Rabu, 15 Agustus 2018

KISAH SUTAWIJAYA


KISAH SUTAWIJAYA

Orientasi
Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601) adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.

Asal Usul
Danang Sutawijaya atau Dananjaya adalah putra sulung pasangan Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.

Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.

Silsilah Keturunan Lengkap :
Kanjeng Panembahan Senopati / Raden Sutawijaya (Sultan Mataram ke 1, pendiri, 1587-1601) menikah dengan 3 istri melahirkan putra-putri 14 orang :
Ø Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
Ø Pangeran Ronggo Samudra (Adipati Pati)
Ø Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Adipati Demak)
Ø Pangeran Teposono
Ø Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
Ø Pangeran Rio Manggala
Ø Pangeran Adipati Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
Ø Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak (Sultan Mataram ke 2, 1601-1613) menikah dengan Ratu Tulung Ayu dan Dyah Banowati / Ratu Mas Hadi (Cicit dari Raden Joko Tingkir & Ratu Mas Cempaka), menurunkan putra-putri 12 orang :
Ø Sultan Agung / Raden Mas Djatmika (1593-1645), Sultan Mataram ke 3 (1613-1645) menikah dengan Permaisuri ke 1 Kanjeng Ratu Kulon / Ratu Mas Tinumpak (putri Panembahan Ratu Cirebon ke 4 setelah Sunan Gunung Jati), permaisuri ke 2 Kanjeng Ratu Batang / Ratu Ayu Wetan / Kanjeng Ratu Kulon mempunyai 9 orang putra-putri :
Ø Raden Mas Sahwawrat / Pangeran Temenggong Pajang
Ø Raden Mas Kasim / Pangeran Demang Tanpa Nangkil
Ø Pangeran Ronggo Kajiwan
Ø Gusti Ratu Ayu Winongan
Ø Pangeran Ngabehi Loring Pasar
Ø Pangeran Ngabehi Loring Pasar
Ø Sunan Prabu Amangkurat Agung / Amangkurat I / Raden Mas Sayidin (Sultan Mataram ke 4, 1646-1677) wafat 13 Juli 1677 di Banyumas.
Ø Sunan Prabu Mangkurat II / Sunan Amral / Raden Mas Rahmat (Sunan Kartasura ke 1, 1677-1703)
Ø Sunan Prabu Amangkurat III (Sunan Kartasura ke 2, 1703-1705)
Ø Susuhunan Pakubuwono I / Pangeran Puger / Raden Mas Drajat (Sunan Kartasura ke 3, 1704-1719)
Ø Raden Mas Sengkuk
Ø Prabu Amangkurat IV (Mangkurat Jawi) wafat 20 April 1726
Ø Kanjeng Pangeran Arya Mangkunegara (Mangkunegara I, 1757-1795)
Ø Gusti Raden Ayu Suroloyo, di Brebes
Ø Gusti Raden Ayu Wiradigda
Ø Gusti Pangeran Hario Hangabehi
Ø Gusti Pangeran Hario Pamot
Ø Gusti Pangeran Hario Diponegoro
Ø Gusti Pangeran Hario Danupaya
Ø Sri Susuhunan Pakubuwono II / Raden Mas Prabasuyasa (Sunan Surakarta ke 1, 1726-1742)
Ø Gusti Pangeran Hario Hadinagoro
Ø Gusti Kanjeng Ratu Maduretno, Garwa Pangeran Hindranata
Ø Gusti Raden Ajeng Kacihing, Dewasa Sedho
Ø Gusti Pangeran Hario Hadiwijoyo
Ø Gusti Raden Mas Subronto, Wafat Dalam Usia Dewasa
Ø Gusti Pangeran Hario Buminoto
Ø Pangeran Hario Mangkubumi Hamengku Buwono I (Sultan Yogyakarta Ke 1, 1717-1792)
Ø Sultan Dandunmatengsari
Ø Gusti Raden Ayu Megatsari
Ø Gusti Raden Ayu Purubaya
Ø Gusti Raden Ayu Pakuningrat di Sampang
Ø Gusti Pangeran Hario Cokronegoro
Ø Gusti Pangeran Hario Silarong
Ø Gusti Pangeran Hario Prangwadono
Ø Gusti Raden Ayu Suryawinata di Demak
Ø Gusti Pangeran Hario Panular
Ø Gusti Pangeran Hario Mangkukusumo
Ø Gusti Raden Mas Jaka
Ø Gusti Raden Ayu Sujonopuro
Ø Gusti Pangeran Hario Dipawinoto
Ø Gusti Raden Ayu Adipati Danureja I
Ø Pangeran Diposonto / Ki Ageng Notokusumo
Ø Raden Ayu Lembah
Ø Raden Ayu Himpun
Ø Raden Suryokusumo
Ø Pangeran Blitar
Ø Pangeran Dipanegara Madiun
Ø Pangeran Purbaya
Ø Kyai Adipati Nitiadiningrat I Raden Garudo (groedo)
Ø Raden Suryokusumo
Ø Tumenggung Honggowongso / Joko Sangrib (Kentol Surawijaya)
Ø Gusti Raden Ayu Pamot
Ø Pangeran Martosana
Ø Pangeran Singasari
Ø Pangeran Silarong
Ø Pangeran Notoprojo
Ø Pangeran Satoto
Ø Pangeran Hario Panular
Ø Gusti Raden Ayu Adip Sindurejo
Ø Raden Ayu Bendara Kaleting Kuning
Ø Gusti Raden Ayu Mangkuyudo
Ø Gusti Raden Ayu Adipati Mangkupraja
Ø Pangeran Hario Mataram
Ø Bandara Raden Ayu Danureja / Bra. Bendara
Ø Gusti Raden Ayu Wiromenggolo / R.Aj. Pusuh
Ø Gusti Raden Ayu Wiromantri
Ø Pangeran Danupoyo/Raden Mas Alit
Ø Pangeran Mangkubumi
Ø Pangeran Bumidirja
Ø Pangeran Arya Martapura / Raden Mas Wuryah (1605-1688)
Ø Ratu Mas Sekar / Ratu Pandansari
Ø Kanjeng Ratu Mas Sekar
Ø Pangeran Bhuminata
Ø Pangeran Notopuro
Ø Pangeran Pamenang
Ø Pangeran Sularong / Raden Mas Chakra (wafat Desember 1669)
Ø Gusti Ratu Wirokusumo
Ø Pangeran Pringgoloyo
Ø Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
Ø Gusti Raden Ayu Wiramantri
Ø Pangeran Adipati Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
Ø Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
Ø Pangeran Adipati Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
Ø Pangeran Tanpa Nangkil

Peran Awal
Sayembara menumpas Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya Ki Ageng Pamanahan untuk ikut serta dalam rombongan pasukan menumpas Arya Penangsang. Hadiwijaya pun merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun. Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiah.

Memberontak Terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1584, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).  Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.

Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.

Kemerdekaan Mataram
Pada tahun 1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan. Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.

Perbuatan Senapati ini membuat Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak. Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.



Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang. Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun 1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak. Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.

Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun 1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati. Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di Kotagede.

Memperluas Kekuasaan Mataram
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton. Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati. Pada tahun 1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya. Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).

Pada tahun 1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram. Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.

Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di komplek Pasarean Mataram, Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang.


Pertarungan Panembahan Senopati (Raden Danang Sutawijaya) vs Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya)

Orientasi
Secara individu atau duel belum pernah disebutkan dalam kisah babad atau sejarah. Hanya saja, pertempuran keduanya tercatat pada sejarah perang Kerajaan Pajang (Hadiwijoyo) dan Kerajaan Mataram (Sutowijoyo). Namun, ada beragam versi cerita pertarungan kedua tokoh raja ini. Di Babad Tanah Jawi, misalnya. Dalam buku yang lebih ke Mataram-sentris ini menceritakan pasukan Kerajaan Pajang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan Mataram dalam sebuah pertempuran hebat. Joko Tingkir sakit saat perjalanan pulang, usai pertempuran. Dia meninggal dunia dan berwasiat supaya anak-anaknya tidak ada yang balas dendam dengan Panembahan Senopati. Sayangnya, Babad Tanah Jawi tidak menceritakan secara detail perihal peperangan kedua kerajaan tersebut.

Dewi Angin-angin, bangsa gaib yang menghuni di atas Pantai Selatan sebagai peniup angin sehingga menciptakan gulungan ombak besar di Laut Selatan bercerita tentang alasan kemenangan Panembahan Senopati melawan Joko Tingkir. Cerita itu terungkap dalam sebuah wawancara dengan Tim Liputan Dua Dunia Trans 7 ketika melakukan mediumisasi di sana dan ditulis ulang berberita.com untuk dijadikan cerita pendek (cerpen) sejarah berbaur mistis untuk Anda. “Kau tahu? Bagaimana berdirinya Kerajaan Mataram di sini? Sutowijoyo diutus oleh Sultan Hadi Wijaya agar dia bisa memimpin dan mendirikan sebuah kerajaan di sini. Ketika Kerajaan Mataram berkembang pesat, Joko Tingkir mengundang Raja Sutawijaya untuk datang. Tapi, Panembahan Senopati tidak mau menerima undangan itu,” kata Dewi Angin-angin.

“Bagaimana Sultan Hadiwijaya tidak merasa tersinggung? Sultan Hadiwijoyo berniat untuk menghancurkan Panembahan Senopati. Ternyata Panembahan Senopati mencari kekuatan, berdiam diri di tempat ini (Kali Mati, kawasan Pantai Selatan Yogyakarta). Maka, di situlah adanya perjanjian antara Panembahan Senopati dan Raja Naga Selatan (Nyi Roro Kidul/Ratu Pantai Selatan) dimulai,” tutur Dewi Angin-angin. “Kesetiaan dan cinta kasih. Panembahan Senopati dan keturunannya harus mau menikahi Ratu Laut Selatan jika ingin tenteram dan damai, ayem, makmur, dan nyaman. Jika bertemu, maka Ratu Pantai Selatan berubah menjadi cantik dan selalu memakai warna hijau. Di situlah Panembahan Senopati memutuskan, siapapun yang hadir dan datang ke tepi pantai Selatan tidak boleh menggunakan warna hijau,” imbuh Dewi Angin-angin.

Kisah lain menyebutkan, Joko Tingkir mengalah dengan Panembahan Senopati karena sudah mengetahui saatnya dia lengser keprabon. Sudah saatnya dia dan kerajaannya runtuh, karena akan ada peradaban baru di mana kebesaran Tanah Jawa akan habis, zaman di mana suatu penderitaan dan kesusahan terjadi. Dalam pertempuran yang hebat, Joko Tingkir berada di atas kendaraan gajah dan mengamati dari jauh, mengomando patih dan senopati, komandan perang, dll. Kemudian, dia didatangi para leluhurnya, raja-raja penguasa Singasari dan Majapahit seperti Sri Rajasa Kertanegara, Raden Wijaya, Tribhuana Tunggadewi, dan para pembesar-pembesar masa lalu. Ratu Tribhuwana Tunggadewi berpesan kepada Joko Tingkir untuk tidak melanjutkan ambisi menjadi penguasa Tanah Jawa. Sebab, masa generasi penerus Kerajaan Singasari dan Majapahit sudah habis. Cukup Joko Tingkir sebagai penerus mereka sebagai akhir atau pamungkas dari Raja-raja Singosari dan Majapahit.

Panembahan Senopati bukanlah pengganti atau penerus Joko Tingkir. Dia dan kerajaannya, Mataram hanya bersifat transisi, sebelum Tanah Jawa masuk zaman baru, jaman kesusahan dan penderitaan. Tidak ada raja satupun yang bisa melindungi kerusakan Tanah Jawa. Panji-panji kebesaran Tanah Jawa tidak lagi dikibarkan dan kebanggaan sebagai orang Jawa tidak lagi ada. Namun, Tanah Jawa suatu saat tiba masanya untuk bangkit kembali. Jawa akan dipimpin raja-raja dari keturunan Ratu Tribhuwana Tunggadewi, yaitu Majapahit.

Setelah ada pesan gaib dari para raja pendahulunya, Joko Tingkir kemudian berbelok arah dan kembali ke Pajang. Sedangkan para prajurinya yang sudah kehilangan komando sejak Joko Tingkir mendapatkan wangsit dari roh leluhurnya, mulai kocar-kacir, kalang kabut. Sejak itulah, Joko Tingkir beberapa kali jatuh pingsan dan tidak sadar. Hingga ketika wafat, Sultan Hadiwijaya ini berpesan kepada anak cucunya supaya tidak memperebutkan kekuasaan lagi. Joko Tingkir pun meninggal dunia bersamaan dengan menghilangnya Keris Kyai Sengkelat yang menjadi pusaka andalannya.

Itulah sekelumit kisah pertarungan Panembahan Senopati vs Joko Tingkir yang terungkap oleh cerita tutur, baik manusia maupun jin (makhluk gaib). Namun, cerpen ini tidak bisa disebut sebagai sebuah fakta sejarah, karena tidak berdasarkan literasi, teks, atau manuskrip.

Sumber : Google Wikipedia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...