KISAH
FATAHILAH
Orientasi
"Fatahillah"
adalah tokoh yang dikenal mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda
Kelapa dan memberi nama "Jayakarta" yang berarti Kota Kemenangan,
yang kini menjadi kota Jakarta. Ia dikenal juga dengan nama "Falatehan".
Ada pun nama "Sunan Gunung Jati" dan "Syarif Hidayatullah",
yang sering dianggap orang sama dengan Fatahillah, kemungkinan besar adalah
mertua dari Fatahillah.
Latar
Belakang
Ada
beberapa pendapat tentang asal Fatahillah. Satu pendapat
mengatakan ia berasal dari Pasai, Aceh Utara,
yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai
Portugis. Fatahillah pergi ke Mekah, lalu ke tanah
Jawa, Demak, pada masa pemerintahan Sultan
Trenggono. Ada
pendapat lain yang mengatakan
bahwa Fatahillah adalah putra dari raja Makkah (Arab) yang menikah dengan putri
kerajaan
Pajajaran. Pendapat lainnya
lagi mengatakan
Fatahillah dilahirkan pada tahun 1448 dari pasangan
Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina, dengan Nyai Rara
Santang, putri dari raja Pajajaran, Raden Manah Rasa. Namun tidak jelas
dari tradisi mana ketiga pendapat ini berasal. Ada
sumber sejarah yang mengatakan
sebenarnya ia lahir di Asia Tengah (mungkin di Samarqand), menimba ilmu ke
Baghdad, dan mengabdikan dirinya ke Kesultanan Turki, sebelum bergabung dengan
Kesultanan Demak.
Namun pendapat ini juga tidak jelas berasal dari mana.
Hubungan antara Sunan Gunung
Jati dan Fatahillah
Penelitian
terakhir
menunjukkan Sunan Gunung Jati tidak sama dengan Fatahillah. Sunan Gunung Jati adalah seorang
ulama besar dan muballigh yang lahir turun-temurun dari para ulama keturunan
cucu Muhammad, Imam Husayn. Nama asli Sunan
Gunung Jati adalah Syarif
Hidayatullah putra Syarif Abdullah putra Nurul Alam putra Jamaluddin
Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah Musafir besar dari Gujarat, India yang memimpin putra-putra
dan cucu-cucunya berdakwah ke Asia Tenggara, dengan Campa (pinggir delta
Mekong, Kampuchea sekarang) sebagai markas besar. Salah satu putra
Syekh Jamaluddin Akbar (lebih dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar) adalah Syekh Ibrahim Akbar (ayah Sunan Ampel).
Sedangkan
Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan, orang
Portugis melafalkannya sebagai Falthehan. Ketika Pasai dan Malaka direbut
Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan
Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir
bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah
Sultan Demak pertama).
Dalam
wawancara dengan majalah Gatra di akhir dekade 90, alm. Sultan Sepuh Cirebon
juga mengkonfirmasi perbedaan 2 tokoh besar ini dengan menunjukkan bukti 2
makam yang berbeda. Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati
sebenarnya dimakamkan di Gunung Sembung, sementara Fatahillah (yang menjadi
menantunya dan Panglima Perang pengganti Pati Unus) dimakamkan di Gunung Jati.
Menurut
Saleh
Danasasmita sejarawan Sunda yang menulis sejarah Pajajaran dalam bab Surawisesa, Fadhlullah Khan masih
berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya Zainal Alam Barakat adalah
adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim
Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana
Akbar dari Gujarat,India.
Hari
Lahir Jakarta
Benarkah
Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?
Selama ini, tanggal 22 Juni diyakini dan selalu
diperingati sebagai hari ulang tahun Kota Jakarta. Tanggal tersebut merujuk
pada hari ketika pasukan gabungan Demak-Cirebon yang dipimpin oleh Fatahillah
berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, 22 Juni 1527. Sejak saat itu,
nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta.
Namun, setelah berabad-abad berlalu, ternyata ada yang tidak sepakat dengan penetapan tanggal 22 Juni sebagai hari jadi Jakarta tersebut. Salah satu orang yang menentang keras hal itu adalah Ridwan Saidi yang dikenal sebagai tokoh sekaligus budayawan Betawi.
Menggugat Hari Jadi Jakarta
Menurut
Ridwan Saidi, pada tanggal itu pasukan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon
tidak hanya memerangi bangsa Portugis, tetapi juga membantai penduduk asli
Sunda Kelapa, yakni orang-orang Betawi. Dari situlah, ia tidak rela kalau
tanggal 22 Juni 1527 ditetapkan sebagai hari lahir Jakarta. "Masa sih ketika orang Betawi dibantai
malah diperingati dengan meriah?" tukas Ridwan Saidi. Selain
itu, dalam diskusi “Kontroversi HUT Jakarta” pada 22 Juni 2011, Ridwan Saidi
juga menyebut bahwa pasukan Fatahillah telah membumi-hanguskan Sunda Kelapa dan
mengusir penduduk Betawi asli yang sudah sejak lama menetap di situ. "Mereka
membakar rumah kami, mengusir kami sehingga kami harus menyingkir ke
balik-balik bukit, kok malah
dijadikan hari jadi kota?" geramnya.
Penulis buku Profil Orang Betawi : Asal-Muasal, Kebudayaan, dan Adat-Istiadatnya yang diterbitkan tahun 1997 ini juga menentang klaim Fatahillah yang selama ini dipercaya sebagai orang yang mencetuskan nama Jayakarta untuk menggantikan Sunda Kelapa. "Nama Jayakarta sudah ada sejak lama. Ada desa di Karawang yang namanya Jayakerta yang merupakan wilayah budaya Betawi. Itu sudah ada sejak zaman Siliwangi," tandas Ridwan Saidi. Jayakerta, tambahnya, merupakan tempat pengasingan salah satu istri Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja, penguasa Kerajaan Sunda Galuh yang bertahta pada 1482-1521. Selir sang raja yang sedang mengandung itu kemudian melahirkan bayi laki-laki. Sayang, bayi tersebut meninggal dunia tak lama setelah dilahirkan.
Untuk mengenang dan memperingati kematian sang jabang bayi, sang selir menyebut lokasi itu dengan istilah Jayakerta yang berarti “kemenangan yang jaya”. Sedangkan Muhadjir (2000:41) dalam buku Bahasa Betawi: Sejarah dan Perkembangannya menafsirkan Jayakerta dengan arti “kemenangan besar”. Ridwan Saidi sangat yakin, bukan Fatahillah yang merumuskan nama Jayakarta atau Jayakerta untuk menyebut bekas wilayah Sunda Kelapa itu. Jadi, nama Jayakerta bukan diberikan oleh Fatahillah. Itu nama yang sudah ada sebagai sebutan lain Sunda Kalapa (Kelapa)," tegasnya.
Bahwa Fatahillah diragukan sebagai orang yang mencetuskan nama Jayakarta juga pernah dikemukakan oleh peneliti asal Jerman bernama Adolf Heyken. Alwi Shahab (2004:138) dalam buku Saudagar Baghdad dari Betawi menyebut bahwa Heyken pernah tinggal di Jakarta pada era 1960-an. Heyken menyebut bahwa Fatahillah adalah orang Arab dan sangat tidak mungkin ia memberi nama sesuatu –apalagi sesuatu yang sangat berharga sekaligus prestisius seperti Sunda Kelapa yang berhasil ditaklukannya– dengan nama dari istilah Sanskerta. Lantas, siapa sebenarnya Fatahillah? Apakah benar ia dan pasukan muslimnya telah membantai rakyat Betawi saat mengambil-alih Sunda Kelapa dari tangan Portugis?
Misteri
Jatidiri Fatahillah
Identitas
dan asal-usul Fatahillah sendiri sebenarnya masih menjadi misteri. Ahmad-Noor
A. Noor (2005:103) dalam buku From
Majapahit to Putrajaya: Searching for Another Malaysia menyebut
bahwa Fatahillah atau Faletehan adalah seorang muslim keturunan Arab yang
berasal dari Gujarat (India) yang kemudian diangkat menantu oleh penguasa
Demak, Sultan Trenggono (1505-1518). Ada juga yang meyakini Fatahillah adalah seorang pedagang sekaligus guru agama
dari Aceh. Ia meninggalkan Samudera Pasai ketika kerajaan Islam pertama di
Nusantara itu dikuasai oleh Portugis pada 1521 dan merantau sampai ke Demak.
Disebutkan pula, Fatahillah pernah bermukim di Mekkah untuk memperdalam ajaran
Islam (Ibrahim Alfian, Dari
Samudera Pasai ke Yogyakarta, 2002:314).
Masih
terdapat beberapa versi lainnya terkait sosok Fatahillah, termasuk yang
menyatakan bahwa ia adalah pangeran dari Arab, atau putra pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina, atau orang asli Samarkand (Uzbekistan)
yang sempat belajar ke Baghdad (Irak), lalu mengabdikan dirinya ke Kesultanan
Turki sebelum bergabung dengan Kerajaan Demak di Jawa. Bahkan, ada sumber yang
menyebut Fatahillah adalah orang yang sama dengan Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), seperti dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara
karya Slamet Muljana (2005:230). Bahkan, Muljana meyakini bahwa Fatahillah
pernah menjadi penguasa Banten dan Cirebon.
Mitos
Kelahiran Jakarta
Terlepas
dari kesimpang-siuran terkait jatidiri Fatahillah, catatan sejarah yang lebih
jelas menyebutkan bahwa orang ini adalah panglima perang Kerajaan Demak yang
diutus Sultan Trenggono untuk merebut Sunda Kelapa dari Portugis pada 1527. Demak yang sebagai kekuatan utama Islam di
Jawa merasa terancam jika Portugis dan Kerajaan Pajajaran bekerjasama menguasai
Sunda Kelapa yang merupakan salah satu bandar dagang terbesar dan teramai di
Nusantara kala itu.
Pasukan Fatahillah kemudian bergabung dengan orang-orang Cirebon yang memang mengincar Sunda Kelapa. Selain itu, Fatahillah juga didukung oleh masyarakat muslim Melayu dan Jawa yang telah menetap di Sunda Kelapa dan wilayah Kerajaan Pajajaran lainnya (Yasmine Yaki Shahab, dkk., Betawi dalam Perspektif Kontemporer, 1997:105). Lantas, apakah memang benar bahwa penaklukkan Sunda Kelapa pada 1527 itu juga menjadi ajang pembantaian yang dilakukan pasukan Fatahillah terhadap orang-orang Betawi? Ridwan Saidi menyebut pertempuran ini dengan istilah Perang Betawi.
Pasukan Fatahillah kemudian bergabung dengan orang-orang Cirebon yang memang mengincar Sunda Kelapa. Selain itu, Fatahillah juga didukung oleh masyarakat muslim Melayu dan Jawa yang telah menetap di Sunda Kelapa dan wilayah Kerajaan Pajajaran lainnya (Yasmine Yaki Shahab, dkk., Betawi dalam Perspektif Kontemporer, 1997:105). Lantas, apakah memang benar bahwa penaklukkan Sunda Kelapa pada 1527 itu juga menjadi ajang pembantaian yang dilakukan pasukan Fatahillah terhadap orang-orang Betawi? Ridwan Saidi menyebut pertempuran ini dengan istilah Perang Betawi.
Belum ditemukan referensi yang kuat terkait itu. Yahya Andi Saputra dalam buku Upacara Daur Hidup Adat Betawi menyertakan pengakuan Ridwan Saidi yang meyakini bahwa cukup banyak jiwa yang menjadi korban serangan Fatahillah ke Sunda Kelapa –atau Nusa Kalapa menurut istilah Ridwan Saidi– itu. Namun, Ridwan Saidi menyimpulkan kemungkinan tersebut berdasarkan folklor atau cerita rakyat yang disebutnya masih hidup dan berkembang di kalangan penduduk Bogor asli (Saputra, 2008:147). Bogor pada masa itu adalah pusat pemerintahan Kerajaan (Pakuan) Pajajaran yang menguasai Sunda Kelapa sebelum direbut Fatahillah.
Setelah
Sunda Kelapa diambil-alih oleh Fatahillah dan menjadi wilayah taklukan Demak,
syiar Islam berlangsung masif di kawasan strategis ini. Di sisi lain,
peperangan antara kubu Islam (Demak, Cirebon, dan Banten) melawan Pajajaran
yang mayoritas rakyatnya menganut Hindu, Buddha, atau kepercayaan lokal, terus
berlangsung pada masa itu. Rumusan ditetapkannya tanggal 22 Juni 1527 sebagai
hari lahir Jakarta sendiri digagas oleh Walikota Jakarta 1953-1958, Sudiro,
berdasarkan hasil penelitian 3 orang ahli, yakni Mohammad Yamin, Dr. Sukanto,
dan Sudarjo Tjokrosiswoyo, yang mewujud dalam naskah berjudul “Dari Jayakarta
ke Jakarta”.
Sudiro merasa perlu merumuskan hari jadi Jakarta versi Indonesia karena selama masa kolonial Hindia-Belanda, peringatan itu dilakukan setiap tanggal akhir Mei berdasarkan penaklukan Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619. Di bawah penguasaan Belanda, nama Jayakarta dihilangkan dan diganti dengan Batavia. Silang-sengkarut terkait hari lahir Jakarta belum tuntas hingga saat ini. Tidak sedikit peneliti yang akhirnya menyerah karena selalu kesulitan dalam upaya menemukan kapan sebenarnya milad ibukota RI itu patut dirayakan.
Barangkali saking frustasinya, Adolf Heyken pernah berucap: "Hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng khayalan."
Sudiro merasa perlu merumuskan hari jadi Jakarta versi Indonesia karena selama masa kolonial Hindia-Belanda, peringatan itu dilakukan setiap tanggal akhir Mei berdasarkan penaklukan Jayakarta oleh Jan Pieterszoon Coen pada 30 Mei 1619. Di bawah penguasaan Belanda, nama Jayakarta dihilangkan dan diganti dengan Batavia. Silang-sengkarut terkait hari lahir Jakarta belum tuntas hingga saat ini. Tidak sedikit peneliti yang akhirnya menyerah karena selalu kesulitan dalam upaya menemukan kapan sebenarnya milad ibukota RI itu patut dirayakan.
Barangkali saking frustasinya, Adolf Heyken pernah berucap: "Hari jadi Jakarta hanyalah sebuah dongeng khayalan."
Sumber : Reporter, Penulis & Editor:
Iswara N Raditya
Karomah
Fatahilah, Panglima dan Ulama Demak Sang Penakluk Portugis
Nama
Fatahillah begitu melekat bagi warga Jakarta karena karomahnya dapat memimpin
Pasukan Kesultanan Demak untuk mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Fatahillah juga sempat bertempur dengan pasukan Portugis di Malaka.
Dia dilahirkan di lingkungan Kesultanan Pasai dengan nama Fadhillah atau
Maulana Fadhillah pada 1471 dari ibu Syarifah Siti Musalimah binti Maulana
Ishak dan Ayah Mahdar Ibrahim Patakan bin Abdul Ghofur. Ayahnya merupakan mufti
Kesultanan Pasai yang terkenal menguasai ilmu-ilmu agama. Gelar Maulana
diperoleh karena konon masih keturunan Nabi Muhammad, SAW (dari golongan Sayyid
atau Syarif atau Habib ).
Sebagai
anak yang terlahir di lingkungan Kesultanan Pasai, Fadhillah juga memperoleh
pendidikan kemiliteran terutama kemiliteran laut.
Dimana Kesultanan Pasai yang terletak di Selat Malaka sangat mengandalkan armada lautnya dibanding pasukan darat. Namun demikian, sebagai anak dari ulama besar Fadhillah juga memperoleh pendidikan ilmu-ilmu agama yang mumpuni. Pada usia 24 tahun Fadhillah meninggalkan kampung halamannya untuk merantau menambah pengalaman. Dia kemudian pergi ke Kesultanan Malaka yang pada saat itu yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang juga sahabat ayahnya. Sehingga Fadhilah mendapat kedudukan sebagai Tumenggung.
Konon dalam ekpedisi pelayarannya ke Selat Malaka, karena karomah dan kedigjayaannya Fadhilah sempat menghalau para bajak laut yang berkeliaran di Selat Malaka kala itu. Hal ini yang membuat membuat kagum Laksamana Hang Tuah pemimpin tertinggi Angkatan Laut Kesultanan Malaka. Karenanya ketika Laksamana Hang Tuah lengser, kedudukan sebagai laksamana dipercayakan kepadanya dengan gelar “Laksamana Khoja Hasan". Kepiawaian Fadhillah sungguh tidak mengecewakan, dia mampu mengamankan Selat Malaka, sehingga perniagaan melalui jalur ini aman dan menguntungkan kerajaan.
Fadhillah mengabdi selama 15 tahun tepatnya pada 1510 dia mengundurkan diri karena bermaksud kembali ke Pasai untuk memperdalam ilmu keagamaan. Namun setelah 1 tahun mengundurkan diri yakni pada 1511 Kesultanan Malaka diserang dan berhasil diduduki Portugis, Sultan Mahmud Syah pun terpaksa mengungsi ke Pulau Bintan. Dari pengungsiannya ini Sultan meminta bantuan ke Demak. Atas permintaan ini armada Kesultanan Demak dipimpin Pati Unus pada 1512 menyerang Portugis di Malaka, tapi karena kurang persiapan maka kehabisan perbekalan sehingga pasukan ditarik mundur kembali ke Demak.
Konon dalam penyerangan oleh armada Demak ini Fadhillah turut bergabung, tapi ketika armada Demak mundur, dia tidak ikut ke Demak melainkan kembali ke Pasai. Di Pasai kegagalan serangan Demak ramai dibicarakan oleh para pejabat kesultanan maupun para ulama dan tokoh-tokoh masyarakat. Menurut mereka kegagalan serangan Demak bukan semata-mata kurangnya perbekalan saja, tetapi juga kalah dalam teknologi persenjataan (ketika itu pasukan Demak belum memiliki meriam) serta belum memahami betul strategi perang menghadapi bangsa Eropa.
Berdasarkan saran para ulama, tokoh masyarakat serta para pejabat kerajaan yang takut serangan Portugis berlanjut ke Pasai maka berangkatlah Fadhillah merantau guna mempelajari teknologi pembuatan senjata meriam dan strategi perang menghadapi bangsa Eropa yang lebih maju. Pilihan pertama yang dituju adalah negeri leluhurnya yakni daerah Nasrabat, India (tempat asal Maulana Jamaludin Husein/Syekh Jumadil Kubro). Di Nasrabat setelah dia bertemu sanak kerabatnya dan dianjurkan menggunakan marga keluarganya yaitu Azmatkhan. Sehingga namanya menjadi Fadhillah Azmatkhan, namun entah kenapa dia lebih populer dengan nama Fadhillah Khan. Setelah selesai mempelajari teknik pembuatan senjata api dan meriam, Fadhillah Khan melanjutkan perjalanan ke Turki guna mempelajari strategi perang melawan bangsa Eropa.
Pada tahun 1519 ketika Fadhillah bermaksud kembali ke Pasai, ternyata kapalnya tidak dapat memasuki Selat Malaka karena sudah dikuasai Portugis yang pada 1513 juga telah menguasai Pasai. Karena tidak dapat masuk ke Selat Malaka maka Fadhillah membelokkan kapalnya menuju Palembang kemudian diteruskan ke Cirebon guna menjumpai kerabatnya/pamannya yang menjadi penguasa Cirebon, yaitu Sunan Gunung Jati. Mengingat pada waktu itu kesultanan Demak Bintoro bermaksud mengadakan serangan kedua ke Malaka, maka oleh Sunan Gunung Jati, Fadhilah Khan diajak menghadap ke Demak menemui Sultan Pati Unus.
Kehadiran Fadhillah yang datang dari Turki dengan membawa teknologi perang yang baru tentu saja membesarkan hati Kerajaan Demak, oleh karena itu Fadhillah Khan langsung diangkat sebagai wakil pimpinan pasukan tertinggi, sedangkan pimpinan pasukan tertinggi dijabat oleh Pati Unus dengan gelar Senapati Sarjawala. Serangan kali ini boleh dibilang besar-besaran, karena selain dipimpin oleh Sultan Demak sendiri penyerangan ini menggunakan sekitar 400 kapal dan membawa lebih dari 10 prajurit gabungan tiga kerajaan sehingga sempat membuat Portugis was-was.
Tetapi
saat perang baru berlangsung tiga hari ada peluru nyasar menghantam kapal yang
berakibat gugurnya Pati Unus, maka untuk menghindari kehancuran total Fadhillah
Khan segera mengambil alih pimpinan pasukan dan menarik mundur sambil
menyelamatkan jenazah Pati Unus untuk dibawa kembali ke Demak. Kegagalan
penyerangan besar-besaran ini membuat petinggi tiga kesultanan dan para wali
berhitung. Jika harus mengulangi serangan ke Malaka tentu membutuhkan
biaya besar serta persiapan yang lama. Maka atas saran Sunan Gunung Jati
strategi dirubah, kali ini bukan menyerang ke Malaka tapi dengan memancing
Portugis keluar dari Malaka.
Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran. Secara kebetulan pula pada ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam. Kehadiran Armada Portugis dibawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Partugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon.
Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja. Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil.
Untuk itu perlu membatasi ruang gerak sekutu Portugis di Jawa, yaitu Kerajaan Pajajaran. Secara kebetulan pula pada ketika itu Kerajaan Pajajaran telah mengundang Portugis untuk membuat Benteng di Sunda Kelapa yang merupakan satu-satunya pelabuhan milik Kerajaan Pajajaran yang tersisa setelah Cirebon dan Banten menjadi Kerajaan Islam. Kehadiran Armada Portugis dibawah pimpinan Fransisco de Sa telah ditunggu-tunggu oleh pasukan gabungan di bawah pimpinan Fadhillah Khan. Armada Partugis terdiri dari sejumlah kapal jenis Galleon yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Sedangkan Armada Perang Demak terdiri dari kapal tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari Galleon.
Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. Namun dengan bekal teknologi persenjataan dari negeri leluhurnya (Nasrabat India) dan ilmu strategi menghadapi Eropa yang dipelajarinya dari Turki. Maka Fadhillah Khan beserta pasukannya mampu mengatasi pasukan darat Portugis yang menggunakan pedang, bedil, dan meriam serta berlindung dengan topi baja. Sedangkan pasukan darat Fadhillah Khan hanya mengandalkan tombak, kujang, pedang, keris dan meriam-meriam kecil.
Dengan karomah yang diberikan Allah SWT akhirnya pasukan Fadhillah Khan berhasil meluluhlantakkan pasukan darat Portugis dan diikuti oleh armada lautnya pada 22 Juni 1527. Empat kapal Portugis yang berada di laut lepas tidak berani memasuki Teluk Sunda Kelapa dan memilih kembali ke Malaka. Pascakeberhasilan menghancurkan Portugis di Sunda Kelapa, Fadhillah Khan memperoleh gelar baru yakni Fatahillah yang artinya kemenangan dari Allah SWT. Pada 1568, Sunan Gunung Jati wafat, sedangkan cucunya yang direncanakan untuk mengganti kedudukannya (Pangeran Adipati Cirebon) justru telah meninggal lebih dahulu. Oleh karena itu, Fatahillah diangkat menjadi Sultan Cirebon dan masyarakat sering menyebutnya sebagai Sunan Gunung Jati II karena kepiawaiannya dalam ilmu agama.
Sumber : kajiannasab.blogspot
Tidak ada komentar:
Posting Komentar