Selasa, 14 Agustus 2018

KISAH SYEKH SITI JENAR


KISAH SYEKH SITI JENAR


Orientasi
Raden Abdul Jalil
Syekh Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara.  Asal usul serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.

Syekh Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti (penjawaan dari wahdatul wujud). Ajaran tersebut membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam, sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti. Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Nama dan Julukan

Syaikh Siti Jenar (menurut KH. Shahibul Faraji Ar-Rabbani) beliau memiliki nama asli Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini (masih memiliki garis darah / keturunan Rasulullah SAW) dan setelah dewasa mendapat gelar Syaikh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Dan pada saat berdakwah di Caruban (sebelah tenggara Cirebon), beliau mendapat beberapa julukan Syaikh Siti Jenar, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Lemah Brit dan lainnya yang belum kita ketahui. Adapun makna julukan itu adalah:

Syaikh Siti Jenar
Ada beberapa asumsi mengenai julukan ini, yang diambil dari kata menurut beberapa bahasa, "Syaikh" berasal dari bahasa arab شيخ bisa ditulis Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh adalah sebuah gelar bagi seorang ahli atau pemimpin atau tetua dalam lingkup muslim, "Siti" dalam bahasa jawa berarti tanah, namun ada yang berasumsi kata Siti berasal dari kata Sayyidi/Sidi (yang berarti Tuanku/Junjunganku), dan "Jenar" dalam bahasa Indonesia berarti merah, dalam bahasa Jawa berari Kuning Kemerahan, dan ada pula yang berasumsi dari bahasa arab "Jinnar" dengan tafsiran ilmu yang dimilikinya selalu membara (semangat akan ilmu) seperti api. Namun ada juga yang memudahkan dengan menganggap hayalan yang terbakar dari kata Jin (ghaib) - Nar (api). Bahkan ada pula yang mungkin setelah melihat film Walisongo dan menghubungkannya dengan kata Jenar (dalam kehidupan masyarakat jawa, kata Jenar disebutkan untuk sebuah binatang Cacing dengan ukuran sangat besar).

Sunan Jepara
Gelar ini muncul karena kedudukan Syeh Siti Jenar sebagai seorang sunan yang tinggal di Kadipaten Jepara.

Syeh Lemah Abang / Lemah Brit
Sebutan yang diberikan masyarakat Jepara karena ia tinggal di Dusun Lemah Abang, Kecamatan Keling. Lemah Brit dalam bahasa jawa berarti tanah yang berwarna merah (Brit = Abrit = Merah).

Kontroversi Ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi olehnya.

Manunggaling Kawula Gusti
Para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran ini bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajaran Syeh Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:

Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh(ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72

Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi (Manunggaling Kawula Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan.

Kehidupan
Serat Centhini
Serat Centhini jilid 1 menuliskan kisah Syeh Siti Jenar pada pupuh 38 (1-44). Karya sastra ini tidak menyebut asal mula Syeh Siti Jenar melainkan langsung pada peristiwa yang menyebabkan dirinya dihukum mati. Pada suatu ketika, Prabu Satmata (Sunan Giri) memanggil delapan wali yang lain untuk menghadap ke Giri Gajah, di istana Argapura. Kedelapan wali tersebut adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ngampeldenta, Sunan Kudus, Syeh Siti Jenar, Syekh Bentong, Pangeran Palembang, dan Panembahan Madura. Masing-masing wali menyampaikan pengetahuan yang mereka miliki hingga giliran Syeh Siti Jenar yang berkata, "Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang meyembah maupun yang disembah. Dengan demikian hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun hamba juga." Semua yang hadir terkejut sehingga menuduhnya sebagai pengikut aliran Qadariyah, menyamakan dirinya dengan Allah, serta keterangannya terlalu jauh. Syeh Siti Jenar membela diri dengan berkata bahwa ''biar jauh tetapi benar sementara yang dekat belum tentu benar''. Hal tersebut membuat Prabu Satmata hendak menghukumnya mati supaya kesalahan prinsip ajaran Syeh Siti Jenar jangan sampai tersebar.

Setelah itu diadakan pertemuan kedua untuk menghakimi tindakan Syeh Siti Jenar. Pertemuan hanya dihadiri tujuh orang wali dengan dihadiri Syekh Maulana Magribi. Saat Syekh Maulana menegaskan nama Siti Jenar, ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada." Hal tersebut membuatnya dihukum penggal bersama dengan tiga orang sahabatnya. Dikisahkan pula seorang anak penggembala kambing yang mendengar hal tersebut segera berlari datang ke pertemuan dengan mengatakan bahwa masih ada allah ketinggalan karena sedang menggembalakan kambing. Prabu Satmata mengatakan bahwa anak itu harus dipenggal pula dan jenasahnya diletakkan di dekat jenasah Siti Jenar. Pernyataan tersebut disetujui oleh suara Siti Jenah yang terdengar dari langit.
Tiga hari kemudian, Prabu Satmata melihat jasad Siti Jenar masih utuh. Ia mendengar suara Siti Jenar memberinya salam, mengucapkan selamat tinggal, kemudian menghilang.

Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah
Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah ("Sekelumit Hikmah tentang Wali Ke Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori, Tuban. Dalam versi ini, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara, keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena ajarannya, melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di Jepara, di samping makam Sultan Hadirin dan Ratu Kalinyamat.

Setelah Raden Abdul Jalil di eksekusi, para santrinya tidak ikut dieksekusi. Ageng Pengging alias Kebo Kenanga merupakan salah satu santri dari Raden Abdul Jalil, ia berhasil mendidik muridnya bernama Joko Tingkir dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil menyelesaikan konflik antara proyek besar Negara Islam di Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara). Hal ini yang mengharumkan kembali nama Raden Abdul Jalil.

Berikut ini merupakam silsilah Raden Abdul Jalil menurut Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah: Syekh Jumadil Kubra, berketurunan:
1. Syekh Maulana Ishak
dengan putri Pasa (istri pertama)
a. Sayyid Abdul Qodir/ Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) - murid Sunan Ampel
b. Siti Sarah >< Sunan Kalijaga
dengan Dewi Sekardadu
a. Raden Paku (Sunan Giri)

2. Syekh Ibrahim Asmarakandi
dengan Dewi Condro Wulan (saudari Dewi Mathaningrum atau Putri Campa, istri Prabu Brawijaya)
a. Raja Pendita >< Maduretno
b. Raja Rahmat (Sunan Ampel) >< Condrowati
1) Sayyidah Ibrahim (Sunan Bonang)
2) Sayyidah Qosim (Sunan Drajat)
3) Sayyidah Syarifah
4) Sayyidah Mutmainah
5) Sayyidah Hafshah
c. Sayiddah Zaenah

3. Siti Afsah

Silsilah Keluarga
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut, Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain, cucu Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW, berputeri :
Ø Sayidah Fatimah az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
Ø Husain r.a, berputera
Ø Ali Zainal Abidin, berputera
Ø Muhammad al-Baqir, berputera
Ø Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
Ø Ali al-Uraidhi, berputera
Ø Muhammad al-Naqib, berputera
Ø Isa al-Rumi, berputera
Ø Ahmad al-Muhajir, berputera
Ø Ubaidillah, berputera
Ø Alawi, berputera
Ø Muhammad, berputera
Ø Alawi, berputera
Ø Ali Khali' Qosam, berputera
Ø Sayid Alwi, berputera
Ø Sayid Abdul Malik, berputera
Ø Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Ø Sayid Abdul Kadir, berputera
Ø Maulana Isa, berputera
Ø Syekh Datuk Soleh, berputera
Ø Syekh Siti Jenar

Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati
Maulana Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang berpengaruh pada zamannya. Putranya adalah Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar, memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Syekh Nurjati.

Orientasi
Kisah Syaikh Siti Jenar yang Benar?
Saya pernah mendengar, seorang kawan berbicara bahwa ada konsep kafir ‘indah-Allah, muslim ‘inda an-anasai, dan sebaliknya. Dengan memberi contoh Syekh Siti Jenar dihukum Walisongo karena konsep wihdatul wujudnya. Tetapi ketika beliau meninggal, darah beliau menulis laa ilaaha illa Allah. Bagaimana menurut pandangan salaf ?
Jawab:
Dari pertanyaan di atas ada beberapa yang yang perlu kami jawab:

Pertama. Kafir inda-Allah, muslim inda an-anasi, artinya kafir di sisi (menurut) Allah, muslim menurut manusia. Kalau yang dimaksudkan konsep ini, bahwa “bisa jadi seseorang itu pada hakikatnya kafir, yaitu di sisi Allah dia kafir karena Allah mengetahui isi hatinya yang kafir, tetapi manusia – karena tidak mengetahui isi hatinya – menganggapnya sebagai muslim, karena secara lahiriyah ia melakukan amalan-amalan Islam,” maka memang benar. Contohnya ialah orang-orang munafik. Mereka menampakkan iman, dan menyembunyikan kekafiran. Maka, selama kekafiran mereka ini tidak nampak, mereka tetap dihukumi sebagai muslimin oelh manusia, walaupun di sisi Allah mereka adalah orang-orang kafir.

Demikian pula sebaliknya, kafir inda an-anasi, muslim inda-Allah. Yang artinya kafir menurut manusia. Muslim menurut Allah. Jika yang dimaksud adalah, “bisa jadi seseorang itu dianggap kafir oleh manusia, adapun di sisi Allah dianggap muslim”, maka itu juga benar. Contohnya ialah Abu bakar As Shiddiq dan Umar bin Al Khaththab. Walaupun ada sebagian manusia – seperti orang-orang Rafidhah – yang menganggap keduanya adalah kafir. Bahkan keduanya adalah calon penghuni surga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam banyak hadits-hadits yang shahih. Tetapi, contoh yang diberikan oleh kawan antum tersebut tidak benar. Sebagaimana akan kami jelaskan insyaAllah.

Kedua. Istilah Wali Songo (Wali Sembilan) yang dikenal umat Islam di negeri ini. Atau secara khusus di Jawa, merupakan istilah yang janggal ditinjau dari agama Islam. Karena istilah wali di dalam agama Islam, dapat berarti wali Allah (kekasih Allah), atau wali setan (kekasih setan). Maka, yang dimaksudkan dengan istilah Wali Songo pastilah wali Allah. Konon – menurut sejarah – mereka dianggap sebagai para penyebar agama Islam. Sedangkan wali Allah itu tidak terbatas. Bukan hanya sembilan, atau sepuluh. Karena setiap orang yang beriman dabertakwa adalah wali Allah. Firman-Nya.

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang berimand an mereka selalu bertaqwa. Bagi smereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalima-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. Yunus: 62-64)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika telah diketahui bahwa di kalangan manusia itu ada wali-wali Ar-Rahman (kekasih-kekasih Allah) dan ada wali-wali setan (kekasih-kekasih setan), maka wajib dibedakan antara kedua golongan ini. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah membedakan antara keduanya. Sesungguhnya wali-wali Allah hanyalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu , tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62,63)

Dengan demikian, seorang wali pasti mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan amalan-amalan yang wajib dan yang sunnah (mustahab). Sehingga orang kafir, atau orang yang tidak mengakui kewajiban mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sama sekali tidak boleh dianggap sebagai wali Allah. Demikian juga orang gila, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah. Karena tidak ada sifat imam dan takwa padanya. Walaupun dari orang-orang tersebut muncul perkara-perkara yang aneh dan menakjubkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seorang gila, maka keimanan dan ketakwaan darinya tidak sah. Demikian juga taqarrub kepada Allah (amalan-amalan ketaatan yang mendekatkan kepada Allah) berupa kewajiban-kewajiban dan nafilah-nafilah (sunnah-sunnah; perkara-perkara yang disukai) yang dia lakukan itu tidak sah. Maka, mustahil ia menjadi wali Allah. Sehingga seorangpun tidak boleh meyakininya sebagai wali Allah. Apalagi jika argumen keyakinan itu – mungkin berupa mukasyafah (penyingkapan sesuatu yang tersembunyi) – yang didengar darinya, atau berupa satu jenis dari tindakan, seperti dia melihatnya (orang yang dianggap wali) menunjuk kepada seseorang, lalu ia mati atau jatuh. Karena telah diketahui, bahwa orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dari kalangan orang-orang musyrik dan ahlul kitab memiliki mukasyafah-mukasyafah dan tindakan-tindakan yang berasal dari syetan.

Ketiga. Bahwa riwayat yang berkaitan dengna para wali songo kita mendapatkan sumbernya dari cerita mulut ke mulut, atau dari buku-buku yang sumbernya juga tidak jelas. Sehingga secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bisa jadi – wallahu a’lam – memang dahulu ada sembilan tokoh da’i Islam yang besar jasanya terhadap perkembangan Islam di Jawa; yang kemudian dikenal dengan istilah wali songo tersebut. Tetapi kisah mereka tidak diketahui secara ilmiah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, merupakan kesalahan besar menjadikan perbuatan para Wali Songo – dengan sumber sebagaimana di atas – sebagai rujukan di dalam beragama. Seandainya kisah mereka itu benar, tetap tidak dapat dijadikan rujukan di dalam masalah agama. Karena sesungguhnya agama ini sudah sempurna semenjak ditinggal wafat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak memerlukan tambahan apapun, dan dari siapapun. Karena sesungguhnya al-haq itu diambil dengan bersumber dari Al-Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.

Keempat. Seandainya kisah yang sering kita dengan itu benar. Yaitu kisah hukuman mati yang dilakukan oleh wali songo terhadap Syekh Siti Jenar karena dia berkeyakinan withdatul wujud. Dan seandainya – sekali lagi seanadainya – setelah dilakukan hukuman tersebut – konon – darah Syekh Siti Jenar membentuk tulisan laa ilaaha illa Allah, maka – jika kisah itu benar – wali songolah yang berada di atas al haq. Karena keyakinan wihdatul wujud adalah keyakinan sesat dan bathil. Bahkan keyakinan yang kafir, melebihi keyakinan Yahudi dan Nashara.

Kelima. Perlu diketahui, bahwa diantara tokoh wihdatul wujud yang paling terkenal yaitu Ibnu ‘Arabi. Dia bersama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha-i Al Hatimi Al Andalusi Al Mursi. Dia dikenal dengan nama Ibnu Al ‘Arabi Ash Shufi. Atau Ibnu ‘Arabi, tanpa huruf alim dan lam, untuk membedakan dengan Al Qadhi Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki, dengan alif lam.

Ibnu ‘Arabi Ash Shufi ini, yang asalnya dari Andalus (sekarang Spanyol) pernah tinggal di Makkah beberapa tahun. Menyusun kitab yang dia beri nama Al Futuhat Al Makiyyah. Dia juga punya karya lain yang bernama Fushushul Hikam. Kedua kitab ini berisikan berbagai kesesatan yang sangat jauh. Dan sampai sekarang masih dicetak dan tersebar.
Di dalam kitab Al Futuhat Al Makiyyah tersebut, Ibnu ‘Arabi Ash Shufi mengaku mengeluarkan kitabnya tersebut dengan izin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lewat mimpinya. Namun kebanyakan isi kitab tersebut kontradiksi dengan isi Al-Quran.

Di antara – kekafiran nyata – yang ia katakan di dalamnya:
Ø Bahwa Nabi Adam dengan Allah kedudukannya seperti biji mata dengan mata.
Ø Bahwa Al Haq (Allah) Yang Mahasuci adalah makhluk yang disamakan dengan lainnya.
Ø Bahwa kaum Nabi Nuh jika meninggalkan penyembahan terhadap patung-patung orang-orang shalih; Wudd, Suwa’, dan lainnya, niscaya mereka talah bodoh terhadap Al Haq (Allah) lebih besar kebodohannya dari apa yang mereka tinggalkan. Maksudnya jika kaum Nuh bertauhid, mereka lebih bodoh, karena jika berbuat syirik, maka yang disembah juga Allah.
Ø Bahwa Allah berada pada seluruh yang disembah oleh manusia. Hal itu diketahui oleh orang ‘alim, tetapi tidak diketahui oleh orang yang bodoh. Karena orang yang ‘alim mengetahui, siapa saja yang sembah, dan dalam bentuk apa saja, maka Allah nampak padanya.
Ø Bahwa kaum Nabi Hud yang disiksa di dalam neraka menjadi sangat dekat dengan Allah, sehingga panas Jahannam itu hilang dari mereka. Bahkan mereka meraih kenikmatan berdekatan dengan Allah. Hal itu mereka dapatkan, karena sewaktu di dunia mereka berada di atas jalan yang lurus.

Dan lain-lain perkataannya. Semua perkataan di atas itu merupakan kekafiran yang besar, lebih besar kekafiran dan kemusyrikannya daripada orang-orang Yahudi, Nashara, orang-orang musyrik Arab dan lainnya. Seluruh pendapat Ibnu Arabi di atas dihasilkan oleh sumber yang sama, yaitu keyakinan wihdatul wujud.

Ada banyak orang shalih pada zaman Ibnu Arabi dan sesudahnya memuji Ibnu Arabi. Memang ia dikenal dengan kesungguhan dan ibadahnya. Orang-orang yang memuji itu tidak mengetahui kemungkaran perkataan-perkatan Ibnu ‘Arabi, karena sibuk dengan ibadah mereka. Namun sebaliknya, banyak pula para ulama yang mencelanya (Ibnu Arabi Ash Shufi), menyatakan ia dusta, sesat, bahkan mengkafirkannya. Di antara mereka adalah:
Ø Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H).
Ø Al Qadhi Badruddin bin Jama’ah (wafat th. 733 H).
Ø Al Qadhi Sa’duddid Al Haritsi; hakim madzhab Hanabilah di Kairo (wafat th. 711 H)
Ø Khatib Qal’ah, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Yusuf Al Jazari Asy-Syafi’i (wafat th. 711 H)
Ø Al Qadhi Zainuddin Al Kattani Asy Syafi’i (wafat th. 738 H).
Ø Syaikh Nuruddin Al Bakari Asy Syafi’i (wafat th. 727 H)
Ø Syaikh Syafaruddin Isa Az Zawawi (wafat th. 743 H)
Ø Syaikhul Islam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Raslan bin Nashiir Al Bulqini Asy Syafi’i (wafat th. 805 H).
Ø Al Hafidz Al Qadhi Syihabbudin Abl Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Al ‘Asqalani Asy Syafi’i (wafat th. 852 H), dikenal dengan nama Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Ø Al ‘Allamah Abu Abdullah Muhammad bin Arafah Al Warghani At Tunisi Al Maliki (wafat. Th. 803 H)
Ø Qadhi Mestir, Abu Zaid Abdurahman bin Muhammad Al Hadharami Al Maliki (wafat th. 808 H), dikenal dengan nama Ibnu Khaldun.

ALASAN-ALASAN PENGKAFIRAN
Secara ringkas di antara alasan-alasan para ulama yang mengkafirkan keyakinan wihdatul wujud (bersatunya Dzat Allah dengan makhluk):
Ø Pertama. Berarti – menurut mereka – segala sifat yang ada pada seluruh makhluk, maka yang memiliki sifat itu adalah Allah.
Ø Kedua. Berarti Fir’aun mati dalam keadaan iman, sebagaimana dikatakan Ibnu Arabi. Karena Fir’aun menyembah selain Allah, yang hal itu mereka anggap sama dengan menyembah Allah. Padahal telah diketahui secara pasti keyakinan kaum muslimin, Yahudi dan Nashara, bahwa Fir’aun adalah makhluk yang paling kafir.
Ø Ketiga. Salafush Shalih dan imam-imam umat ini telah sepakat, bahwa Al Khaliq (Allah) terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Pada Dzat Allah tidak ada sedikitpun dari makhluknya, sebagaimana pada mahkluk-Nya tidak ada sedikitpun dari Dzat-Nya. Salafush Shalih mengkafirkan firqah Jahmiyyah yang menyatakan, bahwa Allah bertempat di segala tempat. Karena bagaimana mungkin Allah berada di dalam perut, kebun, tempat buang hajar, dan lainnya?! Allah Mahatinggi dan Mahaagung dari hal-hal seperti itu. Kemudian, tentulah wihdatul wujud lebih kafir. Karena menganggap Allah adalah wujud perut, kebun, tempat buang hajat, barang-barang najis dan kotor.
Ø Keempat. Orang-orang wihdatul wujud menganggap Dzat Allah adalah dzat seluruh makhluk. Berarti mereka mensifati Allah dengan seluruh kekurangan dan cacat yang dimiliki oleh seluruh orang durhaka, orang kafir, seluruh syetan, seluruh binatang buas, seluruh ular, dan lainnya! Allah Mahatinggi dan Mahasuci dari kedustaan dan kesesatan mereka.
Ø Kelima. Orang-orang Nashara menjadi kafir karena menuhankan Nabi Isa ‘alaihissalam, Yaitu, mereka menganggap Allah bersatu dengan Nabi ‘isa ‘alaihissalam  dan sifat-sifat nabi Isa ‘alaihissalam ada pada sifat Allah. Maka, kekafiran orang-orang wihdatul wujud (walaupun mereka mengaku Islam, serta mengaku telah mencapai hakikat dan ma’rifat!) lebih besar daripada Nashara. Karena mereka menganggap, bahwa seluruh sifat makhluk ada pada Allah.
Ø Keenam. Mereka menggap memiliki hakikat tauhid, karena meyakini wujud yang ada hanya satu. Mereka menyamakan antara Al Khaliq (Allah) dengan makhluk; halal dengan haram, khmar dengan air; babi dengan kambing; istri dengan anak perempuan; dan seterusnya. Maka sesungguhnya kekafiran orang-orang wihdatul wujud adalah puncak dan gudang kekafiran. Bahkan kekafiran seluruh orang kafir – dengan jenis kekafiran apapun – adalah salah satu bagian dari kekafiran mereka.
Ø Ketujuh. Kaum Muslimin, Yahudi, dan Nashara telah mengetahui, bahwa di dalam agama Islam, jika ada seseorang mengatakan tentang orang lain ‘dia adalah satu bagian Allah.’ Maka ia telah kafir. Maka bagaimanakan kejinya kekafiran orang-orang yang mengatakan, bahwa seluruh manusia adalah Allah! Bahkan seluruh binatang, tumbuhan, tempat, benda, dan semua makhluk ini adalah Allah?!
Ø Kedelapan. Yahudi dan Nashara mengkafirkan orang-orang yang menyembah patung. Sedangkan orang-orang wihdatul wujud menganggap orang yang menyembah patung sama dengan menyembah Allah. Maka tidak ada keraguan, bahwa kekafiran mereka – walaupun mengaku Islam – lebih dari kafir daripada Yahudi dan Nashara,
Ø Kesembilan. Orang-orang musyrik menyembah sesembahan mereka sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah (Lihat Az Zumar: 40-42). Dan mereka masih meyakini, bahwa Allah adalah pencipta langit, bumi, dan patung. Sedangkan orang-orang wihdatul wujud menganggap orang yang menyembah patung sama dengan menyembah Allah; patung sama dengan Allah. Jelaslah kekafiran mereka.
Ø Kesepuluh. Telah diketahui secara pasti dalam agama Islam, bawha kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun serta kaumnya disiksa di akhirat. Allah melaknat dan murka terhadap mereka. Barangsiapa memuji mereka, menganggap dekat dengan Allah, dan mendapatkan kenikmatan, maka ia lebih kafir daripada Yahudi dan Nashara. Dan lain-lain hujjah yang disampaikan para ulama.
Inilah sedikit penjelasan tentang ajaran wihdatul wujud yang sangat sesat dan menyesatkan. Tetapi masih banyak di antara kaum muslimin yang menganggapnya sebagai kebenaran sejati. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita dari seluruh kesesatan.

Sumber: Google Wikipedia & Majalah As-Sunnah Ed 10 Tahun VI 1423 H/2002M


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...