KISAH
AJI SAKA
Orientasi
Aji Saka
adalah legenda
Jawa
yang mengisahkan tentang kedatangan peradaban
ke tanah Jawa,
dibawa oleh seorang raja bernama Aji Saka. Kisah ini juga menceritakan mengenai
mitos asal usul Aksara Jawa.
Asal
Mula
Disebutkan
Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah negeri
antah-berantah mitologis, akan tetapi ada yang menafsirkan bahwa Aji Saka
berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka (Raja
Shaka). Legenda ini melambangkan kedatangan Dharma
(ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa. Akan tetapi penafsiran lain beranggapan
bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa
saka atau soko yang berarti penting, pangkal,
atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja asal-mula" atau
"raja pertama". Mitos ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang
pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan ke Jawa dengan mengalahkan
raja raksasa jahat yang menguasai pulau ini. Legenda ini juga menyebutkan bahwa
Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka,
atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di
Jawa. Kerajaan Medang Kamulan mungkin merupakan kerajaan
pendahulu atau dikaitkan dengan Kerajaan
Medang dalam catatan sejarah.
Ringkasan
Membawa peradaban ke Jawa
Segera setelah pulau Jawa
dipakukan ke tempatnya, pulau ini menjadi dapat dihuni. Akan tetapi
bangsa pertama yang menghuni pulau ini adalah bangsa denawa (raksasa) yang biadab, penindas, dan gemar memangsa
manusia. Kerajaan yang pertama berdiri di pulau ini adalah Medang
Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dewata Cengkar,
raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.
Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bijaksana
bernama Aji Saka yang berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka
berasal dari Bumi Majeti. Suatu hari menjelang keberangkatannya ia memberi
amanat kepada kedua abdinya yang bernama Dora dan Sembodo, bahwa ia akan
berangkat ke Jawa. Ia berpesan bahwa saat ia pergi mereka berdua harus menjaga
pusaka milik Aji Saka. Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil pusaka itu
selain Aji Saka sendiri. Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman
tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata Cengkar
bertarung. Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil
mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra
Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud
menjadi Bajul Putih (Buaya Putih). Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja
Medang Kamulan.
Sementara
itu seorang perempuan tua di desa Dadapan, menemukan sebutir telur. Ia
meletakkan telur itu di lumbung padi. Setelah beberapa waktu telur itu hilang
dan sebagai gantinya terdapat seekor ular besar di dalam lumbung itu.
Orang-orang desa berusaha membunuh ular itu, akan tetapi secara ajaib ular itu
dapat berbicara: "Aku anak dari Aji Saka, bawalah aku kepadanya!"
Maka diantarkanlah ia ke istana. Aji Saka mau mengakui ular itu sebagai
putranya dengan syarat bahwa ular itu dapat mengalahkan dan membunuh Bajul
Putih di Laut Selatan. Ular itu menyanggupi, setelah berkelahi dengan sangat
sengit dengan kedua pihak memperlihatkan kekuatan yang luar biasa, ular itu
akhirnya dapat membunuh Bajul Putih.
Sesuai
janjinya ular itu diangkat anak oleh Aji Saka dan diberi nama Jaka Linglung
(anak lelaki yang bodoh). Di istana Jaka Linglung dengan rakus memangsa semua
hewan peliharaan istana. Sebagai hukumannya sang raja mengusir dia ke hutan
Pesanga. Ia diikat erat hingga tak dapat bergerak, lalu Aji Saka bersabda bahwa
ia hanya boleh memakan benda apa saja yang masuk ke mulutnya. Suatu hari ada
sembilan orang bocah lelaki bermain di hutan. Tiba-tiba turun hujan, mereka pun
berlarian mencari tempat berteduh. Untungnya mereka menemukan sebuah gua. Hanya
delapan anak yang masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak yang menderita
penyakit kulit dilarang ikut masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua runtuh dan menutup
pintu keluarnya. Delapan orang bocah itu hilang terkurung di gua. Sesungguhnya
gua itu adalah mulut Jaka Linglung.
Asal mula aksara Jawa
Sementara
setelah Aji Saka memerintah di Medang Kamulan, Aji Saka mengirim utusan pulang
ke rumahnya di Bumi Majeti untuk mengabarkan kepada abdinya yang setia Dora and
Sembodo, untuk mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan itu bertemu Dora dan
mengabarkan pesan Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi Sembodo untuk
memberitahukan perintah Aji Saka. Sembodo menolak memberikan pusaka itu karena
ia ingat pesan Aji Saka: tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka sendiri yang
boleh mengambil pusaka itu. Dora dan Sembodo saling mencurigai bahwa
masing-masing pihak ingin mencuri pusaka tersebut. Akhirnya mereka bertarung,
dan karena kedigjayaan keduanya sama maka mereka sama-sama mati. Aji Saka heran
mengapa pusaka itu setelah sekian lama belum datang juga, maka ia pun pulang ke
Bumi Majeti. Aji saka terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya dan akhirnya
menyadari kesalahpahaman antara keduanya berujung kepada tragedi ini. Untuk
mengenang kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang
jika dibaca menjadi Aksara Jawa hanacaraka. Susunan alfabet aksara
Jawa menjadi puisi sekaligus pangram sempurna, yang diterjemahkan sebagai berikut :
Hana caraka
Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).
secara
rinci:
hana
/ ana = ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya
Legenda
AJISAKA, mengungkap zuriat NABI ISHAQ di NUSANTARA
Dalam
prasasti Kui (840M) disebutkan bahwa di Jawa terdapat
banyak pedagang asing dari mancanagara untuk berdagang misal Cempa
(Champa), Kmir (Khmer-Kamboja), Reman (Mon), Gola (Bengali), Haryya (Arya)
dan Keling. Untuk kebutuhan administrasi, terdapat para
pejabat lokal yang mengurusi para pedagang asing tersebut, misal Juru
China yang mengurusi para pedagang dari China
dan Juru Barata yang mengurusi para pedagang dari India.
Mereka seperti Konsul yang bertanggung jawab atas kaum pedagang asing.
Di
dalam catatan sejarah, kita mengenal gelar “Sang Haji (Sangaji)”
merupakan gelar dibawah “Sang Ratu”,
seperti contoh Haji Sunda pada Suryawarman
(536M) dari Taruma, Haji Dharmasetu
pada Maharaja Dharanindra (782M)
dari Medang. Haji Patapan pada Maharaja
Samaratunggadewa (824M) dari Medang. Sumber
: History of
Java Nusantara.
Legenda
Ajisaka
Dalam
legenda tanah Jawa, kita mengenal nama tokoh Ajisaka. Ajisaka
sangat mungkin, berasal dari kata Haji Saka,
bermakna Perwakilan Negara (Duta) atau Konsul yang bertanggung jawab atas para
pedagang asing, yang berasal dari negeri Saka (Sakas).
Lalu
dimanakah Negeri Sakas itu?
Di
dalam sejarah India, dikenal
negara Sakas atau Western Satrap
(Sumber : Western
Satrap, Wikipedia). Pada tahun 78M Western
Satrap (Sakas) mengalahkan Wikramaditya
dari Dinasti Wikrama India. Kemenangan pada tahun 78M
dijadikan sebagai tahun dasar dari penanggalan (kalender) Saka.
Wilayah Western Satrap mencakup Rajastan, Madya
Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra. Para
raja dari Western Satrap biasanya memakai dua bahasa yaitu Sankrit
(Sansekerta) dan Prakit serta dua
aksara yaitu Brahmi dan Yunani dalam
proses pembuatan prasasti dan mata
uang logam kerajaan. Sejak pemerintahan
Rudrasimha (160M-197M), pembuatan mata
uang logam kerajaan selalu mencantumkan tahun pembuatannya
berdasarkan pada Kalender Saka. Keberadaan
Sakas dengan Kalender Saka-nya,
nampaknya bersesuaian dengan Legenda Jawa,
yang menceritakan Ajisaka (Haji Saka),
sebagai pelopor Penanggalan Saka
di pulau Jawa.
Dewawarman
I, bukan Ajisaka
Di
dalam Naskah Wangsakerta, kita mengenal seorang pedagang dari
tanah India, yang bernama Dewawarman I.
Beliau dikenal sebagai pendiri Kerajaan Salakanagara.
Ada sejarawan berpendapat, bahwa Dewawarman I
adalah indentik dengan Haji Saka (Ajisaka).
Akan tetapi apabila kita selusuri lebih mendalam, sepertinya keduanya adalah
dua orang yang berbeda. Ajisaka (Haji Saka),
tidak dikenal sebagai pendiri sebuah Kerajaan, melainkan dikenal membawa
pengetahuan penanggalan, bagi penduduk Jawa. Sebaliknya Dewawarman
I adalah pendiri Kerajaan Salakanagara,
dan tidak ada riwayat yang menceritakan, bahwa beliau pelopor Kalender
Saka.
Dewawarman
I di-indentifikasikan
berasal dari Dinasti Pallawa (Pahlavas),
beliau berkebangsaan Indo-Parthian,
yang berkemungkinan salah satu leluhurnya adalah Arsaces
I (King) of PARTHIA. Dan jika diselusuri silsilahnya akan terus
menyambung kepada Artaxerxes II of Persia bin
Darius II of Persia bin Artaxerxes I of Persia bin Xerxes I “The Great” of
Persia bin Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great” of Persia (Zulqarnain). Sumber
: The PEDIGREE
of Arsaces I (King) of PARTHIA dan Menemukan Zul-Qarnain, dalam Sejarah Sementara Ajisaka
(Haji Saka), di-identifikasikan berasal dari Sakas
(Western Satrap), beliau berkebangsaan Indo-Scythian,
dimana susur galurnya besar kemungkinan, menyambung kepada keluarga kerajaan di
India Utara (King Moga/Maues). Sumber : Indo-Scythians
dan Maues, Wikipedia
Namun
ternyata, kedua Leluhur
masyarakat Sunda dan Jawa ini,
memiliki satu persamaan, yakni : Dewawarman I (Indo-Parthian)
dan Ajisaka (Indo-Scythian), sesungguhnya merupakan Zuriat
(Keturunan) dari Nabi Ishaq bin Nabi Ibrahim (Bani
Ishaq), yaitu melalui dua anaknya Nabi
Yakub (Jacob) dan Al Aish (Esau). Sumber
: THE TWO
HOUSES OF ISRAEL, Who were the Saxons/Saka/Sacae/Scythians? Sons of Isaac, Komunitas Muslim, dari Bani Israil dan (Connection) Majapahit, Pallawa dan Nabi Ibrahim ?
Kisah
Aji Saka dan Asal Muasal Aksara Jawa
Kisah
sejarah ini menarik banget untuk diketahui. Karena menyimpan banyak hal unik
yang kalau dimengerti, sangat terkait dengan apa yang kita alami sekarang,
khususnya bagi mereka yang tinggal di Pulau Jawa. Pertama-tama, kita kupas dulu
latar belakang sang tokoh, Aji Saka.
Kisah
Aji Saka
Dahulu
kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja
bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang
raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil
dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan
baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang
dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh
Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang
kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan.
Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.
Perjalanan
menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh
hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan
budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati
hutan itu. Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan
api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot
dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya. Aji Saka
tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka
karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu.
Dengan
berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk
disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya. Saat
mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang
sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah
setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri
kelalimannya.
Ketika
Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang
Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan
kemudian hilang ditelan ombak.
Aji
Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke
istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan
Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang,
damai, makmur dan sejahtera.
Terciptanya
Aksara Jawa
Huruf
(aksara) Jawa terdiri dari duapuluh yaitu ;
ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga (dalam
ucapan/sebutan: ho-no-ro-ko-do-to-so-wo-lo-po-dho-jo-yo-nyo-mo-go-bo-tho-ngo),
yang didalamnya ternyata mengandung arti menceritakan sebuah legenda, yaitu
tentang seorang pahlawan dalam mitologi yang datang dari Makkah sedang
berkelana ke berbagai negara, yang kemudian diketahui bernama Ajisaka.
Ajisaka
datang di Srilangka pantai India Selatan kemudian di Sokadana (mungkin yang
dimaksud adalah Sumatera) dan akhirnya tiba suatu tempat di Pulau Jawa yang
waktu itu masih dihuni oleh raksasa-raksasa. Pertamakali, Ajisaka menemukan
sejenis gandum yang dinamakan “jawawut” sebagai makanan pokok penduduk di
tempat itu, yang kemudian ia memberi nama pulau itu menjadi “Nusa Jawa”.
Tentang
Aji Saka sendiri, terdapat berbagai literatur yang mengkisahkan sejarah Ajisaka
dalam versi yang berbeda. Menurut Dr. Purwadi, M.Hum dan Hari Jumanto, S.S
dalam buku Asal Mula Tanah Jawa (Gelombang Ilmu: Sleman-Yogyakarta: 2006), yang
disusun berdasarkan Kitab-kitab Jawa Juno dari Serat Pustaka Raja Purwa karya
Raden Ngabehi Ranggawarsita, juga diambil dari kisah-kisah Babad Tanah Jawi.
Dr. Purwadi,M.Hum dan Hari Jumanto, S.S menyebutkan, Ajisaka adalah orang yang
pertama menginjakkan kaki di tanah Jawa dengan nama Prabu Isaka atau Prabu
Ajisaka. Prabu Ajisaka diperintahkan untuk berangkat melakukan tapa brata
(meditasi) ke sebuah pulau yang sangat panjang. Kata “panjang” dalam bahasa
Jawa artinya “dawa”, yang oleh Sang Hyang Guru disebut “jawa” atau “pulau
jawa”.
Di
dalam perjalannya ke Pulau dawa (Pulau Jawa) yang cukup panjang dari Aceh
sampai Bali masih bersatu. Prabu Ajisaka untuk pertama menginjakkan kaki dan
bermukim di Gunung Hyang atau sekarang bernama Gunung Kendeng di daerah antara
Probolinggo dan Besuki (Daerah Jawa Timur) dengan nama Empu Sangkala. Aji Saka
kemudian menemukan dua Raksasa yang terbujur kaku (mati). Ketika Ajisaka
melihat tangan mereka masing-masing menggenggam “daun lontar yang berisi
tulisan”, di tangan raksasa yang satu bertuliskan huruf “purwa” (kuno) dan
satunya lagi huruf Thai. Setelah dua tulisan tersebut disatukannya, Ajisaka
menciptakan Abjad (Aksara) Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, sebagaimana
telah disebutkan di awal. Tidak sekedar menciptakan aksara, akan tetapi Ajisaka
juga memberikan arti dalam setiap lajur aksara Jawa tersebut, yaitu:
Ha-na-ca-ra-ka (ho-no-co-ro-ko) = ada dua utusan (dua raksasa), Da-ta-sa-wa-la
(do-to-so-wo-lo) = saling bertengkar/berkelahi, Pa-dha-ja-ya-nya
(po-dho-jo-yo-nyo) = sama-sama kuat dan sakti, Ma-ga-ba-tha-nga
(mo-go-bo-tho-ngo) = akhirnya mereka “sampyuh” (mati bersama).
Dalam
versi yang berbeda, di dalam buku “Nawang Sari” (Fajar Pustaka
Baru:Yogyakarta:2002) DR. Damardjati Supadjar mengatakan mengatakan terjadi
salah kaprah pemahaman kandungan makna dari honocoroko seperti tersebut diatas.
Damardjati Supadjar mengutip ungkapan Ki Sarodjo “bagi perasaan saya rangkaian
huruf di dalam carakan jawa itu bukannya menambatkan suatu kisah, melainkan
suatu ungkapan filosofis yang berlaku universal dan sangat dalam artinya dan
membawa kita tunduk dan taqwa kepada Allah”.
Menurut
Ki Sarodjo, yang benar adalah: honocoroko, (hono= ada) (coroko=
Cipto-Roso-Karso) sehingga honocoroko = ada cipta-rasa dan karsa,
dotosowolo,(doto = datan atau tanpa) (sowolo= suwolo atau menentang) sehingga
dotosowolo = tidak menentang atau tidak keberatan atau pasrah kemudian
podhojoyonyo (podho = sama sama), (joyonyo = sukses/berjaya) sehingga
podhojoyonyo = sama sama sukses) dan mogobothongo ( mogo = meletakkan sesuatu
di tempat yang tinggi, (bothongo = bathiniyah = spiritualitas) sehingga
mogobhotongo = meletakkan potensi taqwa dan amal di dalam hati sanubari serta
disimpan pada tempat yang tinggi.
Sumber
: Google Wikipedia
AJI
SAKA: KISAH NYATA KAKEK MOYANG ORANG JAWA DARI ASIA TENGAH
Benarkah
kisah Aji Saka itu hanya mitos? Atau malah ada fakta historis di balik kisah
tersebut? Simak kisahnya berikut:
Para
sesepuh Jawa, Sunda, Sumatra dan mungkin saja daerah lain di Nusantara pasti
sudah akrab dengan kisah asal usul bangsa kita yang terangkum dalam kisah Aji
Saka. Dalam kisah ini, leluhur nusantara ini dikatakan telah berkelana dari
“Bhumi Majethi” menuju tanah Jawa dan membebaskan penduduk pribumi dari
kekejaman raja Dewata Cengkar hingga akhirnya Aji Saka
dan
pengikutnya menetap dan bercampur dengan penduduk lokal.
Fakta
historis menyatakan bahwa memang ada bangsa bernama SAKA di asia tengah dan
salah satu branch dari bangsa ini adalah SAKA MASSAGETAE dimana mereka telah
mengalahkan dan membunuh raja Persia yang menjadi super power dunia kala itu di
530 sebelum masehi (SM). Jika diperhatikan, Majethi mirip dengan Massagetae
dengan distorsi pengucapan oleh lidah lokal. Kebetulan? Mungkin saja. Beberapa
cabang dari bangsa saka lain yang muncul setelah Massagetae adalah Dahae dan
Kidarite, seolah mirip dengan nama kerajaan kita yaitu Kediri dengan ibu
kotanya Daha. Masih dianggap kebetulan?
Berikut
Fakta yang lebih historis, Salah satu cabang dari bangsa Saka yang muncul di
abad 2 SM adalah Yue Zhi (Ejaan dari catatan dinasti di china, namun nama
sebenarnya tidak diketahui, seolah mirip ya wa atau ya wi yang di china-kan).
Mereka hidup di daerah Tarim Basin dan menjadi penguasa padang rumput asia
tengah dikala itu dengan keahlian dalam berkuda dan memanah. Pada sekitar 1 SM,
terjadi kekacauan di negaranya hingga akhirnya raja Yue Zhi tewas dan bangsanya
bermigrasi ke selatan menuju Afghanisthan dan India. Akhirnya mereka mendirikan
Kerajaan Kushan yang berkuasa hampir di seluruh India dan sebagian china dan
sangat kaya raya.
Menariknya,
di sekitar tahun 78 masehi (M), tepat dengan dimulainya kalender saka dengan
kisah Aji Saka mendirikan kerajaan Jawa, terjadi pergeseran kepemimpinan pula
di Kerajaan Kushan. Raja kedua, dicatat berbeda oleh beberapa sumber dan ada
dua tokoh besar, satu mengatakan Vima Taktu, yang lain mengatakan Sadaskhana.
Yang mana yang benar? Yang jelas, raja ini juga digelari “raja diraja, sang
juru selamat besar”. Seolah mengingatkan kita tentang kisah aji saka
yang
menyelamatkan rakyat medang kamulan dari raja jahat Dewata Cengkar.
Lalu
siapakah Aji Saka disini, Vima Taktu atau Sadashkana?? Sangat rancu namun yang
jelas Sadashkana juga disebut sebagai “anak Lain” dan saudara dari Vima Taktu.
Tepat di masa-masa ini pula dinasti di China mencatat tentang negara Jawa
pertama kali dan dipimpin oleh raja yang dinamakan Diao Bian serta berhijrah
dari India. Sejarah kita mencatat bahwa di masa ini pula Raja Dewa Warman mulai
berkuasa di Salaka Negara dan dia datang dari India bersama pengikutnya. Dari
Salaka Negara inilah selanjutnya muncul Taruma Negara, Medang Mataram,
Sriwijaya, dan lainnya. Benarkah Aji
Saka sang pembuat aksara hanacaraka yang dimaksud dalam sejarah asal usul orang
Nusantara ini adalah Raja Dewa Warman alias Sadashkana (atau Vima Takto) alias
diao bian?? Perlu penelitian lebih lanjut untuk masalah ini. Namun sejarah
telah membuktikan bahwa legenda Aji Saka bukanlah mitos.
Sekedar
tambahan, bahwa hingga abad ke 16 menurut catatan Portugis, para bangsawan di
Jawa masih sangat gemar berburu dan mereka seolah terobsesi dengan berburu
hingga kebanyakan seni lukisan di rumah mereka menggambarkan suasana perburuan.
Bahkan mereka berburu dengan baju kebesaran. Bisa jadi ini adalah tradisi yang
telah dimulai sejak di asia tengah saat masih menjadi penunggang kuda dan
pemanah, mengingat kondisi hutan di Jawa yang lebat tidak memungkinkan adanya
inisiatif dan obsesi untuk memulai tradisi berburu.
Sumber:
-Rabatak Inscription
-Wikipedia: Kushan Empire
-Legenda Aji Saka
-Rabatak Inscription
-Wikipedia: Kushan Empire
-Legenda Aji Saka
Warga Banjarejo Grobogan Sangat
Yakin jika Kerajaan Medang Kamulan Berada di Desanya
Sejarah
Kerajaan Medang Kamulan di Grobogan
Informasi
yang dihimpun dari berbagai sumber, diketahui jika pernah ada sebuah kerajaan
di Indonesia yang bernama Medang
Kamulan. Namun, penguasa kerajaan ini tidak ada satupun yang
menyebutkan nama Prabu Dewata Cengkar. Kerajaan ini merupakan kelanjutan
Kerajaan Mataram Kuno yang awalnya berada di daerah Yogyakarta, kemudian pindah
ke wilayah Jawa Timur. Kerajaan Medang Kamulan (sering juga
disebut Kerajaan Medang, Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram
Hindu) berdiri abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad
ke-10.
Para
raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti
yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun
banyak candi, baik yang bercorak Hindu maupun Budha.
Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11. Dari literatur, ada tiga
dinasti yang pernah berkuasa di Kerajaan Medang. Yaitu, Wangsa
Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah,
serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. Masyarakat
Banjarejo Meyakini Kerajaan Medang Kamulan Berada di Desanya.
Meski
banyak yang meragukan adanya sebuah kerajaan betulan bernama Medang Kamulan
dengan rajanya Prabu Dewata Cengkar, namun tidak demikian dengan masyarakat
Desa Banjarejo, Kecamatan Gabus. Sebagian besar masyarakat meyakini jika
kerajaan itu benar-benar pernah ada di situ pada ribuan tahun lalu. Selain
berdasarkan penemuan benda cagar budaya masa lalu, ada beberapa hal lain yang
membuat masyarakat yakin adanya Kerajaan Medang Kamulan. Antara lain, adanya
nama Dusun Medang di Desa Banjarejo.
Selama
ini, di kawasan ini banyak sekali ditemukan benda-benda cagar budaya. Terutama
aneka perhiasan yang terbuat dari emas. Di dusun ini juga terdapat sebuah
gundukan tanah yang disebut-sebut tempat berdirinya Keraton Medang Kamulan. Ada
juga sebuah batu yang diyakini pernah jadi tempat pasujudan Aji Saka sebelum
bertanding melawan Prabu Dewata Cengkar. “Dalam cerita legenda Aji Saka banyak
nama atau tempat yang ada disini maupun sekitar Banjarejo. Misalnya, Bledug
Kuwu, Kesongo dan nama Rara Congkek serta banyak lagi lainnya. Jadi, ketika ada
keyakinan bahwa Kerajaan Medang Kamulan pernah ada di sini bukan tanpa alasan,”
kata Kades Banjarejo Ahmad Taufik.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar