KISAH
SENTOT PRAWIRODIRJO
Orientasi
Sentot Prawirodirdjo (1807 - Bengkulu, 17 April 1855) yang juga di kenal sebagai Sentot Ali Pasha, atau
orang-orang mengenalnya sebagai Sentot Ali Basha. Adalah seorang panglima
perang pada masa Perang Diponegoro. Ia adalah putra dari Ronggo
Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Ayahnya dianggap
pemberontak karena melawan Belanda dan terbunuh oleh Belanda yang saat itu
dipimpin oleh Daendels.
Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa dendam kepada Belanda
sehingga akhirnya bergabung dengan Pangeran Diponegoro. Gelar Ali Pasha yang juga berarti Panglima
Tinggi didapatkan Sentot Prawirodirjo oleh kerajaan Turki saat dia belajar ilmu
kemiliteran dan perang di turki.
Dalam
perjuangannya melawan penindasan kerajaan Belanda di tanah jawa Sentot
Prawirodirdjo akhirnya dibujuk Belanda untuk meletakkan senjata pada tanggal 1829 dan dikirim ke Sumatera
Barat untuk melawan pemberontakan para ulama dalam Perang Padri.
Namun itu semua tidak lain merupakan strategi yang monumental dari Sentot dalam
upaya mendapatkan persenjataan dari kerajaan Belanda, untuk digunakan dalam
membantu perjuangan Tuanku Imam Bonjol melawan penjajahan Belanda
dan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung waktu itu Sultan
Alam Bagagarsyah dalam Perang Padri.
Sentot
Prawirodirjo wafat dalam usia 48 tahun dalam pembuangannya oleh Belanda di Bengkulu.
Sentot
Ali Basya, Panglima Perang Diponegoro yang Dijuluki Napoleon Jawa. Di usianya yang masih belasan tahun,
Sentot Ali Basya atau Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo sudah ikut
andil dalam jihad. Ia merupakan salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono I.
Kakeknya ini, seorang Sultan di Kerajaan Mataram Islam sekarang dikenal dengan
Yogyakarta.
Sementara
itu gelar "Basya" atau "Pasha" adalah diilhami oleh gelar
para panglima di Turki Utsmani. Dimana Turki di zaman itu menjadi kebanggaan
Umat Islam seluruh dunia. Sentot Ali Basya diangkat menjadi panglima perang di
barisan pasukan Pangeran Diponegoro ketika berumur 17 tahun. Prestasi di umur
muda ini pernah juga diperoleh seorang sahabat bernama Usamah bin Zaid
yang ditunjuk untuk memimpin perang melawan Romawi.
Namun, meski pun ia masih muda ternyata mampu pula mengukir dengan tinta emas keberhasilan dalam berjihad melawan Belanda. Sampai-sampai ia digelari "Napoleon Jawa". Padahal kalau melihat zaman sekarang, anak yang berumur 17 tahu baru duduk di bangku SMA. Sentot Ali Basya seorang panglima kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (De Java Oorlog). Pangeran Diponegoro memimpin perang berlangsung selama lima tahun.
Perang ini dimulai tanggal 20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830 M. Perang ini merupakan perang Sabilillah yang bertujuan mengusir penjajah untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan. Dia merupakan salah satu komandan pertempuran dari pasukan-pasukan Diponegoro. Medan pertempuran di sekitar Yogyakarta, Kedu, Bagelen, dan Surakarta. Akan tetapi, ada daerah lain seperti Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bonjonegoro, Tuban, dan Surabaya. Tempat-tempat ini merupakan medan gerilya untuk melakukan sabotase-sabotase terhadap Belanda.
Dalam melancarkan serangan kepada penjajah Belanda Sentot Ali Basya bersama Pangeran Diponegoro menggunakan taktik perang gerilya. Taktik perang ini senantiasa berpindah-pindah. Demikian pula kedudukan markas besar pun tidak menetap di satu tempat. Pasukan Diponegoro ini telah memenangkan hati dan pikiran rakyat. Sehingga pasukan ini mudah bergerak serta mudah pula mendapatkan suplai logistik untuk kebutuhan pasukan. Oleh karena itu, di sepanjang garis Yogyakarta – Solo – Madiun – Surabaya (Jurusan Timur) dan Yogyakarta – Magelang – Wonosobo – Bagelen – Banyumas (Jurusan Utara dan Barat) terdapat markas-markas pertempuran yang sebagian besar dipimpin oleh para Ulama. Di antaranya, Kiai Mojo dari Solo, Kiai Imam Rafi’I dari Bagelen, Kiai Imam Nawawi dari Ngluning Purwokerto, Kiai Hasan Basori dari Banyumas dan masih banyak kiai-kiai yang lain.
Dalam pasukan yang dipimpim Sentot Ali Basya ada sesuatu yang unik. Ia mempunyai pasukan sebanyak 1000 orang yang menyandang senjata dan senantiasa memakai jubah dan surban. Bahkan sistem struktur pasukannya seperti pasukan Turki Utsmani. Gerakan pasukan Diponegoro sangat cepat dan lincah karena mereka memiliki kemahiran dan keberanian yang luar biasa yang disemangati perang Sabilillah. Hal ini membuat Belanda harus mengirim banyak Jenderal, Kolonel, dan Mayor yang dikirim ke jawa. Mereka adalah Jenderal De Kock. Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, Jenderal Bisschof. Karena pemerintahan Belanda menganggap lamban dalam menyelesaikan perang Sabil di Jawa.Dalam menumpas gerakan Jihad menumpas gerakan jihad di Jawa. Jenderal De Kock menggunakan berbagai macam cara. Ada yang secara frontal perang secara fisik dan ada pula halus.
Jendral De Kock menghalalkan segala cara untuk bisa menangkap para pemimpin gerakan jihad di Jawa. Diharapkan dengan pimpinannya ditangkap maka bawahannya akan ikut hancur. Bahkan, Belanda sering melakukan penghianatan ketika terjadi perundingan tidak menguntungkan pihak pemerintah Belanda. Belanda membujuk Prawirodiningrat, upati Madiun. Ia adalah kakak dari Sentot Ali Basya. Agar ia mau mengajak adiknya berunding dengan Belanda. Bupati Madiun itu menerima tawaran Belanda untuk membujuk Sentot Ali Basya. Sentot Ali Basya terlalu percaya kepada sang kakak dan lebih lagi terlalu percaya akan "Senyum" kolonialisme.
Panglima Sentot menerima tawaran Belanda, ia memasuki kota Yogyakarta dengan mendapatkan upacara militer penuh sebagai seorang jenderal tepat pada tanggal 24 oktober 1829. Sentot Ali Basya masuk perangkap Belanda, ia disergap kemudian dijadikan tawanan perang. Kemudian Napoleon Jawa itu dipaksa Belanda untuk bertempur menghadapi Imam Bonjol. Belanda menjalankan siasat "divide et impera" politik adu domba. Di Sumatera Barat ia gunakan kesempatan itu untuk mengadakan kontak dengan anak buah Imam Bonjol.Ia menggabungkan diri ke dalam pasukan Paderi untuk melanjutkan perang Sabil. Namun, pada akhirnya Belanda mencium rencana itu, Sentot Ali Basya ditangkap dan dikirim ke Batavia. Di Batavia ini Gubernur Jenderal Belanda mengeluarkan beslit (surat keputusan) sebagai tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.
Sentot: Sang “Napoleon Jawa”
Sentot, atau nama lengkapnya ialah Sentot Ali Basya
Abdullah Mushtofa Prawirodirjo, salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono 1
(dari garis keturuna ibu). Ia merupakan komandan pertempuran dari
pasukan-pasukan pelopor pada saat Perang Dipenogoro. Gelar basya atau pasya
adalah gelar yang diilhami oleh para panglima perang di Turki yang di zaman itu
menjadi kebanggaan bagi umat Islam di seluruh dunia.
Sentot
Ali Basya adalah panglima perang pangeran Diponegoro yang meskipun usianya
ketika dilantik oleh pangeran Diponegoro sebagai panglima besar masih berusia
sekitar 17 tahun, namun kecakapannya dalam bertempur dan keberaniannya sangat
mengagumkan musuh. Belanda sendiri mengakuinya seperti apa yang tertulis di
dalam buku “De Java-Oorlog Van 1825-1830” oleh E.S. De Klerek jilid IV yang
menyebutkan; “telah menjelang saatnya bahwasanya ia (Sentot) akan mencengangkan
para lawannya dengan suatu manuver (gerakan pasukan) yang dijalankan dengan
kemahiran dan keberanianya yang luar biasa bahkan panglima-panglima perang yang
berpengalaman sekalipun dapat merasa mujur jikalau mereka dapat memperhatikan
tindakan yang demikian.
Belanda memasang perangkap dengan menggunakan saudara
Sentot Ali Basya, yaitu Prawirodiningrat, bupati Madiun yang mengajak damai
karena Belanda ingin membicarakan cita-cita dan tujuan perang Diponegoro
seperti lainnya, setiap perjanjian perdamaian didahului oleh gencatan senjata
atau penghentian pertempuran. Sentot Ali Basya mengajukan menyanggupi dengan
mengajukan syarat, harus dijemput oleh panglima Belanda sendiri dan juga
pasukannya yang 1000 orang itu harus tetap menyandang senjata dan tetap memakai
jubah dan surban.
Bupati Madiun itu menerima tawaran Belanda untuk
mengadakan perundingan seperti di uraikan cita-cita perang Diponegoro melalui
Haryo Prawirodiningrat, kakak kandung Sentot Ali Basya. Tentu latar belakang
keinginan Belanda yang sebenarnya tidak lain disebabkan terlalu payah
menghadapi perang Diponegoro. Satu-satunya keinginan Belanda ialah segera
mengakhiri perang melalui jalan apapun dan itu tak lain adalah tipu muslihat
untuk menangkap “Napoleon Jawa” itu. Sentot Ali Basya terlalu percaya kepada sang kakak dan
lebih lagi terlalu percaya akan “senyum” kolonialisme. Tentunya juga tidak bias
dipungkiri terdapat pertimbangan politis: Perang terlampau mahal, penderitaan
rakyat suatu ketika melampaui batas ketahanannya. Jika ada jalan lain dan lebih
pendek dengan sedikit resiko misalnya penyelesaian di meja perundingan, apa
salahnya?!
Panglima Sentot menerima tawaran Belanda, ia memasuki
kota Yogyakarta dengan mendapatkan upacara militer penuh sebagai seorang
jendral tepat pada tanggal 24 oktober 1829. Tetapi ada perasaan aneh menyelinap
dalam hatinya, mengapa hanya pembesar kraton yang menyambutnya? Mengapa tidak
satu perwira tinggi belanda menampakkan diri? Dimana jendaral De Kock yang
dijanjikan hendak menyambutnya untuk berjumpa di meja perundingan setelah
upacara penyambutan secara militer usai?
Sentot Ali Basya masuk perangkap belanda, ia disergap
kemudian dijadikan tawanan perang. Napoleon Jawa itu dipaksa belanda untuk
bertempur menghadapi Imam Bonjol yang sedang mengorbankan perang kemerdekaan di
sumatera barat. Lagi-lagi belanda menjalankan siasat kolonialismenya “farriq
tasud” alias “divide et impera”. Sentot Ali Basya dipaksa berangkat ke sumatera
barat tanpa pasukannya, akan tetapi ia memperlihatkan sikapnya bagaikan seekor
singa garang yang tak bisa dijinakkan. Di sumatera barat ia secara cerdik
mengadakan kontak dengan anak buah Imam Bonjol, ia menggabungkan diri ke dalam
pasukan paderi yang sedang mengahapi perang kemerdekaan dan merencanakan suatu
kerja sama untuk suatu ketika dapat mengusir belanda dari seluruh sumatera.
Namun pada akhirnya Belanda mencium rencana tersebut,
Sentot Ali Basya yang masih dalam status tawanan perang belanda dikucilkan dari
kawan-kawannya dan pada suatu ketika ia ditangkap dan dikirim ke Batavia. Di
Batavia ini Gubernur Jendral Belanda mengeluarkan beslit (surat keputusan)
sebagai tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.
Empat tahun ia telah terpisah dengan pangeran
Diponegoro pemimpin besarnya, empat tahun ia berjuang menentang kekafiran dan
kedzaliman penjajah, ia bertempur di garis depan menentang maut yang disebar
oleh kaki tangan musuh yang membuntuti gerakan-gerakan militernya. Akan tetapi
ia seorang panglima perang yang paling ditakuti komandan-komandan belanda dari
segala lapisan, bahkan Jendral De Kock sendiri mengakuinya.
Sentot
Ali Basya seorang panglima kepercayaan pangeran Diponegoro yang telah
terpisahkan oleh jarak jasmani ribuan kilo meter dari medan pertempuran yang
langsung dipimpin oleh pangeran Diponegoro, akan tetapi secara rohani ia tetap
dekat dengan sang pangeran dan sahabat-sahabatnya dalam jihad perang
kemerdekaan. Selama 26 tahun Sentot Ali Basya hidup sebagai orang tawanan
perang dan setelah 22 tahun hidup sebagai orang buangan di Bengkulu. Disanalah
pada tanggal 17 april 1855, Napoleon Jawa itu wafat sebelum mencapai umur 50
tahun, jauh dari Madiun kota asalnya…
Barisan
Sentot (1831-1834)
Apa itu Barisan Jawa? Dari penjelasan gambar yang
diberikan situs KILTV, Barisan Jawa ini adalah pembantu Belanda dalam Perang
Padri. Oh, kalau begitu inilah model penampilan pasukan yang dipimpin oleh
Sentot Alibasyah Prawirodirdjo.
Sebagaimana tercantum dalam teks sejarah klasik,
Sentot adalah salah seorang panglima Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa
(1825-1830). Ia sangat ditakuti Belanda karena kelihaiannya berperang. Namun
demikian Sentot pada akhirnya menyerah kepada Belanda, beberapa waktu sebelum
Pangeran Diponegoro ditangkap dengan licik oleh Belanda pada saat perundingan.
Setelah itu -entah dengan alasan atau bujukan apa-
Sentot bersedia dikirim oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch ke Minangkabau
untuk membantu Belanda berperang melawan kaum Padri. Berangkatlah ia bersama
pasukannya. Tetapi sampai di Sumatera Barat ia berulah. Ia malah bermain mata
dengan kaum Padri, sehingga dicap pengkhianat oleh Belanda. Ia ditarik ke
Batavia pada 1834 dan selanjutnya diasingkan ke Bengkulu sampai meninggalnya
pada tahun 1855. Bagaimana nasib Barisan Jawa? Mereka dilebur kedalam kesatuan
tentara Hindia Belanda dan terus berperang di pihak Belanda melawan kaum Pidari.
Tapi sejarah memang punya banyak versi. Rusli Amran
punya versi sendiri terhadap Barisan Sentot ini sebagaimana dimuat dalam
bukunya Cerita-cerita Lama dalam
Lembaran Sejarah terbitan Balai Pustaka (1997). Bahkan dalam buku itu
juga diungkap motif kenapa Sentot mau membantu Belanda. Perkara benar tidaknya
tentu diserahkan ke pembaca.
Ini dia kutipannya :
Sebagai tanda terima kasih
atas jasanya membantu Belanda berperang melawan Diponegoro, Alibasya
Prawirodirjo alias Sentot, bersama keluarga dan para pengikutnya (seluruhnya
lebih dari 1.500 jiwa), dikirim oleh Gubernur Jenderal/Komisaris Jenderal J.
Van den Bosch ke Sumatra Barat tahun 1832.
Kepadanya dijanjikan bahwa
sesampai di sana ia akan diangkat sebagai raja kecil dengan keraton dan pasukan
sendiri. Akan tetapi sebelumnya ia harus membantu Belanda dalam Perang Pidari
yang telah 10 tahun berkecamuk di Minangkabau. Tujuan lain Van den Bosch
mengirim Sentot jauh dari Pulau Jawa agar lebih aman jika anak muda
berpengalaman perang dan pemberani, dengan para pengikut yang setia dikucilkan
di tempat yang jauh.
Sentot tidak lama di
Sumatra Barat. Sebelum Perang Pidari dimenangkan Belanda, khusus setelah
terjadi "serangan fajar" tahun 1833, harapannya untuk dijadikan raja
kecil pun pupus. Serangan serentak dilakukan "Kaum Putih" sewaktu
fajar menyingsing tanggal 11 Januari 1833, mengubah segala rencana Van den
Bosch. Dalam waktu 24 jam, ratusan tentara Belanda tewas dan seluruh Sumatra
Barat bagian utara (kecuali kota-kota pantai), jatuh lagi ke tangan
Pidari.
Tentara yang sebelumnya
senantiasa melaporkan kepada Van den Bosch bahwa keadaan sudah "aman"
dan perang segera akan berakhir, sekarang saling menuding dan saling menuduh
dengan orang-orang pemerintahan sipil dan berusaha mencari kambing hitam.
Sentot termasuk salah seorang yang dijadikan kambing hitam, dituduh
"berkhianat" oleh berwira-perwira bule di sana. Banyak bangsa kita
yang tidak bersalah menjadi korban kaum militer yang sedang kalap karena
dipermalukan oleh serangan mendadak orang-orang Pidari waktu subuh itu.
Setelah diselidiki secara
cermat, ternyata semua tuduhan itu tidak benar, termasuk tuduhan atas diri
Sentot. Ini diakui oleh Van den Bosch. Akan tetapi, anak muda pemberani seperti
Sentot dituduh yang bukan-bukan, bisa menggawatkan keadaan kalau tetap berada
di Sumatra Barat. Oleh karena itu, Van den Bosch mengambil jalan keluar paling
aman, dia dipersilakan mengaso ke Bengkulu, diberi tunjangan lebih dari cukup
(juga untuk para pengikutnya), dan tetap hidup serba mewah seperti di
Padang.
Secara resmi, Barisan
Sentot baru dibubarkan bulan Januari 1834. Bagian terbesar dari pasukannya
dipecah, dilebur ke dalam kesatuan-kesatuan tentara Hindia Belanda. Mereka
tidak diizinkan menjadi satu kesatuan lagi.
Para perwiranya yang
bergelar pangeran diangkat menjadi mayor, seperti Suryobronto, cucu Sultan
Yogya dan yang bergelar raden temenggung diangkat menjadi kapten, umpamanya
Prawirodipuro, Notoprawiro, dan Prawirokusumo, sedangkan yang temenggung
diangkat menjadi letnan satu, seperti Prawirosudiro dan Sosroatmojo. Akan
tetapi, ada juga yang diangkat menjadi letnan dua, seperti Kartowongso dan
Prawirodilogo, malah ada yang juga hanya sersan, seperti Joyosentono. Mereka
ini meneruskan perjuangan membantu Belanda melawan Pidari. Semuanya berjumlah
sekitar 600 orang masuk tentara Hindia Belanda.
Sebagian lagi dilepas dari
dinas ketentaraan. Mereka mendapat tunjangan yang cukup selama mereka belum
mendapat pekerjaan yang tetap. Mereka boleh menetap di Sumatra, boleh juga
kembali ke Jawa atas ongkos pemerintah.
Ada pula yang diberi uang
pensiun besar, tetapi harus bermukim terus di Sumatra. Umpamanya di Padang
seperti halnya Raden Temenggung Mangundipuro (bapak Kapten Prawirodipuro) atau
Raden Temenggung Purwonegoro (mertua kapten yang sama). Kedua raden temenggung
ini mendapat tunjangan tidak kurang dari 174 gulden sebulan. Jumlah yang tidak
sedikit untuk waktu itu. Seorang lagi Temenggung Ponconegoro, entah apa
sebabnya ia harus diam di Tapanuli dengan uang pensiun 65 gulden sebulan. Sebagian
lagi (kurang lebih 40 jiwa bersama keluarga) diberi tanah di dekat Padang untuk
bertani. Selama satu tahun hidup mereka dijamin oleh pemerintah.
Tentu banyak pula yang
memilih tinggal di Minangkabau karena terpikat gadis-gadis Minang yang terkenal
cantik dan istri yang baik. Sejak generasi kedua, perkawinan ini banyak
dijalankan dan anak-anak serta keturunan mereka benar-benar sudah menjadi orang
Minang. Nama dan bahasa Jawa mereka pun kemudian menjadi hilang.
Yang cukup menarik
dipandang adalah besarnya pensiun yang diberikan Pemerintah Belanda kepada para
kiai bekas barisan Sentot. Yang tertinggi adalah Haji Nisa, menetap di Padang,
menerima pensiun tidak kurang dari 224 gulden sebulan. Mungkin karena dia juga
dianggap mengepalai semua orang asal suku Jawa di sana. Dua lainnya (Kiai
Penghulu dan Kiai Melangi) masing-masing menerima 115 gulden sebulan.
Satu lagi yang juga menarik
ialah kedudukan yang baik diberikan pemerintah kepada keturunan bekas Barisan
Sentot ini. Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pada saat jatuhnya
Hindia Belanda karena Perang Pasifik, banyak sekali dari mereka memegang
jabatan penting di Sumatra Barat. Waktu itu mereka sudah lama berintegrasi
dengan penduduk setempat. Seperti telah dikatakan, bukan saja nama-nama,
melainkan bahasa ibu mereka pun sudah lama tidak dipakai dan terlupakan.
Diantara mereka ada yang keturunan langsung Sentot Alibasya (saudara,
kemanakan, atau sepupunya).
Kecuali pangkat-pangkat
yang dikaitkan dengan adat seperti kepala laras dan penghulu kepala, mereka
menguasai semua kedudukan penting dalam jajaran pemerintahan abad yang lalu.
Yang terpenting di antaranya ialah di bidang perkopian, seperti mantri
kopi klas 1 sampai klas 3. Juga mantri-mantri lainnya: mantri cacar, mantri
candu, mantri jalan, mantri pasar, dan mantri pajak. Adalagi di bidang
perkeretaapian, pertambangan batu bara,kepolisian, dan lain-lain.
Namun, yang paling menarik
ialah setelah pangkat kepala laras diganti dengan demang, banyak dari mereka
memegang jabatan tertinggi untuk pribumi ini, misalnya Wongsosentono (Abdullah)
jadi demang antara lain di Pariaman. Sebelum itu, sebagai mantri kopi, dia
berpindah-pindah tempat di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kartowongso (Ibrahim)
menjadi demang di Ulakan, Painan, dan Talamau, setelah sebelumnya menjadi
mantri kopi di daerah-daerah rawan, seperti Solok dan Alahan Panjang. Dia anak
Wongsodirjo (Solihin) yang juga bekerja si perkopian sejak dari Halaban hingga
Padang Panjang. Sorang lagi bernama Wirioharjo (Rusman), ipar Kartowongso,
pernah menjadi mantri kopi di Payakumbuh, Tanjung, Bukitsileh, Lubukgadang, dan
lain-lain tempat sebelum diangkat menjadi Demang Batang Hari dan Rao.
Siapa tidak kenal nama
Wirado Prawirodirjo. sebagai mantri kopi klas 1, dia tewas dibunuh rakyat
selama Pemberontakan Pajak tahun 1908 (di Kamang) atau nama-nama termasyur
waktu itu, seperti Prawirodimejo (Karah), Poncoduria (Wahab), Wongsoprawiro
(Ahmad), dan Wongsosasmito. Tolong Datuk Basa (anak Joyokarsono) malah pernah
menjadi kepala laras di Lubuk Sikaping. Ada pula yang menjadi guru di
Batusangkar, seperti Wiriojoyo.
Demikianlah sekilas tentang
keturunan yang disebut Barisan Sentot. Yang banyak diketahui ialah tentang
mereka yang berkedudukan penting. Kita tidak mempunyai keterangan-keterangan
tentang mereka dari keturunan para prajurit biasa. Pemimpinnya sendiri, Sentot Alibasya
Prawirodirjo, tidak sempat menjadi raja kecil di Minangkabau. Seperti ditulis
tadi, karena serangan di waktu fajar bulan Januari 1833. Dia meninggal di
Bengkulu tanggal 17 April 1855. Menurut yang penulis baca, sewaktu wafat,
Sentot meninggalkan 7 istri (4 tidak resmi) dan 28 anak (7 tidak resmi).
Dengan demikian,
berakhirlah riwayat pemuda flamboyan, pemberani dan ambisius. Andai kata tidak
terjadi serangan fajar orang-orang Pidari dan andai kata Belanda masih
berkuasa, sekarang di Minangkabau (di XII-Kota atau XX-Kota) mungkin berdiam
seorang raja kecil keturunan Sentot dengan keraton dan tentara sendiri, dengan
tugas terpenting, menyiapkan tentara bantuan bagi Belanda jika terjadi
pemberontakan rakyat di sana. Mungkin pula di Minangkabau kini berdiam
sekelompok elit bangsa Jawa. Inilah tujuan Komisaris Jenderal Van den Bosch
dahulu mengirim Sentot ke Sumatra Barat.
Memang harus diakui, suatu
tindakan tepat untuk daerah seperti Minangkabau yang tidak henti-hentinya
berontak melawan penjajah. Di
Minangkabau, dia terkenal sebagai anak emas Van den Bosch, tokoh Belanda paling
berkuasa yang pernah dikirim ke Kepulauan Nusantara ini. Ia diberi pangkat
letnan kolonel, banyak uang, hidup penuh kemewahan, mempunyai barisan sendiri,
dan mendapat perlakuan istimewa.
Orang-orang Belanda dalam
tentara sangat tidak menyenanginya. Bukan saja karena tulang punggungnya begitu
kuat, melainkan sudah menjadi kebiasaan orang totok untuk tidak menyenangi
perwira berkulit berwarna. Selain itu, penduduk setempat pun tidak menyenangi
Sentot. Ia dianggap sombong dan agak meremehkan penduduk asli.
Sentot tidak lama di
Sumatra Barat. Sebelum Perang Pidari dimenangkan Belanda, khusus setelah
terjadi "serangan fajar" tahun 1833, harapannya untuk dijadikan raja
kecil pun pupus. Serangan serentak dilakukan "Kaum Putih" sewaktu
fajar menyingsing tanggal 11 Januari 1833, mengubah segala rencana Van den
Bosch. Dalam waktu 24 jam, ratusan tentara Belanda tewas dan seluruh Sumatra
Barat bagian utara (kecuali kota-kota pantai), jatuh lagi ke tangan
Pidari.
Tentara yang sebelumnya
senantiasa melaporkan kepada Van den Bosch bahwa keadaan sudah "aman"
dan perang segera akan berakhir, sekarang saling menuding dan saling menuduh
dengan orang-orang pemerintahan sipil dan berusaha mencari kambing hitam.
Sentot termasuk salah seorang yang dijadikan kambing hitam, dituduh
"berkhianat" oleh berwira-perwira bule di sana. Banyak bangsa kita
yang tidak bersalah menjadi korban kaum militer yang sedang kalap karena
dipermalukan oleh serangan mendadak orang-orang Pidari waktu subuh itu.
Setelah diselidiki secara
cermat, ternyata semua tuduhan itu tidak benar, termasuk tuduhan atas diri
Sentot. Ini diakui oleh Van den Bosch. Akan tetapi, anak muda pemberani seperti
Sentot dituduh yang bukan-bukan, bisa menggawatkan keadaan kalau tetap berada
di Sumatra Barat. Oleh karena itu, Van den Bosch mengambil jalan keluar paling
aman, dia dipersilakan mengaso ke Bengkulu, diberi tunjangan lebih dari cukup
(juga untuk para pengikutnya), dan tetap hidup serba mewah seperti di
Padang.
Secara resmi, Barisan
Sentot baru dibubarkan bulan Januari 1834. Bagian terbesar dari pasukannya
dipecah, dilebur ke dalam kesatuan-kesatuan tentara Hindia Belanda. Mereka
tidak diizinkan menjadi satu kesatuan lagi.
Para perwiranya yang
bergelar pangeran diangkat menjadi mayor, seperti Suryobronto, cucu Sultan
Yogya dan yang bergelar raden temenggung diangkat menjadi kapten, umpamanya
Prawirodipuro, Notoprawiro, dan Prawirokusumo, sedangkan yang temenggung
diangkat menjadi letnan satu, seperti Prawirosudiro dan Sosroatmojo. Akan
tetapi, ada juga yang diangkat menjadi letnan dua, seperti Kartowongso dan
Prawirodilogo, malah ada yang juga hanya sersan, seperti Joyosentono. Mereka
ini meneruskan perjuangan membantu Belanda melawan Pidari. Semuanya berjumlah
sekitar 600 orang masuk tentara Hindia Belanda.
Sebagian lagi dilepas dari
dinas ketentaraan. Mereka mendapat tunjangan yang cukup selama mereka belum
mendapat pekerjaan yang tetap. Mereka boleh menetap di Sumatra, boleh juga
kembali ke Jawa atas ongkos pemerintah.
Ada pula yang diberi uang
pensiun besar, tetapi harus bermukim terus di Sumatra. Umpamanya di Padang
seperti halnya Raden Temenggung Mangundipuro (bapak Kapten Prawirodipuro) atau
Raden Temenggung Purwonegoro (mertua kapten yang sama). Kedua raden temenggung
ini mendapat tunjangan tidak kurang dari 174 gulden sebulan. Jumlah yang tidak
sedikit untuk waktu itu. Seorang lagi Temenggung Ponconegoro, entah apa
sebabnya ia harus diam di Tapanuli dengan uang pensiun 65 gulden sebulan. Sebagian
lagi (kurang lebih 40 jiwa bersama keluarga) diberi tanah di dekat Padang untuk
bertani. Selama satu tahun hidup mereka dijamin oleh pemerintah.
Tentu banyak pula yang
memilih tinggal di Minangkabau karena terpikat gadis-gadis Minang yang terkenal
cantik dan istri yang baik. Sejak generasi kedua, perkawinan ini banyak
dijalankan dan anak-anak serta keturunan mereka benar-benar sudah menjadi orang
Minang. Nama dan bahasa Jawa mereka pun kemudian menjadi hilang.
Yang cukup menarik
dipandang adalah besarnya pensiun yang diberikan Pemerintah Belanda kepada para
kiai bekas barisan Sentot. Yang tertinggi adalah Haji Nisa, menetap di Padang,
menerima pensiun tidak kurang dari 224 gulden sebulan. Mungkin karena dia juga
dianggap mengepalai semua orang asal suku Jawa di sana. Dua lainnya (Kiai
Penghulu dan Kiai Melangi) masing-masing menerima 115 gulden sebulan.
Satu lagi yang juga menarik
ialah kedudukan yang baik diberikan pemerintah kepada keturunan bekas Barisan
Sentot ini. Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa pada saat jatuhnya
Hindia Belanda karena Perang Pasifik, banyak sekali dari mereka memegang
jabatan penting di Sumatra Barat. Waktu itu mereka sudah lama berintegrasi
dengan penduduk setempat. Seperti telah dikatakan, bukan saja nama-nama,
melainkan bahasa ibu mereka pun sudah lama tidak dipakai dan terlupakan.
Diantara mereka ada yang keturunan langsung Sentot Alibasya (saudara, kemanakan,
atau sepupunya).
Kecuali pangkat-pangkat
yang dikaitkan dengan adat seperti kepala laras dan penghulu kepala, mereka
menguasai semua kedudukan penting dalam jajaran pemerintahan abad yang lalu.
Yang terpenting di antaranya ialah di bidang perkopian, seperti mantri
kopi klas 1 sampai klas 3. Juga mantri-mantri lainnya: mantri cacar, mantri
candu, mantri jalan, mantri pasar, dan mantri pajak. Adalagi di bidang
perkeretaapian, pertambangan batu bara,kepolisian, dan lain-lain.
Namun, yang paling menarik
ialah setelah pangkat kepala laras diganti dengan demang, banyak dari mereka
memegang jabatan tertinggi untuk pribumi ini, misalnya Wongsosentono (Abdullah)
jadi demang antara lain di Pariaman. Sebelum itu, sebagai mantri kopi, dia
berpindah-pindah tempat di Kabupaten Lima Puluh Kota. Kartowongso (Ibrahim)
menjadi demang di Ulakan, Painan, dan Talamau, setelah sebelumnya menjadi
mantri kopi di daerah-daerah rawan, seperti Solok dan Alahan Panjang. Dia anak
Wongsodirjo (Solihin) yang juga bekerja si perkopian sejak dari Halaban hingga
Padang Panjang. Sorang lagi bernama Wirioharjo (Rusman), ipar Kartowongso,
pernah menjadi mantri kopi di Payakumbuh, Tanjung, Bukitsileh, Lubukgadang, dan
lain-lain tempat sebelum diangkat menjadi Demang Batang Hari dan Rao.
Siapa tidak kenal nama
Wirado Prawirodirjo. sebagai mantri kopi klas 1, dia tewas dibunuh rakyat
selama Pemberontakan Pajak tahun 1908 (di Kamang) atau nama-nama termasyur
waktu itu, seperti Prawirodimejo (Karah), Poncoduria (Wahab), Wongsoprawiro
(Ahmad), dan Wongsosasmito. Tolong Datuk Basa (anak Joyokarsono) malah pernah
menjadi kepala laras di Lubuk Sikaping. Ada pula yang menjadi guru di
Batusangkar, seperti Wiriojoyo.
Demikianlah sekilas tentang
keturunan yang disebut Barisan Sentot. Yang banyak diketahui ialah tentang
mereka yang berkedudukan penting. Kita tidak mempunyai keterangan-keterangan
tentang mereka dari keturunan para prajurit biasa. Pemimpinnya sendiri, Sentot Alibasya
Prawirodirjo, tidak sempat menjadi raja kecil di Minangkabau. Seperti ditulis
tadi, karena serangan di waktu fajar bulan Januari 1833. Dia meninggal di
Bengkulu tanggal 17 April 1855. Menurut yang penulis baca, sewaktu wafat,
Sentot meninggalkan 7 istri (4 tidak resmi) dan 28 anak (7 tidak resmi).
Dengan demikian,
berakhirlah riwayat pemuda flamboyan, pemberani dan ambisius. Andai kata tidak
terjadi serangan fajar orang-orang Pidari dan andai kata Belanda masih
berkuasa, sekarang di Minangkabau (di XII-Kota atau XX-Kota) mungkin berdiam
seorang raja kecil keturunan Sentot dengan keraton dan tentara sendiri, dengan
tugas terpenting, menyiapkan tentara bantuan bagi Belanda jika terjadi
pemberontakan rakyat di sana. Mungkin pula di Minangkabau kini berdiam
sekelompok elit bangsa Jawa. Inilah tujuan Komisaris Jenderal Van den Bosch
dahulu mengirim Sentot ke Sumatra Barat. Memang harus
diakui, suatu tindakan tepat untuk daerah seperti Minangkabau yang tidak
henti-hentinya berontak melawan penjajah.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar