KISAH ARUNG PALAKKA
Orientasi
Arung Palakka
(lahir di Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, 15 September 1634 – meninggal
di Bontoala, 6 April 1696 pada umur 61 tahun) adalah Sultan Bone yang menjabat pada
tahun 1672-1696. Saat masih berkedudukan sebagai pangeran, ia memimpin kerajaannya meraih kemerdekaan dari Kesultanan Gowa pada tahun 1666.
Ia bekerja sama dengan Belanda saat merebut Makassar. Palakka pula yang menjadikan suku Bugis sebagai kekuatan maritim besar yang bekerja sama
dengan Belanda dan mendominasi kawasan tersebut selama hampir seabad lamanya.
Arung Palakka bergelar La Tan-ri Tatta
To' Urong To-ri Sompi Patta Malampei Gammana Daeng Serang To' Appatunru Paduka
Sri Sultan Sa'ad ud-din, mengacu pada ejaan huruf lontara. Adapun pelafalan yang tepat adalah La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta
MalampeE Gemme'na Daeng Serang To' Appatunru Paduka Sultan Sa'adduddin.
Kelahiran dan Kematian
Arung Palakka La Tenri tatta lahir di
Lamatta, Mario-ri Wawo, Soppeng, pada tanggal 15 September 1634 sebagai anak dari
pasangan La Pottobune', Arung Tana Tengnga, dan istrinya, We Tenri Suwi, Datu
Mario-ri Wawo, anak dari La Tenri Ruwa Paduka Sri Sultan Adam, Arumpone Bone. Arung
Palakka meninggal di Bontoala, Kesultanan Gowa, pada tanggal 6 April 1696 dan dimakamkan di
Bontobiraeng.
Pernikahan
Arung Palakka pertama kali menikah dengan Arung Kaju
namun akhirnya mereka bercerai. Selanjutnya, ia menikah dengan Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa pada tanggal 16 Maret 1668, sebelumnya istri dari Karaeng
Bontomaronu dan Karaeng Karunrung Abdul Hamid. Pernikahan ini pun tidak
bertahan lama dan keduanya bercerai pada tanggal 26 Januari 1671. Untuk ketiga kalinya, ia menikahi We
Tan-ri Pau Adda Sange Datu-ri Watu, Datu Soppeng, di Soppeng pada tanggal 20 Juli 1673. Istri ketiganya ini adalah putri dari La
Tan-ri Bali Beowe II, Datu Soppeng, dan sebelumnya menjadi istri La Suni,
Adatuwang Sidenreng. Pernikahannya yang keempat dilaksanakan pada tanggal 14 September 1684 dengan Daeng Marannu, Karaeng Laikang,
putri dari Pekampi Daeng Mangempa Karaeng Bontomaronu, Gowa, dan sebelumnya
adalah istri dari Karaeng Bontomanompo Muhammad.
Persekutuan dengan VOC
Arung Palakka adalah seorang jagoan yang
ditakuti di seantero Batavia. Lelaki gagah berambut panjang dan matanya
menyala-nyala ini memiliki nama yang menggetarkan seluruh jagoan dan pendekar
di Batavia. Keperkasaan seakan dititahkan untuk selalu bersemayam bersamanya.
Pria Bugis Bone dengan badik yang sanggup memburai usus ini sudah malang
melintang di Batavia sejak tahun 1660-an, ketika ia bersama pengikutnya
melarikan diri dari cengkeraman & keperkasaan Sultan Hasanuddin.
Batavia pada abad ke-17 adalah arena di mana
kekerasan seakan dilegalisir demi pencapaian tujuan. Pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsueyker, kekerasan
adalah udara yang menjadi napas bagi kelangsungan sistem kolonial. Kekerasan
adalah satu-satunya mekanisme untuk menciptakan ketundukan pada bangsa yang
harus dihardik dulu agar taat dan siap menjadi sekrup kecil dari pasang naik
kolonialisme Eropa. Kekerasan itu seakan meneguhkan apa yang dikatakan filsuf
Thomas Hobbes bahwa manusia pada dasarnya jahat dan laksana srigala yang saling
memangsa sesamanya. Pada titik inilah Arung Palakka menjadi seorang perkasa
bagi sesamanya.
Nama Arung Palakka terdapat pada sebuah Arsip
Nasional Republik Indonesia (ANRI), berisikan data sejarah tentang Batavia pada
masa silam dengan sejarah yang kelam. Berbagai referensi itu menyimpan
sekelumit kisah tentang pria yang patungnya dipahat dan berdiri gagah di tengah
Kota Watampone.
Arung Palakka adalah potret keterasingan dan
menyimpan magma semangat yang menggebu-gebu untuk penaklukan. Ia terasing dari
bangsanya, suku Bugis Bone yang kebebasannya terpasung. Namun, ia bebas sebebas
merpati yang melesat dan meninggalkan jejak di Batavia. Ia sang penakluk yang
terasing dari bangsanya. Malang melintang di kota sebesar Batavia,
keperkasaannya kian membuncah tatkala ia membangun persekutuan yang menakutkan
bersama dua tokoh terasing lainnya yaitu pria Belanda bernama Cornelis Janszoon Speelman dan seorang Ambon yang juga perkasa
bernama Kapiten Jonker. Ketiganya
membangun persekutuan rahasia dan memegang kendali atas VOC pada masanya,
termasuk monopoli perdagangan emas dan hasil bumi.
Ketiga tokoh yang teralienasi ini adalah
horor bagi jagoan pada masa itu. Speelman adalah petinggi VOC yang jauh dari
pergaulan VOC. Dia tersisih dari pergaulan karena terbukti terlibat dalam
sebuah perdagangan gelap saat masih menjabat sebagai Gubernur VOC di Coromandel
tahun 1665. Arung Palakka adalah pangeran Bone yang hidup terjajah dan dalam
tawanan Kerajaan Gowa. Ia memberontak dan bersama
pengikutnya melarikan diri ke Batavia. VOC menyambutnya dengan baik dan
memberikan daerah di pinggiran Kali Angke, hingga serdadu Bone ini disebut To
Angke atau orang Angke. Sedang Kapiten Jonker adalah seorang panglima yang
berasal dari Pulau Manipa, Ambon. Dia punya banyak pengikut setia, namun tidak
pernah menguasai satu daerah di mana orang mengakuinya sebagai daulat. Akhirnya
dia bergabung dengan VOC di Batavia. Rumah dan tanah luas di daerah Marunda
dekat Cilincing diberikan VOC kepadanya.
Baik Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten
Jonker sama-sama berangkat dari hal yang sama yaitu keterasingan. Ketiganya
punya sejarah penaklukan yang membuat nama mereka menjadi legenda. Speelman
menjadi legenda karena berhasil membuat Sultan Hasanuddin bertekuk lutut di Makassar dalam sebuah perlawanan paling dahsyat dalam sejarah
peperangan yang pernah dialami VOC. Bersama Arung Palakka, Speelman
menghancurkan Benteng Sombaopu setelah terjadinya Perjanjian Bongaya yang
menjadi momok bagi VOC serta rintangan (barikade) untuk menguasai Indonesia
timur, khususnya jalur rempah- rempah Maluku, pada tanggal 18 November 1667.
Arung Palakka sangat populer sebab berhasil
menaklukan Sumatra dan membumihanguskan
perlawanan rakyat Minangkabau terhadap VOC. Arung Palakka menyimpan dua
sisi diametral, di satu sisi hendak membebaskan Bone, namun di sisi lain justru
menaklukan daerah lain di Nusantara. Kisahnya berawal pada tahun 1662, dibuat
perjanjian antara VOC dengan pemimpin Minangkabau di Padang. Perjanjian yang
kemudian di sebut Perjanjian Painan
itu bertujuan untuk monopoli dagang di pesisir Sumatera, termasuk monopoli emas
Salido. Sayang, rakyat Minang mengamuk pada tahun 1666 dan menewaskan perwakilan
VOC di Padang bernama Jacob Gruys.
Arung Palakka kemudian dikirim ke Minangkabau dalam ekspedisi yang dinamakan Ekspedisi Verspreet. Bersama pasukan
Bone, ia berhasil meredam dan mematikan perlawanan rakyat Minangkabau hingga
menaklukan seluruh pantai barat Sumatera, termasuk memutus hubungan Minangkabau
dengan Aceh. Kekuasaan VOC diperluas hingga Ulakan di Pariaman. Di tempat
inilah, Arung Palakka diangkat sebagai
Raja Ulakan.
Sedang Kapiten Jonker punya reputasi
menangkap Trunojoyo dan
diserahkan pada pegawai keturunan VOC keturunan Skotlandia, Jacob Couper. Tiga tokoh yaitu
Speelman, Arung Palakka, dan Kapiten Jonker telah menaklukan Nusantara di
Barat, Tengah, dan Timur. Mereka punya andil besar untuk mengantarkan VOC pada
puncak kejayaannya pada masa Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker. Tidak heran kalau ketiga tokoh ini menjadi tulang
punggung kekuatan VOC pada masa itu. Maetsueyker tidak berani menolak
permintaan ketiganya sebab mereka punya bala tentara yang besar. Di luar
ketiganya, ia hanya mengandalkan serdadu bayaran multibangsa dengan loyalitas
yang rendah. Akibat kekuasaan yang besar serta penguasaan monopoli emas ini,
Speelman berhasil menjadi Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1681.
Sayangnya, kisah menakjubkan dari tiga jagoan
Batavia ini harus berakhir dalam waktu yang tidak lama. Musuh Speelman yaitu
perwira asal Perancis bernama Isaac
declornay de Saint Martin langsung bergerak. Komandan perang yang
memenangkan peperangan di Cochin, Colombo, Ternate, Buton, Jawa Timur, dan Jawa
Barat ini, berhasil mengungkap semua korupsi dan keculasan Speelman hingga
akhirnya Speelman disingkirkan dari posisi Gubernur Jenderal. Isaac juga
berhasil memengaruhi Gubernur Jenderal Champuys untuk menyingkirkan Kapiten
Jonker. Wilayah kekuasaan pria Ambon ini di Pejonkeran Marunda dikepung,
kemudian diserang. Kapiten Jonker tewas terbunuh dalam penyerbuan itu,
kepalanya dipancung dan dipertontonkan. Pengikutnya dibunuh dan keluarganya
diasingkan ke Colombo dan Afrika.
Arumpone Bone
Menggantikan ibunya sebagai Datu Mario-ri
Wawo ke-15. Mendapat gelar Arung
Palakka sebagai hadiah membebaskan rakyatnya dari penjajahan Makassar. Diakui oleh Belanda sebagai Arung Pattiru, Palette dan Palakka di Bone and
Datu Mario-ri Wawo di Soppeng, Bantaeng dan Bontoala, 1670.
Menyatakan penurunan paksa tahta paman kandungnya pada 1672.
Dan dimahkotai sebagai Sultan Bone dengan gelar Paduka Sri Sultan Sa'ad ud-din,
3 November 1672.
Andaya mengarahkan perhatiannya kepada Arung
Palakka sebagai wakil dari tema dan kepercayaan dasar yang sampai sekarang
menguasai kehidupan orang Bugis atau Makassar. Dari sanalah dia mencoba mencari
akar sebab Arung Palakka rela bersekutu dengan VOC seraya memerangi saudaranya
sendiri di Kerajaan Gowa yang sedang jaya-jayanya
sebagai salah satu kerajaan terkuat dan terbesar di Nusantara abad ke-17.
Jawaban persoalan itu, menuru Andaya, kurang
tepat jika dicari dalam kerangka persaingan ekonomi di wilayah bagian barat
laut Nusantara, antara Kerajaan Gowa dan VOC, yang memuncak dalam
Perang Makassar 1666-1669, sebagaimana diyakini para sarjana lokal dan
mancanegara. Alasan pokok Arung Palakka bukanlah ekonomis-politis, tetapi
pangadereng yang meliputi siri’’ (harga diri atau kehormatan dan rasa malu),
pacce (perasaan sakit dan pedih atas penderitaan saudara sebangsa), dan sare
(kepercayaan bahwa seseorang dapat memperbaiki atau memperjelek peruntungannya
dalam hidup ini melalui tindakan orang itu sendiri).
Tanpa memahami ketiga ciri kultural yang
memegang peranan sangat penting dalam sejarah Sulawesi Selatan saat itu, akan
keruh selamanya menilai Arung Palakka. Lagi pula Andaya percaya diktum
sejarawan JC van Leur bahwa masa
lalu tidak ditulis untuk dinilai dengan nilai masa kini, dan oleh karena itu
siri’, pacce, dan sare adalah bahan yang lebih baik dan adil dipakai untuk
menilai dan mengevaluasi kejadian penting pada abad itu, ketimbang standar masa
kini. Demikianlah dia memasuki dan memberi sumbangan penting dalam polemik yang
sampai kini masih berkembang di antara masyarakat Sulawesi Selatan tentang
Arung Palakka yang tokoh sejati, pahlawan tulen bukan pengkhianat dan penindas.
Berlatar belakang seperti itu, Andaya memulai
riwayat tokohnya dengan membahas sejumlah ciri tertentu budaya masyarakat
Sulawesi Selatan yang dikaitkannya dengan keadaan historis abad ke-17, terutama
perkembangan Islam dan perdagangan internasional yang memuncak menjadi
ketegangan antara Gowa, Bone, dan VOC yang hadir di sana sejak tahun 1601.
Ketegangan yang dia perlihatkan dengan rinci menjadi latar kelahiran serta
mengisi pikiran masa kanak dan muda Arung Palakka.
Arung Palakka lahir sekitar tahun 1635 di
Desa Lamatta, daerah Mario Wawo Soppeng, sebagai pewaris takhta Kerajaan Bone.
Ketika umurnya delapan tahun, Bone diperangi Kerajaan Gowa dan berhasil menaklukkannya. Sejak berumur 11
tahun Arung Palakka dan keluarganya dibawa sebagai sandera ke Istana Gowa.
Mereka beruntung karena menjadi pelayan Karaeng
Pattinggaloang, tokoh penting dan jenius di Kerajaan Gowa. Di bawah asuhannya, Arung Palakka tumbuh
menjadi pangeran yang mengesankan dalam olah otak maupun olahraga.
Meski dia terlibat aktif di Istana Gowa
dan berkawan dengan para pemuda Makassar, siri’ dan pacce mengingatkannya
selalu sebagai putra dari seorang Bugis pembuangan dan bahwa rakyatnya
menderita. Awal 1660 dia merasa penderitaan itu semakin hebat karena harus
menyaksikan 10.000 orang tua maupun muda diseret dari Bone ke Makassar atas
perintah Sultan Hassanudin melalui Karaeng Karunrung dan Regent (Bupati) Bone,
Tobala. Mereka dijadikan pekerja paksa penggali kanal di sepanjang garis
pertahanan pantai Makassar agar ada pemisah antara Kerajaan Goa dan Benteng
Pa’nakkukang yang diduduki VOC.
Lantaran banyak yang sakit dan melarikan
diri, seluruh bangsawan Bone dan Soppeng diperintahkan keluar dari istana,
bekerja bersama rakyatnya. Ini melipatgandakan pelecehan siri’ yang sudah
diderita oleh rakyat Bone dan Soppeng karena junjungannya dipaksa melakukan
pekerjaan kasar yang tidak seharusnya. Pelecehan siri’ itu menjadi derita
kolektif orang Bone dan Soppeng dan menebalkan pacce di antara mereka.
Perlawanan pun dirancang.
Arung Palakka adalah salah satu perancangnya,
tetapi perlawanan itu patah oleh kekuatan Gowa
yang besar. Ia terdesak. Akhir tahun 1660 dia meninggalkan Sulawesi Selatan
bersama pengikutnya menuju Batavia dengan bantuan VOC, namun dalam hatinya
terpatri sumpah tidak akan berhenti mencari cara untuk kembali, buat
perhitungan, dan merdekakan negeri Bone. Setelah menunggu lima tahun, keinginannya
terkabul. VOC yang kagum akan daya tempur pengikut Arung Palakka yang disebut
Toangke ("Orang Angke", diambil dari Kali Angke yang mengalir
melewati perkampungan Bugis di Batavia) saat membantu memadamkan pemberontak
Minangkabau, mengajaknya memerangi Gowa yang dinilai mengganggu kepentingan
ekonomi VOC.
Andaya memberi ruang luas buat mengisahkan
Perang Makassar. Salah satu yang menarik adalah ditunjukkannya psikologi Arung
Palakka dan Cornelis Speelman yang menjadi aktor utama pilihan VOC memimpin
ekspedisi ke Kerajaan Gowa. Keduanya menderita oleh apa
yang mereka anggap ketidakadilan sehingga rela berkorban apa pun demi
memulihkan nama. Speelman yakin cuma kemenangan yang bisa membersihkan namanya
dari noda dipecat dengan tidak hormat karena perdagangan gelapnya sebagai
Gubernur VOC di Coromandel tahun 1665. Sementara bagi Arung Palakka, kemenangan
akan membebaskannya dari beban berat bahwa siri’-nya telah mati.
Hanya dengan memulihkan siri’-nya dan
rakyatnya dia dapat memperlihatkan wajah di Sulawesi Selatan. Dia yakin lebih
baik mati untuk mempertahankan siri’ (mate ri siri’na) ketimbang hidup tanpa
siri’ (mate siri’). Mati untuk memulihkan siri’ adalah "mati dengan
siraman gula dan santan" (mate ri gollai, mat ri santannge). Situasi psikologis
itulah yang mendorong keduanya "mentafsir ulang" perintah VOC.
Hal lain yang menarik adalah kajian Andaya
mengenai dampak perang itu atas rakyat Makassar. Melalui cerita rakyat Bugis,
Sinrili’na Kappala’ Tallumbatua, dia memperlihatkan Arung Palakka dan Perang
Makassar yang dimaknai rakyat pedesaan Makassar dan Bugis sebagai kemenangan
rakyat dan keunggulan nilai-nilai mereka yang didasarkan pada kebiasaan dan
praktik (ada’) yang sudah sangat tua dalam masyarakat, yaitu siri’, pacce, dan
sare. Ini sangat berlainan dengan tulisan para sejarawan Barat maupun sejarawan
Indonesia yang melulu bergantung pada sumber Kerajaan Makassar dan/atau dokumen
VOC. Mereka cenderung menggambarkan kepahitan dan pesimisme di kalangan para
raja dan ningrat Makassar sebagai pantulan perasaan seluruh rakyat Makassar.
Jadi, seharusnya masyarakat Sulawesi Selatan dapat menurunkan kadar emosional
dan lebih rasional setiap mendiskusikan mengenai implikasi Perang Makassar.
Seusai Perang Makassar, Arung Palakka sangat
memahami bahwa VOC telah menjadi kekuatan "di", namun bukan
"milik", Sulawesi Selatan. Perbedaan ini disadari dan dimanipulasi
untuk menciptakan dirinya sebagai salah satu penguasa atasan yang berhasil
dalam sejarah Sulawesi Selatan. Jalan menuju ke sana dirintisnya tidak saja
dengan kesadaran dia tidak akan berbalik melawan VOC yang telah memulihkan
hidupnya dan rakyatnya, tetapi juga dengan selalu membuktikan kesetiaannya. Ia
rela meninggalkan negerinya pada Mei 1678 untuk berperang membantu VOC
menyelesaikan persoalan pengungsi Makassar pimpinan Karaeng Galesong yang membantu perlawanan Trunojoyo di Jawa.
Akhirnya, Andaya menyimpulkan Arung Palakka
adalah tokoh yang diberkati visi dan kepiawaian politik yang kuat sehingga
mampu menggunakan pengaruhnya dengan efektif terhadap negara lokal, bahkan
membuat pemerintah pusat VOC di Batavia bergantung dan rela mengabaikan suara
wakilnya di Fort Rotterdam agar membelenggu Arung Palakka yang memaksa mereka
semua berbagi mimpinya akan Sulawesi Selatan bersatu.
Mimpi Arung Palakka yang dalam 30 tahun
kekuasaannya berhasil diwujudkan, tetapi sekaligus membuat banyak pangeran dan pengikutnya yang tak setuju
dikarenakan politik kotor yang dilakukannya. Sehingga mengakibatkan pangeran
dan pengikutnya lari dan mencari rumah di tanah seberang sehingga mewarnai
sejarah daerah tujuan itu. Inilah yang menurut Andaya sebagai warisan Arung
Palakka, tidak hanya bagi Sulawesi Selatan tetapi juga bagi Nusantara, selain
pribadinya sebagai pemimpin yang sadar, paham, teguh memegang serta menjalankan
tradisi sebagaimana tersebut dalam amanat leluhur yang tertulis maupun tak
tertulis.
Arung Palakka di antara Gelar Pahlawan dan
Pengkhianat
Roman geram tampak pada wajah pria muda itu.
Awal tahun 1660, dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan lebih dari 10.000
orang dari negeri asalnya dijadikan pekerja paksa. Orang-orang Bone itu
dipekerjakan untuk menggali kanal di sepanjang pesisir Makassar sebagai garis
pertahanan dalam rangka peperangan melawan VOC. Lelaki yang menahan murka
tersebut bernama Arung Palakka. Ia adalah putra mahkota Bone. Sejak usia 11
tahun, sang pangeran sudah menjadi tawanan Kesultanan Gowa di Makassar. Maka,
tidak heran, impian untuk bisa melepaskan diri dari kekuasaan Gowa selalu
tertanam di hati dan pikirannya.
Kelak, cita-cita itu akhirnya terwujud meskipun harus dilakukan dengan pertaruhan yang amat besar. Arung Palakka terpaksa bekerjasama dengan kaum penjajah asing untuk membebaskan rakyat Bone dari penjajahan Gowa. Itulah sebabnya citra Arung Palakka hingga kini terbelah menjadi dua, antara pahlawan atau pengkhianat, antara surga dan neraka.
Dendam Sang Putra Mahkota
Arung Palakka (sering pula ditulis Aru
Palaka) lahir pada 15 September 1634. Ia adalah putra Raja Bone ke-XIII La
Maddaremmeng Matinro’e Ri Bukaka. Meskipun berstatus sebagai pangeran, bukan
berarti Arung Palakka bisa menikmati hidup enak. Sebaliknya, ia terlahir dalam
suasana konflik antar-kerajaan di Sulawesi Selatan. Polemik tersebut sebenarnya
terjadi jauh sebelum Arung Palakka dilahirkan. Setidaknya ada 4 kerajaan yang
terlibat, yaitu Bone, Soppeng, Wajo, dan Gowa-Tallo. Dari keempatnya,
Gowa-Tallo adalah kerajaan yang paling berpengaruh dan bernafsu untuk
memperluas wilayah kekuasaannya.
Puncak pertikaian terjadi saat Gowa-Tallo resmi menjadi kerajaan Islam pada 1605. Kerajaan Gowa—yang sudah berganti corak menjadi kesultanan—mulai memaksa tiga kerajaan lainnya untuk menganut agama yang sama sekaligus meluaskan pengaruh politiknya (Poesponegoro & Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Volume 3, 2008:83). Bone yang berpuluh-puluh tahun sebelumnya cukup merepotkan Gowa akhirnya harus menyerah pada 1611. Sejak saat itu, Bone ikut menganut ajaran Islam dan menjadi taklukan Gowa. Meskipun begitu, kedudukan raja Bone masih diakui dan sempat dimerdekakan kendati rangkaian konflik masih saja terjadi di era-era setelahnya.
Tahun 1643, Bone benar-benar jatuh dan wilayahnya diperintah langsung oleh Sultan Gowa (Taufik Abdullah, Sejarah Ummat Islam Indonesia, 1991:90). Peristiwa tersebut terjadi ketika Bone dipimpin oleh Sultan La Maddaremmeng yang tidak lain adalah ayahanda Arung Palakka.
Takluknya Bone kepada Gowa membuat Arung Palakka dan keluarganya dijadikan tawanan. Sejak umur 11 tahun, ia sudah merasakan bagaimana pedihnya hidup tanpa kebebasan kendati perlakuan keluarga Kesultanan Gowa terhadapnya tidak terlalu buruk.
Arung Palakka dan keluarganya dijadikan pelayan di kediaman Perdana Menteri Gowa, Karaeng Pattinggaloang (Palloge Petta Nabba, Sejarah Kerajaan Tanah Bone, 2006:124). Namun, Pattinggaloang tetap menaruh respek kepada keluarga Arung Palakka, dan Arung Palakka pun tumbuh menjadi seorang pemuda cerdas dan gagah di bawah bimbingannya. Hingga suatu ketika, Arung Palakka akhirnya bisa terbebas dari cengkeraman Gowa setelah terjadi aksi pemberontakan orang-orang Bone yang dipimpin oleh Tobala. Tobala sebenarnya adalah orang Bone yang ditunjuk sebagai Regent atau Bupati Bone sebagai kepanjangan tangan dari Gowa.
Lari dari Gowa, Arung Palakka kemudian berlindung di Kesultanan Buton (Syahruddin Yasen, Maestro 27 Karaeng Bugis-Makassar, 2008:28). Selama tiga tahun tinggal di Buton yang saat itu dipimpin oleh La Sombata atau Sultan Aidul Rahiem, Arung Palakka bersiap untuk melakukan pembalasan.
Dilema Arung Palakka
Akhir 1660, dibantu beberapa mantan petinggi
Kesultanan Bone yang masih setia, Arung Palakka melancarkan serangan terhadap
Gowa dan berhasil membebaskan orang-orang Bone yang dipekerjakan paksa.
Sayangnya, Tobala tewas dalam peperangan tersebut (Muhammad Abduh, dkk., Sejarah
Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan,
1985:22)
Arung Palakka terpaksa mundur. Untuk meraih kemenangan, ia belum sanggup lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak. Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton.
Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi. Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar jauh ke Batavia, tepat di mana pusat kekuasaan VOC berada. Selain untuk menyelamatkan diri dari kejaran Gowa, Arung Palakka ternyata harus membuktikan terlebih dulu bahwa ia memang benar-benar butuh bantuan VOC.
Arung Palakka terpaksa mundur. Untuk meraih kemenangan, ia belum sanggup lantaran armada militer Gowa masih terlalu kuat, bahkan membuatnya kian terdesak. Arung Palakka pun terpaksa melarikan diri karena menjadi target utama pasukan Gowa yang mencarinya sampai ke Buton.
Di saat yang sama, VOC datang menawarkan bantuan. Kondisi ini sebenarnya dilematis bagi Arung Palakka. Di satu sisi, ia muak dengan ambisi VOC. Namun di sisi lain, ia memerlukan dukungan kaum penjajah itu jika ingin menuntaskan dendamnya sekaligus menjadikan Bone sebagai pemerintahan yang berdaulat lagi. Akhirnya, pada 1663, Arung Palakka dan para pengikutnya berlayar jauh ke Batavia, tepat di mana pusat kekuasaan VOC berada. Selain untuk menyelamatkan diri dari kejaran Gowa, Arung Palakka ternyata harus membuktikan terlebih dulu bahwa ia memang benar-benar butuh bantuan VOC.
VOC mengizinkan Arung Palakka dan orang-orangnya menetap di Batavia—inilah asal-muasal Kampung Bugis yang kini berada di wilayah Jakarta Utara. Namun mereka harus membantu VOC sekaligus sebagai pembuktian diri bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh dan dapat diandalkan (Ricklefs, et.al, A New History of Southeast Asia, 2010:161). Kehadiran Arung Palakka sangat menguntungkan VOC. Ia menjadi salah satu kunci keberhasilan VOC dalam menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara, bersama Cornelis Speelman yang asli Belanda dan mantan pemimpin kelompok bersenjata dari Maluku, Joncker Jouwa de Manipa alias Kapiten Jonker (Anthony Reid, Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia, 2000).
Pahlawan Atau Pengkhianat?
Setelah 3 tahun membantu VOC, saatnya tiba
bagi Arung Palakka untuk menuntaskan dendam sekaligus merebut kembali wilayah
Bone yang dikangkangi Gowa. Tanggal 24 November 1666, armada besar bertolak
dari pesisir utara Batavia menuju Celebes, terdiri dari 21 kapal
perang yang mengangkut 1000 prajurit. Pasukan Arung Palakka yang beranggotakan
400 orang semakin percaya diri berkat bantuan VOC yang menyumbangkan 600 orang
tentaranya dari Eropa yang paling terlatih. Mereka berangkat dengan satu
tujuan: mengalahkan Gowa yang saat itu dipimpin seorang raja perkasa berjuluk
Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
Dan terjadilah pertempuran legendaris itu. Gowa pada akhirnya menyerah, dan tanggal 18 November 1667 Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai kemenangan VOC dan Arung Palakka walaupun selama beberapa tahun berikutnya serpihan pasukan Gowa masih melakukan perlawanan. Pada 1672, Arung Palakka dinobatkan sebagai Sultan Bone. Impiannya menjadi kenyataan. Ia memang hanya menuntut haknya kembali sebagai pewaris tahta Bone, sekaligus membebaskan Bone dari penguasaan Gowa dan membalaskan dendamnya, meskipun dengan cara yang tidak bisa memuaskan semua pihak. Buku-buku sejarah yang beredar selama ini lebih cenderung menempatkan Arung Palakka selaku sosok pengkhianat, dan sebaliknya, Sultan Hasanuddin sang Sultan Gowa selalu diidentikkan sebagai pahlawan besar.
Namun, sebagian masyarakat Bone meyakini bahwa Arung Palakka adalah orang paling yang paling berjasa. Dan bukan tanpa alasan dibuatnya patung Arung Palakka yang berdiri gagah di Watampone, ibukota Bone. Arung Palakka memimpin Kesultanan Bone selama 24 tahun atau sampai akhir hayatnya. Ia meninggal dunia pada 6 April 1696 atau 321 warsa yang telah lampau. Hingga kini, jalan hidupnya masih menyisakan pro-kontra, antara pahlawan atau pengkhianat.
Sumber
: Google Wikipedia
Kejayaan
dan Kejatuhan Si Pengadu Domba Cornelis Speelman
Pada 11 Januari 1684, ada acara megah di Kastil
Batavia. Bukan merayakan suka-cita, melainkan upacara kematian seorang panglima
perang sekaligus pemimpin pemerintahan. Ya, pada 11 Januari 1684 itu, tepat 333
tahun silam pada hari ini, Cornelis Speelman mati saat berusia 55 tahun. Ia
saat masih menjabat Gubernur Jenderal VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie).
Kastil Batavia adalah benteng VOC yang berdiri di kawasan Jakarta Kota sekarang. Bangunan seluas 600 x 800 meter2 ini pernah menjadi kediaman sang Gubernur Jenderal. Selama menjabat, Speelman kerap menghabiskan waktunya di rumah peristirahatan yang berada di kompleks kastil, Speelhuisje istilah Belanda-nya. Di tempat ini pula hidup Speelman berakhir karena komplikasi penyakit ginjal dan hati.
Kematian Speelman dikhidmati dengan upacara megah sekaligus menjadi acara belasungkawa termewah dan termahal dalam sepanjang sejarah kolonial Belanda hingga saat itu. Biaya upacara kematian Speelman menembus angka 131.400 rijksdaalder, koin Belanda yang berlaku pada abad ke-17.
Siapa dan Sepenting Apa Speelman?
Cornelis Speelman adalah Gubernur Jenderal VOC ke-14
yang sukses menjalankan siasat devide
et impera untuk memecah-belah Nusantara. Speelman merupakan orang yang
paling bertanggungjawab atas penaklukkan sejumlah wilayah di Nusantara,
termasuk Banten dan Ternate. Ia juga menjadi pembisik penguasa Mataram Islam,
Amangkurat II (memerintah 1677-1703), saat berseteru dengan pemimpin Madura,
Raden Trunojoyo. Speelman pula yang
memanaskan hubungan Arung Palakka dari Bone dengan Raja Kesultanan Gowa, Sultan
Hasanuddin. Hingga akhirnya Hasanuddin terpaksa meneken Perjanjian Bongaya yang
sekaligus memungkasi perjuangan sang Ayam Jantan dari Timur itu. Pencetusnya?
Siapa lagi kalau bukan Cornelis Speelman.
Speelman berasal dari kalangan keluarga biasa. Lahir di Rotterdam pada 2 Maret 1628, ayahnya adalah pedagang. Speelman tumbuh menjadi remaja ambisius nan pemberani. Di usia 16 tahun, ia sudah bernyali merantau sangat jauh dari kampung halamannya. Pada 1644 itu, saat masih remaja, Speelman muda menumpang kapal Hillegersberg yang menuju ke Asia. Ia diterima sebagai pegawai VOC dan langsung ditempatkan di India. Belum setahun, Speelman sudah dikirim lebih jauh lagi, kali ini ke Batavia sebagai boekhouder (kepala tata administrasi) di kongsi perdagangan Belanda tersebut.
Kinerjanya yang memukau membuat karier Speelman meningkat pesat. Pada 1649 ia ditunjuk sebagai sekretaris Raad van Indie, Dewan Penasihat Gubernur Jenderal yang juga salah satu lembaga tertinggi dalam struktur VOC. Speelman juga dipercaya menemani duta penting VOC bernama Joan Cunaeus pergi ke Persia (kini Iran) dalam rangka sebuah misi diplomatik. Pamor Speelman kian menjulang ketika menikahi Petronella Maria Wonderaer, putri seorang jenderal Belanda, pada 1657. Pernikahan ini semakin memuluskan karier Speelman di kancah politik. Pada 1661, Speelman menjadi senator Schepen van Batavia, semacam anggota DPRD. Masa depan yang cerah pun semakin terbuka. Dari sanalah dia akhirnya bertugas di Koromandel. Tersangkut Kasus, Karier Jalan Terus!
Bagi VOC dan Kerajaan Belanda, kemungkinan menempatkan Speelman sebagai orang tertinggi di Nusantara sebenarnya dilematis. Di satu sisi, kemampuan dan kecakapannya memimpin, baik dalam urusan politik maupun militer, sangat bisa diandalkan. Namun, Speelman sebenarnya bukan sosok pemimpin panutan, ia pernah terlibat perkara serius. Pada 1664, Speelman ditunjuk sebagai Gubernur Koromandel, wilayah koloni VOC yang terletak di tenggara Semenanjung India. Belum lama menjabat, Dewan Direksi VOC atau De Heeren XVII memutuskan menon-aktifkan jabatan Speelman lantaran dugaan korupsi. Ia memiliki bongkahan berlian dalam ukuran yang cukup besar.
Perihal
berlian itu terbongkar setelah Speelman hendak menjualnya. Semula, Speelman
memberikan barang mahal tersebut kepada istrinya sebagai hadiah. Namun, sang
istri ternyata kurang suka sehingga Speelman terpaksa melegonya kembali.
Sebelum berlian itu laku, De Heeren XVII keburu tahu dan segera menggelar
penyelidikan. Speelman berdalih bahwa berlian tersebut didapatkan saat ia
melakukan ekspedisi pribadi. Namun, pihak yang berwenang tidak percaya begitu
saja. De Heeren XVII mencurigai Speelman telah menyalahgunakan wewenang karena
gaji seorang gubernur tidak akan mungkin cukup membeli berlian sebesar itu.
Pengadilan pun digelar. Speelman didudukkan di ruang sidang sebagai terdakwa dan akhirnya divonis skorsing selama 15 bulan dan denda sebesar 3.000 gulden. Tak hanya itu, Speelman dicopot dari jabatan Gubernur Koromandel dan dimutasi ke Batavia sebagai kapten kapal. Namun, kasus tersebut ternyata tidak menghalangi karier Speelman. Ditempatkan di Batavia, ia justru berhasil unjuk gigi. Ia memperlihatkan betapa kemampuannya memang sangat dibutuhkan VOC. Dan itu terbukti. Karier Speelman bahkan melenggang mulus usai perkara berlian itu. Speelman terjun ke dunia politik dan mencapai puncaknya pada 1681 ketika merengkuh posisi sebagai orang Belanda paling berkuasa di Nusantara, yakni gubernur jenderal, status prestisius yang dijabatnya sampai mati.
Pakar Pecah-Belah Nusantara
Tak
hanya cakap sebagai politisi, Speelman juga tangkas dalam urusan ketentaraan.
Mertuanya yang jenderal berperan besar mendongkrak karier militer Speelman yang
dilibatkan dalam berbagai operasi penaklukkan sejumlah wilayah atau kerajaan di
Nusantara. Peran Speelman cukup besar dalam misi-misi tersebut. Speelman
rupanya piawai menjalankan taktik pecah-belah atau devide et impera yang memang
diterapkan VOC dalam upayanya menguasai Nusantara. Usai menaklukkan Ternate,
Speelman mendekati pangeran Bone, Arung Palakka, yang terlibat sengketa dengan
Sultan Hasanuddin dari Gowa (Makassar).
Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker (1653-1678) bahkan menunjuk langsung Speelman memimpin ekspedisi militer VOC ke Sulawesi Selatan untuk membantu Arung Palakka melawan Hasanuddin pada 1666. Speelman dibekali armada yang berkekuatan 21 kapal dengan 600 tentara terlatih dari Eropa. Bersama pasukan Arung Palakka, armada perang VOC pimpinan Speelman mengepung Gowa. Hasanuddin pun menyerah. Tanggal 18 November 1667, Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya yang menandai dominasi VOC di Selebes. Speelman pun diangkat sebagai komisioner untuk wilayah Ambon, Banda, dan Ternate.
Satu dasawarsa berselang, “prestasi” gemilang kembali dicatatkan Speelman. Kali ini pusat peradaban Jawa menjadi ajang VOC menancapkan pengaruhnya dengan turut campur urusan internal wangsa Mataram. Adalah Amangkurat II, cucu Sultan Agung sekaligus pendiri Kesultanan Kartasura, yang menjadi korban adu-domba berikutnya. Saat itu Amangkurat II mendapat perlawanan Trunojoyo yang menginginkan Madura lepas dari Mataram. Trunojoyo dan Amangkurat II sebenarnya sempat bersekutu untuk menggulingkan Amangkurat I pada awal dekade 1670-an. Tapi, karena takut kehilangan tahta, Amangkurat II yang saat itu masih memakai nama Raden Mas Rahmat kembali berpihak kepada sang ayah.
Amangkurat I wafat pada 13 Juli 1677 lantaran diracun. Menurut Babad Tanah Jawi, pelakunya adalah sang putra mahkota sendiri yakni Raden Mas Rahmat. Setelah menguasai singgasana Mataram dan mendirikan Kesultanan Kartasura, Raden Mas Rahmat yang kini bergelar Amangkurat II harus menghadapi perlawanan Trunojoyo. Di saat-saat genting itu, Speelman yang sejak mula memang telah menebar pengaruh menawarkan bantuan kepada Amangkurat II. Hanya dalam waktu 2 tahun, perlawanan Trunojoyo benar-benar padam pada 26 Desember 1679 berkat VOC di bawah komando Speelman.
Amangkurat II harus membayar mahal bantuan yang diberikan Speelman. Wilayah kekuasaan Mataram di sepanjang pesisir utara Jawa dari Karawang hingga ujung timur diserahkan kepada VOC. Dalam hal ini, andil Speelman memang besar, sebelumnya ia juga menaklukkan Banten dan sebagian besar wilayah timur Nusantara. Selanjutnya, karier Speelman nyaris tak terbendung lagi. Tak lama setelah kejayaan di Jawa, tepatnya pada 29 Oktober 1680, ia ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal VOC yang berkedudukan di Batavia. Speelman resmi dilantik pada 25 November 1681 untuk menggantikan Rijkloff van Goens.
Pada tahun berikutnya setelah pelantikan, Speelman kembali mempraktikkan praktik devide et impera dengan memberikan bantuan kepada Sultan Haji yang ingin melengserkan ayahnya sendiri, Sultan Ageng, dari puncak kekuasaan di Kesultanan Banten. Seperti biasa, tidak ada makan siang gratis, apalagi bantuan untuk urusan perang. VOC meminta agar perdagangan di area Banten dimonopoli oleh mereka. Pada 1685, setahun setelah kematian Speelman, didirikanlah benteng Speelwijk di Banten Lama. Nama benteng sendiri diambil dari nama Speelman, semacam penghormatan untuk kinerja Speelman untuk memuluskan dominasi VOC di Banten (A History of the World's Most Influential Spice hal. 106).
Menjadi
Gubernur Jenderal Korup
Kinerjanya
membuat Speelman tak terbendung untuk menggantikan Rijkloff. Sejarawan
Bernardus Vlekke dalam Nusantara:
sejarah Indonesia (hal. 188-189) menyebutnya sebagai orang yang
ideal untuk menjadi komandan kekuatan Kompeni: cerdas, memiliki pengetahuan
luas tentang bahasa dan adat istiadat Asia, cepat bertindak, berani mempertaruhkan
nyawanya, tapi juga tidak segan mengorbankan nyawa orang lain kalau dia anggap
perlu. Namun sayang Petronella, sang
istri, tidak sempat menyaksikan puncak karier Speelman. Ia mati beberapa bulan
sebelum Speelman didapuk sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, meninggal
pada 2 April 1681 (lihat Persekutuan
Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC
hal. 419).
Namun, jabatan sebagai orang paling berkuasa di Nusantara yang kelak menjelma menjadi Indonesia dinikmati Speelman kurang dari 3 tahun saja. Gaya hidup yang bergelimang harta menghasilkan masalah pada organ dalamnya, dan itulah yang mengakhiri nyawa sang Gubernur Jenderal pada 11 Januari 1684.
Namun, jabatan sebagai orang paling berkuasa di Nusantara yang kelak menjelma menjadi Indonesia dinikmati Speelman kurang dari 3 tahun saja. Gaya hidup yang bergelimang harta menghasilkan masalah pada organ dalamnya, dan itulah yang mengakhiri nyawa sang Gubernur Jenderal pada 11 Januari 1684.
Namun kontroversi tak berhenti setelah ia mati. Seperti diuraikan M.C. Ricklefs (A History of Modern Indonesia Since c.1200, hal. 100), korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang ia lakukan mulai terkuak. Ia dengan semena-mena memenjarakan lebih dari seribu orang, belakangan hanya seorang saja yang terbukti bersalah. Juga terlibat dalam penjualan perbudakan, menyetujui penggajian serdadu yang sebenarnya tidak ada atau tidak benar-benar bekerja, serta membayar lada dengan harga di bawah pasaran. Pada saat yang bersamaan, pemasukan ekonomi VOC justru menurun selama kekuasaan Speelman. Selama 1681-1684 penjualan tekstil turun sampai 90 persen, monopoli opium berjalan tidak efektif, dan mengizinkan para pedagang swasta mengganggu monopoli VOC.
Ia juga didakwa melakukan penggelapan dalam jumlah yang banyak. Banyak propertinya disita oleh VOC. Namun diduga banyak hasil penggelapan dan korupsi Speelman gagal disita karena telah lebih dulu diselundupkan ke Belanda. Riwayat Speelman, sampai batas tertentu, menggambarkan dengan sangat baik riwayat VOC itu sendiri. Dari yang mulanya pedagang, Speelman kemudian menjadi laksamana sekaligus jenderal dan puncaknya menjadi penguasa tertinggi di Nusantara. Jalur karier Speelman ini hampir sama dengan riwayat VOC sendiri: dari yang bermula hanya perusahaan dagang, kemudian melancarkan ekspansi militer, dan akhirnya menjadi penguasa politik di Nusantara. Korupsi Speelman dengan sendirinya juga mencerminkan persoalan laten di tubuh VOC. Ya, korupsi itu pula yang menjadi salah satu alasan bangkrutnya VOC dan akhirnya membuat VOC dibubarkan pada 31 Desember 1799.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar