Orientasi
Si
Pitung (ejaan lama: Si Pitoeng) atau Pitung adalah seorang bandit abad
ke-19 di Batavia,
Hindia
Belanda (sekarang Jakarta, Indonesia). Sepak terjangnya telah
menciptakan berbagai legenda tentang riwayat hidup, petualangan, dan
kematiannya.
Riwayat Hidup
Pitung
lahir di Pengumben, sebuah kampung kumuh di Rawabelong, dekat Stasiun Palmerah
sekarang ini. Putra keempat dari Bang Piung dan Mbak Pinah ini bernama asli Salihoen. Menurut riwayat
lisan, nama Pitung berasal dari frasa pituan pitulung dalam bahasa Jawa
yang berarti sekumpulan tujuh orang yang saling bahu-membahu. Ketika masih
kanak-kanak, Salihoen berguru di pesantren
Hadji Naipin. Selain belajar mengaji, ia juga berlatih pencak silat
dan melatih diri untuk selalu waspadaterhadap situasi di sekitarnya.
Pada dasarnya ada tiga versi yang tersebar di masyarakat mengenai si Pitung yaitu versi Indonesia, Belanda, dan Cina. Masing-masing penutur versi cerita tersebut memiliki versi yang berbeda dari cerita si Pitung itu sendiri. Apakah si Pitung sebagai seorang pahlawan berdasarkan versi cerita Indonesia, dan sebagai seorang penjahat jika dilihat dari versi Belanda.
Cerita
si Pitung ini dituturkan oleh masyarakat Indonesia hingga saat ini dan menjadi
bagian legenda serta warisan budaya Betawi khususnya dan Indonesia umumnya.
Kisah legenda Si Pitung ini kadang-kadang dituturkan menjadi rancak (sejenis
balada), syair, atau cerita Lenong. Dalam versi Koesasi (1992), Si Pitung
diidentikkan dengan tokoh Betawi yang membumi, seorang muslim yang saleh, dan
menjadi contoh suatu keadilan sosial.
Awal Legenda
Menurut
versi van Till (1996) si Pitung merupakan seorang kriminal, diawali ketika si
Pitung menjual kambing di pasar Tanah Abang yang kemudian dicuri oleh para
“centeng” (Si Gomar menurut versi Film Si Pitung (1970) tuan tanah. Si Pitung
kembali pulang dengan tangan hampa, namun si Pitung hanya tersenyum dan
menjawab bahwa dia telah dirampok. Ayah Pitung yang marah kemudian menyuruh
Pitung pergi mencari uang tersebut dan akhirnya dapat menemukannya kembali.
Namun, para pencuri alias "centeng" tersebut mengajak Pitung untuk
bergabung sebagai perampok dan menjadi ketua mereka. Pada awalnya Pitung
menolak, tetapi akhirnya Pitung bergabung dengan mereka. Legenda yang
dikisahkan dalam film Si Pitung, Pitung dan kawanannya menggunakan cara yang
“pintar” dengan menyamar sebagai pegawai Pemerintah Belanda (Di Versi Film Si
Pitung, Pitung disebut sebagai "Demang Mester Cornelis"-Wilayah
Mester Cornelis saat ini disebut sebagai Jatinegara, merupakan bagian dari Kota
Jakarta Timur–dan Dji-ih sebagai “Opas”). Kemudian, mereka melakukan penipuan
dengan memberikan surat kepada Haji Saipudin agar Haji Saipudin menyimpan uang
di tempat Demang Mester Cornelis. Pitung menyatakan bahwa uang tersebut dalam
pengawasan pencurian. Haji Saipudin setuju kemudian Pitung dan kelompoknya
membawa lari uang tersebut.
Akibat
dari hal ini, si Pitung dan kawanannya menjadi buronan “kompenie”. Hal ini
menarik perhatian komisaris polisi yang bernama Van Heyne (Schout Van Heyne,
Van Heijna, Scothena, atau Tuan Sekotena). Secara resmi, menurut Van Till
(1996), nama petugas polisi tersebut bernama A.W. Van Hinne yang pernah
bertugas di Batavia dari tahun 1888 - 1912. Menurut catatan kepolisian Belanda,
Van Hinne memulai karier sebagai pegawai klerikal Pemerintah Belanda, kemudian
menjadi Deputi Kehutanan, dan Polisi di beragam tempat di Indonesia. Van Hinne
menderita sakit yang serius sesudah dikembalikan ke Eropa untuk penyembuhan.
Pada akhir tahun 1880, Van Hinne menjadi seorang Perwira Polisi di Batavia
(Stambock van Burgerlijke Ambtenaren in Nederlandsch-Indie en Gouvernements
Marine, ARA (Aigemeen Rijksarchief), Den Haag, register T.f. 274). Van Hinne
segera memburu Si Pitung dengan membabi buta. Akhirnya dia dapat menangkap
Pitung, tetapi kemudian Si Pitung berhasil melarikan diri dari tahanan
ka-Demangan Meester Cornelis. Van Till (1996) menyatakan bahwa Si Pitung mampu
bebas dengan kekuatan sihir, tetapi menurut versi Film Si Pitung (1970), Si
Pitung lepas dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
Kemudian,
Hinne menekan Haji Naipin (Guru Si Pitung) untuk membuka rahasia kesaktian si
Pitung. Akhirnya, diketahui kesaktian tersebut berupa “jimat”, sehingga Hinne
dapat menangkap Si Pitung secara lebih cepat. Versi lainya menyatakan bahwa
Pitung dikhianati oleh temannya sendiri (kecuali Dji-ih) walaupun versi ini
diragukan kebenarannya. Tetapi menurut versi film Si Pitung Banteng Betawi
(1971), ia dikhianati oleh Somad yang memberitahukan kelemahan Pitung untuk
mengambil “jimatnya”. Kisah lainnya menyatakan bahwa Pitung telah diambil
“Jimat Keris”-nya sehingga kesaktiannya menjadi lemah. Versi lainnya mengatakan
bahwa kesaktian Pitung hilang setelah dipotong rambut, dan juga versi lain
mengatakan bahwa kesaktiannya hilang karena seseorang melemparkan telur.
Akhirnya Pitung meninggal karena luka tembak Hinne (Berdasarkan versi Film Si
Pitung, Pitung mati tertembak karena peluru emas). Sesudah Si Pitung meninggal,
makamnya dijaga oleh tentara karena percaya bahwa Si Pitung akan bangkit dari
kubur. Hal ini tersirat dari Rancak Si Pitung dalam Van Till (1996):
“Si Pitung sudah mati dibilangin sama sanak
sudaranya Digotong di Kerekot Penjaringan kuburannya Saya tau orang rumah sakit
nyang bilangin Aer keras ucusnya dikeringi Waktu dikubur pulisi pade iringin
Jago nama Pitung kuburannya digadangin Yang gadangin kuburannya Pitung dari
sore ampe pagi Kalo belon aplusan kaga ada nyang boleh pegi Sebab yang gadangin
waktu itu sampe pagi Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi Yang gali
orang rante mengaku paye Belencong pacul itu waktu suda sedie Lantaran digali
Tuan Besar kurang percaye Dilongok dikeker bangkenye masi die Memang waktu itu
bangke Pitung diliat uda nyata Dicitak di kantor, koran kantor berita Ancur
rumuk tulang iganya, bekas kena senjata Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke
Tomang bikin pesta Pesta
itu waktu kelewat ramenye Segala permaenan kaga larangannya Tuju ari tuju malem
pesta permisiannya Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya Nama Pitung
mau ditangkep kawan-kawannya.”
Robinhood Betawi
Menurut
Damardini (1993:148) dalam Van Till (1996):
“Pitung memang perampok. Mungkin saja Haji Samsudin
dipukuli ketika itu. Kalau menurut istilah sekarang, Pitung itu pengacau, dan
dicari oleh Pemerintah. Pitung memang jahat. Pekerjaannya merampok dan memeras
orang-orang kaya. Menurut kabar, hasil rampokannya dibagikan pada rakyat
miskin. Namun sebenarnya tidak. Tidak ada perampok yang rela membagi hasil
rampokannya dengan cuma-cuma, bukan? Menurut kabar, Pitung menyumbangkan
uangnya pada mesjid-mesjid. Saat itu mesjid hanya ada di Pekojan, Luar Batang,
dan Kampung Sawah. Tidak ada bukti bahwa Pitung mendermakan uangnya di sana.”
Pitung
yang menjadi karakter sebagai Robin Hood versi Betawi dikembangkan oleh Lukman
Karmani (Till, 1996). Karmani menulis novel Si Pitung. Dalam novel ini,
dikisahkan bahwa Si Pitung sebagai pahlawan sosial. Menurut Rahmat Ali, 'Pitung
sebagai tokoh kisah Betawi masa lampau memang dikenal sebagai perampok, tetapi
hasil rampokan itu digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita. Dia
adalah Robin Hood Indonesia. Walaupun demikian pihak yang berwenang tidak
memberikan toleransi, orang yang bersalah harus tetap diberi hukuman yang
setimpal' (Rahmat Ali 1993:7).
Beragam
pro dan kontra ]menyelubungi di balik kisah legenda Si Pitung ini, tetapi pada
dasarnya tokoh Si Pitung adalah cerminan pemberontakan sosial yang dilakukan
oleh "Orang Betawi" terhadap penguasa pada saat itu, yaitu Belanda.
Apakah hal ini benar atau tidak, kisah Si Pitung begitu harum didengar dari
generasi ke generasi oleh masyarakat Betawi sebagai tanda pembebasan sosial
dari belenggu penjajah. Hal ini ditunjukkan dari Rancak Pitung di atas
bagaimana Si Pitung begitu ditakuti oleh pemerintah Belanda pada saat itu.
Kisah Nyata Si
Pitung
Berdasarkan
penelusuran van Till (1996) berdasarkan Hindia Olanda 22-11-1892 (Koran
Terbitan Malaya (Malaysia pada saat ini)). Pada tahun 1892 Si Pitung dikenal
pada sebagai “One Bitoeng”, “Pitang", kemudian menjadi “Si Pitoeng”
(Hindia Olanda 28-6-1892:3; 26-8-1892:2). Laporan pertama dari surat kabar ini
menunjukkan bahwa schout Tanah Abang mencari rumah “One Bitoeng” di Sukabumi.
Dari hasil penemuannya ditemukan Jas Hitam, Seragam Polisi dan Topi, serta
beberapa perlengkapan lainnya yang digunakan untuk mencuri kampung (Hindia
Olanda, 28-6-1892:2). Sebulan kemudian polisi menggeledah rumahnya kembali dan
ditemukan uang sebesar 125 gulden. Hal ini diduga uang curian dari Nyonya De C
dan Haji Saipudin seorang Bugis dari Marunda (Hindia Olanda 10-8-1892:2;2;
26-8-1892:2). Kemudian Si Pitung menggunakan senjata untuk mencuri pada tanggal
30 Juli 1892, ketika itu Si Pitung dan lima kawanannya (Abdoelrachman,
Moedjeran, Merais, Dji-ih, dan Gering) menerobos rumah Haji Saipudin dengan
mengancam bahwa Haji Saipudin akan ditembak.
Pada
tahun 1892, Pitung dan kawanannya ditangkap oleh polisi sesudah Kepala Kampung
Kebayoran yang menerima 50 ringgit (Hindia Olanda 26-8-1892:2) memberi nasihat
untuk menangkap Si Pitung. Setelah ditangkap, kurang dari setahun kemudian,
pada musim semi 1893, Pitung dan Dji-ih merencanakan kabur dengan cara yang
misterius dari tahanan Meester Cornelis. Sebuah investigasi kemudian dilakukan
oleh Asisten Residen sendiri, tetapi tidak berhasil. Karena kejadian tersebut,
Kepala Penjara dicurigai melepaskan si Pitung dan Dji-ih. Akhirnya seorang
Petugas Penjara mengakui bahwa dia meminjamkan sebuah belincong (sejenis
linggis pencungkil) kepada Si Pitung, yang kemudian digunakan untuk membongkar
atap dan mendaki dinding (Hindia Olanda, 25-4-1893:3; Lokomotief 25-4 1893:2).
Akibatnya, Si Pitung lepas lagi.
Berdasarkan
rumor, Pitung pernah menampakkan diri kepada seorang wanita di sebuah perahu
dengan nama Prasman. Detektif mencoba mencari di kapal tersebut (Hindia Olanda,
12-5-1893:3), tetapi hasilnya Pitung tidak dapat ditemukan. Karena sulitnya
menemukan dan menangkap si Pitung, harga untuk penangkapan Pitung menjadi
meningkat sebesar 400 Gulden. Pemerintah Belanda pada saat itu ingin menembak
mati Pitung di tempat, tetapi sebagian pejabat mengatakan, jika Pitung ditembak
justru akan menumbuhkan semangat patriotik, sehingga niat ini diurungkan oleh
kepolisian Batavia untuk menembak ditempat walaupun pada akhirnya hal ini
dilakukan juga.
Sebagai
tindakan balas dendam, Pitung melakukan pencurian dengan kekerasan termasuk
dengan menggunakan sejata api. Akhirnya Pitung dan Dji-ih membunuh seorang
polisi intel yang bernama Djeram Latip (Hindia Olanda 23-9-1893:2). Dia juga
mencuri dari wanita pribumi, Mie, termasuk pakaian laki-laki serta pistol
revolver dengan pelurunya. Pernyataan ini didukung oleh Nyonya De C, seorang
pedagang wanita di Kali Besar yang menyatakan bahwa Pitung mencuri sarung yang
bernilai ratusan Gulden dari perahunya (Hindia Olanda 22-11-1892:2).
Dji-ih
ditangkap kembali di kampung halamannya ketika sedang menderita sakit. Pada
saat itu Dji-ih pulang ke kampung halamannya untuk memperoleh pengobatan.
Kemudian dia pindah ke rumah orang tua yang dikenal. Kepala kampung pada saat
itu (Djoeragan) melaporkannya ke Demang kemudian memerintahkan tentara untuk
menangkap Dji-ih dirumahnya. Karena dia terlalu sakit, dia tidak berdaya untuk
melawan, walaupun pada saat itu pistol dalam jangkauannya (Hindia Olanda
19-8-1893:2). Dia menyerah tanpa perlawanan. Untuk menutupi hal ini kemudian
Pemerintah Belanda melansir di Java-Bode (15-8-1893:2) bahwa Dji-ih kabur ke
Singapura. Informan yang bertanggungjawab melaporkan Dji-ih kemudian ditembak
mati oleh Pitung di suatu tempat yang tak jauh dari Batavia beberapa minggu
kemudian.
“'Itoe djoeragan koetika ketemoe Si Pitoeng
betoelan di tempat sepi troes, Si djoeragan menjikip pada Si Pitoeng dan dari
tjipetnja Si Pitoeng troes ambil pestolnja dari pinjang, lantas tembak si
djoeragan itoe menjadi mati itoe tempat djoega.' (Hindia Olanda 1-9-1893:2.)”
Beberapa
bulan kemudian, di bulan Oktober, Kepala Polisi Hinne mempelajari dari informan
bahwa Pitung terlihat di Kampung Bambu, kampung di antara Tanjung Priok dan
Meester Cornelis. Kemudian dalam perjalanannya Hinne diberi laporan bahwa
Pitung telah pindah ke arah pekuburan di Tanah Abang (Hindia Olanda
18-10-1893). Kemudian, Hinne menembaknya dalan penyergapan itu. Pitung ditembak
di tangan, kemudian Pitung membalasnya. Kemudian Hinne menembak kedua kalinya,
tetapi meleset, dan peluru ketiga mengenai dada dan membuatnya terjerembap di
tanah. Sehari sesudah kematiannya, hari Senin, jenazah dibawa ke pemakaman
Kampung Baru pada jam 5 sore.
Setelah
Hinne menangkap Pitung, setahun kemudian dia dipromosikan menjadi Kepala Polisi
Distrik Tanah Abang untuk mengawasi seluruh Metropolitan Batavia-Weltevreden.
Setelah kejadian tersebut Pemerintah Hindia Belanda melakukan pencegahan agar
"Pitung-Pitung" yang lain tidak terjadi lagi di Batavia. Bahkan
karena ketakutannya makam Si Pitung setelah kematiannya, dijaga oleh Pemerintah
Belanda agar tidak diziarahi oleh masyarakat pada waktu itu.
Kesaktian dan
Kematian Si Pitung
Berdasarkan
cerita legenda, Si Pitung dapat dibunuh oleh Belanda dengan beragam argumen
tersebut di atas. Menurut Hindia Olanda (18-10-1893:2), sebelum ditangkap
Pitung dalam keadaan rambut terpotong, beberapa jam sebelum kematiannya pada
hari Sabtu. Seperti yang diceritrakan oleh legenda bahwa kesaktian Si Pitung
hilang akibat jimat-nya diambil orang (Versi Film Si Pitung Banteng Betawi),
tetapi yang menarik, versi lain menyatakan, bahwa Si Pitung dapat
di-"lemahkan" jika dipotong rambut-nya. Berdasarkan koran Hidia
Olanda dikatakan bahwa sebelum kematiannya Si Pitung telah dipotong rambutnya.
Sesudah
kematian Si Pitung, makamnya dikawal oleh tentara, karena beberapa masyarakat
percaya dia akan bangkit dari kematian. Dalam Rancak Si Pitung dijelaskan
bagaimana kondisi sesudah kematian Si Pitung.
"Si
Pitung sudah mati dibilangin sama sanak sudaranya Digotong di Kerekot Penjaringan
kuburannya Saya tau orang rumah sakit nyang bilangin Air keras ucusnya
dikeringin Waktu dikubur pulisi pade iringin Jago nama Pitung kuburannya
digadangin Yang gadangin kuburannya Pitung dari sore ampe pagi Kalo belon
aplusan kaga ada nyang boleh pegi Sebab yang gadangin waktu itu sampe pagi
Kabarnya jago Pitung dalam kuburan idup lagi Yang gali orang rante mengaku paye
Belencong pacul itu waktu suda sedie Lantaran digali Tuan Besar kurang percaye
Dilongok dikeker bangkenye masi dia Memang waktu itu bangke Pitung diliat uda
nyata Dicitak di kantor, koran kantor berita Ancur rumuk tulang iganya, bekas
kena senjata Nama Pitung suda mati Tuan Hena ke Tomang bikin pesta Pesta itu
waktu keiewat ramenye Segala permaenan kaga larangannya Tuju ari tuju malem pesta
permisiannya Sengaja bikin pesta mau tangkep kawan-kawannya Nama Pitung mau
ditangkep kawan-kawannya." Konon setelah kematiannya jasad Si Pitung
dimakamkan di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, dekat kantor Telkom. Ada yang
mengatakan makam Si Pitung di daerah Tapos, Depok. Ada yang mengatakan juga
jasad Si Pitung dimakamkan di hutan Jatijajar, Depok.
Reorientasi
Kisah
si Pitung jawara Betawi memiliki berbagai versi. Kami sendiri sudah pernah
memposting cerita rakyat si pitung di blog ini. Sampi saat ini masih ada
beberapa peninggalan seperti golok dan rumah si pitung yang menjadi bukti dari
Sejarah Si pitung Jagoan Betawi. Kakak yakin hampir semua orang dewasa di
Indonesia pernah mendengar kisah si Pitung. Bagi adik-adik yang belum pernah
diceritakan legenda si Pitung banteng betawi ini merupakan saat yang tepat
untuk kalian membaca sampai selesai.
Pada
jaman dahulu. Di daerah Jakarta Barat, tepatnya di Rawabelong, tinggalah
sepasang suami istri dengan seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut
bernama si Pitung.
Sejak
Pitung kecil, mereka sangat berharap agar anak semata wayangnya itu tumbuh
menjadi anak yang baik dan soleh. Oleh karena itu, Pitung di sekolahkan di
pesantren milik seorang guru ngaji bernama Haji Naipin. Di pesantren Haji
Naipin, Pitung di ajarkan mengaji, membaca, menulis, berhitung, dan bela diri.
Pitung sangat pandai. Ia merupakan salah satu murid kesayangan dan kebanggan
Haji Naipin. Setelah ilmu yang di pelajarinya cukup, Pitung kembali ke rumah.
Kedua orang tuanya menyambut kepulangan Pitung dengan rasa senang. Nyaknya memasakan
makanan yang sangat lezat. Pitung memakan hidangan tersebut dengan lahap.
Maklum, selama di pesantren ia biasa makan seadanya.
Selama
di rumah, Pitung sangat rajin membantu orang tua. Ia mengembala kambing milik
babehnya. Setiap pagi ia selalu menggiring kambing-kambing ke daerah perbukitan
yang banyak rumput. Kambing-kambing di biarkan makan sampai perutnya kenyang.
Setelah matahari terbenam, barulah ia pulang ke rumah.
Kehidupan
Pitung sangat sederhana. Babenya tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Biasanya
ia datang ke ladang orang dan membeli buah-buahan yang masih setengah matang.
Harga belinya lebih murah. Lalu, buah itu diperam. Setelah matang, baru dijual
ke pasar dengan harga lebih tinggi.
Pada
suatu hari, babehnya menyuruh Pitung menjual dua ekor Kambing ke pasar Tanah
Abang.
‘’
Pitung, Badan Babeh serasa tidak enak. Lo bantu babeh jualin kambing-kambing
ini ke pasar?’’ ujar ayahnya.
‘’
Tentu saja Beh.’’ Jawab Pitung.
‘’
Pastikan harganya jangan terlalu rendah ya.’’ Ujar Babeh si Pitung
Pergilah
Pitung ke Tanah Abang sambil menggiring dua ekor Kambingnya yang akan di jual.
Kambing yang di bawa Pitung, kambing yang sehat dan gemuk-gemuk. Para pembeli
tertarik dengan kambing Pitung. Tidak perlu menunggu lama. Kedua kambing itu
telah laku terjual. Pitung sangat senang. Uang hasil menjual kambing di
masukkan kedalam kantong celananya, ia bergegas pulang pulang. Namun, di tengah
jalan ia bertemu dengan segerombolan preman.
‘’
Hei, mau kemana lo?’’ Tanya salah satu dari mereka.
‘’
Mau pulang, Bang?’’ jawab Pitung dengan santai.
‘’
Di mana rumah lo?’’ tanyanya lagi sambil merogoh kantong celana Pitung.
‘’
Di Rawabelong, Bang.’’ Jawab Pitung
‘’
Ya sudah, pulang sana.’’ Ujar preman itu
Pitung
segera pulang. Pitung tidak sadar kalau uang di dalam kantongnya hasil menjual
Kambing, ternyata sudah di ambil para preman tadi. Ketika Pitung sudah hampir
sampai rumah, Pitung merogoh kantongnya bermaksud mengeluarkan uang hasil
menjual kambingnya untuk di serahkan kepada babehnya. Namun, uang tersebut
tidak ada.
Pitung
teringat ketika ia bertemu dengan preman, dan di ajak mengobrol. Salah satu
dari preman mengambil uangnya dari dalam celana.
‘’
Ah, bodoh banget sih gue. Sampe gak sadar preman-preman tadi ngajak ngobrol.
Ujar Pitung menyesal.
Pitung
lalu kembali ke tempat pertemuannya dengan para preman. Para preman tak mau
mengaku telah mengambil uangnya. Mereka terus menerus membantah. Akhirnya,
Pitung mengeluarkan jurus bela dirinya. Ilmu yang di dapatnya dari Haji Naipin
sangat berguna pada saat seperti ini. Para preman akhirnya menyerah dan
mengembalikan uang Pitung. Mereka lalu lari ketakutan. Pemimpin gerombolan
preman yang bernama Rais, sangat kagum dengan kehebatan ilmu bela diri yang di
miliki Pitung. Lalu, pemimpin preman mencari tahu tempat tinggal Pitung dan
mendatanginya. Rais berniat mengajak Pitung untuk bergabungnya untuk mencopet
di pasar. Pitung sangat terkejut dan langsung saja menolak. Ilmu yang ia dapat
dari pesantren melakukan perbuatan yang tidak terpuji itu.
Pitung
malah memberikan nasihat kepada mereka agar tidak lagi berbuat jahat kepada
orang lain. Ia menasehatinya mereka agar membantu orang yang kesusahan. Mereka
bingung. Bagaimana cara membantu orang-orang susah. Sedangkan mereka sendiri
hidup serta kekurangan. Pitung mencari cara. Akhirnya, Pitung mendapatkan ide.
Ia dan gerombolan preman itu akan mencopet dan merampok orang-orang kaya yang
sombong. Hasil rampokkannya akan mereka berikan kepada orang-orang yang
membutuhkan.
Semenjak
Pitung dan kawan-kawannya mulai beraksi, warga miskin sangat senang dan
gembira. Kehidupan mereka berubah menjadi sedikit lebih baik. Meskipun Pitung
seorang penyelamat bagi kaum miskin, ia tetap di anggap melakukan perbuatan
yang tidak baik.. kompeni Belanda pada waktu itu berkuasa di Jakarta berusaha
menangkap Pitung. Suatu hari ketika beraksi, Pitung berhasil di tangkap. Ia di
jebloskan ke dalam penjara. Namun, Pitung berhasil melarikn diri dengan
memanjat atap penjara. Ketika kabur dari penjara, di ketahui oleh polisi dan
sempat mengejarnya serta menembaknya. Tetapi karena jimat si pitung menjadikan
tubuhnya kebal, tubuhnya tidak bisa di tembus oleh peluru.
Pitung
lalu melarikan diri dan menjadi buronan polisi. Polisinya mencari kemana-mana.
Keluarganya pun menjadi sasaran pencarian Pitung. Begitu juga dengan gurunya,
Haji Naipin. Ia bahkan di paksa meberitahukan kelemahan Pitung. Haji Naipin
akhirnya memberitahukan kelemahan Pitung yaitu di lempar dengan Telur Busuk.
Para Polisi mencari Pitung ke berbagai Wilayah Jakarta. Berdasarkan penyeledikan
mereka, Pitung bersembunyi di rumah kekasihnya di Kota Bambu.
Ketika
di serang Pitung masih berusaha melawan. Namun, para Polisi sudah tahu
kelemahannya. Mereka langsung melempar Pitung dengan Telur Busuk ke tubuh
Pitung. Ketika ia mulai tidak berdaya, Polisi langsung menembaknya. Pitung
akhirnya tewas.
Sebagian
orang terutama orang miskin, Pitung di kenal sebagai Pahlawan. Mereka yang
sempat di bantu oleh Pitung mengenang jasa-jasanya. Namun, Pitung tetap di
anggap penjahat karena menolong orang dengan perbuatan yang tidak terpuji.
Semenjak
Pitung dan kawan-kawannya mulai beraksi, warga miskin sangat senang dan
gembira. Kehidupan mereka berubah menjadi sedikit lebih baik. Meskipun Pitung
seorang penyelamat bagi kaum miskin, ia tetap di anggap melakukan perbuatan
yang tidak baik.. kompeni Belanda pada waktu itu berkuasa di Jakarta berusaha
menangkap Pitung. Suatu hari ketika beraksi, Pitung berhasil di tangkap. Ia di
jebloskan ke dalam penjara. Namun, Pitung berhasil melarikn diri dengan
memanjat atap penjara. Ketika kabur dari penjara, di ketahui oleh polisi dan
sempat mengejarnya serta menembaknya. Tetapi karena jimat si pitung menjadikan
tubuhnya kebal, tubuhnya tidak bisa di tembus oleh peluru.
Pitung
lalu melarikan diri dan menjadi buronan polisi. Polisinya mencari kemana-mana.
Keluarganya pun menjadi sasaran pencarian Pitung. Begitu juga dengan gurunya,
Haji Naipin. Ia bahkan di paksa meberitahukan kelemahan Pitung. Haji Naipin
akhirnya memberitahukan kelemahan Pitung yaitu di lempar dengan Telur Busuk.
Para Polisi mencari Pitung ke berbagai Wilayah Jakarta. Berdasarkan
penyeledikan mereka, Pitung bersembunyi di rumah kekasihnya di Kota Bambu.
Ketika
di serang Pitung masih berusaha melawan. Namun, para Polisi sudah tahu kelemahannya.
Mereka langsung melempar Pitung dengan Telur Busuk ke tubuh Pitung. Ketika ia
mulai tidak berdaya, Polisi langsung menembaknya. Pitung akhirnya tewas. Sebagian
orang terutama orang miskin, Pitung di kenal sebagai Pahlawan. Mereka yang
sempat di bantu oleh Pitung mengenang jasa-jasanya. Namun, Pitung tetap di
anggap penjahat karena menolong orang dengan perbuatan yang tidak terpuji.
Sumber
: Google Wikipedia & Cerita Rakyat Nusantara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar