KISAH SYEKH SITI JENAR
Orientasi
Raden Abdul Jalil
Syekh
Siti Jenar (artinya: tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil
(ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit,
Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap
sebagai sufi
dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten
Jepara. Asal usul serta sebab kematian Syekh Siti
Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur
mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi
makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.
Syekh
Siti Jenar dikenal karena ajarannya, yaitu Manunggaling Kawula Gusti (penjawaan dari wahdatul wujud). Ajaran tersebut
membuat dirinya dianggap sesat oleh sebagian umat Islam,
sementara yang lain menganggapnya sebagai seorang intelek yang telah memperoleh
esensi Islam. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya sendiri
yang disebut Pupuh, yang berisi
tentang budi pekerti. Syekh Siti Jenar
mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo.
Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada
penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Nama
dan Julukan
Syaikh Siti Jenar (menurut KH. Shahibul Faraji
Ar-Rabbani) beliau memiliki nama asli Sayyid Hasan 'Ali Al Husaini (masih
memiliki garis darah / keturunan Rasulullah SAW) dan setelah dewasa mendapat
gelar Syaikh Abdul Jalil atau Raden Abdul Jalil. Dan pada saat berdakwah di
Caruban (sebelah tenggara Cirebon), beliau mendapat beberapa julukan Syaikh
Siti Jenar, Syaikh Lemah Abang, Syaikh Lemah Brit dan lainnya yang belum kita
ketahui. Adapun makna julukan itu adalah:
Syaikh Siti Jenar
Ada beberapa asumsi mengenai julukan ini, yang diambil
dari kata menurut beberapa bahasa, "Syaikh"
berasal dari bahasa arab شيخ bisa ditulis
Shaikh, Sheik, Shaykh atau Sheikh adalah sebuah gelar bagi seorang ahli atau
pemimpin atau tetua dalam lingkup muslim, "Siti" dalam bahasa jawa berarti tanah, namun ada yang
berasumsi kata Siti berasal dari kata Sayyidi/Sidi (yang berarti
Tuanku/Junjunganku), dan "Jenar"
dalam bahasa Indonesia berarti merah, dalam bahasa Jawa berari Kuning
Kemerahan, dan ada pula yang berasumsi dari bahasa arab "Jinnar"
dengan tafsiran ilmu yang dimilikinya selalu membara (semangat akan ilmu)
seperti api. Namun ada juga yang memudahkan dengan menganggap hayalan yang
terbakar dari kata Jin (ghaib) - Nar (api). Bahkan ada pula yang mungkin setelah
melihat film Walisongo dan menghubungkannya dengan kata Jenar (dalam kehidupan
masyarakat jawa, kata Jenar disebutkan untuk sebuah binatang Cacing dengan
ukuran sangat besar).
Sunan Jepara
Gelar ini muncul karena kedudukan Syeh Siti Jenar
sebagai seorang sunan yang tinggal di Kadipaten
Jepara.
Syeh Lemah Abang / Lemah Brit
Sebutan yang diberikan masyarakat Jepara karena ia
tinggal di Dusun Lemah Abang, Kecamatan Keling.
Lemah Brit dalam bahasa jawa berarti tanah yang berwarna merah (Brit = Abrit =
Merah).
Kontroversi
Ajaran
Ajaran
Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan,
serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh Siti Jenar memandang bahwa
kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang
disebut umum sebagai kematian, justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang
hakiki dan abadi olehnya.
Manunggaling
Kawula Gusti
Para
pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa ia tidak pernah menyebut dirinya
sebagai Tuhan.
Ajaran ini bukan dianggap sebagai bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan
kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya. Dalam ajaran Syeh
Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti
bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh
Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh(ciptaan)-Ku, maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72
Dengan
demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap
Tuhan terjadi (Manunggaling Kawula
Gusti). Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an ini yang menimbulkan
polemik, yaitu bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan.
Kehidupan
Serat Centhini
Serat Centhini jilid 1 menuliskan kisah Syeh
Siti Jenar pada pupuh 38 (1-44). Karya sastra ini tidak menyebut asal mula Syeh
Siti Jenar melainkan langsung pada peristiwa yang menyebabkan dirinya dihukum
mati. Pada suatu ketika, Prabu Satmata (Sunan Giri)
memanggil delapan wali yang lain untuk menghadap ke Giri Gajah, di istana
Argapura. Kedelapan wali tersebut adalah Sunan Bonang,
Sunan
Kalijaga, Sunan Ngampeldenta, Sunan Kudus,
Syeh Siti Jenar, Syekh Bentong, Pangeran
Palembang, dan Panembahan Madura. Masing-masing wali menyampaikan
pengetahuan yang mereka miliki hingga giliran Syeh Siti Jenar yang berkata,
"Menyembah Allah dengan bersujud
beserta ruku'nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang meyembah maupun
yang disembah. Dengan demikian hambalah yang berkuasa dan yang menghukum pun
hamba juga." Semua yang hadir terkejut sehingga menuduhnya sebagai
pengikut aliran Qadariyah, menyamakan dirinya dengan Allah, serta
keterangannya terlalu jauh.
Syeh Siti Jenar membela diri dengan berkata bahwa ''biar jauh tetapi benar
sementara yang dekat belum tentu benar''. Hal tersebut membuat Prabu Satmata
hendak menghukumnya mati supaya kesalahan prinsip ajaran Syeh Siti Jenar jangan
sampai tersebar.
Setelah itu diadakan pertemuan kedua untuk menghakimi
tindakan Syeh Siti Jenar. Pertemuan hanya dihadiri tujuh orang wali dengan
dihadiri Syekh Maulana Magribi.
Saat Syekh Maulana menegaskan nama Siti Jenar, ia menjawab, "Ya, Allah nama hamba, tidak ada Allah selain
Siti Jenar, sirna Siti Jenar, maka Allah yang ada." Hal tersebut
membuatnya dihukum penggal bersama dengan tiga orang sahabatnya. Dikisahkan
pula seorang anak penggembala kambing yang mendengar hal tersebut segera
berlari datang ke pertemuan dengan mengatakan bahwa masih ada allah ketinggalan
karena sedang menggembalakan kambing. Prabu Satmata mengatakan bahwa anak itu
harus dipenggal pula dan jenasahnya diletakkan di dekat jenasah Siti Jenar.
Pernyataan tersebut disetujui oleh suara Siti Jenah yang terdengar dari langit.
Tiga hari kemudian, Prabu Satmata melihat jasad Siti
Jenar masih utuh. Ia mendengar suara Siti Jenar memberinya salam, mengucapkan
selamat tinggal, kemudian menghilang.
Ahla al Musamarah Fi Hikayah al-Auliya al Asyrah
Ahla al Musamarah Fi
Hikayah al-Auliya al Asyrah ("Sekelumit Hikmah tentang Wali Ke
Sepuluh") ditulis oleh KH. Abil Fadhol Senori, Tuban. Dalam versi ini,
Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syekh Abdul Jalil atau Sunan Jepara,
keturunan dari Syekh Maulana Ishak. Ia dihukum mati bukan karena ajarannya,
melainkan lebih karena alasan politik. Sunan Jepara dimakamkan di Jepara, di
samping makam Sultan Hadirin dan Ratu
Kalinyamat.
Setelah Raden Abdul Jalil di eksekusi, para santrinya
tidak ikut dieksekusi. Ageng Pengging alias Kebo Kenanga merupakan salah satu
santri dari Raden Abdul Jalil, ia berhasil mendidik muridnya bernama Joko Tingkir
dengan ajaran dari gurunya. Joko tingkir berhasil menyelesaikan konflik antara
proyek besar Negara Islam di Bintoro dan Glagah Wangi (Jepara).
Hal ini yang mengharumkan kembali nama Raden Abdul Jalil.
Berikut ini merupakam silsilah Raden Abdul Jalil
menurut Ahla al Musamarah Fi Hikayah
al-Auliya al Asyrah: Syekh Jumadil Kubra, berketurunan:
1. Syekh
Maulana Ishak
dengan putri Pasa (istri pertama)
a. Sayyid Abdul Qodir/ Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar)
- murid Sunan Ampel
b. Siti Sarah >< Sunan
Kalijaga
dengan Dewi Sekardadu
a. Raden Paku (Sunan Giri)
2. Syekh
Ibrahim Asmarakandi
dengan Dewi Condro Wulan (saudari Dewi Mathaningrum
atau Putri Campa, istri Prabu Brawijaya)
a. Raja Pendita >< Maduretno
b. Raja Rahmat (Sunan Ampel)
>< Condrowati
1) Sayyidah Ibrahim (Sunan Bonang)
2) Sayyidah Qosim (Sunan Drajat)
3) Sayyidah Syarifah
4) Sayyidah Mutmainah
5) Sayyidah Hafshah
c. Sayiddah Zaenah
3. Siti Afsah
Silsilah Keluarga
Di bawah ini merupakan silsilah Syekh Siti Jenar yang
bersambung dengan Sayyid Alawi bin Muhammad Sohib Mirbath hingga Ahmad
al-Muhajir bin Isa ar-Rumi (Hadramaut,
Yaman) dan seterusnya hingga Imam Husain,
cucu Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad
SAW, berputeri :
Ø
Sayidah Fatimah
az-Zahra menikah dengan Ali bin Abi Thalib, berputera
Ø
Husain r.a, berputera
Ø
Ali Zainal Abidin, berputera
Ø
Muhammad
al-Baqir, berputera
Ø
Imam Ja'far ash-Shadiq, berputera
Ø
Ali al-Uraidhi, berputera
Ø
Muhammad al-Naqib, berputera
Ø
Isa al-Rumi, berputera
Ø
Ahmad
al-Muhajir, berputera
Ø
Ubaidillah, berputera
Ø
Alawi, berputera
Ø
Muhammad, berputera
Ø
Alawi, berputera
Ø
Ali Khali' Qosam, berputera
Ø
Muhammad Shahib Mirbath, berputera
Ø
Sayid Alwi, berputera
Ø
Sayid Abdul Malik, berputera
Ø
Sayid Amir Abdullah Khan (Azamat Khan), berputera
Ø
Sayid Abdul Kadir, berputera
Ø
Maulana Isa, berputera
Ø
Syekh Datuk Soleh, berputera
Ø
Syekh Siti Jenar
Hubungan keluarga dengan Syekh Nurjati
Maulana
Isa, Kakek dari Syekh Siti Jenar, adalah seorang tokoh agama yang berpengaruh
pada zamannya. Putranya adalah Syekh Datuk Ahmad dan Syekh Abdul Soleh (ayah
dari Syekh Siti Jenar). Syekh Datuk Ahmad, kakak dari ayah Syekh Siti Jenar,
memiliki putra Syekh Datuk Kahfi yang selanjutnya dikenal pula
dengan nama Syekh Nurjati.
Orientasi
Kisah Syaikh Siti Jenar yang
Benar?
Saya
pernah mendengar, seorang kawan berbicara bahwa ada konsep kafir ‘indah-Allah,
muslim ‘inda an-anasai, dan sebaliknya. Dengan memberi contoh Syekh Siti Jenar
dihukum Walisongo karena konsep wihdatul wujudnya. Tetapi ketika beliau
meninggal, darah beliau menulis laa ilaaha illa Allah. Bagaimana menurut
pandangan salaf ?
Jawab:
Dari pertanyaan di atas ada beberapa yang yang perlu
kami jawab:
Pertama. Kafir
inda-Allah, muslim inda an-anasi, artinya kafir di sisi (menurut) Allah, muslim
menurut manusia. Kalau yang dimaksudkan konsep ini, bahwa “bisa jadi seseorang
itu pada hakikatnya kafir, yaitu di sisi Allah dia kafir karena Allah
mengetahui isi hatinya yang kafir, tetapi manusia – karena tidak mengetahui isi
hatinya – menganggapnya sebagai muslim, karena secara lahiriyah ia melakukan
amalan-amalan Islam,” maka memang benar. Contohnya ialah orang-orang munafik.
Mereka menampakkan iman, dan menyembunyikan kekafiran. Maka, selama kekafiran
mereka ini tidak nampak, mereka tetap dihukumi sebagai muslimin oelh manusia,
walaupun di sisi Allah mereka adalah orang-orang kafir.
Demikian pula sebaliknya, kafir inda an-anasi, muslim
inda-Allah. Yang artinya kafir menurut manusia. Muslim menurut Allah. Jika yang
dimaksud adalah, “bisa jadi seseorang itu dianggap kafir oleh manusia, adapun
di sisi Allah dianggap muslim”, maka itu juga benar. Contohnya ialah Abu bakar
As Shiddiq dan Umar bin Al Khaththab. Walaupun ada sebagian manusia – seperti
orang-orang Rafidhah – yang menganggap keduanya adalah kafir. Bahkan keduanya
adalah calon penghuni surga berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di dalam banyak hadits-hadits yang shahih. Tetapi, contoh yang diberikan
oleh kawan antum tersebut tidak benar. Sebagaimana akan kami jelaskan
insyaAllah.
Kedua. Istilah Wali
Songo (Wali Sembilan) yang dikenal umat Islam di negeri ini. Atau secara khusus
di Jawa, merupakan istilah yang janggal ditinjau dari agama Islam. Karena
istilah wali di dalam agama Islam, dapat berarti wali Allah (kekasih Allah),
atau wali setan (kekasih setan). Maka, yang dimaksudkan dengan istilah Wali
Songo pastilah wali Allah. Konon – menurut sejarah – mereka dianggap sebagai
para penyebar agama Islam. Sedangkan wali Allah itu tidak terbatas. Bukan hanya
sembilan, atau sepuluh. Karena setiap orang yang beriman dabertakwa adalah wali
Allah. Firman-Nya.
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yang berimand an mereka selalu bertaqwa. Bagi smereka berita
gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada
perubahan bagi kalima-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah
kemenangan yang besar. (QS. Yunus: 62-64)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika telah
diketahui bahwa di kalangan manusia itu ada wali-wali Ar-Rahman (kekasih-kekasih
Allah) dan ada wali-wali setan (kekasih-kekasih setan), maka wajib dibedakan
antara kedua golongan ini. Sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah membedakan
antara keduanya. Sesungguhnya wali-wali Allah hanyalah orang-orang yang beriman
dan bertakwa, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu , tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (Yaitu)
orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” (Yunus: 62,63)
Dengan demikian, seorang wali pasti mengikuti syariat
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan amalan-amalan
yang wajib dan yang sunnah (mustahab). Sehingga orang kafir, atau orang yang
tidak mengakui kewajiban mengikuti syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka
sama sekali tidak boleh dianggap sebagai wali Allah. Demikian juga orang gila,
tidak boleh dianggap sebagai wali Allah. Karena tidak ada sifat imam dan takwa
padanya. Walaupun dari orang-orang tersebut muncul perkara-perkara yang aneh
dan menakjubkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seorang
gila, maka keimanan dan ketakwaan darinya tidak sah. Demikian juga taqarrub
kepada Allah (amalan-amalan ketaatan yang mendekatkan kepada Allah) berupa
kewajiban-kewajiban dan nafilah-nafilah (sunnah-sunnah; perkara-perkara yang
disukai) yang dia lakukan itu tidak sah. Maka, mustahil ia menjadi wali Allah.
Sehingga seorangpun tidak boleh meyakininya sebagai wali Allah. Apalagi jika
argumen keyakinan itu – mungkin berupa mukasyafah (penyingkapan sesuatu yang
tersembunyi) – yang didengar darinya, atau berupa satu jenis dari tindakan,
seperti dia melihatnya (orang yang dianggap wali) menunjuk kepada seseorang,
lalu ia mati atau jatuh. Karena telah diketahui, bahwa orang-orang kafir dan
orang-orang munafik, dari kalangan orang-orang musyrik dan ahlul kitab memiliki
mukasyafah-mukasyafah dan tindakan-tindakan yang berasal dari syetan.
Ketiga. Bahwa riwayat
yang berkaitan dengna para wali songo kita mendapatkan sumbernya dari cerita
mulut ke mulut, atau dari buku-buku yang sumbernya juga tidak jelas. Sehingga
secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bisa jadi – wallahu a’lam –
memang dahulu ada sembilan tokoh da’i Islam yang besar jasanya terhadap
perkembangan Islam di Jawa; yang kemudian dikenal dengan istilah wali songo
tersebut. Tetapi kisah mereka tidak diketahui secara ilmiah dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, merupakan kesalahan besar menjadikan
perbuatan para Wali Songo – dengan sumber sebagaimana di atas – sebagai rujukan
di dalam beragama. Seandainya kisah mereka itu benar, tetap tidak dapat
dijadikan rujukan di dalam masalah agama. Karena sesungguhnya agama ini sudah
sempurna semenjak ditinggal wafat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga tidak memerlukan
tambahan apapun, dan dari siapapun. Karena sesungguhnya al-haq itu diambil
dengan bersumber dari Al-Quran dan As Sunnah dengan pemahaman Salafush Shalih.
Keempat. Seandainya
kisah yang sering kita dengan itu benar. Yaitu kisah hukuman mati yang
dilakukan oleh wali songo terhadap Syekh Siti Jenar karena dia berkeyakinan
withdatul wujud. Dan seandainya – sekali lagi seanadainya – setelah dilakukan
hukuman tersebut – konon – darah Syekh Siti Jenar membentuk tulisan laa ilaaha
illa Allah, maka – jika kisah itu benar – wali songolah yang berada di atas al
haq. Karena keyakinan wihdatul wujud adalah keyakinan sesat dan bathil. Bahkan
keyakinan yang kafir, melebihi keyakinan Yahudi dan Nashara.
Kelima. Perlu diketahui,
bahwa diantara tokoh wihdatul wujud yang paling terkenal yaitu Ibnu ‘Arabi. Dia
bersama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha-i Al
Hatimi Al Andalusi Al Mursi. Dia dikenal dengan nama Ibnu Al ‘Arabi Ash Shufi.
Atau Ibnu ‘Arabi, tanpa huruf alim dan lam, untuk membedakan dengan Al Qadhi
Ibnu Al ‘Arabi Al Maliki, dengan alif lam.
Ibnu ‘Arabi Ash Shufi ini, yang asalnya dari Andalus
(sekarang Spanyol) pernah tinggal di Makkah beberapa tahun. Menyusun kitab yang
dia beri nama Al Futuhat Al Makiyyah.
Dia juga punya karya lain yang bernama Fushushul
Hikam. Kedua kitab ini berisikan berbagai kesesatan yang sangat jauh.
Dan sampai sekarang masih dicetak dan tersebar.
Di dalam kitab Al
Futuhat Al Makiyyah tersebut, Ibnu ‘Arabi Ash Shufi mengaku mengeluarkan
kitabnya tersebut dengan izin Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lewat mimpinya. Namun kebanyakan isi kitab tersebut kontradiksi dengan isi Al-Quran.
Di antara – kekafiran nyata – yang ia katakan di
dalamnya:
Ø
Bahwa Nabi Adam dengan Allah kedudukannya seperti biji
mata dengan mata.
Ø
Bahwa Al Haq (Allah) Yang Mahasuci adalah makhluk yang
disamakan dengan lainnya.
Ø
Bahwa kaum Nabi Nuh jika meninggalkan penyembahan
terhadap patung-patung orang-orang shalih; Wudd, Suwa’, dan lainnya, niscaya
mereka talah bodoh terhadap Al Haq (Allah) lebih besar kebodohannya dari apa
yang mereka tinggalkan. Maksudnya jika kaum Nuh bertauhid, mereka lebih bodoh,
karena jika berbuat syirik, maka yang disembah juga Allah.
Ø
Bahwa Allah berada pada seluruh yang disembah oleh
manusia. Hal itu diketahui oleh orang ‘alim, tetapi tidak diketahui oleh orang
yang bodoh. Karena orang yang ‘alim mengetahui, siapa saja yang sembah, dan
dalam bentuk apa saja, maka Allah nampak padanya.
Ø
Bahwa kaum Nabi Hud yang disiksa di dalam neraka
menjadi sangat dekat dengan Allah, sehingga panas Jahannam itu hilang dari
mereka. Bahkan mereka meraih kenikmatan berdekatan dengan Allah. Hal itu mereka
dapatkan, karena sewaktu di dunia mereka berada di atas jalan yang lurus.
Dan lain-lain perkataannya. Semua perkataan di atas itu merupakan kekafiran yang besar, lebih
besar kekafiran dan kemusyrikannya daripada orang-orang Yahudi, Nashara,
orang-orang musyrik Arab dan lainnya. Seluruh
pendapat Ibnu Arabi di atas dihasilkan oleh sumber yang sama, yaitu keyakinan
wihdatul wujud.
Ada banyak orang shalih pada zaman Ibnu Arabi dan
sesudahnya memuji Ibnu Arabi. Memang ia dikenal dengan kesungguhan dan
ibadahnya. Orang-orang yang memuji itu tidak mengetahui kemungkaran
perkataan-perkatan Ibnu ‘Arabi, karena sibuk dengan ibadah mereka. Namun
sebaliknya, banyak pula para ulama yang mencelanya (Ibnu Arabi Ash Shufi),
menyatakan ia dusta, sesat, bahkan mengkafirkannya. Di antara mereka adalah:
Ø
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat th. 728 H).
Ø
Al Qadhi Badruddin bin Jama’ah (wafat th. 733 H).
Ø
Al Qadhi Sa’duddid Al Haritsi; hakim madzhab Hanabilah
di Kairo (wafat th. 711 H)
Ø
Khatib Qal’ah, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Yusuf Al
Jazari Asy-Syafi’i (wafat th. 711 H)
Ø
Al Qadhi Zainuddin Al Kattani Asy Syafi’i (wafat th.
738 H).
Ø
Syaikh Nuruddin Al Bakari Asy Syafi’i (wafat th. 727
H)
Ø
Syaikh Syafaruddin Isa Az Zawawi (wafat th. 743 H)
Ø
Syaikhul Islam Sirajuddin Abu Hafsh Umar bin Raslan
bin Nashiir Al Bulqini Asy Syafi’i (wafat th. 805 H).
Ø
Al Hafidz Al Qadhi Syihabbudin Abl Fadhl Ahmad bin Ali
bin Hajar Al ‘Asqalani Asy Syafi’i (wafat th. 852 H), dikenal dengan nama Al
Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Ø
Al ‘Allamah Abu Abdullah Muhammad bin Arafah Al
Warghani At Tunisi Al Maliki (wafat. Th. 803 H)
Ø
Qadhi Mestir, Abu Zaid Abdurahman bin Muhammad Al
Hadharami Al Maliki (wafat th. 808 H), dikenal dengan nama Ibnu Khaldun.
ALASAN-ALASAN
PENGKAFIRAN
Secara ringkas di antara alasan-alasan para ulama yang
mengkafirkan keyakinan wihdatul wujud (bersatunya Dzat Allah dengan
makhluk):
Ø
Pertama. Berarti – menurut mereka – segala sifat yang ada
pada seluruh makhluk, maka yang memiliki sifat itu adalah Allah.
Ø
Kedua. Berarti Fir’aun mati dalam keadaan iman, sebagaimana
dikatakan Ibnu Arabi. Karena Fir’aun menyembah selain Allah, yang hal itu
mereka anggap sama dengan menyembah Allah. Padahal telah diketahui secara pasti
keyakinan kaum muslimin, Yahudi dan Nashara, bahwa Fir’aun adalah makhluk yang
paling kafir.
Ø
Ketiga. Salafush Shalih dan imam-imam umat ini telah sepakat,
bahwa Al Khaliq (Allah) terpisah dari seluruh makhluk-Nya. Pada Dzat Allah
tidak ada sedikitpun dari makhluknya, sebagaimana pada mahkluk-Nya tidak ada
sedikitpun dari Dzat-Nya. Salafush Shalih mengkafirkan firqah Jahmiyyah yang
menyatakan, bahwa Allah bertempat di segala tempat. Karena bagaimana mungkin
Allah berada di dalam perut, kebun, tempat buang hajar, dan lainnya?! Allah
Mahatinggi dan Mahaagung dari hal-hal seperti itu. Kemudian, tentulah wihdatul
wujud lebih kafir. Karena menganggap Allah adalah wujud perut, kebun, tempat
buang hajat, barang-barang najis dan kotor.
Ø
Keempat. Orang-orang wihdatul wujud menganggap Dzat Allah
adalah dzat seluruh makhluk. Berarti mereka mensifati Allah dengan seluruh
kekurangan dan cacat yang dimiliki oleh seluruh orang durhaka, orang kafir,
seluruh syetan, seluruh binatang buas, seluruh ular, dan lainnya! Allah
Mahatinggi dan Mahasuci dari kedustaan dan kesesatan mereka.
Ø
Kelima. Orang-orang Nashara menjadi kafir karena menuhankan
Nabi Isa ‘alaihissalam, Yaitu, mereka menganggap Allah bersatu dengan Nabi ‘isa
‘alaihissalam dan sifat-sifat nabi Isa ‘alaihissalam ada pada sifat
Allah. Maka, kekafiran orang-orang wihdatul wujud (walaupun mereka mengaku Islam,
serta mengaku telah mencapai hakikat dan ma’rifat!) lebih besar daripada
Nashara. Karena mereka menganggap, bahwa seluruh sifat makhluk ada pada Allah.
Ø
Keenam. Mereka menggap memiliki hakikat tauhid, karena
meyakini wujud yang ada hanya satu. Mereka menyamakan antara Al Khaliq (Allah)
dengan makhluk; halal dengan haram, khmar dengan air; babi dengan kambing;
istri dengan anak perempuan; dan seterusnya. Maka sesungguhnya kekafiran
orang-orang wihdatul wujud adalah puncak dan gudang kekafiran. Bahkan kekafiran
seluruh orang kafir – dengan jenis kekafiran apapun – adalah salah satu bagian
dari kekafiran mereka.
Ø
Ketujuh. Kaum Muslimin, Yahudi, dan Nashara telah mengetahui,
bahwa di dalam agama Islam, jika ada seseorang mengatakan tentang orang lain
‘dia adalah satu bagian Allah.’ Maka ia telah kafir. Maka bagaimanakan kejinya
kekafiran orang-orang yang mengatakan, bahwa seluruh manusia adalah Allah!
Bahkan seluruh binatang, tumbuhan, tempat, benda, dan semua makhluk ini adalah
Allah?!
Ø
Kedelapan. Yahudi dan Nashara mengkafirkan orang-orang yang
menyembah patung. Sedangkan orang-orang wihdatul wujud menganggap orang yang
menyembah patung sama dengan menyembah Allah. Maka tidak ada keraguan, bahwa
kekafiran mereka – walaupun mengaku Islam – lebih dari kafir daripada Yahudi
dan Nashara,
Ø
Kesembilan. Orang-orang musyrik menyembah sesembahan mereka
sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah (Lihat Az Zumar: 40-42).
Dan mereka masih meyakini, bahwa Allah adalah pencipta langit, bumi, dan
patung. Sedangkan orang-orang wihdatul wujud menganggap orang yang menyembah
patung sama dengan menyembah Allah; patung sama dengan Allah. Jelaslah
kekafiran mereka.
Ø
Kesepuluh. Telah diketahui secara pasti dalam agama Islam,
bawha kaum ‘Ad, Tsamud, dan Fir’aun serta kaumnya disiksa di akhirat. Allah
melaknat dan murka terhadap mereka. Barangsiapa memuji mereka, menganggap dekat
dengan Allah, dan mendapatkan kenikmatan, maka ia lebih kafir daripada Yahudi
dan Nashara. Dan lain-lain hujjah yang disampaikan para ulama.
Inilah sedikit penjelasan tentang ajaran wihdatul
wujud yang sangat sesat dan menyesatkan. Tetapi masih banyak di antara kaum
muslimin yang menganggapnya sebagai kebenaran sejati. Mudah-mudahan Allah
selalu menjaga kita dari seluruh kesesatan.
Sumber: Google Wikipedia & Majalah As-Sunnah Ed 10
Tahun VI 1423 H/2002M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar