Asal-Usul Fatimah az-Zahra, r.a.
Fatimah binti Muhammad (606/614 -
632) atau lebih dikenal dengan Fatimah az-Zahra (Fatimah yang selalu
berseri) (Bahasa Arab: فاطمة الزهراء) putri bungsu
Nabi Muhammad dari
perkawinannya dengan istri pertamanya, Khadijah.
Kelahiran & Kehidupan Keluarga
Kelahiran &
Kematian
Pemimpin wanita pada masanya ini adalah putri ke 4
dari anak anak Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, dan ibunya adalah Ummul
Mukminin Khadijah binti Khuwalid. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala
menghendaki kelahiran Fatimah yang mendekati tahun ke 5 sebelum Muhammad
diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya
Rasulullah sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku Quraisy
tentang siapa yang berhak meletakan kembali Hajar Aswad setelah Ka’bah diperbaharui.
Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir
menjadikan peperangan diantara kabilah-kabilah yang ada di Makkah.
Kelahiran Fatimah disambut gembira oleh Rasulullahu alaihi wassalam dengan memberikan nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya).
Ia putri yang mirip dengan ayahnya, Ia tumbuh dewasa dan ketika menginjak usia 5 tahun terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya yaitu turunnya wahyu dan tugas berat yang diemban oleh ayahnya. Dan ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya. sampai cobaan yang berat dengan meninggal ibunya Khadijah. Ia sangat pun sedih dengan kematian ibunya.
Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fatimah dan kakaknya ummu Kulsum tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya. Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminang Fatimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi Nabi menolak dengan lemah lembut. Lalu Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika Nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak ada ya Rasulullah,” jawabku. “ Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” Tanya beliau. “ Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawabku. “Berikan itu kepadanya (Fatimah) sebagai mahar,”.kata beliau.
Lalu ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affan seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.
Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Al-Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H. pada tahun ke 5 H ia melahirkan anak perempuan bernama Zainab dan yang terakhir bernama Ummu Kultsum.
Rasulullah sangat menyayangi Fatimah, setelah Rasulullah bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah sebelum menemui istri istrinya. Aisyah berkata ,” Aku tidak melihat seseorang yang perkataannya dan pembicaraannya yang menyerupai Rasulullah selain Fatimah, jika ia datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu menciumnya dan menyambut dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya.”.
Rasulullah mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya
takala diatas mimbar:” Sungguh Fatimah bagian dariku , Siapa yang membuatnya
marah berarti membuat aku marah”. Dan dalam riwayat lain disebutkan,” Fatimah
bagian dariku, aku merasa terganggu bila ia diganggu dan aku merasa sakit jika
ia disakiti.”.
Setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasalam menjalankan haji wada’ dan ketika ia melihat Fatimah, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata,” Selamat datang wahai putriku”. Lalu Beliau menyuruh duduk disamping kanannya dan membisikkan sesuatu, sehingga Fatimah menangis dengan tangisan yang keras, tatkala Fatimah sedih lalu Beliau membisikkan sesuatu kepadanya yang menyebabkan Fatimah tersenyum.
Tatkala Aisyah bertanya tentang apa yang dibisikannya lalu Fatimah menjawab,” Saya tak ingin membuka rahasia”. Setelah Rasulullah wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fatimah tentang apa yang dibisikan Rasulullah kepadanya sehingga membuat Fatimah menangis dan tersenyum. Lalu Fatimah menjawab, ”Adapun yang Beliau katakan kepada saya pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril telah membacakan al-Qur’an dengan hafalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu Beliau berkata, “Sungguh saya melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik-baiknya Salaf (pendahulu) untukmu adalah Aku”.
Maka akupun menangis yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat Beliau membisikan yang kedua kali, Beliau berkata, ”Wahai Fatimah apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku”. Kemudian saya tertawa.
Tatkala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah Shallallahu
alaihi wassalam, Fatimah jatuh sakit, namun ia merasa gembira karena kabar
gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian iapun beralih ke sisi
Tuhannya pada malam Selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.
Keluarga
Pernikahan
Ketika usianya beranjak dewasa, Fatimah Az-Zahra
dipersunting oleh salah satu sepupu, sahabat sekaligus orang kepercayaan
Rasulullah, Ali bin Abi Thalib.
Keturunan
Dari pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah
Az Zahra memiliki 4 anak, 2 putra dan 2 putri. 2 putra yaitu Hasan dan Husain.
Sedangkan yang putri yaitu Zainab dan Ummu Kulsum. Hasan dan Husain sangat
disayangi oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Waalihi Wassalam.Sebenarnya ada
satu lagi anak Fatimah Az Zahra bernama Muhsin ,tetapi Muhsin meninggal dunia
saat masih kecil.
Kesayangan ayahnya
Fatimah Az-Zahra tumbuh menjadi seorang gadis yang
tidak hanya merupakan putri dari Rasulullah, namun juga mampu menjadi salah
satu orang kepercayaan ayahnya pada masa Beliau. Fatimah Az-Zahra memiliki
kepribadian yang sabar,dan penyayang karena dan tidak pernah melihat atau
dilihat lelaki yang bukan mahromnya. Rasullullah sering sekali menyebutkan nama
Fatimah, salah satunya adalah ketika Rasulullah pernah berkata " Fatimah
merupakan bidadari yang menyerupai manusia".
Detik-Detik Kematian Ali bin Abi Thalib
Ali
bin Abi Thalib. Cukuplah kalau disebutkan bahwa dia adalah sepupu Nabi Suci
Muhammad saw. Sejak kelahirannya di Ka’bah, dia dibesarkan dan dididik langsung
oleh Nabi Suci. Ali adalah lelaki pertama yang memeluk Islam. Ali adalah
kembang, kebanggaan dan perisai Islam hingga akhir hayatnya.
Berikut
adalah maqtam, narasi detik-detik kematian Ali yang cemerlang, yang
kerap dibacakan di majelis menyambut malam ganjil Laylatul Qadar – 19 dan 21
Ramadhan:
Malam 19 Ramadhan
Narator: BICARA TENTANG
manusia, orang sudah seharusnya bicara tentang apa yang terjadi di akhir
perjalanan manusia. Yaitu kematian. Dan soal kematian, fragmen Kesyahidan
Amiril mu’minin Imam Ali merupakan manifestasi keimanan, kecintaan,
akhlak yang agung, kemuliaan, kerinduan membara pada Sang Khalik.
Kalangan
sejarawan Islam mengatakan bahwa fragmen Kesyahidan Imam Ali menjadi indah
dalam sejarah kemanusian karena dia telah mengetahui detail ceritanya dari jauh
hari. Rasul sendiri yang mengabarkan bahwa Imam Ali bakal syahid karena sebuah
pukulan pedang beracun di bulan Ramadhan. Tapi Imam Ali tak pernah sedikitpun
menunjukkan tanda meminta penangguhan atau menunjukkan gelagat enggan menerima
suratan tragis itu. Padahal, sekiranya mau, dia bisa mengubah cerita akhir
hidupnya.
Toh orang tahu Ali pernah menahan terbenamnya matahari dengan sebaris doa. Orang pun tahu kalau Rasul Suci akan mengorbankan apa saja, termasuk nyawanya, sekiranya Imam Ali yang meminta. Antara Rasul dan Ali ada ikatan kuat yang tak terpisahkan, bahkan oleh kematian. Ali pernah berkata:
Imam Ali “Nabi membesarkan aku
dengan suapannya sendiri. Aku pun selalu menyertai beliau kemanapun beliau
pergi, seperti anak unta yang mengikuti induknya. Tiap hari aku dapatkan suatu
hal baru dari akhlak beliau yag mulia, aku menerimanya serta langsung
mengikutinya sebagai kewajiban yang diperintahkan.”
Narator: Rasul sendiri pernah bersabda: “Ali tak pernah ragu dalam melaksanakan perintahku dan selalu menantiku dalam segala sesuatu.”
Kata
Rasul lagi: “Jika kalian ingin melihat keluasan ilmu Adam, kesalehan Nuh,
kesetiaan Ibrahim, keterpesonaan Musa (saat menyaksikan Allah), pelayanan dan
wara’ Isa, maka lihatlah pada wajah Ali.”
Ya, Ali yang disayang Rasul itu berhadapan dengan bayang-bayang kematian saat usianya masuk 63 tahun. Tapi Ali bukan sembarang lelaki. Dia menyambut kematiannya seperti pengantin yang menanti hari pernikahan. Inilah kisah kerinduan, kesyahduan, penantian kekasih demi menjumpai Sang Tambatan Hati, Allah swt.
Pada bulan Ramadhan tahun 40 Hijriah itu, setiap hari Imam Ali mendatangi anaknya untuk berbuka dan sahur bersama. Terkadang beliau mampir di rumah Imam Hasan, kemudian besoknya mendatangi Imam Husein, di hari ketiga mendatangi putrinya Zainab, dan di hari keempat berbuka dan bersahur di rumah putrinya Ummu Kalsum.
Hari
itu adalah Jumat yang cerah, tanggal 19 Ramadhan tahun 40 H. Di rumah Ummu
Kaltsum di Kufah, di wilayah yang sekarang disebut sebagai Irak, Ali seperti
merangkum sejarah dan perjuangan pahit getir para Nabi sejak Adam hingga
Ibrahim di tanah Babilonia.
Pada malam 19 itu, Ummu Kalsum mendapat giliran berbuka bersama ayah tercintanya. Dia menyuguhkan menu berbuka dalam dua nampan, satu berisi roti kering dan lainnya berisi susu masam. Imam Ali menegurnya: “Bukankah kau sudah tahu bahwa aku selalu mengikuti putra pamanku Rasulullah yang tidak pernah makan sajian dalam dua nampan sepanjang hidupnya? Maka mohon angkatlah salah satunya. Barangsiapa yang makan dan minumnya enak di dunia ini maka perhitungannya akan lama kelak di hadapan Allah… .”
Ummu Kulsum menuturkan bahwa malam itu Imam Ali makan sangat sedikit dari roti kering yang kusuguhkan dan memperbanyak ucapan hamdalah dalam tiap suapnya. Selesai makan sedikit, Imam segera bangkit untuk melaksanakan shalat yang lama. Imam terus dalam keadaan rukuk, sujud, bermunajat, berdoa yang khusyu, dan sering-sering keluar rumah untuk melihat langit. Sekali di antaranya dia berujar: “Ya, ya…inilah malam yang dijanjikan kekasihku Rasulullah.”
Di
malam itu, Ali sempat tertidur sejenak dan terbangun cepat.
Ummu
Kaltsum, putri bungsu Fathimah Azzahra ‘alayhas-salam itu, lantas menuturkan
apa yang terjadi di detik-detik yg paling mempesona dari kehidupan ksatria
langit, kekasih Allah dan Rasulullah ini sebagai berikut.
Ummu Kaltsum “Aku melihat ayahku shalat
hingga tengah malam. Di serangkaian shalatnya, beliau sebentar-sebentar keluar
rumah, menengok sejenak ke langit dan kembali lagi untuk shalat. Tangisannya
lebih panjang dari biasanya. Rukuknya lebih lama, sujudnya lebih lama. Lantunan
munajatnya pun lebih syahdu dari hari-hari biasanya.”
Narator : Imam Ali tenggelam dalam ibadah hingga menjelang subuh. Di sela-selanya, dia beberapa kali seperti berbicara pada dirinya sendiri:
“Sepertinya
inilah malam yang dijanjikan kekasihku, Rasulullah.”
“Ya
Allah, Engkau tak pernah berbohong dan aku pun tidak akan mengkhianati-Mu.
Inilah malam kematian yang Kau janjikan padaku.”
“Lailaha
Illallah. Hukum sebab akibat senantiasa terjadi. Sebentar lagi ketetapan Allah
akan diputuskan.”
Narator: Ummu Kaltsum hanya bisa berurai air mata. Kakeknya Rasulullah saw. Pernah mengatakan bahwa Ali akan Syahid dibunuh “saudara pembunuh onta suci Nabi Shaleh” pada Jumat terakhir bulan Ramadhan. Imam Ali dan semua keluarga dekat Nabi tahu persis siapa orangnya: Abdurrahman Ibnu Muljam.
Nama
Ibnu Muljam sebenarnya sudah lama dikenal oleh keluarga Nabi.
Suatu
kali Kumayl bin Ziyad, sahabat dekat dan penyimpan rahasia Imam Ali, pernah
menemani beliau menelusuri lorong-lorong Kufah di malam hari. Di tengah2
perjalanan, terdengar suara ayat Alquran dari masjid.
Kumayl berkata, “Ya Amirul Mu’minin, alangkah
merdunya suara itu.”
Imam Ali menimpali, “Ya Kumayl,
itulah suara orang (Abdurrahman bin Muljam) yang akan menebas pedangnya ke
kepalaku di saat aku sedang shalat subuh.”
Narator: Ali sadar tak ada hukum yang bisa dilakukan untuk kejahatan yang belum dikerjakan. Dia juga tahu kematian adalah sesuatu yang menyeramkan tapi perhatian pada Tuhan akan melenyapkan semua ketakutan apapun di alam ini.
Malam
itu, dalam perjalanan menuju Masjid Kufah, Imam Ali beberapa kali menengok ke
langit.
Di
mesjid Kufah, dia mendapati Ibnu Muljam tidur telungkup. Dia pun menasehatinya:
“Innas sholata tanha ‘anil fahsyai wal munkar. Sesungguhnya shalat
mencegah perbuatan fasik dan munkar.
Yang
disapa dan dinasehati membantu, tak kunjung beranjak.Lalu Imam Ali berkata
lirih: “Kau sepertinya bertekad mengerjakan sesuatu yg sangat berbahaya, sangat
mengerikan. Kalau aku mau, akan kuceritakan padamu apa yang ada di balik bajumu
itu.”
Narator : Imam Ali tahu di balik baju Ibnu Muljam, semoga Allah swt mengutuknya, tersimpan pedang beracun. Tapi dia tak mempedulikannya untuk sebuah alasan yang belum pernah didengar dunia.
Setelah
azan subuh tanggal 19 Ramadhan berkumandang, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
kembali keluar masjid, dan menengok ke fajar yang menyingsing. Kemudian dengan
suara parau, beliau mengucapkan selamat berpisah kepada fajar:
Imam Ali ”Wahai Fajar.. sepanjang Hayat
Ali.. Pernahkah engkau muncul dan mendapatkannya tertidur ??
Narator : Di mihrab, Ali memulai shalatnya seorang diri. Dia seperti sengaja memperpanjang rukuk dan sujudnya. Ibnu Muljam, seperti orang-orang di zaman itu, tahu persis betapa Ali tak pernah mempedulikan apapun saat shalat. Dia kemudian datang mendekat. Dan dari depan, dia mulai mengayunkan pukulan ke kepala Ali, tepat saat Ali ingin bangun dari sujud partamanya.
Darah
lalu mengucur deras. Dahi Ali koyak. Janggutnya meneteskan darah. Tapi tak ada
erangan dari mulut Ali. Justru pujian pada Tuhan.
Imam Ali ;“Bismillah, wa billah wa ‘ala
millati Rasulillah…
Dengan suara melengking, Imam Ali kemudian
berteriak:
“Fuztu wa Rabbil Ka’bah…Demi Tuhan Ka’bah, sungguh aku telah berjaya.”
Seiring
dengan suara Imam Ali, seluruh penduduk Kufah mendengar gelegar suara keras
Jibril yang mengabarkan berita duka itu, hingga semua warga berhamburan keluar
rumah untuk menuju masjid jami Kufah.
Ummu
Kalsum yang mendengar suara itu dari rumah sontak menjerit lirih: “Waaah
Abataaah, Waaah Aliyaah” (Oooh Ayahku, Ooooh Aliku).
Yang
pertama datang menyaksikan Imam Ali bercucuran darah adalah putra sulungnya,
Hasan.
Imam
Hasan menuturkan bahwa Imam Ali terus berusaha melengkapi rangkaian shalatnya
sambil duduk. Badannya menggigil. Setelah salam, dia mengusapkan tanah sujud ke
dahinya yang merekah sembari mengucapkan firman Allah dalam surat Thaha ayat
55:
Imam Ali “Dari tanah, kalian Kami
ciptakan, dari tanah pula kalian Kami kembalikan dan bangkitkan.”
Narator: Semua kejadian disaksikan oleh seluruh putranya, terutama Hasan yang tak kuasa menahan airmata. Imam Ali meminta Hasan untuk mengimami jamaah shalat. Beliau mengikuti dari belakang dengan gerakan isyarat sambil terus membersihkan cucuran darah dari kening sucinya.
Seusia
shalat, Hasan langsung kembali menengok ayahnya, didampingi Husein dan seluruh
putra Ali yang lain.
Hasan: Duhai Ayahku, tak kuasa aku melihatmu begini…sungguh ini sangat menghancurkan hatiku. Berat sekali bagiku melihatmu seperti ini.
Imam Ali membuka matanya lalu berkata: Anakku
Hasan…jangan bersedih. Sebentar lagi aku tidak akan merasakan kegetiran apapun.
Lihatlah itu, Kakekmu Muhammad Al-Musthafa, Nenekmu Khadijah Al-Kubra, Ibumu
Fathimah Azzahra, dan para bidadari berjejer-jejer menyambut kedatangan ayahmu.
Tegarlah dan riangkan hatimu.
Hasan kemudian meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya untuk membersihkan darah yang tak berhenti mengucur. Tak lama berselang, Imam Ali pingsan dalam pelukan Hasan. Jerit tangis membahana ke seluruh arah. Hasan pun langsung menciumi wajah ayahnya demikian pula putra-putra Imam yang lain.
Derasnya
airmata Hasan menyadarkan Imam Ali. Imam pun langsung bertanya: “Anakku Hasan,
untuk apa tangisan ini? Jangan bersedih atas keadaan ayahmu. Apakah kau
bersedih atas keadaanku padahal esok kau akan dibunuh dengan cara diracun dan
adikmu Husein akan dibunuh dengan tebasan pedang. Lantas kalian semua akan
menyusulku bersama kakek dan ibu kalian.”
Setelah kekacauan terjadi, salah seorang di antara khalayak belakangan masuk membawa Ibnu Muljam. Orang curiga dia lari menjauh dari mesjid dengan pedang berlumur darah sementara seluruh penduduk justru menuju masjid.
Kematian
telah mendekati Ali. Rekahan di dahinya begitu dalam. Tapi musibah itu tak
merusak karakter keadilan yang larut dalam darah dan dagingnya. Dia melarang
orang membalas pada Ibnu Muljam.
Imam Ali “Aku tahu engkau akan
membunuhku…Pasti…Tapi sesungguhnya aku masih berharap pada Allah adanya
perubahan pada diri dan nasibmu.”
Narator ; Ibnu Muljam tak kuasa mendengar kalimat setinggi itu. Dia menangis.
Ibnu Muljam “Ya Amirul Mukminin, afa
anta tunqidzhu man finnaar (apakah engkau bisa menolong orang yang sudah
masuk neraka)?”
Narator: Ali menjawab dengan memerintahkan anak-anaknya mencari susu. Dia kehausan dan meminta mereka mempersilahkan Ibnu Muljam meminumnya lebih dahulu……………….sedangkan Imam meminum sisanya………. Inilah minuman susu terakhirnya.
Imam Ali :”Wahai, putra-putra ‘Abdul
Muthalib, sesungguhnya aku tidak ingin melihat kalian menumpahkan darah kaum
Muslimin sambil berteriak “Amirul Mukmini telah dibunuh!” Ingatlah, jangan
membunuh dengan alasan kematianku, kecuali atas pembunuhku. Tunggulah hingga
aku mati oleh pukulannya ini. Kemudian pukullah dia dengan satu pukulan dan
jangan rusakkan anggota-anggota badannya, karena aku telah mendengar Rasulullah
saw berkata, “Jauhkan memotong-motong anggota badan sekalipun terhadap anjing
gila.
Narator: Imam Ali lahir di Ka’bah yang suci dan pada bulan yang suci, di mihrab yang suci dan dalam keadaan bersuci pula dia menyambut kematian. Kufah berduka. Rumah-rumah keluarga Nabi gelap selama beberapa malam. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.
Malam 21
Pada
malam 21 itu keluarga Nabi mengenakan busana hitam, karam dalam duka yang
mendalam. Para malaikat dan segenap kekasih Allah meleleh dalam pilu yang
menyayat. Malam itu begitu panjang dan melelahkan. Waktu seolah membeku dalam
kebisuan, menolak untuk menerima takdir perpisahan. Pedang kesesatan dan
kebodohan menyempurnakan kegelapan malam itu dengan sebilah kenistaan yang
bercampur kebencian.
Sementara di sudut lain dari bumi, gerombolan orang pandir, pengkhianat kemanusiaan, penyulut api neraka yang paling mengerikan, pembenci keluarga Nabi sedang berpesta pora.
Saat
racun kian merasuki sekujur tubuh suci Imam Ali, kerinduannya pada Allah dan
Rasul kian berkobar-kobar. Dia terlihat begitu pasrah, teduh, berparas pucat
pasi, menerima nasib dalam kegairahan yang seutuhnya. Imam Ali menyambut
perpisahan dengan dunia dalam rindu bercampur sedih, pilu bercampur riang,
perasaan yang mengayun di antara perpisahan yang menyesakkan dan perjumpaan
yang melegakan setelah perjalanan berliku yang menahun.
Manusia dan jin, binatang-binatang, burung-brung di angkasa, ikut merasakan kesedihan berpisah dengan Imam Ali yang senantiasa menjadi sumber kasih bagi mereka. Jibril berteriak keras memecah keheningan malam itu: “Ooooh, sungguh salah satu tiang petunjuk Allah telah roboh… satu lagi seorang pemberi peringatan yang suci pergi dari dunia yang fana ini!
Diriwayatkan bahwa suatu kali ketika Rasulullah sedang berbicara tentang bulan Sya’ban yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang keunggulan bulan Ramadhan dan ketinggian nilai ibadah di dalamnya, kemudian Imam Ali berdiri di hadapannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah amalan paling baik di bulan Ramadhan?” Rasul menjawab, “Wahai Abul Hasan, sebaik-baik amal di bulan ini ialah berpantang dari hal-hal yang diharamkan Allah.”
Tiba-tiba
Rasul menangis…
Amirul Mukminin bertanya lagi, “Apakah yang membuatmu menangis, Ya Rasulullah?”
Baginda
Nabi menjawab, “Aku menangis karena apa yang akan menimpamu di bulan itu.
Sekarang aku seakan-akan menyaksikanmu menunaikan shalat untuk Tuhanmu manakala
orang paling sial dari masa lalu dan masa kini, adik dari pembunuh onta Nabi
Saleh, memedang dahimu hingga janggutmu memerah berlumuran darah.”
Lalu
Amirul Mukminin bertanya, “Ya Rasulullah, apakah saat itu aku dalam keadaan
selamat dalam urusan agamaku?”
Rasulullah menjawab, “Tentu saat itu engkau berhasil dalam urusan agamamu.” Lantas Rasulullah melanjutkan, “Hai Ali, barangsiapa yang membunuhmu berarti dia telah membunuhku; dan barangsiapa yang membencimu berarti dia telah membenciku; dan barangsiapa yang mencacimu berarti dia telah mencaciku, karena engkau adalah bagian dari diriku, ruhmu dari ruhku dan tanah penciptaanmu dari tanah penciptaanku … Hai Ali, engkau adalah washiku, ayah dari keturunanku, suami dari putriku dan khalifahku … Demi Dzat yang mengutusku sebagai Nabi dan menjadikanku sebaik-baiknya makhluk, engkau adalah hujjah Allah bagi segenap makhlukNya ….”
Di hari-hari menjelang wafatnya, Imam Ali sering memberi kabar kematiannya kepada khalayak dengan bahasa isyarat yang mudah dimengerti. Dia juga sempat berdoa meminta kepada Allah dengan membuka tudung kepalanya sambil berujar, “Ya Allah, aku telah jenuh dengan mereka dan mereka pun sudah jenuh padaku, aku telah bosan dengan mereka dan merekapun sudah bosan denganku … tidakkah sebaiknya ada perpisahan?
Dikabarkan pula bahwa pada bulan Ramadhan itu, Imam Ali melihat tanda paling jelas dari dekatnya jemputan ajal ketika bermimpi melihat Rasulullah sedang membersihkan tanah dari wajah Imam Ali dan bertutur, “Hai Ali, tiada lagi bebanmu. Kau telah menunaikan semua kewajiban.”
Muhammad ibn Abu Bakr: Aku menginap
di rumah ayahku pada malam 21. Racun telah menjalar sampai ke ujung-ujung
kakinya. Wajahnya semakin pucat. Pandangan matanya nyaris tertutup. Kami
kemudian membaringkannya di ranjang. Beliau terus mengulang-ulangi
wasiat-wasiatnya kepada kami dan bertakziah atas kepergiannya sendiri. Beliau
pun terus menerus shalat dalam keadaan duduk.
Tidak
lama kemudian Ummu Kulsum dan Zainab datang dalam keadaan menangis. Sambil
bercucuran airmata Zainab berujar: “Ayah, duka kami terhadapmu pastilah panjang
dan airmata kami tidak bakal berhenti.”
Mendengar suara Zainab, seluruh keluarga besar Imam Ali menangis. Suara keras ini kemudian membangunkan Imam. Setelah mengedarkan pandangan ke segenap arah, Imam menatap Zainab dan tak kuasa menahan airmata.
Para
tabib yang berusaha menyembuhkannya sudah menyerah dan mengusulkan Imam meminum
susu sebanyak mungkin. Air susu adalah makanan sekaligus minuman Imam Ali
hingga syahadah beliau.
Imam kemudian memanggil Hasan dan Husein, mendekap dan menciumi keduanya cukup lama. Setelah itu Imam Ali kembali pingsan. Hasan membantu Imam Ali meminum susu. Imam hanya minum seteguk saja lalu membisiki Hasan untuk memintanya mengantarkan susu yang sama kepada Ibn Muljam – semoga Allah mengutuknya.
Imam Ali berbisik: Hai anakku Hasan, perlakukan tawananmu dengan sebaik-baiknya, karena kami adalah Ahlul Bait kenabian yang tiada dapat dibandingkan dengan siapa pun dalam kemuliaan dan keutamaan. Siapa saja yang mengenal kami pasti akan merasakan kebaikan, kedermawanan, kesantunan dan kemuliaan kami Ahlul Bait.
Setelah
fajar menyingsing, masyarakat berkumpul di depan rumah beliau dan meminta izin
untuk menjengkuk. Beliau mempersilahkan mereka masuk.
Imam Ali: “Hai manusia sekalian, tanyalah padaku sebelum kalian kehilangan aku. Namun buatlah pertanyaan kalian sesingkat mungkin. Ingatlah musibah yang menimpa imam kalian.”
Mendengar
suara lirih Imam Ali, pecahlah tangisan di tengah masyarakat yang berkunjung.
Mereka pun enggan untuk bertanya demi meringankan beban beliau.
Hijr bin Uday Ath-Thai yang hadir di
sana pun lantas berdiri dan bersyair: “Duhai sedihnya diriku atas apa yang
menimpa Tuan orang-orang yang bertakwa, ayah dari pemimpin-pemimpin suci,
Haidar yang suci. Terkutuklah siapa saja yang menentang kalian. Kalian adalah
bekalku di hari akhirat kelak. Kalianlah peninggalan Rasul yang mulia.
Selepas mendengar syair Hijr, Imam Ali bertutur, “Bagaimana sekiranya kau diminta melepaskan baiat dariku? Apa yang akan kau katakan?”
Hijr
menjawab, “Wallahi Hai Amirul Mukminin, jikalau aku dicincang-cincang dan
dibakar di api unggun, aku tidak akan melepaskan baiatku padamu.”
Imam
Ali menjawab, “Semoga Allah memberimu taufik, Hai Hijr. Semoga Allah mengganjar
kesetiaanmu pada Ahlul Bait.”
Kemudian Imam Ali meminta susu. Saat diberikan segelas susu padanya, Imam Ali meminum seluruhnya dan tidak menyisakan untuk Ibnu Muljam. Beliau berujar: “Sesungguhnya perintah Allah adalah takdir yang tidak bisa ditolak. Ketahuilah bahwa aku tidak menyisakan susu tadi untuk tawanan kalian karena itulah rizkiku yang terakhir dari dunia ini. Ingatlah, anakku, berilah tawanan itu sebanyak susu yang aku minum tadi.”
Imam Hasan kemudian keluar dari rumah dan mengabarkan keadaan Amirul Mukminin kepada masyarakat yang kian banyak berkumpul di depan rumah.
Ashbagh,
pelayan Imam, meminta izin kepada Hasan untuk menjenguk Imam Ali. Setelah masuk
dan melihat keadaan Imam, Ashbagh tak kuasa menahan diri dan meledak dalam
tangisan.
Ashbagh: “Aku melihat Imam terbaring menggigil di ranjang dengan dahi merekah mengucurkan darah. Beliau melilitkan sorban warna kuning ke atas kepalanya. Aku tak lagi bisa membedakan mana yang lebih kuning, wajahnya atau kain sorbannya. Aku langsung memeluki dan menciuminya selama mungkin. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya.”
Imam Ali berkata: “Jangan menangis, hai Ashbagh. Sungguh demi Allah, surga telah di depan mataku!”
Ashbagh:
Aku sadar betul engkau menuju ke surga. Aku menangis karena berpisah denganmu,
Hai Amirul Mukminin.
Kemudian
Imam Ali memanggil kembali kedua putranya, Hasan dan Husein dan mendekap
keduanya. Setelah itu Imam Ali mengedarkan pandangannya ke seluruh putra
putrinya yang lemas dan terengah-engah akibat banyak menangis dan bersedih.
Butir-butir airmata pun mengaliri jenggotnya bercambur darah.
Imam
Ali menengok kepada Hasan dan Husein sembari berkata, “Duhai Hasan, kau akan
terbunuh dalam keadaan mazlum dan diracun. Adapun kau, Duhai Husein… kau akan
menjadi syahid umat ini. Kau akan disembelih seperti binatang, lalu jasadmu
akan diikat dan digeret-geret dengan kuda. Kepalamu akan diusung untuk dibawa
ke raja Bani Umayyah. Putri-putri keturunan Rasulullah akan ditawan,
digelandang dan dipertontonkan. Sungguh kelak aku akan mengambil sikap khusus
terhadp mereka di hari kiamat.
Dahi Imam yang merekah kini telah menampakkan daging putih di bagian otak beliau. Urwah Saluli, tabib yang kala itu masih berusaha memperban, tak kuasa lagi dan menjerit menangis. Dia hanya bisa pasrah dan berpamitan kepada Imam. Dengan senyum Imam mempersilahkannya keluar.
Zainab
maju ke depan dengan tubuh lunglai dan bertanya kepada kakaknya, Imam Hasan:
“Bagaimana ini, Kak? Apa kata tabib tentang luka ayahanda dan tambatan
hatiku??? Aku belum siap ditinggalnya, Kak.”
Hasan
berusaha menenangkan Zainab yang sangat peka malam itu dengan memeluknya
erat-erat.
Muhammad
ibn Abu Bakr Alhanafiyah melanjutkan. Setelah malam mulai gelap, Imam Ali
meminta seluruh anak dan kerabat Ahlul Bait untuk berkumpul di sekitarnya.
Beliau berkata: “Allah adalah Penjaga kalian setelah kepergianku. Dia adalah
Gantungan dan Sandaranku.”
Sekujur
tubuh Imam Ali sudah membiru kemerahan. Beliau sudah tidak mau lagi makan dan
minum apapun. Bibirnya terus berzikir, bertasbih, bertahmid, bertahlil sebagai
tanda bahwa dia masih di bumi.
Imam
Ali lalu memanggil putra-putrinya satu per satu dengan nama mereka
masing-masing dan berpamitan.
Hasan bertanya kepada Imam: “Apa yang membuat Ayah berbuat seperti ini?”
Imam
menjawab: “Putraku, aku telah bermimpi bertemu Rasulullah satu malam sebelum
kejadian ini. Aku telah mengeluhkan seluruh derita yang harus kutangguh akibat
perilaku umat ini kepadaku. Rasulullah memintaku berdoa, kemudian aku berdoa:
Ya Allah, berikan pada mereka sebagai ganti dariku pemimpin yang lebih buruk
dan gantikan bagiku umat yang lebih baik dari mereka. Rasulullah menjawab,
“Allah telah mengijabah doamu. Allah akan memindahkanmu ke tempat kami setelah
tiga malam.” Dan malam ini adalah malam ketiga setelah mimpi tersebut.
Imam
melanjutkan: “Aku wasiatkan kepada kalian berdua untuk terus berbuat kebajikan.
Kalian adalah dariku dan aku dari kalian.”
Lalu
Imam Ali menengok kepada anak-anaknya yang dari ibu selain Sayyidah Fathimah
dan berwasiat kepada mereka untuk senantiasa patuh kepada dua putra Fathimah,
yakni Hasan dan Husein.
Imam berkata: “AhsanaLLAHU lakumul ‘aza. Aku akan meninggalkan kalian malam ini untuk berjumpa dengan kekasihku, Muhammad saw, sebagaimana yang telah beliau janjikan padaku. Jika aku telah wafat, mandikan, balsemi lalu balutlah aku dengan kain kafan sisa dari Kakek kalian Rasulullah yang dibawa oleh Jibril. Kemudian baringkanlah aku di ranjang dan semayamkanlah aku di dalam kuburan yang telah tergali di samping ranjangku…
Wahai
Abu Muhammad, shalatilah aku dan bertakbirlah tujuh kali. Tidak boleh selainku
dishalati dengan takbir tujuh kali kecuali seorang pemimpin yang akan muncul di
akhir zaman yang bernama Al-Qaim Al-Mahdi dari keturunan adikmu Husein.
Aku wasiatkan kepadamu hai Hasan apa yang Rasulullah perintahkan kepadaku untuk menyerahkan seluruh catatanku dan pedangku kepadamu, kemudian beliau mewasiatkan kau untuk menyerahkannya setelah ajal menjemputmu kepada adikmu Husein. Lalu Imam Ali memandang Husein dan memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada putranya, Ali bin Husein. Kemudian Imam Ali memandang Ali bin Husein dan memerintahkannya untuk menyerahkannya kepada anaknya, Muhammad bin Ali dan sampaikan salam Rasulullah dan aku kepadanya.
Kemudian
Imam Ali memandang kembali kepada Hasan dan berkata, “Hasan anakku, kaulah ahli
warisku dan wali setelahku. Kalau kau mau, kau dapat memaafkan orang yang
membunuhku. Kalau tidak, maka pukullah dia sekali saja sebagaimana dia
memukulku.”
Lalu
Imam Ali meminta Hasan menuliskan wasiat yang panjang berisi tentang keimanan,
ketakwaan dan perilaku yang bajik di jalan Allah.
Setelah
itu Imam Ali memanggil Zainab dan berkata: “Hai Zainab, aku mendengar
Rasulullah bersabda bahwa seorang Mukmin yang tiba ajalnya akan berkeringat
dahinya dengan butir-butir putih yang menyala bagaikan mutiara.”
Mendengar
ucapan itu dan menyaksikan butir-butir mutiara yang bergemerlam di dahi
ayahnya, Zainab terdiam tenang dan tidak lagi menangis. Zainab melangkah ke
depan dan menjatuhkan tubuhnya ke pelukan ayahnya sembari berkata, “Ayah, Ummu
Ayman pernah menceritakan padaku tragedi Karbala. Dan aku ingin mendengarnya
langsung darimu.”
Imam
menjawab, “Anakku, ceritanya sebagaimana yang sudah disampaikan oleh Ummu
Ayman. Seakan-akan aku bersamamu dan wanita-wanita Ahlul Bait yang menderita
kehausan, menjadi tawanan-tawanan yang dipermalukan. Kalian akan merasakan
kekhawatiran diperolok-olok oleh masyarakat. Maka bersabarlah, bersabarlah…”
Lalu Imam Ali menatap kedua putranya, Hasan dan Husein dan bertutur: “Seolah2 aku melihat kalian setelah ini akan dikepung dari fitnah yang datang dari sana dan sini. Maka bersabarlah, tabahkanlah diri hingga Allah memutuskan urusan.”
Imam
melihat sekelilingnya dan bertutur: Aku kini melihat Kakek kalian Rasulullah
bersama Nenek dan Ibu kalian memanggil-manggil dan memintaku bergegas datang
kepada mereka.”
Imam kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh Ahlul Bait dan menatap satu persatu dan berkata: “Astaudi’ukumullah jami’an. Aku memohon pamit kepada kalian semua. Semoga Allah menjaga kalian semua.”
Beliau
lalu memejamkan matanya perlahan-lahan, memanjangkan kedua tangannya, dan
meluruskan kedua kakinya. Dan dengan suara syahdu mengucapkan Asyhaduallah
ila illALLAH wahdahu la syarikalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa
Rasuluh.
Demikianlah.
Nafasnya terhenti dan ruhnya melesat menembus angkasa menuju tingkat wujud
tertinggi, kehadirat Dzat Kudus Ilahi, bersatu dengan Kekasih Mutlak yang Maha
Sempurna dalam keadaan syahid, suci, bersih, penuh cahaya.
Innalillahi wa
inna ilayhi raji’un… .