menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628
& 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).
Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan
dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain, yakni dengan jalan mengambil
pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari
Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157
M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri. Setelah mendapat pathokan/data baru,
raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang
pujangga (Pangeran Wijil) lalu menulis kembali, dengan gubahan "Jangka
Jayabaya" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha
dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya
dalam bentuk babad. Lalu dari hasil,
penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya
baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak
cucu di kemudian hari.
Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan
sebagai zaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan
Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran
sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "Republik
Indonesia". Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa
mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga
terkenal R.Ng., cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I.
Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh
diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan
sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini
ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan
Jayabaya yang hanya bersifat ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh
bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat
hakikat bercampur jangka atau ramalan, akan tetapi dengan ujaran yang
dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain sehingga merupakan
tambahan riwayat buat negeri ini.
Semua itu telah berasal dari satu sumber
benih, yakni Kitab Asrar karya Sunan Giri ke-3 dan Jangka Jayabaya gubahan dari
kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh.
Dengan demikian, Jangka Jayabaya ini ditulis kembali dengan gubahan oleh
Pangeran Wijil I pada tahun 1675 Jawa (1749 M) bersama dengan gubahannya yang berbentuk
puisi, yakni Kitab Musarar.
Dengan begitu menjadi jelaslah apa yang kita baca sekarang ini.
Kitab
Musasar Jayabaya
Asmarandana
Ø Kitab Musarar dibuat tatkala Prabu Jayabaya di Kediri
yang gagah perkasa, Musuh takut dan takluk, tak ada yang berani.
Ø Dia sakti sebab titisan Batara wisnu. Waktu itu Sang
Prabu menjadi raja agung, pasukannya raja-raja.
Ø Terkisahkan bahwa Sang Prabu punya putra lelaki yang
tampan. Sesudah dewasa dijadikan raja di Pagedongan. Sangat raharja negara-nya.
Ø Hal tersebut menggembirakan Sang Prabu. Waktu itu
tersebutkan Sang Prabu akan mendapat tamu, seorang raja pandita dari Rum
bernama, Sultan Maolana.
Ø Lengkapnya bernama Ngali Samsujen. Kedatangannya
disambut sebaik-baiknya. Sebab tamu tersebut seorang raja pandita lain bangsa
pantas dihormati.
Ø Setelah duduk Sultan Ngali Samsujen berkata: “Sang
Prabu Jayabaya, perkenankan saya memberi petuah padamu mengenai Kitab Musarar.
Ø Yang menyebutkan tinggal tiga kali lagi kemudian
kerajaanmu akan diganti oleh orang lain”. Sang Prabu mendengarkan dengan
sebaik-baiknya. Karena dia telah mengerti kehendak Dewata.
Ø Sang Prabu segera menjadi murid sang Raja Pandita.
Segala isi Kitab Musarar sudah diketahui semua. Diapun ingat tinggal menitis 3
kali.
Ø Kelak akan diletakkan dalam teken Sang Pandita yang
ditinggal di Kakbah yang membawa Imam Supingi untuk menaikkan kutbah,
Ø Senjata ecis itu yang bernama Udharati. Dikelak
kemudian hari ada Maolana masih cucu Rasul yang mengembara sampai ke P. Jawa
membawa ecis tersebut. Kelak menjadi punden Tanah Jawa.
Ø Raja Pandita pamit dan musnah dari tempat duduk.
Kemudian terkisahkan setelah satu bulan Sang Prabu memanggil putranya.
Ø Setelah sang putra datang lalu diajak ke gunung
Padang. Ayah dan putra itu setelah datang lalu naik ke gunung.
Ø Di sana ada Ajar bernama Ajar Subrata. Menjemput Prabu
Jayabaya seorang raja yang berincoknito termasuk titisan Batara Wisnu..
Ø Karenanya Sang Prabu sangat waspada, tahu sebelum
kejadian mengenai raja-raja karena Sang Prabu menerima sasmita gaib.
Ø Bila Islam seperti Nabi. Prabu Jayabaya bercengkrama
di gunung sudah lama. Bertemu dengan ki Ajar di gunung Padang. Yang bertapa
brata sehingga apa yang dikehendaki terjadi.
Ø Tergopoh-gopoh menghormati. Setelah duduk ki Ajar
memanggil seorang endang yang membawa sesaji. Berwarna-warni isinya. Tujuh
warna-warni dan lengkap delapan dengarn endangnya.
Ø Jadah (ketan) setakir, bawang putih satu talam,
kembang melati satu bungkus, darah sepitrah, kunir sarimpang, sebatang pohon
kajar dan kembang mojar satu bungkus.
Ø Kedelapan endang seorang. Kemudian ki Ajar
menghaturkan sembah : “Inilah hidangan kami untuk sang Prabu”. Sang Prabu
waspada kemudian menarik senjata kerisnya.
Ø Ki Ajar ditikam mati. Demikian juga endangnya. Keris
kemudian dimasukkan lagi. Cantrik-cantrik berlarian karena takut. Sedangkan
raja putra kecewa melihat perbuatan ayahnya.
Ø Sang putra akan bertanya merasa takut. Kemudian
merekapun pulang. Datang di kedaton Sang Prabu berbicara dengan putranya.
Ø Heh anakku. Kamu tahu ulah si Ajar yang saya bunuh.
Sebab berdosa kepada guru saya Sultan Maolana Ngali Samsujen tatkala masih
muda.
Sinom
Ø Dia itu sudah diwejang (diberitahu) oleh guru mengenai
kitab Musarar. Sama seperti saya. Namun dia menyalahi janji, musnah raja-raja
di P. Jawa. Toh saya sudah diberitahu bahwa saya tinggal 3 kali lagi.
Ø Bila sudah menitis tiga kali kemudian ada zaman lagi
bukan perbuatan saya. Sudah dikatakan oleh Maolana Ngali tidak mungkin berobah
lagi. Diberi lambang zaman Catur semune segara asat.
Ø Itulah Jenggala, Kediri, Singasari dan Ngurawan. Empat
raja itu masih kekuasaan saya. Negaranya bahagia diatas bumi. Menghancurkan keburukan.
Ø Setelah 100 tahun musnah keempat kerajaan tersebut.
Kemudian ada zaman lagi yang bukan milik saya, sebab saya sudah terpisah dengan
saudara-saudara ditempat yang rahasia.
Ø Di dalam teken sang guru Maolana Ngali. Demikian harap
diketahui oleh anak cucu bahwa akan ada zaman Anderpati yang bernama
Kala-wisesa.
Ø Lambangnya: Sumilir naga kentir semune liman pepeka.
Itu negara Pajajaran. Negara tersebut
tanpa keadilan dan tata negara, Setelah seratus tahun kemudian musnah.
Ø Sebab berperang dengan saudara. Hasil bumi diberi
pajak emas. Sebab saya mendapat hidangan Kunir sarimpang dari ki Ajar. Kemudian
berganti zaman di Majapahit dengan rajanya Prabu Brawijaya.
Ø Demikian nama raja bergelar Sang Rajapati Dewanata.
Alamnya disebut Anderpati, lamanya sepuluh windu (80 tahun). Hasil negara
berupa picis (uang). Ternyata waktu itu dari hidangan ki Ajar.
Ø Hidangannya Jadah satu takir. Lambangnya waktu itu
Sima galak semune curiga ketul. Kemudian berganti zaman lagi. Di Gelagahwangi
dengan ibukota di Demak. Ada agama dengan pemimpinnya bergelar Diyati
Kalawisaya.
Ø Enam puluh lima tahun kemudian musnah. Yang bertahta
Ratu Adil serta wali dan pandita semuanya cinta. Pajak rakyat berupa uang.
Temyata saya diberi hidangan bunga Melati oleh ki Ajar.
Ø Negara tersebut diberi lambang: Kekesahan durung
kongsi kaselak kampuhe bedah. Kemudian berganti zaman Kalajangga. Beribukota
Pajang dengan hukum seperti di Demak. Tidak diganti oleh anaknya. 36 tahun
kemudian musnah.
Ø Negara ini diberi lambang: cangkrama putung watange.
Orang di desa terkena pajak pakaian dan uang. Sebab ki Ajar dahulu memberi
hidangan sebatang pohon kajar. Kemudian berganti zaman di Mataram. Kalasakti
Prabu Anyakrakusuma.
Ø Dicintai pasukannya. Kuat angkatan perangnya dan kaya,
disegani seluruh bangsa Jawa. Bahkan juga sebagai gantinya Ajar dan wali serta
pandita, bersatu dalam diri Sang Prabu yang adil.
Ø Raja perkasa tetapi berbudi halus. Rakyat kena pajak
reyal. Sebab waktu itu saya mendapat hidangan bawang putih dari ki Ajar.
Rajanya diberi gelar: Sura Kalpa semune lintang sinipat.
Ø Kemudian berganti lagi dengan lambang: Kembang sempol
Semune modin tanpa sreban. Raja yang keempat yang penghabisan diberi lambang
Kalpa sru kanaka putung. Seratus tahun kemudian musnah sebab melawan sekutu.
Kemudian ada nakhoda yang datang berdagang.
Ø Berdagang di tanah Jawa kemudian mendapat sejengkal
tanah. Lama kelamaan ikut perang dan selalu menang, sehingga terpandang di
pulau Jawa. zaman sudah berganti meskipun masih keturunan Mataram. Negara
bernama Nyakkrawati dan ibukota di Pajang.
Ø Raja berpasukan campur aduk. Disegani setanah Jawa.
Yang memulai menjadi raja dengan gelar Layon keli semune satriya brangti.
Kemudian berganti raja yang bergelar: semune kenya musoni. Tidak lama kemudian
berganti.
Ø Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi(Raja yang penuh
inisiatif dalam segala hal, namun memiliki kelemahan suka wanita) kemudian
berganti gajah meta semune tengu lelaki (Raja yang disegani/ditakuti, namun
nista.) Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan
hukum tidak karu-karuan.
Ø Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan
uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah
tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang
tidak dapat ditolak.
Ø Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati
berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara
Murka(Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang
Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).
Ø Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya
keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara.
Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar. Kemudian diganti dengan lambang
Rara ngangsu , randa loro nututi pijer tetukar( Ratu yang selalu
diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).
Ø Tidak berkesempatan menghias diri(Raja yang tidak
sempat mengatur negara sebab adanya masalah-masalah yang merepotkan ), sinjang
kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen datangnya
Kala Bendu. Di Semarang Tembayat itulah yang mengerti/memahami lambang
tersebut.
Ø Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik.
Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi
Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.
Ø Hukum dan pengadilan negara tidak berguna. Perintah
berganti-ganti. Keadilan tidak ada. Yang benar dianggap salah. Yang jahat dianggap
benar. Setan menyamar sebagai wahyu. Banyak orang melupakan Tuhan dan orang
tua.
Ø Wanita hilang kehormatannya. Sebab saya diberi
hidangan Endang seorang oleh ki Ajar. Mulai perang tidak berakhir. Kemudian ada
tanda negara pecah.
Ø Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu.
Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga. Tanah Jawa berantakan. Kemudian
raja Kara Murka Kutila musnah.
Ø Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak
kasungsang(Raja berhati putih namun masih tersembunyi). Lahir di bumi
Mekah(Orang Islam yang sangat bertauhid). Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu
Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.
Ø Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan
Tanah Jawa(Orang Islam yang sangat menghormati leluhurnya dan menyatu dengan
ajaran tradisi Jawa (kawruh Jawa)). Letaknya dekat dengan gunung Perahu,
sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
Ø Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab
saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja
baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.
Isi Ramalan
Ø Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran ---> Kelak jika
sudah ada kereta tanpa kuda.
Ø Tanah Jawa kalungan wesi ---> Pulau Jawa berkalung
besi.
Ø Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang ---> Perahu
berjalan di angkasa.
Ø Kali ilang kedhunge ---> Sungai kehilangan mata
air.
Ø Pasar ilang kumandhang ---> Pasar kehilangan suara.
Ø Iku tandha yen tekane zaman Jayabaya wis cedhak
---> Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat.
Ø Sekilan bumi dipajeki ---> Sejengkal tanah dikenai
pajak.
Ø Jaran doyan mangan sambel ---> Kuda suka makan
sambal.
Ø Wong wadon nganggo pakeyan lanang --->Orang
perempuan berpakaian lelaki.
Ø Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking
zaman ---> Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak-balik.
Ø Akeh janji ora ditetepi ---> Banyak janji tidak ditepati.
Ø Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe ---> Banyak
orang berani melanggar sumpah sendiri.
Ø Manungsa padha seneng nyalah ---> Orang-orang
saling lempar kesalahan.
Ø Ora ngendahake hukum Hyang Widhi ---> Tak peduli
akan hukum Hyang Widhi.
Ø Barang jahat diangkat-angkat ---> Yang jahat
dijunjung-junjung.
Ø Barang suci dibenci ---> Yang suci (justru)
dibenci.
Ø Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwi t---> Banyak
orang hanya mementingkan uang.
Ø Lali kamanungsan ---> Lupa jati kemanusiaan.
Ø Lali kabecikan ---> Lupa hikmah kebaikan.
Ø Lali sanak lali kadang ---> Lupa sanak lupa
saudara.
Ø Akeh bapa lali anak ---> Banyak ayah lupa anak.
Ø Akeh anak wani nglawan ibu --->Banyak anak berani
melawan ibu.
Ø Nantang bapa ---> Menantang ayah.
Ø Sedulur padha cidra ---> Saudara dan saudara saling
khianat.
Ø Kulawarga padha curiga ---> Keluarga saling curiga.
Ø Kanca dadi mungsuh ---> Kawan menjadi lawan.
Ø Akeh manungsa lali asale ---> Banyak orang lupa
asal usul.
Ø Ukuman Ratu ora adil ---> Hukuman Raja tidak adil.
Ø Akeh pangkat sing jahat lan ganji l---> Banyak
pejabat jahat dan ganjil
Ø Akeh kelakuan sing ganjil ---> Banyak ulah-tabiat
ganjil
Ø Wong apik-apik padha kapencil ---> Orang yang baik
justru tersisih.
Ø Akeh wong nyambut gawe apik-apik padha krasa isin
---> Banyak orang kerja halal justru merasa malu.
Ø Luwih utama ngapusi ---> Lebih mengutamakan menipu.
Ø Wegah nyambut gawe ---> Malas untuk bekerja.
Ø Kepingin urip mewah ---> Inginnya hidup mewah.
Ø Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka
---> Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka.
Ø Wong bener thenger-thenger ---> Orang (yang) benar
termangu-mangu.
Ø Wong salah bungah ---> Orang (yang) salah gembira
ria.
Ø Wong apik ditampik-tampik ---> Orang (yang) baik
ditolak ditampik (diping-pong).
Ø Wong jahat munggah pangkat ---> Orang (yang) jahat
naik pangkat.
Ø Wong agung kasinggung ---> Orang (yang) mulia
dilecehkan
Ø Wong ala kapuja ---> Orang (yang) jahat
dipuji-puji.
Ø Wong wadon ilang kawirangane ---> perempuan hilang
malu.
Ø Wong lanang ilang kaprawirane ---> Laki-laki hilang
jiwa kepemimpinan.
Ø Akeh wong lanang ora duwe bojo ---> Banyak
laki-laki tak mau beristri.
Ø Akeh wong wadon ora setya marang bojone ---> Banyak
perempuan ingkar pada suami.
Ø Akeh ibu padha ngedol anake ---> Banyak ibu menjual
anak.
Ø Akeh wong wadon ngedol awake ---> Banyak perempuan
menjual diri.
Ø Akeh wong ijol bebojo ---> Banyak orang gonta-ganti
pasangan.
Ø Wong wadon nunggang jaran ---> Perempuan menunggang
kuda.
Ø Wong lanang linggih plangki ---> Laki-laki naik
tandu.
Ø Randha seuang loro ---> Dua janda harga seuang
(Red.: seuang = 8,5 sen).
Ø Prawan seaga lima ---> Lima perawan lima picis.
Ø Dhudha pincang laku sembilan uang ---> Duda pincang
laku sembilan uang.
Ø Akeh wong ngedol ngelmu ---> Banyak orang berdagang
ilmu.
Ø Akeh wong ngaku-aku ---> Banyak orang mengaku diri.
Ø Njabane putih njerone dhadhu ---> Di luar putih di
dalam jingga.
Ø Ngakune suci, nanging sucine palsu ---> Mengaku
suci, tapi palsu belaka.
Ø Akeh bujuk akeh lojo---> Banyak tipu banyak
muslihat.
Ø Akeh udan salah mangsa---> Banyak hujan salah
musim.
Ø Akeh prawan tuwa---> Banyak perawan tua.
Ø Akeh randha nglairake anak---> Banyak janda
melahirkan bayi.
Ø Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne---> Banyak
anak lahir mencari bapaknya.
Ø Agama akeh sing nantang---> Agama banyak ditentang.
Ø Prikamanungsan saya ilang---> Perikemanusiaan
semakin hilang.
Ø Omah suci dibenci---> Rumah suci dijauhi.
Ø Omah ala saya dipuja---> Rumah maksiat makin
dipuja.
Ø Wong wadon lacur ing ngendi-endi---> Perempuan
lacur dimana-mana.
Ø Akeh laknat---> Banyak kutukan.
Ø Akeh pengkianat---> Banyak pengkhianat.
Ø Anak mangan bapak---> Anak makan bapak.
Ø Sedulur mangan sedulur---> Saudara makan saudara.
Ø Kanca dadi mungsuh---> Kawan menjadi lawan.
Ø Guru disatru---> Guru dimusuhi.
Ø Tangga padha curiga--->Tetangga saling curiga.
Ø Kana-kene saya angkara murka ---> Angkara murka
semakin menjadi-jadi.
Ø Sing weruh kebubuhan---> Barangsiapa tahu terkena
beban.
Ø Sing ora weruh ketutuh---> Sedang yang tak tahu
disalahkan.
Ø Besuk yen ana peperangan---> Kelak jika terjadi
perang.
Ø Teka saka wetan, kulon, kidul lan lor---> Datang
dari timur, barat, selatan, dan utara.
Ø Akeh wong becik saya sengsara---> Banyak orang baik
makin sengsara.
Ø Wong jahat saya seneng---> Sedang yang jahat makin
bahagia.
Ø Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul--->
Ketika itu burung gagak dibilang bangau.
Ø Wong salah dianggep bener---> Orang salah dipandang
benar.
Ø Pengkhianat nikmat---> Pengkhianat nikmat.
Ø Durjana saya sempurna---> Durjana semakin sempurna.
Ø Wong jahat munggah pangkat---> Orang jahat naik
pangkat.
Ø Wong lugu kebelenggu---> Orang yang lugu
dibelenggu.
Ø Wong mulya dikunjara---> Orang yang mulia
dipenjara.
Ø Sing curang garang---> Yang curang berkuasa.
Ø Sing jujur kojur---> Yang jujur sengsara.
Ø Pedagang akeh sing keplarang---> Pedagang banyak
yang tenggelam.
Ø Wong main akeh sing ndadi---> Penjudi banyak
merajalela.
Ø Akeh barang haram---> Banyak barang haram.
Ø Akeh anak haram---Banyak anak haram.
Ø Wong wadon nglamar wong lanang---> Perempuan
melamar laki-laki.
Ø Wong lanang ngasorake drajate dhewe---> Laki-laki
memperhina derajat sendiri.
Ø Akeh barang-barang mlebu luang---> Banyak barang
terbuang-buang.
Ø Akeh wong kaliren lan wuda---> Banyak orang lapar
dan telanjang.
Ø Wong tuku ngglenik sing dodol---> Pembeli membujuk
penjual.
Ø Sing dodol akal okol---> Si penjual bermain siasat.
Ø Wong golek pangan kaya gabah diinteri---> Mencari
rizki ibarat gabah ditampi.
Ø Sing kebat kliwat---> Yang tangkas lepas.
Ø Sing telah sambat---> Yang terlanjur menggerutu.
Ø Sing gedhe kesasar---> Yang besar tersasar.
Ø Sing cilik kepleset---> Yang kecil terpeleset.
Ø Sing anggak ketunggak---> Yang congkak terbentur.
Ø Sing wedi mati---> Yang takut mati.
Ø Sing nekat mbrekat---> Yang nekat mendapat berkat.
Ø Sing jerih ketindhih---> Yang hati kecil tertindih
Ø Sing ngawur makmur---> Yang ngawur makmur
Ø Sing ngati-ati ngrintih---> Yang berhati-hati
merintih.
Ø Sing ngedan keduman---> Yang main gila menerima
bagian.
Ø Sing waras nggagas---> Yang sehat pikiran berpikir.
Ø Wong tani ditaleni---> Orang (yang) bertani diikat.
Ø Wong dora ura-ura---> Orang (yang) bohong
berdendang.
Ø Ratu ora netepi janji, musna panguwasane--> -Raja
ingkar janji, hilang wibawanya.
Ø Bupati dadi rakyat---> Pegawai tinggi menjadi
rakyat.
Ø Wong cilik dadi priyayi---> Rakyat kecil jadi
priyayi.
Ø Sing mendele dadi gedhe---> Yang curang jadi besar.
Ø Sing jujur kojur---> Yang jujur celaka.
Ø Akeh omah ing ndhuwur jaran---> Banyak rumah di
punggung kuda.
Ø Wong mangan wong---> Orang makan sesamanya.
Ø Anak lali bapak---> Anak lupa bapa.
Ø Wong tuwa lali tuwane---> Orang tua lupa ketuaan
mereka.
Ø Pedagang adol barang saya laris---> Jualan pedagang
semakin laris.
Ø Bandhane saya ludhes---> Namun harta mereka makin
habis.
Ø Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan---> Banyak
orang mati lapar di samping makanan.
Ø Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara--->
Banyak orang berharta tapi hidup sengsara.
Ø Sing edan bisa dandan---> Yang gila bisa bersolek.
Ø Sing bengkong bisa nggalang gedhong---> Si bengkok
membangun mahligai.
Ø Wong waras lan adil uripe nggrantes lan
kepencil---> Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih.
Ø Ana peperangan ing njero---> Terjadi perang di
dalam.
Ø Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah
paham---> Terjadi karena para pembesar banyak salah faham.
Ø Durjana saya ngambra-ambra---> Kejahatan makin
merajalela.
Ø Penjahat saya tambah---> Penjahat makin banyak.
Ø Wong apik saya sengsara---> Yang baik makin
sengsara.
Ø Akeh wong mati jalaran saka peperangan---> Banyak
orang mati karena perang.
Ø Kebingungan lan kobongan---> Karena bingung dan
kebakaran.
Ø Wong bener saya thenger-thenger---> Si benar makin
tertegun.
Ø Wong salah saya bungah-bungah---> Si salah makin
sorak sorai.
Ø Akeh bandha musna ora karuan lungane---> Banyak
harta hilang entah ke mana
Ø Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan
sababe---> Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa.
Ø Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram--->
Banyak barang haram, banyak anak haram.
Ø Bejane sing lali, bejane sing eling--->
Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar.
Ø Nanging sauntung-untunge sing lali---> Tapi
betapapun beruntung si lupa.
Ø Isih untung sing waspada---> Masih lebih beruntung
si waspada.
Ø Angkara murka saya ndadi---> Angkara murka semakin
menjadi.
Ø Kana-kene saya bingung---> Di sana-sini makin
bingung.
Ø Pedagang akeh alangane---> Pedagang banyak
rintangan.
Ø Akeh buruh nantang juragan---> Banyak buruh melawan
majikan.
Ø Juragan dadi umpan---> Majikan menjadi umpan.
Ø Sing suwarane seru oleh pengaruh---> Yang bersuara
tinggi mendapat pengaruh.
Ø Wong pinter diingar-ingar---> Si pandai direcoki.
Ø Wong ala diuja---> Si jahat dimanjakan.
Ø Wong ngerti mangan ati---> Orang yang mengerti
makan hati.
Ø Bandha dadi memala---> Hartabenda menjadi penyakit
Ø Pangkat dadi pemikat---> Pangkat menjadi pemukau.
Ø Sing sawenang-wenang rumangsa menang ---> Yang
sewenang-wenang merasa menang
Ø Sing ngalah rumangsa kabeh salah---> Yang mengalah
merasa serba salah.
Ø Ana Bupati saka wong sing asor imane---> Ada raja
berasal orang beriman rendah.
Ø Patihe kepala judhi---> Maha menterinya benggol
judi.
Ø Wong sing atine suci dibenci---> Yang berhati suci
dibenci.
Ø Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat--->
Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.
Ø Pemerasan saya ndadra---> Pemerasan merajalela.
Ø Maling lungguh wetenge mblenduk ---> Pencuri duduk
berperut gendut.
Ø Pitik angrem saduwure pikulan---> Ayam mengeram di
atas pikulan.
Ø Maling wani nantang sing duwe omah---> Pencuri
menantang si empunya rumah.
Ø Begal pada ndhugal---> Penyamun semakin kurang
ajar.
Ø Rampok padha keplok-keplok---> Perampok semua
bersorak-sorai.
Ø Wong momong mitenah sing diemong---> Si pengasuh
memfitnah yang diasuh
Ø Wong jaga nyolong sing dijaga---> Si penjaga
mencuri yang dijaga.
Ø Wong njamin njaluk dijamin---> Si penjamin minta
dijamin.
Ø Akeh wong mendem donga---> Banyak orang mabuk doa.
Ø Kana-kene rebutan unggul---> Di mana-mana berebut
menang.
Ø Angkara murka ngombro-ombro---> Angkara murka
menjadi-jadi.
Ø Agama ditantang---> Agama ditantang.
Ø Akeh wong angkara murka---> Banyak orang angkara
murka.
Ø Nggedhekake duraka---> Membesar-besarkan durhaka.
Ø Ukum agama dilanggar---> Hukum agama dilanggar.
Ø Prikamanungsan di-iles-iles---> Perikemanusiaan
diinjak-injak.
Ø Kasusilan ditinggal---> Tata susila diabaikan.
Ø Akeh wong edan, jahat lan kelangan akal budi--->
Banyak orang gila, jahat dan hilang akal budi.
Ø Wong cilik akeh sing kepencil---> Rakyat kecil
banyak tersingkir.
Ø Amarga dadi korbane si jahat sing jajil---> Karena
menjadi kurban si jahat si laknat.
Ø Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit--->
Lalu datang Raja berpengaruh dan berprajurit.
Ø Lan duwe prajurit---> Dan punya prajurit.
Ø Negarane ambane saprawolon---> Lebar negeri
seperdelapan dunia.
Ø Tukang mangan suap saya ndadra---> Pemakan suap
semakin merajalela.
Ø Wong jahat ditampa---> Orang jahat diterima.
Ø Wong suci dibenci---> Orang suci dibenci.
Ø Timah dianggep perak---> Timah dianggap perak.
Ø Emas diarani tembaga---> Emas dibilang tembaga.
Ø Dandang dikandakake kuntul---> Gagak disebut
bangau.
Ø Wong dosa sentosa---> Orang berdosa sentosa.
Ø Wong cilik disalahake---> Rakyat jelata
dipersalahkan.
Ø Wong nganggur kesungkur---> Si penganggur
tersungkur.
Ø Wong sregep krungkep---> Si tekun terjerembab.
Ø Wong nyengit kesengit---> Orang busuk hati dibenci.
Ø Buruh mangluh---> Buruh menangis.
Ø Wong sugih krasa wedi---> Orang kaya ketakutan.
Ø Wong wedi dadi priyayi---> Orang takut jadi
priyayi.
Ø Senenge wong jahat---> Berbahagialah si jahat.
Ø Susahe wong cilik---> Bersusahlah rakyat kecil.
Ø Akeh wong dakwa dinakwa---> Banyak orang saling
tuduh.
Ø Tindake manungsa saya kuciwa---> Ulah manusia
semakin tercela.
Ø Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih
lan disenengi---> Para raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai.
Ø Wong Jawa kari separo---> Orang Jawa tinggal
setengah.
Ø Landa-Cina kari sejodho ---> Belanda - Cina tinggal
sepasang.
Ø Akeh wong ijir, akeh wong cethil---> Banyak orang
kikir, banyak orang bakhil.
Ø Sing eman ora keduman---> Si hemat tidak mendapat
bagian.
Ø Sing keduman ora eman---> Yang mendapat bagian
tidak berhemat.
Ø Akeh wong mbambung---> Banyak orang berulah dungu.
Ø Akeh wong limbung---> Banyak orang limbung.
Ø Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka--->
Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.
Bait Terakhir Ramalan Jayabaya
Ø Polahe
wong Jawa kaya gabah diinteri\ endi sing bener endi sing sejati\ para tapa
padha ora wani\ padha wedi ngajarake piwulang adi\ salah-salah anemani pati\
Ø Banjir
bandang ana ngendi-endi\ gunung njeblug tan anjarwani, tan angimpeni\ gehtinge
kepathi-pati marang pandhita kang oleh pati geni\ marga wedi kapiyak wadine
sapa sira sing sayekti\
Ø Pancen
wolak-waliking jaman\ amenangi jaman edan\ ora edan ora kumanan\ sing waras
padha nggagas\ wong tani padha ditaleni\ wong dora padha ura-ura\ beja-bejane
sing lali,\ isih beja kang eling lan waspadha\
Ø Ratu
ora netepi janji\ musna kuwasa lan prabawane\ akeh omah ndhuwur kuda\ wong
padha mangan wong\ kayu gligan lan wesi hiya padha doyan\ dirasa enak kaya roti
bolu\ yen wengi padha ora bisa turu\
Ø Sing
edan padha bisa dandan\ sing ambangkang padha bisa\ nggalang omah gedong
magrong-magrong\
Ø Wong
dagang barang sangsaya laris, bandhane ludes\ akeh wong mati kaliren gisining
panganan\ akeh wong nyekel bendha ning uriping sengsara\
Ø Wong
waras lan adil uripe ngenes lan kepencil\ sing ora abisa maling digethingi\
sing pinter duraka dadi kanca\ wong bener sangsaya thenger-thenger\ wong salah
sangsaya bungah\ akeh bandha musna tan karuan larine\ akeh pangkat lan drajat
padha minggat tan karuan sebabe\
Ø Bumi
sangsaya suwe sangsaya mengkeret\ sakilan bumi dipajeki\ wong wadon nganggo
panganggo lanang\ iku pertandhane yen bakal nemoni\ wolak-walike zaman\
Ø Akeh
wong janji ora ditepati\ akeh wong nglanggar sumpahe dhewe\ manungsa padha
seneng ngalap,\ tan anindakake hukuming Allah\ barang jahat diangkat-angkat\
barang suci dibenci\
Ø Akeh
wong ngutamakake royal\ lali kamanungsane, lali kebecikane\ lali sanak lali
kadang\ akeh bapa lali anak\ akeh anak mundhung biyung\ sedulur padha cidra\
keluarga padha curiga\ kanca dadi mungsuh\ manungsa lali asale\
Ø Ukuman
ratu ora adil\ akeh pangkat jahat jahil\ kelakuan padha ganjil\ sing apik padha
kepencil\ akarya apik manungsa isin\ luwih utama ngapusi\
Ø Wanita
nglamar pria\ isih bayi padha mbayi\ sing pria padha ngasorake drajate dhewe\
Bait 152 sampai dengan 156 hilang
Ø Wong
golek pangan pindha gabah den interi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\
sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi
padha mati\ nanging sing ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat
kepati-pati\
Ø Cina
alang-alang keplantrang dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing
tan eling miling-miling\ mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha
manjing\ akeh wong injir, akeh centhil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora
eman\
Ø Selet-selete
yen mbesuk ngancik tutuping tahun\ sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning
ratu\ bakal ana dewa ngejawantah\ apengawak manungsa\ apasurya padha bethara
Kresna\ awatak Baladewa\ agegaman trisula wedha\ jinejer wolak-waliking zaman\
wong nyilih mbalekake,\ wong utang mbayar\ utang nyawa bayar nyawa\ utang
wirang nyaur wirang\
Ø Sadurunge
ana tetenger lintang kemukus lawa\ ngalu-ngalu tumanja ana kidul wetan bener\
lawase pitung bengi,\ parak esuk bener ilange\ bethara surya njumedhul\
bebarengan sing wis mungkur prihatine manungsa kelantur-lantur\ iku tandane
putra Bethara Indra wus katon\ tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa\
Ø Dunungane
ana sikil redi Lawu sisih wetan\ wetane bengawan banyu\ andhedukuh pindha Raden
Gatotkaca\ arupa pagupon dara tundha tiga\ kaya manungsa angleledha\
Ø Akeh
wong dicakot lemut mati\ akeh wong dicakot semut sirna\ akeh swara aneh tanpa
rupa\ bala prewangan makhluk halus padha baris, pada rebut benere garis\ tan
kasat mata, tan arupa\ sing madhegani putrane Bethara Indra\ agegaman trisula
wedha\ momongane padha dadi nayaka perang\ perange tanpa bala\ sakti mandraguna
tanpa aji-aji.
Ø Apeparap
pangeraning prang\ tan pokro anggoning nyandhang\ ning iya bisa nyembadani
ruwet rentenging wong sakpirang-pirang\ sing padha nyembah reca ndhaplang,\
cina eling seh seh kalih pinaringan sabda hiya gidrang-gidrang\
Ø Putra
kinasih swargi kang jumeneng ing gunung Lawu\ hiya yayi bethara mukti, hiya
krisna, hiya herumukti\ mumpuni sakabehing laku\ nugel tanah Jawa kaping
pindho\ ngerahake jin setan\ kumara prewangan, para lelembut ke bawah perintah
saeko proyo\ kinen ambantu manungso Jawa padha asesanti trisula weda\ landhepe
triniji suci\ bener, jejeg, jujur\ kadherekake Sabdopalon lan Noyogenggong\
Ø Pendhak
Sura nguntapa kumara\ kang wus katon nembus dosane\ kadhepake ngarsaning sang
kuasa\ isih timur kaceluk wong tuwa\ paringane Gatotkaca sayuta\
Ø Idune
idu geni\ sabdane malati\ sing mbregendhul mesti mati\ ora tuwo, enom padha
dene bayi\ wong ora ndayani nyuwun apa bae mesthi sembada\ garis sabda ora
gentalan dina,\ beja-bejane sing yakin lan tuhu setya sabdanira\ tan karsa
sinuyudan wong sak tanah Jawa\ nanging inung pilih-pilih sapa\
Ø Waskita
pindha dewa\ bisa nyumurupi lahire mbahira, buyutira, canggahira\ pindha lahir
bareng sadina\ ora bisa diapusi marga bisa maca ati\ wasis, wegig, waskita,\
ngerti sakdurunge winarah\ bisa pirsa mbah-mbahira\ angawuningani jantraning
zaman Jawa\ ngerti garise siji-sijining umat\ Tan kewran sasuruping zaman\
Ø Mula
den upadinen sinatriya iku\ wus tan abapa, tan bibi, lola\ awus aputus weda
Jawa\ mung angandelake trisula\ landheping trisula pucuk\ gegawe pati utawa
utang nyawa\ sing tengah sirik gawe kapitunaning liyan\ sing pinggir-pinggir
tolak colong njupuk winanda\
Ø Sirik
den wenehi\ ati malati bisa kesiku\ senenge anggodha anjejaluk cara nistha\
ngertiyo yen iku coba\ aja kaino\ ana beja-bejane sing den pundhuti\ ateges
jantrane kaemong sira sebrayat\
Ø Ing
ngarsa Begawan\ dudu pandhita sinebut pandhita\ dudu dewa sinebut dewa\ kaya
dene manungsa\ dudu seje daya kajawaake kanti jlentreh\ gawang-gawang terang
ndrandhang\
Ø Aja
gumun, aja ngungun\ hiya iku putrane Bethara Indra\ kang pambayun tur isih
kuwasa nundhung setan\ tumurune tirta brajamusti pisah kaya ngundhuh\ hiya siji
iki kang bisa paring pituduh\ marang jarwane jangka kalaningsun\ tan kena den
apusi\ marga bisa manjing jroning ati\ ana manungso kaiden ketemu\ uga ana
jalma sing durung mangsane\ aja sirik aja gela\ iku dudu wektunira\ nganggo
simbol ratu tanpa makutha\ mula sing menangi enggala den leluri\ aja kongsi
zaman kendhata madhepa den marikelu\ beja-bejane anak putu\
Ø Iki
dalan kanggo sing eling lan waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang
dalem ngleluri wong apengawak dewa\ cures ludhes saka braja jelma kumara\
aja-aja kleru pandhita samusana\ larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku
hiya pinaringaning dewa\
Ø Nglurug
tanpa bala\ yen menang tan ngasorake liyan\ para kawula padha suka-suka\ marga
adiling pangeran wus teka\ ratune nyembah kawula\ angagem trisula wedha\ para
pandhita hiya padha muja\ hiya iku momongane kaki Sabdopalon\ sing wis adu wirang
nanging kondhang\ genaha kacetha kanthi njingglang\ nora ana wong ngresula
kurang\ hiya iku tandane kalabendu wis minger\ centi wektu jejering kalamukti\
andayani indering jagad raya\ padha asung bhekti\
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar