KISAH PERANG PUPUTAN BALI
Orientasi
Puputan
adalah istilah dalam bahasa Bali yang mengacu pada ritual bunuh diri
massal
yang dilakukan saat perang daripada harus menyerah kepada musuh. Istilah ini
berasal dari kata bahasa Bali "puput" yang
artinya "tanggal" / "putus" / "habis /
"mati". Puputan yang terkenal di Bali adalah Puputan Jagaraga,
dilakukan oleh Kerajaan Buleleng melawan pasukan kolonial Belanda
setelah Raja Buleleng
memberlakukan sistem tawan karang (menahan seluruh kapal asing
yang berlabuh di dermaga
Buleleng) terhadap kapal-kapal dagang Belanda, dan Puputan
Margarana yang dipimpin oleh seorang serdadu Dewan
Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) kelahiran Bali
bernama I Gusti Ngurah Rai untuk melawan aksi militer
kolonial Belanda.
Perang Bali yang dilakukan untuk mengusir Belanda dari
daerahnya dikenal dengan Perang
Puputan. Perang puputan ditandai dengan pengorbanan yang luar biasa
dari seluruh rakyat yang cinta daerahnya, baik pengorbanan nyawa maupun
materi. Perang Puputan dilakukan olah rakyat Bali demi mempertahankan
daerah mereka dari pendudukan pemerintah kolonial Belanda. Rakyat Bali tidak ingin
Kerajaan Klungkung yang telah berdiri sejak abad ke-9 dan telah mengadakan
perjanjian dengan Belanda tahun 1841 di bawah pemerintahan Raja Dewa Agung
Putra diduduki oleh Belanda. Pada abad ke-19, di Bali terdapat banyak
kerajaan, yang masing-masing mempunyai kekuasaan tersendiri. Kerajaan-kerajaan
tersebut antara lain Buleleng, Karangasem, Klungkung, Gianyar, Bandung,
Tabanan, Mengwi, Bangli, dan Jembrana.
Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang gencar
mengadakan perlawanan terhadap Belanda adalah Buleleng dan Bandung. Raja-raja
di Bali terikat dengan perjanjian yang disebut Hak Tawan Karang, yaitu hak
suatu negara untuk mengakui dan memiliki kapal-kapal yang terdampar di
wilayahnya. Hak Tawan Karang inilah yang memicu peperangan dengan Belanda. Pada
1844, perahu dagang milik Belanda terdampar di Prancak, wilayah Kerajaan
Buleleng dan terkena Hukum Tawan Karang. Hukum tersebut memberi hak kepada
penguasa kerajaan untuk menguasai kapal yang terdampar beserta isinya. Dengan
kejadian itu, Belanda memiliki alasan kuat untuk melakukan serangan ke Kerajaan
Buleleng pada 1848. Namun, rakyat Buleleng dapat menangkis serangan tersebut.
Akan tetapi, pada serangan yang kedua pada 1849, pasukan Belanda yang dipimpin
Jenderal Mayor A.V. Michies dan Van Swieeten berhasil merebut benteng
pertahanan terakhir Kerajaan Buleleng di Jagaraga.
Dengan serangan besar-besaran, rakyat Bali membalasnya
dengan perang habis-habisan guna mempertahankan harga diri sebagai orang Bali.
Pertempuran untuk mempertahankan Buleleng itu dikenal dengan Puputan
Jagaraga. Puputan lainnya, yaitu Puputan Badung (1906), Puputan Kusamba
(1908), dan Puputan Klungkung (1908).
Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Rakyat Bali
Ø
Pemerintah kolonial Belanda ingin menguasai Bali,
yaitu berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya.
Ø
Pemerintah kolonial Belanda ingin menghapuskan hak
Tawan Karang yang sudah menjadi tradisi rakyat Bali. Hak Tawan Karang adalah
hak raja Bali untuk merampas perahu yang terdampar di pantai wilayah
kekuasaannya.
Jalannya Perlawanan
Pada tahun 1844, di pantai Prancak dan pantai Sangsit
(pantai di Buleleng bagian timur) terjadi perampasan kapal-kapal Belanda yang
terdampar di pantai tersebut. Timbul percekcokan antara Buleleng dengan
Belanda. Belanda menuntut agar Kerajaan Buleleng melaksanakan perjanjian 1843,
yakni melepaskan hak Tawan Karang. Tuntutan Belanda tidak diindahkan oleh Raja
Buleleng I Gusti Ngurah Made Karangasem. Belanda menggunakan dalih kejadian ini
dan menyerang Kerajaan Buleleng. Pantai Buleleng diblokade dan istana raja
ditembaki dengan meriam dari pantai. Belanda mendaratkan pasukannya di
pantai Buleleng. Perlawanan sengit dari pihak Kerajaan Buleleng dapat
menghambat majunya laskar Belanda. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak.
Akhirnya Belanda berhasil menduduki satu-persatu
daerah-daerah sekitar istana raja (Banjar Bali, Banjar Jawa, Banjar Penataran,
Banjar Delodpeken, Istana raja telah terkurung rapat). I Gusti Made Karangasem
menghadapi situasi ini kemudian mengambil siasat pura-pura menyerah dan tunduk
kepada Belanda. I Gusti Ketut Jelantik, patih kerajaan Buleleng melanjutkan
perlawanan. Pusat perlawanan ditempatkannya di wilayah Buleleng Timur, yakni di
sebuah desa yang bernama desa Jagaraga. Secara geografis desa ini berada pada
tempat ketinggian, di lereng sebuah perbukitan dengan jurang di kanan
kirinya.
Desa Jagaraga sangat strategis untuk pertahanan dengan
benteng berbentuk ”supit urang”. Benteng dikelilingi parit dengan ranjau yang
dibuat dari bambu (bahasa Bali : sungga) untuk menghambat gerakan musuh. Benteng
Jagaraga diserang oleh Belanda, namun gagal karena Belanda belum mengetahui
medan yang sebenarnya dan siasat pertahanan supit urang laskar Jagaraga. I
Gusti Ketut Jelantik bersama seluruh laskarnya setelah memperoleh kemenangan,
bertekad untuk mempertahankan benteng Jagaraga sampai titik darah penghabisan
demi kehormatan kerajaan Buleleng dan rakyat Bali.
Akhir perlawanan Rakyat Bali
Pada 1849, Belanda kembali mengirim ekspedisi militer
di bawah pimpinan Mayor Jenderal Michies. Mereka menyerang Benteng Jagaraga dan
merebutnya. Belanda juga menyerang Karang Asem. Pada 1906, Belanda menyerang
Kerajaan Badung. Raja dan rakyatnya melakukan perlawanan sampai titik darah
penghabisan. Perang yang dilakukan sampai titik darah peng habisan dikenal
dengan puputan. Untuk memadamkan perlawanan rakyat Bali yang berpusat di
Jagaraga, Belanda mendatangkan pasukan secara besar-besaran, maka setelah
mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga. Mereka
menyerang dari dua arah, yaitu arah depan dan dari arah belakang Benteng
Jagaraga.
Pertempuran sengit tak dapat dielakkan lagi, terutama
pada posisi di mana I Gusti Ketut Jelantik berada. Benteng Jagaraga dihujani
tembakan meriam dengan gencar. Korban telah berjatuhan di pihak Buleleng. Kendatipun
demikian, tidak ada seorang pun laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan
diri. Mereka semuanya gugur dan pada tanggal 19 April 1849 Benteng Jagaraga
jatuh ke tangan Belanda. Mulai saat itulah Belanda menguasai Bali Utara.
Editor : Thomas Koten
Sumber : Sejarah dan Budaya Nusantara
Kisah Perang Puputan Margarana
Orientasi
Latar
belakang munculnya puputan Margarana sendiri bermula dari Perundingan
Linggarjati. Pada tanggal 10 November 1946, Belanda melakukan perundingan
linggarjati dengan pemerintah Indonesia. Salah satu isi dari perundingan
Linggajati adalah Belanda mengakui secara de facto
Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatera, Jawa, dan
Madura. Selanjutnya Belanda diharuskan sudah meninggalkan daerah de facto
paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pada tanggal 2 dan 3 Maret 1949 Belanda
mendaratkan pasukannya kurang lebih 2000 tentara di Bali yang diikuti oleh
tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Tujuan dari pendaratan Belanda ke Bali sendiri adalah untuk
menegakkan berdirinya Negara Indonesia Timur. Pada waktu itu Letnan Kolonel I
Gusti Ngurah Rai yang menjabat sebagai Komandan Resiman Nusa Tenggara sedang
pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan konsultasi dengan Markas tertinggi TRI,
sehingga dia tidak mengetahui tentang pendaratan Belanda tersebut.
Di
saat pasukan Belanda sudah berhasil mendarat di Bali, perkembangan politik
di pusat Pemerintahan Republik Indonesia kurang menguntungkan akibat
perundingan Linggajati, di mana pulau Bali tidak diakui sebagai
bagian wilayah Republik Indonesia. Pada umumnya Rakyat Bali sendiri merasa kecewa
terhadap isi perundingan tersebut karena mereka merasa berhak masuk menjadi
bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terlebih lagi ketika
Belanda berusaha membujuk Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai untuk diajak
membentuk Negara Indonesia Timur. Untung saja ajakan tersebut ditolak dengan
tegas oleh I Gusti Ngurah Rai, bahkan dijawab dengan perlawanan bersenjata Pada
tanggal 18 November 1946. Pada saat itu I Gusti Ngurah Rai bersama pasukannya
Ciung Wanara Berhasil memperoleh kemenangan dalam penyerbuan ke tangsi NICA di
Tabanan.
Karena
geram, kemudian Belanda mengerahkan seluruh kekuatannya di Bali dan Lombok untuk
menghadapi perlawanan I Gusti Ngurah Rai dan Rakyat Bali. Selain merasa geram
terhadap kekalahan pada pertempuran pertama, ternyata pasukan Belanda
juga kesal karena adanya konsolidasi dan pemusatan pasukan Ngurah Rai
yang ditempatkan di Desa Adeng, Kecamatan Marga, Tabanan, Bali. Setelah berhasil
mengumpulkan pasukannya dari Bali
dan Lombok, kemudian Belanda berusaha mencari pusat kedudukan pasukan Ciung
Wanara.
Puncak Peristiwa
Pada
tanggal 20 November 1946 I Gusti Ngurah Rai dan pasukannya (Ciung Wanara),
melakukan longmarch ke Gunung Agung, ujung timur Pulau Bali. Tetapi tiba-tiba di
tengah perjalanan, pasukan ini dicegat oleh serdadu Belanda di Desa Marga,
Tabanan, Bali.
Tak pelak, pertempuran sengit pun tidak dapat diindahkan. Sehingga sontak
daerah Marga yang saat itu masih dikelilingi ladang jagung yang tenang, berubah
menjadi pertempuran yang menggemparkan dan mendebarkan bagi warga sekitar.
Bunyi letupan senjata tiba-tiba serentak mengepung ladang jagung di daerah
perbukitan yang terletak sekitar 40 kilometer dari Denpasar itu.
Pasukan
pemuda Ciung Wanara yang saat itu masih belum siap dengan persenjataannya,
tidak terlalu terburu-buru menyerang serdadu Belanda. Mereka masih berfokus
dengan pertahanannya dan menunggu komando dari I Gusti Ngoerah Rai untuk
membalas serangan. Begitu tembakan tanda menyerang diletuskan, puluhan pemuda
menyeruak dari ladang jagung dan membalas sergapan tentara Indische Civil Administration
(NICA) bentukan Belanda. Dengan senjata rampasan, akhirnya Ciung Wanara
berhasil memukul mundur serdadu Belanda. Namun ternyata pertempuran belum usai.
Kali ini serdadu Belanda yang sudah terpancing emosi berubah menjadi
semakin brutal. Kali ini, bukan hanya letupan senjata yang terdengar, namun
NICA menggempur pasukan muda I Gusti Ngoerah Rai ini dengan bom dari pesawat
udara. Hamparan sawah dan ladang jagung yang subur itu kini menjadi ladang
pembantaian penuh asap dan darah.
Perang
sampai habis atau puputan inilah yang kemudian mengakhiri hidup I Gusti Ngurah
Rai. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan
Margarana. Malam itu pada 20 November 1946 di Marga adalah sejarah
penting tonggak perjuangan rakyat di Indonesia melawan kolonial Belanda demi
Nusa dan Bangsa.
Perang Puputan Margarana
Pertempuran
Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia
dan Belanda
dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia
yang terjadi pada 20 November 1946.
Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Dimana Pasukan TKR di wilayah
ini bertempur dengan habis habisan untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali
datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang
direbut Jepang pada Perang Dunia II, mengakibatkan kematian
seluruh pasukan I Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikenang
sebagai salah-satu Puputan di era awal kemerdekaan serta mengakibatkan Belanda sukses
mendirikan Negara Indonesia Timur.
Peristiwa
Pada
waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan
pasukannya untuk merebut senjata polisi NICA yang ada
di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan
pada 20
November 1946
(malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat
direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan
Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November
1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap
Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak
antara pasukan NICA dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu
pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu,
Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali
ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar.
Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad
tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai
mengadakan "Puputan"
atau perang habis-habisan di Desa Margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96
orang itu semuanya gugur, ermasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda
ada lebih kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada
tanggal 20 November 1946 dikenal dengan perang puputan margarana, dan kini pada
bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar