PANGKAJENE DAN KEPULAUAN
Orientasi
Pangkajene dan Kepulauan (Makassar: ᨄᨀᨍᨙᨊᨙ ᨉ ᨀᨙᨄᨘᨒᨕᨘᨕ, disingkat Pangkep) adalah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten yang sebelumnya disebut Pangkajene Kepulauan ini beribu kota di Pangkajene. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.112,29 km², tetapi setelah diadakan analisis bersama Bakosurtanal, luas wilayah tersebut direvisi menjadi 12.362,73 km² dengan luas wilayah daratan 898,29 km² dan wilayah laut 11.464,44 km².
Etimologi
Asal kata Pangkajene dipercaya berasal dari sungai besar yang membelah kota Pangkep. Pangka berarti cabang, dan Je'ne berarti air. Ini mengacu pada sungai yang membelah kota Pangkep yang membentuk cabang air.
Penetapan Hari Jadi Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan
Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage rendu a' un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh kapal–kapal Portugis antara tahun 1542 dan 1548. (M Ali Fadhillah, 2000).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang pertama kali muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540. Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang “lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Sumber Portugis menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng ( Gadinaro , menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja Portugal I dan Paus Pascal II. (A Zainal Abidin Farid : 1986).
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari Erofah. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin terhadap sumber – sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka (Pelras 1973 : 53). Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang. Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan arkeologi berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) . Ketika kembali tahun 1544, de Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa, Siang dan Gowa (Pelras, 1973 : 41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota yang besar “yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi begitu”. (Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan Siang berada pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad XIV – akhir XVI.
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga secara politik antara Abad XIV - XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan Lima'e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Abdul Razak Dg Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu menyebut periode pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan,Manurunga ri Siang , bernama Nasauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang . Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti menjadi raja di Siang ( asossorangi ma'gauka ) sampai tiba masanya Karaeng Allu memerintah di Siang paska Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa.
Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras mengonfirmasikan tradisi tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar raja – raja dari negeri besar lain yang melintasi terirori Siang memberi hormat pada“Karaeng Siang” . (M Ali Fadhillah, 2000 : 17). Sumber Portugis banyak menunjuk periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat, sebagaimana catatan Pelras (1977 : 243) melihat, gelombang kedatangan Portugis ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa dimana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan pusat politik di pesisir barat teritori Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa Siang mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar).
Dari kesejajaran konteks sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir selatan, Siang dapat diterangkan pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang dikenal, tetapi bukti-bukti arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal bahwa Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan mungkin langsung dengan pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada masa jatuhnya Majapahit mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari daratan Asia Tenggara daratan lainnya.
Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh pusat politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng, eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo.
Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya sumber-sumber alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama mengenal jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai sebagai akses komunikasi utama. Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain membawa perubahan pada pola ekonomi, terutama setelah mengenal teknologi penanaman padi basah (sawah) dan memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai ke pedalaman dengan pembukaan hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi sebagai komoditas utama.
Tome Pires mencatat bahwa satu tahun setelah jatuhnya Malaka (1511), pulau – pulau Macacar (Makassar) merupakan tempat – tempat yang terikat dalam jaringan perdagangan interinsuler. Meskipun Pires menduga bahwa perdaganganMacacar masih kurang penting, tetapi sejak itu, sudah menawarkan rute langsung ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir selatan Kalimantan dan Sulawesi ; sebuah alternatif dari rute tradisional melalui pesisir utara Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu sampai pertengahan Abad XVI, untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu sejak perjalanan Antonio de Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548) ke pesisir barat Sulawesi Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk utama Macacar. Dan kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah mempunyai kesan khusus akan kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil hutan, beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam M Ali Fadhillah, 2000).
Tonggak sejarah kolonial di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di Siang. Kekalahan Gowa menghadapi aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan dinasti Gowa dan kebangkitan kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung Palakka. I Johoro Pa'rasanya Tubarania naik sebagai penguasa lokal, I Joro juga digelari Lo'moki Ba'le (penguasa dari seberang), karena ia kembali dari seberang laut (Jawa dan Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke negeri sebelah barat nusantara.
Sejarah kekaraengan Lombassang atau Labakkang mulai dikenal sesudah menurunnya pamor politik ekonomi Siang. Penguasa Labakkang turut membantu Gowa menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene. Setelah Gowa kalah dari Belanda (1667), Labakkang lepas dari Gowa dan masuk ke dalam kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah administrasi Noorderpprovincien , lalu menjadi Noorderdistrichten dalam kendali administrasi Belanda berpusat di Fort Rotterdam ( Benteng Jumpandang ). Somba Labakkang ketika itu didampingi anggota adatBujung Tallua , yang berkuasa di unit politik dan teritorial sendiri, yakni di Malise, Mangallekana dan Lombasang, sebelum lebih kompleks lagi dengan bergabungnya penguasa-penguasa kecil lainnya.
Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri – negeri taklukannya itu adalah menempatkan Ana' Bate Karaeng , biasa disebut bate-bate'a). kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber sejarah dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa – Tallo. Kerajaan Siang dibawah hegemoni pemerintahan Gowa sekitar 1512 - 1668.
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan produk sistem kawin - mawin itu telah menjalin hubungan kekerabatan semakin luas. Siang dan beberapa unit teritori politik seperti Barasa (Pangkajene), Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma'rang dan Segeri juga mengadakan kawin mawin antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi Gowa, Bone dan Soppeng. Demikian pula Ma'rang dan Segeri. Sedang Labakkang dengan Gowa, walaupun pada awalnya Labakkang merupakan keturunan raja – raja Luwu, Soppeng dan Tanete. Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan masyarakat Pangkep telah menyatukan darah orang Bugis Makassar dalam wujud keturunan, bahasa, tradisi dan adat – istiadat.
Silsilah raja – raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang dipegang Karaengta Allu adalah sebagai berikut : (1) Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro' (Mappasoro) Matinroe' ri Ponrok, yang bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ; (4) Pasempa Dg Paraga ; (5) Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua (Karaeng Bonto – Bonto) ; (7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene ; (8) Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince Wangkang dari Malaka ; (10) Solle Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa Dg Masalle ; (13) Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg Malliungang ; (15) Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu.
Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru, pergantian raja atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja, maka diwajibkan hadir Anrong Appaka ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri Sengkaya ; (2) Lo'moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau acara ‘Kalompoanga ri Siang' dapat dianggap sah. Selain keempat bate-bate'a ini juga diharapkan hadir Oppoka ri Pacce'lang.
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi Gowa ( A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari keturunan ‘Tumanurunga ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh Lengan'. Tidak diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta Allu (Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak diketahui berapa generasi. (c) Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro') , sahabat Arung Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang sendiri, mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (di masa kompeni Belanda).
Hasil penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang dikelilingi oleh benteng kota (batanna kotayya) . Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya bermuara di Sungai Siang yang telah mati. (Fadhillah dan Irfan Mahmud, 2000 : 27). Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi dan proses pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir. Kemunduran Siang, yang diperkirakan terjadi pada akhir abad XVI.
Kemenangan Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja Gowa menduduki tahta Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri Kammasi yang diganti oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat politiknya kembali ke Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang dengan memakai gelar Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka (empat bangsawan kepala) : Kare Kajuara , Kare Sengkae, Kare Lesang danKare Baru-baru . Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan membentuk konfederasi dibawah otoritas Siang baru (periode Islam). Karaeng Allu juga yang menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah pemeliharaan Oppoka ri Paccelang.
Temuan – temuan fragmen keramik hasil ekskavasi situs Siang di SengkaE, Bori Appaka, Bungoro berupa Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing, Mangkuk Swatow BW, Mangkuk Wangli BW, Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih, Piring Swatow, yang berasal dari Abad XVII-XVIII. Juga ada fragmen keramik dari Abad XVI seperti Vas Swankalok, Mangkuk Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan Tempayan Vietnam. Jumlah keseluruhan temuan sebanyak 38 fragmen keramik. Keramik Asing dinasti Ching memberi kronologi relatif lapisan budaya Siang menyampaikan periode relatif berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang sekurang-kurang berasal dari Abad XVII-XVIII (M Ali Fadhillah dkk, 2000 : 72).
Geografi
Berdasarkan letak astronomis, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan berada pada 11.00’ bujur timur, dan 040. 40’ – 080. 00’ lintang selatan.
Secara Administratif Luas wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah 12.362,73 Km2 (setelah diadakan analisis Bakosurtanal) untuk wilayah laut seluas 11.464,44 Km2, dengan daratan seluas 898,29 Km2, dan panjang garis pantai di Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan yaitu 250 Km, yang membentang dari barat ke timur. Di mana Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terdiri dari 13 kecamatan, di mana 9 kecamatan terletak pada wilayah daratan, dan 4 kecamatan terletak di wilayah kepulauan.
Batas wilayah
Batas administrasi, dan batas fisik Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan adalah sebagai berikut:
Utara |
|
Timur |
|
Selatan |
|
Barat |
Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan merupakan kabupaten yang struktur wilayah terdiri atas 2 bagian utama yang membentuk kabupaten ini yaitu: 1. Wilayah Daratan Secara garis besar wilayah daratan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan ditandai dengan bentang alam wilayah dari daerah dataran rendah sampai pegunungan, di mana potensi cukup besar juga terdapat pada wilayah daratan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan yaitu ditandai dengan terdapatnya sumber daya alam berupa hasil tambang, seperti batu bara, marmer, dan semen. Disamping itu potensi pariwisata alam yang mampu menembah pendapatan daerah.
Kecamatan yang terletak pada wilayah daratan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yaitu terdiri dari : Kecamatan Pangkajene, Kecamatan Balocci, Kecamatan Bungoro, Kecamatan Labakkang, Kecamatan Ma’rang, Kecamatan Segeri, Kecamatan Minasa Te’ne, Kecamatan Tondong Tallasa, dan Kecamatan Mandalle.
2. Wilayah Kepulauan Wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan merupakan wilayah yang memiliki kompleksitas wilayah yang sangat urgen untuk dibahas, wilayah kepulauan Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan memiliki potensi wilayah yang sangat besar untuk dikembangkan secara lebih optimal, untuk mendukung perkembangan wilayah Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan. Kecamatan yang terletak di wilayah Kepulauan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yaitu:
1. Kecamatan Liukang Tupabiring
2. Kecamatan Liukang Tupabiring Utara
3. Kecamatan Liukang Kalmas
4. Kecamatan Liukang Tangaya
Pulau
Terdapat lebih dari setidaknya 50 pulau yang berada di wilayah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Pulau-pulau tersebut sebagian besar berada di kecamatan Liukang Tupabbiring, Liukang Tangaya, dan Liukang Kalmas.
Daftar Pulau di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Daftar ini tidak dimaksudkan sebagai suatu daftar yang lengkap atau selalu terbarui. Jika Anda melihat artikel yang seharusnya tercantum di sini, silakan sunting halaman ini dan tambahkan pranala ke artikel tersebut. Gunakan perubahan terkait untuk melihat perubahan terbaru dari artikel-artikel yang tercantum pada halaman ini.
Daftar pulau:
Iklim
Menurut klasifikasi iklim Koppen, wilayah Kabupaten Pangkajene beriklim muson tropis (Am) dengan dua musim yang dipengaruhi oleh pergerakan angin muson, yaitu musim penghujan yang disebabkan oleh angin muson baratan yang bersifat basah dan lembab serta musim kemarau yang diakibatkan oleh angin muson timuran yang bersifat kering dan sedikit membawa uap air. Musim kemarau di wilayah Kabupaten Pangkajene berlangsung cukup singkat pada periode Juni hingga Oktober dengan rata-rata curah hujan kurang dari 120 mm per bulannya.
Sementara itu, musim hujan di wilayah Kabupaten Pangkajene berlangsung cukup panjang pada periode November hingga Mei dengan rata-rata curah hujan lebih dari 200 mm per bulannya dan dengan bulan terbasah yakni Januari yang curah hujan bulanannya lebih dari 560 mm per bulan. Curah hujan tahunan di wilayah Kabupaten Pangkajene berkisar pada angka 2.300–3.500 mm per tahun dengan jumlah hari hujan berkisar antara 100–220 hari hujan per tahun. Suhu udara di wilayah Kabupaten Pangkajene bervariasi antara 21°–33 °C dengan tingkat kelembapan nisbi ±81%.
Demografi
Bahasa
Bahasa resmi instansi pemerintahan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan adalah bahasa Indonesia. Menurut Statistik Kebahasaan 2019 oleh Badan Bahasa, terdapat dua bahasa daerah di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, yaitu bahasa Makassar dan bahasa Bugis (khususnya dialek Pangkajene dan Kepulauan). Namun di wilayah kepulauannya menggunakan bahasa mandar pada kecamatan liukang kalmas dan liukang tangaya.
Pemerintahan
Kecamatan
Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan terdiri dari 13 kecamatan, 38 kelurahan, dan 65 desa. Pada tahun 2017, kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.132,08 km² dan jumlah penduduk sebesar 361.636 jiwa dengan sebaran penduduk 319 jiwa/km².
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, adalah sebagai berikut:
Kode |
Kecamatan |
Jumlah |
Jumlah |
Status |
Daftar |
73.10.05 |
4 |
1 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.06 |
3 |
5 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.07 |
4 |
9 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.01 |
1 |
8 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.02 |
1 |
6 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.03 |
2 |
7 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.13 |
7 |
Desa |
|||
73.10.11 |
6 |
Desa |
|||
73.10.08 |
4 |
6 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.10 |
6 |
2 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.04 |
9 |
- |
Kelurahan |
||
73.10.09 |
4 |
2 |
Desa |
||
Kelurahan |
|||||
73.10.12 |
6 |
Desa |
|||
TOTAL |
38 |
65 |
Penduduk
Pada hasil Sensus tahun 2010 menyatakan penduduk Kabupaten Pangkajene, dan Kepulauan sekitar 305.737 Jiwa yang terdiri atas 147.229 Laki-Laki, dan 158.508 Jiwa Perempuan.
Tempat bersejarah
Museum Karst dan Budaya terletak di Jalan Andi Mandacingi, Kecamatan Pangkajene.
----- ooooo oOo ooooo -----
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar