KISAH
KERAJAAN BRAWIJAYA
Orientasi
Prabu Brawijaya
(lahir: ? - wafat: 1478) atau kadang disebut Brawijaya V adalah raja terakhir Kerajaan Majapahit versi naskah-naskah babad dan
serat, yang memerintah sampai tahun 1478. Tokoh
ini nyata dan sangat legendaris. Ia sering dianggap sama dengan Bhre Kertabhumi,
yaitu nama yang ditemukan dalam penutupan naskah Pararaton. Namun pendapat lain mengatakan bahwa Brawijaya
cenderung identik dengan Dyah Ranawijaya, yaitu tokoh yang pada tahun 1486 mengaku
sebagai penguasa Majapahit, Janggala,
dan Kadiri,
setelah berhasil menaklukan Bhre
Kertabhumi.
Kisah
Hidup
Babad Tanah Jawi menyebut nama
asli Brawijaya adalah Raden Alit.
Ia naik tahta menggantikan ayahnya yang bernama Prabu Bratanjung, dan kemudian memerintah dalam
waktu yang sangat lama, yaitu sejak putra sulungnya yang bernama Arya Damar belum lahir,
sampai akhirnya turun takhta karena ingin menyepi serta karena pertentangan-pertentangan
internal kerajaan majapahit. Kemudian di kota Demak peranannya diteruskakn oleh
putranya yang lain, yaitu Raden Patah yang juga
saudara tiri Arya Damar.
Brawijaya memiliki permaisuri bernama Ratu Dwarawati,
seorang muslim dari Campa. Jumlah
selirnya banyak sekali. Dari mereka, antara lain, lahir Arya Damar bupati Palembang, Raden Patah
bupati Demak, Batara Katong
bupati Ponorogo, serta Bondan Kejawan leluhur
raja-raja Kesultanan Mataram. Sementara itu Serat Kanda menyebut nama asli
Brawijaya adalah Angkawijaya,
putra Prabu Mertawijaya dan Ratu Kencanawungu. Mertawijaya adalah nama gelar Damarwulan yang menjadi
raja Majapahit setelah mengalahkan Menak Jingga bupati Blambangan.
Sementara itu pendiri Kerajaan Majapahit versi naskah babad dan serat bernama Jaka Sesuruh, bukan Raden Wijaya sebagaimana
fakta yang sebenarnya terjadi. Menurut Serat Pranitiradya, yang bernama
Brawijaya bukan hanya raja terakhir saja, tetapi juga beberapa raja sebelumnya.
Naskah serat ini menyebut urutan raja-raja Majapahit ialah:
Ø
Jaka Sesuruh bergelar Prabu Bratana
Ø
Prabu Brakumara
Ø
Prabu Brawijaya I
Ø
Ratu Ayu Kencanawungu
Ø
Prabu Brawijaya II
Ø
Prabu Brawijaya III
Ø
Prabu Brawijaya IV
Ø
dan terakhir, Prabu Brawijaya V
Sering terjadi kesalah pahaman dgn menganggap
Brawijaya (bhre Kerthabumi) sebagai Dyah Ranawijaya, yang menyerang keraton
Trowulan, dan memindahkan Ibukota Kerajaan ke Kediri atau Daha.
Asal
Usul Nama Brawijaya
Meskipun
sangat populer, nama Brawijaya ternyata tidak pernah dijumpai dalam naskah Pararaton ataupun prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Majapahit. Oleh karena itu, perlu diselidiki
dari mana para pengarang naskah babad dan serat memperoleh nama tersebut. Nama
Brawijaya berasal dari kata Bhra Wijaya.
Gelar bhra adalah singkatan dari bhatara, yang bermakna
"baginda". Sedangkan gelar bhre yang banyak dijumpai dalam Pararaton
berasal dari gabungan kata bhra i, yang bermakna "baginda di".
Dengan demikian, Brawijaya dapat juga disebut Bhatara Wijaya.
Menurut
catatan Tome Pires yang berjudul Suma Oriental, pada tahun 1513 di Pulau Jawa
ada seorang raja bernama Batara Vigiaya.
Ibu kota kerajaannya terletak di Dayo. Pemerintahannya hanya bersifat simbol,
karena yang berkuasa penuh adalah mertuanya yang bernama Pate Amdura.
Batara
Vigiaya, Dayo, dan Pate Amdura adalah ejaan Portugis
untuk Bhatara Wijaya, Daha, dan Patih Mahodara. Tokoh Bhatara Wijaya ini kemungkinan identik
dengan Dyah Ranawijaya yang mengeluarkan prasasti Jiyu
tahun 1486,
di mana ia mengaku sebagai penguasa Majapahit,
Janggala,
dan Kadiri.
Pusat pemerintahan Dyah Ranawijaya terletak di Daha.
Dengan kata lain, saat itu Daha adalah ibu kota Majapahit.
Babad Sengkala
mengisahkan pada tahun 1527 Kadiri atau Daha runtuh akibat
serangan Sultan Trenggana dari Kesultanan Demak. Tidak diketahui dengan pasti apakah saat itu penguasa
Daha masih dijabat oleh Bhatara Ranawijaya atau tidak. Namun apabila benar
demikian, berarti Ranawijaya merupakan raja Daha yang terakhir. Mungkin Bhatara
Ranawijaya inilah yang namanya tercatat dalam ingatan masyarakat
Jawa sebagai raja Majapahit yang terakhir, yang namanya kemudian
disingkat sebagai Brawijaya. Kerajaan
Majapahit yang berpusat di Trowulan berakhir pada tahun 1478. Oleh
karena itu, Brawijaya pun dikisahkan meninggal pada tahun tersebut.
Bhre Kertabhumi dalam
Pararaton
Pararaton hanya
menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit yang berakhir pada tahun 1478 Masehi (atau tahun 1400 Saka). Pada bagian penutupan
naskah tersebut tertulis:
Bhre Pandansalas menjadi Bhre
Tumapel kemudian menjadi raja pada tahun Saka 1388, baru menjadi raja dua tahun
lamanya kemudian pergi dari istana anak-anak Sang Sinagara yaitu Bhre
Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, dan yang bungsu Bhre Kertabhumi
terhitung paman raja yang meninggal dalam istana tahun Saka 1400.
Kalimat penutupan Pararaton tersebut terkesan
ambigu. Tidak jelas siapa yang pergi dari istana pada tahun Saka 1390, apakah Bhre Pandansalas ataukah
anak-anak Sang Sinagara. Tidak jelas pula siapa yang meninggal dalam istana
pada tahun Saka 1400, apakah Bhre Kertabhumi, ataukah raja sebelumnya. Teori
yang cukup populer menyebut Bhre Kertabhumi sebagai tokoh yang
meninggal tahun 1400 Saka (1478 Masehi). Teori ini mendapat dukungan dengan
ditemukannya naskah kronik Cina dari kuil Sam Po Kong Semarang yang menyebut
nama Kung-ta-bu-mi sebagai raja
Majapahit terakhir. Nama Kung-ta-bu-mi ini diperkirakan sebagai ejaan Cina
untuk Bhre Kertabhumi.
Sementara itu dalam Serat Kanda disebutkan
bahwa, Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit yang dikalahkan oleh Raden
Patah pada tahun Sirna ilang KERTA-ning BUMI, atau 1400 Saka. Atas dasar
berita tersebut, tokoh Brawijaya pun dianggap identik dengan Bhre
Kertabhumi atau Kung-ta-bu-mi. Perbedaannya ialah, Brawijaya memerintah dalam
waktu yang sangat lama sedangkan pemerintahan Bhre Kertabhumi relatif singkat.
Kung-ta-bu-mi dalam Kronik Cina
Naskah
kronik Cina
yang ditemukan dalam kuil Sam Po Kong di Semarang
antara lain mengisahkan akhir Kerajaan Majapahit sampai berdirinya Kerajaan Pajang. Dikisahkan, raja terakhir Majapahit bernama
Kung-ta-bu-mi. Salah satu putranya bernama Jin Bun
yang dibesarkan oleh Swan Liong, putra Yang-wi-si-sa dari seorang selir Cina. Pada tahun 1478 Jin Bun
menyerang Majapahit dan membawa Kung-ta-bu-mi secara hormat ke Bing-to-lo. Kung-ta-bu-mi merupakan ejaan Cina untuk Bhre
Kertabhumi. Jin Bun dari Bing-to-lo adalah Panembahan Jimbun alias Raden Patah dari Demak Bintara. Swan Liong identik dengan Arya Damar. Sedangkan
Yang-wi-si-sa bisa berarti Hyang Wisesa
alias Wikramawardhana, atau bisa pula Hyang Purwawisesa. Keduanya sama-sama pernah menjadi raja di Majapahit.
Menurut
Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, tokoh Arya
Damar adalah anak Brawijaya dari seorang raksasa perempuan bernama Endang
Sasmintapura. Jadi, Arya Damar adalah kakak tiri sekaligus ayah angkat Raden
Patah. Menurut kronik Cina di atas, Raden Patah adalah putra Bhre Kertabhumi,
sedangkan Swan Liong adalah putra Hyang Wisesa dari seorang selir berdarah
Cina. Kisah ini terkesan lebih masuk akal daripada uraian versi babad dan
serat. Selanjutnya dikisahkan pula,
setelah kekalahan Kung-ta-bu-mi, Majapahit pun menjadi bawahan Demak. Bekas
kerajaan besar ini kemudian diperintah oleh Nyoo Lay Wa, seorang Cina muslim
sebagai bupati. Pada tahun 1486 Nyoo Lay Wa tewas karena unjuk rasa
penduduk pribumi. Maka, Jin Bun pun mengangkat iparnya, yaitu Pa-bu-ta-la,
menantu Kung-ta-bu-mi, sebagai bupati baru.
Tokoh
Pa-bu-ta-la identik dengan Prabhu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya dalam prasasti Jiyu 1486. Jadi, menurut berita Cina
tersebut, Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya adalah saudara ipar sekaligus
bupati bawahan Raden Patah. Dengan kata lain, Bhra Wijaya adalah menantu Bhre
Kertabhumi menurut kronik Cina.
Keruntuhan
Majapahit
Peristiwa
runtuhnya Kerajaan Majapahit yang berpusat di Trowulan, Mojokerto diyakini terjadi pada tahun 1478, dengan
raja terakhirnya Brawijaya V hal ini sebagaimana tertulis dalam serat Dharmagandul yang memaparkan secara detail dan
kronologis peristiwa keruntuhan Majapahit dalam gerakan Islamisasi Jawa pada
tahun 1400 saka. Dharmagandul satu-satunya karya sastra yang mengisahkan
tentang penyerangan kraton Majapahit di Trowulan (saat ini masuk wilayah
Mojokerto) dituliskan dalam bahasa jawa dan berhuruf aksara jawa. Dalam serat
tersebut dipaparkan kisah pernikahan Prabu Brawijaya V dengan Putri Campa yang
merupakan keturunan Cina-Palembang beragama muslim. Setelah pernikahan dengan
selir tersebut, Brawijaya V melalui Putri Campa dikaruniai anak bernama Raden
Patah yang kemudian dijadikan raja bawahan di wilayah Demak Bintara.
Gerakan
islamisasi di Demak yang telah dirintis oleh Wali Sanga, kemudian berujung pada
usaha penaklukan Kraton Majapahit di Trowulan melalui penyerangan atas perintah
putranya sendiri yaitu Raden Patah dengan dukungan Sunan Ampel dan para anggota
wali sanga yang lain, meskipun hal ini ditentang oleh Nyai Ageng Ampel dan
belakangan disesalkan pula oleh Raden Patah, dalam penyerangan tersebut,
pasukan Brawijaya V berhasil dikalahkan oleh pasukan Demak namun Prabu
Brawijaya V berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Demak dan menuju ke
Pulau Bali bersama beberapa pengikutnya untuk meminta bantuan dari Prabu Dewa
Agung di Kerajaan Klungkung Bali, namun ketika masih berada di
Blambangan (Banyuwangi), berhasil disusul oleh Sunan Kalijaga. Dalam dialognya dengan Sunan Kalijaga, Brawijaya V
kemudian bersedia beralih agama dari Budha masuk Islam.
Beberapa pengikutnya yang tidak bersedia masuk Islam kemudian menyeberang ke
Bali, sedangkan Brawijaya V dengan dikawal oleh Sunan Kalijaga kembali ke
Majapahit dan tidak lama kemudian meninggal karena sakit di Trowulan.
Berdasarkan serat Dharmagandul, ia kemudian dimakamkan secara Islam di Trowulan
tepatnya disebelah Timur Laut kolam Segaran.
Melalui
Sunan Kalijaga sebelum meninggal ia menuliskan surat kepada Adipati Penging dan
Pranaraga untuk menerima kekalahan Majapahit dan mengabdi pada Demak Bintara
yang telah mengalahkan Majapahit di Trowulan serta menghindari peperangan lebih
lanjut. Melalui Sunan Kalijaga, Prabu Brawijaya V juga berwasiat untuk
menamakan makamnya dengan nama Makam Sastra Wulan serta diatas batu nisannya
dituliskan nama "Putri Campa" sebagai peringatan bahwa ia telah
dikalahkan oleh anaknya sendiri Raden Patah serta di-"wanitakan".
Kini kompleks pemakamannya berada di sisi timur laut kolam segaran dan dikenal
dengan kompleks Makam Panjang, berlokasi di Trowulan, Mojokerto.
Pemakaian
Nama Brawijaya
Meskipun
kisah hidupnya dalam naskah babad dan serat terkesan khayal dan tidak masuk
akal, namun nama Brawijaya sangat populer, terutama di daerah Jawa Timur.
Hampir setiap kota di Pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur menggunakan Brawijaya sebagai nama jalan. Nama Brawijaya
juga diabadikan menjadi nama suatu perguruan tinggi negeri di Kota Malang,
yaitu Universitas
Brawijaya. Juga
terdapat Museum Brawijaya di kota Malang dan Stadion Brawijaya di Kediri. Di samping itu kesatuan Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat yang meliputi daerah Jawa Timur
dan Madura
dikenal dengan nama Kodam V/Brawijaya.
RAJA
BRAWIJAYA V (MAJAPAHIT) MEMILIKI 117 ANAK
Raja
terakhir Majapahit, Brawijaya V, memiliki 117 orang putera-puteri dari beberapa
isteri dan banyak selir. Permaisuri maupunselir-selir itu kebanyakan adalah
upeti dari kerajaan atau penguasa lain yang tunduk atau mengakui eksistensi
Majapahit. Tentu saja jumlahnya banyak sekali, mengingat luasnya wilayah
Majapahit dan banyaknya negeri lain yang mengakui eksistensi Majapahit. Sebagai
raja tentu saja sang Prabu tidak mungkin bisa menolak upeti atau persembahan
yang cantik-cantik tersebut. Selain bisa mencederai persahabatan dengan
kerajaan-kerajaan lain, juga tak baik menolak persembahan dari daerah-daerah
taklukan.
Banyaknya
putera-puteri sang Prabu tersebut, di sisi lain bermanfaat melestarikan
kekuasaan untuk wilayah kekuasaan yang begitu luas. Setelah dewasa beberapa
putera Brawijaya V diberi jabatan bupati atau adipati dan ditugaskan jadi
penguasa di berbagai wilayah kekuasaan Majapahit. Beberapa anak perempuan
dinikahkan dengan penguasa atau anak penguasa lain sebagai tanda pengikatan.
Dengan cara begini diharapkan seluruh wilayah kekuasaan dan seluruh tali
persahabatan dengan kerajaan lain bisa terus dikendalikan dan dilestarikan. Ini
membuktikan betapa luasnya wilayah kekuasaan kerajaan Majapahit pada saat itu.
117
Putera-puteri Prabu Brawijaya V :
1. Raden
Jaka Dilah (Aryo Damar) – dijadikan Adipati Palembang
2. Raden Jaka Pekik (Harya Jaran Panoleh) – Adipati Sumenep
3. Putri Ratna Pambayun, menikah dengan Prabu Srimakurung Handayaningrat
4. Raden Jaka Peteng
5. Raden Jaka Maya (Harya Dewa Ketuk) – dijadikan adipati di Bali
2. Raden Jaka Pekik (Harya Jaran Panoleh) – Adipati Sumenep
3. Putri Ratna Pambayun, menikah dengan Prabu Srimakurung Handayaningrat
4. Raden Jaka Peteng
5. Raden Jaka Maya (Harya Dewa Ketuk) – dijadikan adipati di Bali
6. Dewi
Manik – menikah dengan Hario Sumangsang Adipati Gagelang
7. Raden Jaka Prabangkara – pergi ke negeri sahabat, Cina
8. Raden Harya Kuwik – dijadikan Adipati Borneo/Kalimantan
9. Raden Jaka Kutik (Harya Tarunaba) – dijadikan Adipati Makasar
10. Raden Jaka Sujalma – jadi adipati Suralegawa di Blambangan
7. Raden Jaka Prabangkara – pergi ke negeri sahabat, Cina
8. Raden Harya Kuwik – dijadikan Adipati Borneo/Kalimantan
9. Raden Jaka Kutik (Harya Tarunaba) – dijadikan Adipati Makasar
10. Raden Jaka Sujalma – jadi adipati Suralegawa di Blambangan
11.
Raden Surenggana – tewas dalam peristiwa penyerbuan Demak
12. Retno Bintara – menikah dengan Adipati Nusabarung, Tumenggung Singosaren
13. Raden Patah – dijadikan Adipati & Sultan Demak
14. Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng Tarub III – menurunkan raja-raja Mataram Islam
15. Retno Kedaton – muksa di Umbul Kendat Pengging
12. Retno Bintara – menikah dengan Adipati Nusabarung, Tumenggung Singosaren
13. Raden Patah – dijadikan Adipati & Sultan Demak
14. Raden Bondan Kejawan, Ki Ageng Tarub III – menurunkan raja-raja Mataram Islam
15. Retno Kedaton – muksa di Umbul Kendat Pengging
16.
Retno Kumolo (Raden Ayu Adipati Jipang) – menikah dengan Ki Hajar Windusana
17. Raden Jaka Mulya (Raden Gajah Permada)
18. Putri Retno Mas Sakti – menikah dengan Juru Paningrat
19. Putri Retno Marlangen – menikah dengan Adipati Lowanu;
20. Putri Retno Setaman – menikah dengan Adipati Jaran Panoleh di Gawang;
17. Raden Jaka Mulya (Raden Gajah Permada)
18. Putri Retno Mas Sakti – menikah dengan Juru Paningrat
19. Putri Retno Marlangen – menikah dengan Adipati Lowanu;
20. Putri Retno Setaman – menikah dengan Adipati Jaran Panoleh di Gawang;
21.
Retno Setapan – menikah dengan Bupati Kedu Wilayah Pengging, Harya Bangah
22. Raden Jakar Piturun – dijadikan Adipati Ponorogo dikenal sebagai Betara Katong
23. Raden Gugur – hilang/muksa di Gunung Lawu
24. Putri Kaniten – menikah dengan Hario Baribin di Madura
25. Putri Baniraras – menikah dengan Hario Pekik di Pengging
22. Raden Jakar Piturun – dijadikan Adipati Ponorogo dikenal sebagai Betara Katong
23. Raden Gugur – hilang/muksa di Gunung Lawu
24. Putri Kaniten – menikah dengan Hario Baribin di Madura
25. Putri Baniraras – menikah dengan Hario Pekik di Pengging
26.
Raden Bondan Surati – tewas “mati obong” di Hutan Lawar Gunung Kidul
27. Retno Amba – menikah dengan Hario Partaka
28. Retno Kaniraras
29. Raden Ariwangsa
30. Raden Harya Suwangsa – Ki Ageng Wotsinom di Kedu
27. Retno Amba – menikah dengan Hario Partaka
28. Retno Kaniraras
29. Raden Ariwangsa
30. Raden Harya Suwangsa – Ki Ageng Wotsinom di Kedu
31.
Retno Bukasari – menikah dengan Haryo Bacuk
32. Raden Jaka Dandun – nama gelar Syeh Belabelu
33. Retno Mundri (Nyai Gadung Mlati) – menikah dengan Raden Bubaran dan muksa di Sendak Pandak Bantul
34. Raden Jaka Sander – nama gelar Nawangsaka
35. Raden Jaka Bolod – nama gelar Kidangsoka
32. Raden Jaka Dandun – nama gelar Syeh Belabelu
33. Retno Mundri (Nyai Gadung Mlati) – menikah dengan Raden Bubaran dan muksa di Sendak Pandak Bantul
34. Raden Jaka Sander – nama gelar Nawangsaka
35. Raden Jaka Bolod – nama gelar Kidangsoka
36.
Raden Jaka Barak – nama gelar Carang Gana
37. Raden Jaka Balarong
38. Raden Jaka Kekurih/Pacangkringan
39. Retno Campur
40. Raden Jaka Dubruk/Raden Semawung/Pangeran Tatung Malara
37. Raden Jaka Balarong
38. Raden Jaka Kekurih/Pacangkringan
39. Retno Campur
40. Raden Jaka Dubruk/Raden Semawung/Pangeran Tatung Malara
41.
Raden Jaka Lepih/Raden Kanduruhan
42. Raden Jaka Jadhing/Raden Malang Semirang
43. Raden Jaka Balurd/Ki Ageng Megatsari/Ki Ageng Mangir I
44. Raden Jaka Lanangm – dimakamkan di Mentaok Jogja
45. Raden Jaka Wuri
42. Raden Jaka Jadhing/Raden Malang Semirang
43. Raden Jaka Balurd/Ki Ageng Megatsari/Ki Ageng Mangir I
44. Raden Jaka Lanangm – dimakamkan di Mentaok Jogja
45. Raden Jaka Wuri
46.
Retno Sekati
47. Raden Jaka Balarang
48. Raden Jaka Tuka/Raden Banyak Wulan
49. Raden Jaka Maluda/Banyak Modang – dimakamkan di Prengguk Gunung Kidul
50. Raden Jaka Lacung/Banyak Patra/Harya Surengbala
47. Raden Jaka Balarang
48. Raden Jaka Tuka/Raden Banyak Wulan
49. Raden Jaka Maluda/Banyak Modang – dimakamkan di Prengguk Gunung Kidul
50. Raden Jaka Lacung/Banyak Patra/Harya Surengbala
51.
Retno Rantam
52. Raden Jaka Jantur
53. Raden Jaka Semprung/Raden Tepas – dimakamkan di Brosot Kulonprogo
54. Raden Jaka Gambyong
55. Raden Jaka Lambare/Pecattanda – dimakamkan di Gunung Gambar, Ngawen, Gunung Kidul
52. Raden Jaka Jantur
53. Raden Jaka Semprung/Raden Tepas – dimakamkan di Brosot Kulonprogo
54. Raden Jaka Gambyong
55. Raden Jaka Lambare/Pecattanda – dimakamkan di Gunung Gambar, Ngawen, Gunung Kidul
56.
Raden Jaka Umyang/Harya Tiran
57. Raden Jaka Sirih/Raden Andamoing
58. Raden Joko Dolok/Raden Manguri
59. Retno Maniwen
60. Raden Jaka Tambak
57. Raden Jaka Sirih/Raden Andamoing
58. Raden Joko Dolok/Raden Manguri
59. Retno Maniwen
60. Raden Jaka Tambak
61.
Raden Jaka Lawu/Raden Paningrong
62. Raden Jaka Darong/Raden Atasingron
63. Raden Jaka Balado/Raden Barat Ketigo
64. Raden Beladu/Raden Tawangtalun
65. Raden Jaka Gurit
62. Raden Jaka Darong/Raden Atasingron
63. Raden Jaka Balado/Raden Barat Ketigo
64. Raden Beladu/Raden Tawangtalun
65. Raden Jaka Gurit
66.
Raden Jaka Balang
67. Raden Jaka Lengis/Jajatan
68. Raden Jaka Guntur
69. Raden Jaka Malad/Raden Panjangjiwo
67. Raden Jaka Lengis/Jajatan
68. Raden Jaka Guntur
69. Raden Jaka Malad/Raden Panjangjiwo
70.
Raden Jaka Mareng/Raden Pulangjiwo
71. Raden Jaka Jotang/Raden Sitayadu
72. Raden Jaka Karadu/Raden Macanpura
73. Raden Jaka Pengalasan
74. Raden Jaka Dander/Ki Ageng Gagak Aking
75. Raden Jaka Jenggring/Raden Karawita
71. Raden Jaka Jotang/Raden Sitayadu
72. Raden Jaka Karadu/Raden Macanpura
73. Raden Jaka Pengalasan
74. Raden Jaka Dander/Ki Ageng Gagak Aking
75. Raden Jaka Jenggring/Raden Karawita
76.
Raden Jaka Haryo
77. Raden Jaka Pamekas
78. Raden Jaka Krendha/Raden Harya Panular
79. Retna Kentringmanik
77. Raden Jaka Pamekas
78. Raden Jaka Krendha/Raden Harya Panular
79. Retna Kentringmanik
80.
Raden Jaka Salembar/Raden Panangkilan
81. Retno Palupi – menikah dengan Ki Surawijaya (Pangeran Jenu Kanoman)
82. Raden Jaka Tangkeban/Raden Anengwulan – dimakamkan di Gunung Kidul
83. Raden Kudana Wangsa
84. Raden Jaka Trubus
85. Raden Jaka Buras/Raden Salingsingan – dimakamkan di Gunung Kidul
81. Retno Palupi – menikah dengan Ki Surawijaya (Pangeran Jenu Kanoman)
82. Raden Jaka Tangkeban/Raden Anengwulan – dimakamkan di Gunung Kidul
83. Raden Kudana Wangsa
84. Raden Jaka Trubus
85. Raden Jaka Buras/Raden Salingsingan – dimakamkan di Gunung Kidul
86.
Raden Jaka Lambung/Raden Astracapa/Kyai Wanapala
87. Raden Jaka Lemburu
88. Raden Jaka Deplang/Raden Yudasara
89. Raden Jaka Nara/Sawunggaling
90. Raden Jaka Panekti/Raden Jaka Tawangsari/Pangeran Banjaransari dimakamkan di Taruwongso Sukoharjo
87. Raden Jaka Lemburu
88. Raden Jaka Deplang/Raden Yudasara
89. Raden Jaka Nara/Sawunggaling
90. Raden Jaka Panekti/Raden Jaka Tawangsari/Pangeran Banjaransari dimakamkan di Taruwongso Sukoharjo
91.
Raden Jaka Penatas/Raden Panuroto
92. Raden Jaka Raras/Raden Lokananta
93. Raden Jaka Gatot/Raden Balacuri
94. Raden Jaka Badu/Raden Suragading
95. Raden Jaka Suseno/Raden Kaniten
92. Raden Jaka Raras/Raden Lokananta
93. Raden Jaka Gatot/Raden Balacuri
94. Raden Jaka Badu/Raden Suragading
95. Raden Jaka Suseno/Raden Kaniten
96.
Raden Jaka Wirun/Raden Larasido
97. Raden Jaka Ketuk/Raden Lehaksin
98. Raden Jaka Dalem/Raden Gagak Pranala
99. Raden Jaka Suwarna/Raden Taningkingkung
100. Raden Rasukrama menikah dengan Adipati Penanggungan
97. Raden Jaka Ketuk/Raden Lehaksin
98. Raden Jaka Dalem/Raden Gagak Pranala
99. Raden Jaka Suwarna/Raden Taningkingkung
100. Raden Rasukrama menikah dengan Adipati Penanggungan
101.
Raden Jaka Suwanda/Raden Harya Lelana
102. Raden Jaka Suweda/Raden Lembu Narada
103. Raden Jaka Temburu/Raden Adangkara
104. Raden Jaka Pengawe/Raden Sangumerta
105. Raden Jaka Suwana/Raden Tembayat
102. Raden Jaka Suweda/Raden Lembu Narada
103. Raden Jaka Temburu/Raden Adangkara
104. Raden Jaka Pengawe/Raden Sangumerta
105. Raden Jaka Suwana/Raden Tembayat
106.
Raden Jaka Gapyuk/Ki Ageng Pancungan
107. Raden Jaka Bodo/Ki Ageng Majasto
108. Raden Jaka Wadag/Raden kaliyatu
109. Raden Jaka Wajar/Seh Sabuk Janur
110. Raden Jaka Bluwo/Seh Sekardelimo
107. Raden Jaka Bodo/Ki Ageng Majasto
108. Raden Jaka Wadag/Raden kaliyatu
109. Raden Jaka Wajar/Seh Sabuk Janur
110. Raden Jaka Bluwo/Seh Sekardelimo
111.
Raden Jaka Sengara/Ki Ageng Pring
112. Raden Jaka Suwida
113. Raden Jaka Balabur/Raden Kudanara Angsa
114. Raden Jaka Taningkung
115. Raden Retno Kanitren
112. Raden Jaka Suwida
113. Raden Jaka Balabur/Raden Kudanara Angsa
114. Raden Jaka Taningkung
115. Raden Retno Kanitren
116.
Raden Jaka Sander (Harya Sander)
117. Raden Jaka Delog/Ki Ageng Jatinom Klaten
117. Raden Jaka Delog/Ki Ageng Jatinom Klaten
Ada
8 putera Brawijaya V ditugaskan dan berkedudukan di pulau Bali, diiringi oleh
banyak punggawa/abdi dalem dan rakyat pengikutnya. Di tempat tujuan mereka
mendirikan kerajaan baru dan di kemudian hari mereka menurunkan para raja Bali.
Kelompok yang pindah ke Bali ini menjadi kelompok yang selamat dari pembasmian,
ketika Demak menghancurkan Majapahit, karena tidak terjangkau oleh kejaran
lawan politik.
Sementara
itu kebanyakan putra-putri Brawijaya V yang lain terpaksa harus menyelamatkan
diri dan bertebaran ke berbagai tempat. Sebagian dari mereka melarikan diri
bersembunyi ke hutan atau gunung. Seperti misalnya di Pandak, Bantul, di situ
dikenal satu makam Kyai Ewer/Klewer. Dia adalah prajurit Majapahit yang dikejar
tentara Demak, bersembunyi di tanah tandus dan bajunya sobek-sobek (pating
klewer). Ini yang menguatkan kesimpulan bahwa apa yang dikisahkan dalam Serat
Darmagandul, sekalipun serat itu lebih berbentuk sebagai sebuah buku sastra
ketimbang buku sejarah, bahwa Majapahit memang runtuh oleh Demak diteruskan
dengan pembantaian besar-besaran.
Majapahit
runtuh diserbu oleh Raden Patah yang adalah putera Brawijaya V sendiri. Raden
Patah berani melanggar pesan sang eyang, Sunan Ampel, akibat bujukan halus
Sunan Kudus dan para sunan yang lain. Apalagi pada waktu itu, Sunan Ampel sudah
wafat. Catatan sejarah lain menyebutkan bahwa kerajaan Cirebon dan para wali
adalah arsitek dan pendukung utama penyerbuan tersebut. Sedangkan sang Prabu
Brawijaya V konon merasa serba-salah menghadapi puteranya sendiri. Para
prajurit pun menjadi setengah hati dan kurang semangat berperang. Setelah
pertempuran yang berkepanjangan, akhirnya Majapahit pun dikalahkan.
Paska
kemenangan Demak dan para sekutunya, terjadi pembumi-hangusan yang sistematik
terhadap kekuatan politik maupun warisan budaya Majapahit. Peristiwa
“pembunuhan” Ki Ageng Kebo Kenongo oleh Sunan Kudus adalah atas perintah Raden
Patah dan ini menjadi salah satu petunjuk akan benarnya kesimpulan tersebut.
Tak lama setelah Demak menghancurkan Majapahit, maka seluruh pengganggu
potensial harus juga disingkirkan, lepas dari mereka benar-benar akan jadi
mengganggu atau tidak.
Sosok
Prabu Brawijaya V, sang raja Majapahit berselimut misteri
Kerajaan
Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kerajaan yang didirikan oleh Raden Wijaya sekitar tahun 1293 ini, memerintah
selama 234 tahun, yakni tahun 1293-1527. Selama masa kekuasaan tersebut,
Majapahit telah diperintah oleh 12 raja dan 2 penguasa pada masa post period. Masa
kejayaan Majapahit dicapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk atau
Maharaja Sri Rajasanagara (1350-1389). Pada masa itu, Raja Hayam Wuruk
didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada yang tersohor akan sumpah Palapa yang
diucapkannya.
Sejak
masa pemerintahan Raja Kertawijaya (raja Majapahit VIII), gelar Brawijaya mulai
digunakan. Penyandangan gelar tersebut dilakukan sebagai sebuah strategi
politik, yakni untuk memperkuat kedudukan Kertawijaya sebagai keturunan
langsung dari Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit. Mengingat, secara
epistemologi berasal dari kata "bra" yang berarti raja, dan
"wijaya"
yang
berarti keturunan Raden Wijaya.
Kekuasaan
Majapahit mulai runtuh pada masa pemerintahan Raja Kertabhumi, yang
bergelar Raja Brawijaya V. Raja Brawijaya V merupakan keturunan dari Raja
Rajasawardhana, yang bergelar Raja Brawijaya II. Menyorot sosok Raja Brawijaya
V, kisah menghilangnya sang Raja hingga kini masih menjadi perdebatan.
Mengingat, pada masa pemerintahan Raja Brawijaya V, perkembangan Islam mulai
memasuki Majapahit. Kerajaan Majapahit mulai terdesak dengan perkembangan Islam
yang pesat. Ketua Pusat Studi Peradaban Universitas Brawijaya, Mochammad Fadli
mengungkapkan, ada banyak versi terkait meninggalnya Raja Brawijaya V, sang
Raja Majapahit XII. Versi pertama, kata Fadli, Raja Brawijaya V diyakini
menghilang atau dalam konsep Hindu-Budha dikenal dengan istilah moksa. Moksa
adalah kelepasan atau kebebasan dari ikatan duniawi, sekaligus lepas dari
putaran reinkarnasi kehidupan.
Versi
kedua menyebutkan, Raja Brawijaya V menghilang lantaran dirinya menjadi Muslim
dan berguru pada Sunan Ampel. Saat memeluk Islam, Prabu Brawijaya V memilih
untuk menyepi ke sebuah desa, dengan menutupi identitasnya. "Ada satu
versi yang saya dengar dari sejarawan juga. Ketika masuk Islam, Prabu Brawijaya
V ini, menyepi ke sebuah desa. Tetapi, Prabu Brawijaya ini punya tanda-tanda
tertentu," ungkap Fadli, saat ditemui dalam acara Pameran Virtual Museum
Brawijaya, Jumat (25/11).
Sunan
Kalijaga yang mengetahui keberadaan Brawijaya V, meminta Raden Patah untuk
menemui sang Raja. Raden Patah merupakan putera dari Raja Brawijaya V dengan
salah satu selirnya, yang bernama Sie Tan Nio. Raden Patah adalah pendiri
sekaligus Raja Demak pertama (Kerajaan Islam).
"Saat
itu, Sunan Kalijaga memerintahkan Sultan Demak (Raden Patah) untuk mengunjungi.
Tapi dia (Brawijaya V)sudah mengaku bukan Prabu Brawijaya V. Tapi Raden Patah
mengetahui, jika itu adalah ayahnya, Prabu Brawijaya V," jelas Fadli. Hingga
saat ini, kebenaran kisah perkenalan Raja Brawijaya V dengan Islam masih
ditelusuri. Penelusuran bukti-bukti sejarah terkait perjalanan Majapahit pun
masih dilakukan hingga saat ini.
Sumber
: Google Wikipedia
Prabu
Barawijaya Vs. Sunan Kalijaga
Ingatlah ketika kerajaan
Majapahit diserang Raden Patah
Prabu Brawijaya melarikan diri bersama Sabdo Palon
Kemudian Sunan Kalijaga berhasil menemukannya
Prabu Brawijaya melarikan diri bersama Sabdo Palon
Kemudian Sunan Kalijaga berhasil menemukannya
Setelah berdebat maka Prabu Brawijaya masuk agama Islam.
Serat
Darmogandul merupakan serat yang berisi cerita tentang dialog antara tokoh-tokoh
pada jaman dulu kala di Indonesia. Dalam serat ini pula didapatkan cerita
berubahnya keyakinan Prabu Brawijaya dari agama Buddha beralih ke agama Islam.Akan
tetapi karena serat Darmogandul dinilai banyak pihak sebagai naskah yang
bermuatan penghinaan terhadap Islam, maka serat tersebut dilarang beredar.
Larangan inilah yang membuat Serat Darmogandul susah untuk diperoleh kembali.
Kalaupun ada yang menemukan serat tersebut, biasanya masih asli berbahasa jawa
dan belum diterjemahkan ataupun sudah diterjemahkan namun hanya potongan pendek
saja. Akan tetapi alangkah senangnya karena kini telah ditemukan terjemahan
lengkap Serat Darmogandul tersebut. Bagi anda yang ingin membacanya silahkan menyimak berikut
saya cuplikkan sedikit yang ada dalam Serat Darmogandul pada bagian dialog
antara Sunan Kalijaga dengan Prabu Brawijaya dan Sabdo Palon di bawah ini :
Ganti yang diceritakan, perjalanan Sunan Kalijaga dalam mencari Prabu Brawijaya, hanya diiringkan dua sahabat. Perjalanannya terlunta-lunta. Tiap desa dihampiri untuk mencari informasi. Perjalanan Sunan Kalijaga melewati pesisir timur Pulau Jawa, menurutkan bekas jalan-jalan yang dilalui Prabu Brawijaya.
Sunan
Kalijaga sang negosiator ulung
Perjalanan
Prabu Brawijaya sampailah di Blambangan, Karena merasa lelah kemudian berhenti
di pinggir mata air. Waktu itu pikiran Sang Prabu
benar-benar gelap. Yang ada di hadapannya hanya abdi berdua, yaitu Nayagenggong
dan Sabdapalon. Kedua abdi tadi tidak pernah bercanda, dan
memikirkan peristiwa yang baru saja terjadi. Tidak lama kemudian Sunan Kalijaga
berhasil menjumpainya. Sunan Kalijaga bersujud menyembah di kaki Sang Prabu.
Sang Prabu kemudian bertanya kepada Sunan Kalijaga, “Sahid! Kamu datang ada
apa? Apa perlunya mengikuti aku?”
Sunan
Kalijaga berkata, “Hamba diutus putra Paduka, untuk mencari dan menghaturkan
sembah sujud kepada Paduka dimanapun bertemu. Beliau memohon ampun atas
kekhilafannya, sampai lancang berani merebut tahta Paduka, karena terlena oleh
darah mudanya yang tidak tahu tata krama ingin menduduki tahta memerintah
negeri, disembah para bupati. Sekarang putra Paduka sangat merasa bersalah.
Adapun ayahanda Raja Agung yang menaikkan dan memberi derajat Adipati di Demak,
tak mungkin bisa membalas kebajikan Paduka, Kini putra Paduka ingat, bahwa
Paduka lolos dari istana tidak karuan dimana tinggalnya. Karena itu putra
Paduka merasa pasti akan mendapat kutukan Tuhan. Karena itulah hambah yang
lemah ini diutus untuk mencari dimana Paduka berada. Jika bertemu mohon kembali
pulang ke Majapahit, tetaplah menjadi raja seperti sedia kala, memangku
mahligai istana dijunjung para punggawa, menjadi pusaka dan pedoman yang
dijunjung tinggi para anak cucu dan para sanak keluarga, dihormati dan dimintai
restu keselamatan semua yang di bumi. Jika Paduka berkenan pulang, putra Paduka
akan menyerahkan tahta Paduka Raja. Putra Paduka menyerahkan hidup dan mati.
Itu pun jika Paduka berkenan. Putra Paduka hanya memohon ampunan Paduka atas
kekhilafan dan memohon tetap sebagai Adipati Demak saja. Adapun apabila Paduka
tidak berkenan memegang tahta lagi, Paduka inginkan beristirahat dimana,
menurut kesenangan Paduka, di gunung mana Paduka ingin tinggal, putra Paduka
memberi busana dan makanan untuk Paduka, tetapi memohon pusaka Kraton di tanah
Jawa, diminta dengan tulus.”
Sang
Prabu Brawijaya bersabda, “Aku sudah dengar kata-katamu, Sahid! Tetapi aku
tidak gagas! Aku sudah muak bicara dengan santri! Mereka bicara dengan mata
tujuh, lamis semua, maka blero matanya! Menunduk di muka tetapi memukul di
belakang. Kata-katanya hanya manis di bibir, batinnya meraup pasir ditaburkan
ke mata, agar buta mataku ini. Dulu-dulu aku beri hati, tapi balasannya seperti
kenyang buntut! Apa coba salahku? Mengapa negaraku dirusak tanpa kesalahan?
Tanpa adat dan tata cara manusia, mengajak perang tanpa tantangan! Apakah
mereka memakai tatanan babi, lupa dengan aturan manusia yang utama!”
Setelah
mendengar bersabda Sang Prabu demikian, Sunan Kalijaga merasa sangat bersalah
karena telah ikut menyerang Majapahit. Ia menarik nafas dalam dan sangat
menyesal. Namun yang semua telah terjadi. Maka kemudian ia berkata lembut,
“Mudah-mudahan kemarahan Paduka kepada putra Paduka, menjadi jimat yang
dipegang erat, diikat dipucuk rambut, dimasukkan dalam ubun-ubun, menambahi
cahaya nubuwat yang bening, untuk keselamatan putra cucu Paduka semua. Karena
semua telah terjadi, apalagi yang dimohon lagi, kecuali hanya ampunan Paduka.
Sekarang paduka hendak pergi ke mana?”
Sang
Prabu Brawijaya berkata, “Sekarang aku akan ke Pulau Bali, bertemu dengan yayi
Prabu Dewa Agung di Kelungkung. Aku akan beri tahu tingkah si Patah,
menyia-nyiakan orang tua tanpa dosa, dan hendak kuminta menggalang para raja
sekitar Jawa untuk mengambil kembali tahta Majapahit. Adipati Palembang akan
kuberi tahu bahwa kedua anaknya sesampai di tanah Jawa yang aku angkat menjadi
Bupati, tetapi tidak tahu aturan. Ia berani memusuhi ayah dan rajanya. Aku akan
minta kerelaannya untuk aku bunuh kedua anaknya sekaligus, sebab pertama
durhaka kepada ayah dan kedua kepada raja. Aku juga hendak memberitahu kepada
Hongte di Cina, bahwa putrinya yang menjadi istriku punya anak laki-laki satu,
tetapi tidak tahu jalan, berani durhaka kepada ayah raja. Ia juga kuminta
kerelaan cucunya hendak aku bunuh, aku minta bantuan prajurit Cina untuk
perang. Akan kuminta agar datang di negeri Bali. Apabila sudah siap semua
prajurit, serta ingat kepada kebaikanku, dan punya belas kasih kepada orang tua
ini, pasti akan datang di Bali siap dengan perlengkapan perang. Aku ajak
menyerang tanah Jawa merebut istanaku. Biarlah terjadi perang besar ayah
melawan anak. Aku tidak malu, karena aku tidak memulai kejahatan dan
meninggalkan tata cara yang mulia.”
Sunan
Kalijaga sangat prihatin. Ia berkata dalam hati, “Tidak salah dengan dugaan
Nyai Ageng Ampelgading, bahwa Eyang Bungkuk masih gagah mengangkangi negara,
tidak tahu diri, kulit kisut punggung wungkuk. Jika beliau dibiarkan sampai
menyeberang ke Pulau Bali, pasti akan ada perang besar dan pasukan Demak pasti
kalah karena dalam posisi salah, memusuhi raja dan bapa, ketiga pemberi
anugerah, Sudah pasti orang jawa yang belum Islam akan membela raja tua,
bersiaga mengangkat senjata. Pasti akan kalah orang Islam tertumpas dalam
peperangan.”
Akhirnya
Sunan Kalijaga berkata pelan, “Aduh Gusti Prabu! Apabila Paduka nanti tiba di
Bali, kemudian memanggil para raja, pasti akan terjadi perang besar. Apakah
tidak sayang Negeri Jawa rusak. Sudah dapat dipastikan putra Paduka yang akan
celaka, kemudian Paduka bertahta kembali menjadi raja, tapi tidak lama kemudian
lengser keprabon. Tahta Jawa lalu diambil oleh bukan darah keturunan Paduka.
Jika terjadi demikian ibarat serigala berebut bangkai, yang berkelahi terus
berkelahi hingga tewas dan semua daging dimakan serigala lainnya.” “Ini semua
kehendak Dewata Yang Maha Lebih. Aku ini raja bintara, menepati sumpah sejati,
tidak memakai dua mata, hanya menepati satu kebenaran, menurut Hukum dan
Undang-Undang para leluhur. Seumpamanya si Patah menganggap aku sebagai
bapaknya, lalu ingin menjadi raja, diminta dengan baik-baik, istana tana Jawa
ini akan kuberikan dengan baik-baik pula. Aku sudah tua renta, sudah kenyang
menjadi raja, menerima menjadi pendeta bertafakur di gunung. Sedangkan si Patah
meng-aniaya kepadaku. Pastilah aku tidak rela tanah Jawa dirajainya. Bagaimana
pertanggungjawabanku kepada rakyatku di belakang hari nanti?”
Mendengar
kemarahan Sang Prabu yang tak tertahankan lagi, Sunan Kalijaga merasa tidak
bisa meredakan lagi, maka kemudian beliau menyembah kaki Sang Prabu sambil
menyerahkan kerisnya dengan berkata, apabila Sang Prabu tidak bersedia
mengikuti sarannya, maka ia mohon agar dibunuh saja, karena akan malu
mengetahui peristiwa yang menjijikkan itu.
Sang
Prabu melihat tingkah Sunan Kalijaga yang demikian tadi, hatinya tersentuh
juga. Sampai lama beliau tidak berkata selalu mengambil nafas dalam-dalam
dengan meneteskan air mata. Berat sabdanya, “Sahid! Duduklah dahulu. Kupikirkan
baik-baik, kupertimbangkan saranmu, benar dan salahnya, baik dan buruknya,
karena aku khawatir apabila kata-katamu itu bohong saja. Ketahuilah Sahid!
Seumpama aku pulang ke Majapahit, si patah menghadap kepadaku, bencinya tidak
bisa sembuh karena punya ayah Buda kawak kafir kufur. Lain hari lupa, aku
kemudian ditangkap dikebiri, disuruh menunggu pintu belakang. Pagi sore
dibokongi sembahyang, apabila tidak tahu kemudian dicuci di kolam digosok
dengan ilalang kering.”
Sang
Prabu mengeluh kepada Sunan Kalijaga, “Coba pikirkanlah, Sahid! Alangkah sedih
hatiku, orang sudah tua-renta, lemah tidak berdaya koq akan direndam dalam
air.” Sunan Kalijaga memendam senyum dan berkata, “Mustahil jika demikian,
besok hamba yang tanggung, hamba yakin tidak akan tega putra Paduka
memperlakukan sia-sia kepada Paduka. Akan halnya masalah agama hanya terserah
sekehendak Paduka, namun lebih baik jika Paduka berkenan berganti syariat
rasul, dan mengucapkan asma Allah. Akan tetapi jika Paduka tidak berkenan itu
tidak masalah. Toh hanya soal agama. Pedoman orang Islam itu syahadat, meskipun
salat dingklak-dingkluk jika belum paham syahadat itu juga tetap kafir
namanya.”
Perdebatan
Teologis Prabu Brawijaya
Sang Prabu berkata,
“Syahadat itu seperti apa, aku koq belum tahu, coba ucapkan biar aku dengarkan
“ Sunan Kalijaga kemudian mengucapkan syahadat, asyhadu alla ilaaha ilallah, wa
asyhadu anna Muhammadar Rasuulullah, artinya aku bersaksi, tiada Tuhan selain
Allah, dan bersaksi bahwa Kanjeng Nabi Muhammad itu utusan Allah. “
Sunan
Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, “Manusia yang menyembah kepada angan-angan
saja tapi tidak tahu sifat-Nya maka ia tetap kafir, dan manusia yang menyembah
kepada sesuatu yang kelihatan mata, itu menyembah berhala namanya, maka manusia
itu perlu mengerti secara lahir dan batin. Manusia mengucap itu harus paham
kepada apa yang diucapkan. Adapun maksud Nabi Muhammad Rasulullah adalah itu
Muhammad itu makam kuburan. Jadi badan manusia itu tempatnya sekalian rasa yang
memuji badan sendiri, tidak memuji Muhammad di Arab. Badan manusia itu bayangan
Dzat Tuhan. Badan jasmani manusia adalah letak rasa. Rasul adalah rasa kang
nusuli. Rasa termasuk lesan, rasul naik ke surga, lullah, luluh menjadi lembut.
Disebut Rasulullah itu rasa ala ganda salah. Diringkas menjadi satu Muhammad
Rasulullah. Yang pertama pengetahuan badan, kedua tahu makanan. Kewajiban
manusia menghayati rasa, rasa dan makanan menjadi sebutan Muhammad Rasulullah,
maka sembahyang yang berbunyi ushali itu artinya memahami asalnya. Ada pun raga
manusia itu asalnya dari ruh idhafi, ruh Muhamad Rasul, artinya Rasul rasa,
keluarnya rasa hidup, keluar dari badan yang terbuka, karena asyhadu alla, jika
tidak mengetahui artinya syahadat, tidak tahu rukun Islam maka tidak akan
mengerti awal kejadian.”
Sunan
Kalijaga berkata banyak-banyak sampai Prabu Brawijaya berkenan pindah Islam,
setelah itu minta potong rambut kepada Sunan Kalijaga, akan tetapi rambutnya
tidak mempan digunting.
Sunan Kalijaga lantas berkata, Sang Prabu dimohon Islam lahir batin, karena
apabil hanya lahir saja, rambutnya tidak mempan digunting. Sang Prabu kemudian
berkata kalau sudah lahir batin, maka rambutnya bisa dipotong.
Perdebatan
dengan Sabdapalon dan Nayageggong
Sang
Prabu setelah potong rambut kemudian berkata kepada Sabdapalon dan
Nayagenggong, “Kamu berdua kuberitahu mulai hari ini aku meninggalkan agama
Buddha dan memeluk agama Islam. Aku sudah menyebut nama Allah yang sejati.
Kalau kalian mau, kalian berdua kuajak pindah agama rasul dan meninggalkan
agama Buddha.”
Sabdapalon
berkata dengan sedih, “Hamba ini Ratu Dang Hyang yang
menjaga tanah Jawa, Siapa yang bertahta menjadi asuhan hamba.
Mulai dari leluhur Paduka dahulu, Sang Wiku Manumanasa, Sakutrem dan Bambang
Sakri, turun-temurun sampai sekarang. Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa.
Hamba jika ingin tidur sampai 200 tahun. Selama hamba tidur selalu ada
peperangan saudara musuh saudara, yang nakal membunuh manusia bangsanya
sendiri. Sampai sekarang umur hamba sudah
2000 lebih 3 tahun dalam mengasuh raja-raja Jawa, tidak ada
yang berubah agamanya, sejak pertama menempati agama Buddha, Baru Paduka yang
berani meninggalkan pedoman luhur Jawa. Jawa artinya tahu. Mau menerima berarti
Jawan. Kalau hanya ikut-ikutan, akan membuat celaka muksa Paduka kelak,” Kata
Wikutama yang kemudian disambut halilintar bersahutan.
Prabu
Brawijaya disindir oleh Dewata, karena mau masuk agama Islam, yaitu dengan
perwujudan keadaan di dunia ditambah tiga hal: (1) rumput Jawan, (2) padi
Randanunut, dan (3) padi Mriyi.
Sang
Prabu bertanya, “Bagaimana niatanmu, mau apa tidak meninggalkan agama Buddha
masuk agama Rasul, lalu menyebut Nabi Muhammad Rasullalah dan nama Allah Yang
Sejati?”
Sabdopalon
berkata dengan sedih, “Paduka masuklah sendiri. Hamba tidak tega melihat watak
sia-sia, seperti manusia Arab itu. Menginjak-injak hukum, menginjak-injak
tatanan. Jika hamba pindah agama, pasti akan celaka muksa hamba kelak. Yang
mengatakan mulia itu kan orang Arab dan orang Islam semua, memuji diri sendiri.
Kalau hamba mengatakan kurang ajar, memuji kebaikan tetangga mencelakai diri
sendiri. Hamba suka agama lama menyebut Dewa Yang Maha Lebih. Dunia itu tubuh
Dewata yang bersifat budi dan hawa, sudah menjadi kewajiban manusia itu menurut
budi kehendaknya, menjadi tuntas dan tidak mengecewakan, jika menyebut Nabi
Muhammad Rasulullah, artinya Muhammad itu makam kubur, kubur rasa yang salah,
hanya men-Tuhan-kan badan jasmani, hanya mementingkan rasa enak, tidak ingat
karma dibelakang. Maka nama Muhammad adalah tempat kuburan sekalian rasa. Ruh
idafi artinya tubuh, jika sudah rusak kembali kepada asalnya lagi.
Prabu
Brawijaya nanti akan pulang kemana. Adam itu sama dengan Hyang Ibrahim, artinya
kebrahen ketika hidupnya, tidak mendapatkan rasa yang benar. Tetapi bangunnya
rasa yang berwujud badan dinamai Muhammadun, tempat kuruban rasa. Jasa budi
menjadi sifat manusia. Jika diambil Yang Maha Kuasa, tubuh Paduka sifatnya jadi
dengan sendirinya. Orang tua tidak membuat, maka dinamai anak, karena adanya
dengan sendirinya, jadinya atas suatu yang ghaib, atas kehendak Lata wal Hujwa,
yang meliputi wujud, wujudi sendiri, rusak-rusaknya sendiri, jika diambil oleh
Yang Maha Kuasa, hanya tinggal rasa dan amal yang Paduka bawa ke mana saja.
Jika nista menjadi setan yang menjaga suatu tempat. Hanya menunggui daging basi
yang sudah luluh menjadi tanah. Demikian tadi tidak ada perlunya. Demikian itu
karena kurang budi dan pengetahuannya. Ketika hidupnya belum makan buah pohon
pengetahuan dan buah pohon budi. Pilih mati menjadi setan, menunggu batu
mengharap-harap manusia mengirim sajian dan selamatan. Kelak meninggalkan
mujizat Rahmat memberi kutukan kiamat kepada anak cucunya yang tinggal. Manusia
mati tidak dalam aturan raja yang sifatnya lahiriah. Sukma pisah dengan budi,
jika tekadnya baik akan menerima kemuliaan. Akan tetapi jika tekadnya buruk
akan menerima siksaan. Coba Paduka pikir kata hamba itu!”
Prabu
berkata “Kembali kepada asalnya, asal Nur bali kepada Nur”.
Sabdapalon
bertutur “Itu pengetahuan manusia yang bingung, hidupnya merugi, tidak punya
pengetahuan ingat, belum menghayati buah pengetahuan dan budi, asal satu
mendapat satu. Itu bukan mati yang utama. Mati yang utama itu sewu satus telung
puluh. Artinya satus itu putus, telu itu tilas, puluh itu pulih, wujud kembali,
wujudnya rusak, tetapi yang rusak hanya yang berasal dari ruh idhafi lapisan,
bulan surup pasti dari mana asalnya mulai menjadi manusia. Surup artinya
sumurup purwa madya wasana, menepati kedudukan manusia.”
Sang
Prabu menjawab, “Ciptaku menempel pada orang yang lebih.”
Sabdopalon
berkata, “Itu manusia tersesat, seperti kemladeyan menempel di pepohonan besar,
tidak punya kemuliaan sendiri hanya numpang. Itu bukan mati yang utama. Tapi
matinya manusia nista, sukanya hanya menempel, ikut-ikutan, tidak memiliki sendiri,
jika diusir kemudian gentayangan menjadi kuntilanak, kemudian menempel kepada
awal mulanya lagi.” Sang Prabu berkata lagi, “Aku akan kembali kepada yang
suwung, kekosongan, ketika aku melum mewujud apa-apa, demikianlah tujuan
kematianku kelak.”
“Itu
matinya manusia tidak berguna, tidak punya iman dan ilmu, ketika hidupnya
seperti hewan, hanya makan, minum, dan tidur. Demikian itu hanya bisa gemuk
kaya daging. Penting minum dan kencing saja, hilang makna hidup dalam mati.” Sang
Prabu, “Aku menunggui tempat kubur, apabila sudah hancur luluh menjadi debu.” Sabdopalon
menyambung, “Itulah matinya manusia bodoh, menjadi setan kuburan, menunggui
daging di kuburan, daging yang sudah luluh menjadi tanah, tidak mengerti
berganti ruh idhafi baru. Itulah manusia bodoh, ketahuliah. Terima kasih!”
Sang
Prabu berkata, “Aku akan muksa dengan ragaku.”
Sabdopalon
tersenyum, “Kalau orang Islam terang tidak bisa muksa, tidak mampu meringkas
makan badannya, gemuk kebanyakan daging. Manusia mati muksa itu celaka, karena
mati tetapi tidak meninggalkan jasad. Tidak bersyahadat, tidak mati dan tidak
hidup, tidak bisa menjadi ruh idhafi baru, hanya menjadi gunungan demit.” Sang
Prabu, “Aku tidak punya kehendak apa-apa, tidak bisa memilih, terserah Yang
Maha Kuasa.” Sabdopalon, “Paduka meninggalkan sifat tidak merasa sebagai titah
yang terpuji, meninggalkan kewajiban sebagai manusia. Manusia diwenangkan untuk
menolak atau memilih. Jika sudah menerima akan mati, sudah tidak perlu mencari
ilmu kemuliaan mati.”
Sang
Prabu, “Keinginanku kembali ke akhirat, masuk surga menghadap Yang Maha Kuasa.”
Sabdopalon berkata, “Akhirat, surga, sudah Paduka kemana-mana, dunia manusia
itu sudah menguasai alam kecil dalam bear. Paduka akan pergi ke akhirat mana?
Apa tidak tersesat? Padahal akhirat itu artinya melarat, dimana-mana ada
akhirat. Bila mau hamba ingatkan, jangan sampai Paduka mendapat kemelaratan
seperti dalam pengadilan negara. Jika salah menjawabnya tentu dihukum,
ditangkap, dipaksa kerja berat dan tanpa menerima upah. Masuk akhirat Nusa
Srenggi. Nusa artinya manusia, sreng artinya berat sekali, enggi artinya kerja.
Jadi
maknanya manusia dipaksa bekerja untuk Ratu Nusa Srenggi. Apa tidak celaka,
manusia hidup di dunia demikian tadi, sekeluarganya hanya mendapat beras
sekojong tanpa daging, sambal, sayur. Itu perumpamaan akhirat yang kelihatan
nyata. Jika akhirat manusia mati malah lebih dari itu, Paduka jangan sampai
pulang ke akhirat, jangan sampai masuk ke surga, malah tersesat, banyak
binatang yang mengganggu, semua tidur berselimut tanah, hidupnya berkerja
dengan paksaan, tidak salah dipaksa.
Paduka
jangan sampai menghadap Gusti Allah, karena Gusti Allah itu tidak berwujud
tidak berbentuk. Wujudnya hanya asma, meliputi dunia dan akhirat, Paduka belum
kenal, kenalnya hanya seperti kenalnya cahaya bintang dan rembulan. Bertemunya
cahaya menyala menjadi satu, tidak pisah tidak kumpul, jauhnya tanpa batasan,
dekat tidak bertemu. Saya tidak tahan dekat apalagi Paduka, Kanjeng Nabi Musa
toh tidak tahan melihat Gusti Allah. Maka Allah tidak kelihatan, hanya Dzatnya
yang meliputi semua makhluk. Paduka bibit ruhani, bukan jenis malaikat. Manusia
raganya berasal dari nutfah, menghadap Hyang Lata wal Hujwa. Jika sudah lama,
minta yang baru, tidak bolak-balik. Itulah mati hidup. Orang yang hidup adalah
jika nafasnya masih berjalan, hidup yang langgeng, tidak berubah tidak
bergeser, yang mati hanya raganya, tidak merasakan kenikmatan, maka bagi
manusia Buda, jika raganya sudah tua, sukmanya pun keluar minta ganti yang
baik, melebihi yang sudah tua. Nutfah jangan sampai berubah dari dunianya.
Dunia manusia itu langgeng, tidak berubah-ubah, yang berubah itu tempat rasa
dan raga yang berasal dari ruh idhafi.
Prabu
Brawijaya itu tidak muda tidak tua, tetapi langgeng berada di tengah dunianya,
berjalan tidak berubah dari tempatnya di gua hasrat cipta yang hening. Bawalah
bekalmu, bekal untuk makan raga. Apapun milik kita akan hilang, berkumpul dan
berpisah. Denyut jantung sebelah kiri adalah rasa, cipta letaknya di
langit-langit mulut. Itu akhir pengetahuan. Pengetahuan manusia beragama Buda.
Ruh berjalan lewat langit-langit mulut, berhenti di kerongkongan, keluar lewat
kemaluan, hanyut dalam lautan rahmat, kemudian masuk ke gua garbha perempuan.
Itulah jatuhnya nikmat di bumi rahmat. Di situ budi membuat istana baitullah
yang mulia, terjadi lewat sabda kun fayakun. Di tengah rahim ibu itu takdir
manusia ditentukan, rizkinya digariskan, umurnya juga dipastikan, tidak bisa
dirubah, seperti tertulis dalam Lauh Mahfudz. Keberuntungan dan kematiannya
tergantung pada nalar dan pengetahuan, yang kurang ikhtiarnya akan kurang
beruntung pula.
Awal
mula Kiblat empat
Awal
mula kiblat empat, yaitu timur (Wetan) barat (Kulon) selatan(Kidul) dan utara
(Lor) adalah demikian. Wetan artinya wiwitan asal manusia mewujud; kulon artinya
bapa kelonan; kidul artinya istri didudul di tengah perutnya; lor artinya
lahirnya jabang bayi. Tanggal pertama purnama, tarik sekali tenunan sudah
selesai. Artinya pur: jumbuh, na: ana wujud; ma: madep kepada wujud. Jumbuh itu
artinya lengkap, serba ada, menguasai alam besar kecil, tanggal manusia, lahir
dari ibunya, bersama dengan saudaranya kakang mbarep (kakak tertua) adi ragil
(adik terkecil). Kakang mbarep itu kawah, adi itu ari-ari. Saudara ghaib yang
lahir bersamaan, menjaga hidupnya selama matahari tetap terbit di dunia, berupa
cahaya, isinya ingat semuanya. Siang malam jangan khawatir kepada semua rupa,
yang ingat semuanya, surup, dan tanggalnya pun sudah jelas, waktu dulu,
sekarang atau besok, itu pengetahuan manusia Jawa yang beragama Buddha.
Raga
itu diibaratkan perahu, sedangkan sukma adalah orang yang ada di atas perahu
tadi, yang menunjukkan tujuannya. Jika perahunya berjalan salah arah, akhirnya
perahu pecah, manusia rebah. Maka harus bertujuan, senyampang perahu masih
berjalan, jika tidak bertujuan hidupnya, dan matinya tidak akan bisa sampai
tujuan, menepati kemanusiaannya. Jika perahu rusak maka akan pisah dengan
orangnya. Artinya sukma juga pisah dengan budi, itu namanya syahadat, pisahnya
kawula dengan Gusti. Sah artinya pisah dengan Dzat Tuhan, jika sudah pisah raga
dan sukma, budi kemudian berganti baitullah, nafas memuji kepada Gusti.
Jika
pisah sukma dan budi, maka manusia harus yang waspada, ingatlah asal-usul
manusia, dan wajib meminta kepada Tuhan baitullah yang baru, yang lebih baik
dari yang lama. Raga manusia itu namanya baitullah itu perahu buatan Allah,
terjadi dari sabda kun fayakun. Jika perahu manusia Jawa bisa berganti
baitullah lagi yang lebih baik, perahu orang Islam hidupnya tinggal rasa,
perahunya sudah hancur. Jika sukma itu mati di alam dunia kosong, tidak ada
manusia. Manusia hidup di dunia dari muda sampai tua. Meskipun sukma manusia,
tetapi jika tekadnya melenceng, matinya tersesat menjadi kuwuk, meskipun
sukmanya hewan, tetapi bisa menjelma menjadi manusia.
Ketika
Batara Wisnu bertahta di Medang Kasapta, binatang hutan dan makhluk halus
dicipta menjadi manusia, menjadi rakyat Sang Raja. Ketika Eyang Paduka Prabu
Palasara bertahta di Gajahoya, binatang hutan dan makhluk halus juga dicipta
menjadi manusia. Maka bau manusia satu dan yang lainnya berbeda-beda, baunya
seperti ketika masih menjadi hewan. Serat Tapak Hyang menyebut Sastrajendra
Hayuningrat, terjadi dari sabda kun, dan menyebut jituok artinya hanya puji
tok.
Dewa
yang membuat cahaya bersinar meliputi badan. Cahaya artinya incengan aneng
cengelmu. Jiling itu puji eling kepada Gusti. Punuk artinya panakna. Timbangan
artinya salang. Pundak itu panduk, hidup di dunia mencari pengetahuan dengan
buah kuldi, jika beroleh buah kuldi banyak, beruntungnya kaya daging, apabila
beroleh buah pengetahuan banyak, bisa untuk bekal hidup, hidup langgeng yang
tidak bisa mati. Tepak artinya tepa-tapa-nira, Walikat, walikaning urip.
Ula-ula, ulatana, laleren gegermu kang nggligir. Sungsum artinya sungsungen.
Labung, waktu Dewa menyambung umur, alam manusia itu sampungan, ingat hidup
mati.
Lempeng
kiwa tengen artinya tekad yang lahir batin, purwa benar dan salah, baik dan
buruk. Mata artinya lihatlah batin satu, yang lurus kiblatmu, keblat utara
benar satu. Tengen artinya tengenen kang terang, di dunia hanya sekedar memakai
raga, tidak membuat tidak memakai. Kiwa artinya, raga iki isi hawa kekajengan,
tidak wenang mengukuhi mati. Demikian itu bunyi serat tadi. Jika Paduka
mencela, siapa yang membuat raga? Siapa yang memberi nama? Hanya Lata wal
Hujwa, jika Paduka mencaci, Paduka tetap kafir, cela mati Paduka, tidak percaya
kepada takdir Gusti, dan murtad kepada leluhur Jawa semua, menempel pada besi,
kayu batu, menjadi iblis menunggu tanah. Jika Paduka tidak bisa membaca sasmita
yang ada di badan manusia, mati Paduka tersesat seperti kuwuk. Adapun jika bisa
membaca sasmita yang ada pada raga tadi, dari manusia menjadi manusia. Disebut
dalam Serat Anbiya, Kanjeng Nabi Musa waktu dahulu manusia yang mati di kubur,
kemudian bangun lagi, hidupnya ganti ruh baru, ganti tempat baru.
Tuhan
yang Sejati
Jika
Paduka memeluk agama Islam, manusia Jawa tentu kemudian Islam semua. Badan
halus hamba sudah tercakup dan manunggal menjadi tunggal, lahir batin, jadi
tinggal kehendak hamba saja. Adam atau wujud bisa sama, jika saya ingin
mewujud, itulah wujud hamba, kehendak Adam, bisa hilang seketika. Bisa mewujud
dan bisa menghilang seketika. Raga hamba itu sifat Dewa, badan hamba seluruhnya
punya nama sendiri-sendiri. Coba Paduka tunjuk, badan Sabdapalon. Semua sudah
jelas, jelas sampai tidak kelihatan Sabdopalon, tinggal asma meliputi badan,
tidak muda tidak tua, tidak mati tidak hidup. Hidupnya meliputi dalam matinya.
Adapun matinya meliputi dalam hidupnya, langgeng selamanya.”
Sang
Prabu bertanya, “Di mana Tuhan yang Sejati?”
Sabdopalon
berkata, “ Tidak jauh tidak dekat, Paduka bayangannya. Paduka wujud sifat
suksma. Sejati tunggal budi, hawa, dan badan. Tiga-tiganya itu satu, tidak
terpisah, tetapi juga tidak berkumpul. Paduka itu raja mulia tenti tidak akan
khilaf kepada kata-kata hamba ini.” “Apa kamu tidak mau masuk agama Islam?”
tanya Prabu, Sabdopalon berkata dengan sedih,
“Ikut agama lama, kepada agama baru tidak!Kenapa Paduka
berganti agama tidak bertanya hamba? Apakah Paduka lupa nama hamba, Sabdapalon?
Sabda artinya kata-kata, Palon kayu pengancing kandang. Naya artinya pandangan,
Genggong artinya langgeng tidak berubah. Jadi bicara hamba itu,
bisa untuk pedoman orang tanah Jawa, langgeng selamanya.”
“Bagaimana
ini, aku sudah terlanjur masuk agama Islam, sudah disaksikan Sahid, aku tidak
boleh kembali kepada agama Buddha lagi, aku malu apabila ditertawakan bumi
langit.” “Iya sudah, silahkan Paduka jalani sendiri, hamba tidak ikut-ikutan.” Sunan
Kalijaga kemudian berkata kepada Sang Prabu, yang isinya jangan memikirkan yang
tidak-tidak, karena agama Islam itu sangat mulia. Ia akan menciptakan air yang
di sumber sebagai bukti, lihat bagaimana baunya. Jika air tadi
bisa berbau wangi, itu pertanda bahwa Sang Prabu sudah mantap kepada agama
Rasul, tetapi apabila baunya tidak wangi, itu pertanda jika Sang Prabu masih
berpikir Buddha.
Sunan
Kalijaga kemudian mengheningkan cipta. Seketika air sumber menjadi berbau
wangi. Sunan Kalijaga berkata kepada Sang Prabu, seperti yang sudah dikatakan,
bahwa Sang Prabu nyata sudah mantap kepada agama Rasul, karena air sumber
baunya wangi. Sabdopalon berkata kepada Sang
Prabu, “Itu kesaktian apa? Kesaktian kencinghamba kemarin sore dipamerkan
kepada hamba. Seperti anak-anak, jika hamba melawan kencing
hamba sendiri. Paduka dijerumuskan, hendak menjadi jawan, suka menurut
ikut-ikutan, tanpa guna hamba asuh. Hamba wirang kepada bumi langit, malu
mengasuh manusia tolol, hamba hendak mencari asuhan yang satu mata. Hamba
menyesal telah mengasuh Paduka. Jika hamba mau mengeluarkan kesaktian, air
kencing hamba, kentut sekali saja, sudah wangi, Jika
paduka tidak percaya, yang disebut pedoman Jawa, yang bernama Manik Maya itu
hamba, yang membuat kawah air panas di atas Gunung Mahameru itu semua hamba,
Adikku Batara Guru hanya mengizinkan saja.
Pada
waktu dahulu tanah Jawa gonjang-ganjing, besarnya api di bawah tanah. Gunung-gunung
hamba kentuti. Puncaknya pun kemudian berlubang, apinya banyak
yang keluar, maka tanah Jawa kemudian tidak bergoyang, maka gunung-gunung
tinggi puncaknya, keluar apinya serta ada kawahnya, berisi air panas dan air
tawar. Itu hamba yang membuat. Semua tadi atas kehendak Lata wal Hujwa, yang
membuat bumi dan langit. Apa cacadnya agama Buddha, manusia bisa memohon
sendiri kepada Yang Maha Kuasa. Sungguh jika sudah berganti agama Islam,
meninggalkan agama Buddha, keturunan Paduka akan celaka, Jawa tinggal Jawan,
artinya hilang, suka ikut bangsa lain. Besok tentu diperintah oleh orang Jawa
yang mengerti.
Coba
Paduka saksikan, bulan depan bulan tidak kelihatan, biji mati tidak tumbuh,
ditolak oleh Dewa. Walaupun tumbuh kecil saja, hanya untuk makanan burung, padi
seperti kerikil, karena paduka yang salah, suka menyembah batu. Paduka saksikan
besok tanah Jawa berubah udaranya, tambah panas jarang hujan. Berkurang hasil
bumi, banyak manusia suka menipu. Berani bertindak nista dan suka bersumpah,
hujan salah musim, membuat bingung para petani. Sejak hari ini hujan sudah
berkurang, sebagai hukuman banyak manusia berganti agama. Besok apabila sudah
bertaubat, ingat kepada agama Buddha lagi, dan kembali mau makan buah
pengetahuan, Dewa kemudian memaafkan, hujan kembali seperti jaman Buddha.”
Sang
Prabu mendengar kata-kata Sabdapalon dalam batin merasa sangat menyesal karena
telah memeluk agama Islam dan meninggalkan agama Buddha, Lama beliau tidak
berkata. Kemudian ia menjelaskan bahwa masuknya agama Islam itu karena terpikat
kata putri Cempa, yang mengatakan bahwa orang agama Islam itu kelak apabila
mati, masuk surga yang melebihi surganya orang kafir. Sabdapalon berkata sambil
meludah, “Sejak jaman kuno, bila laki-laki menurut perempuan, pasti sengsara,
karena perempuan itu utamanya untuk wadah, tidak berwewenang memulai
kehendak.” Sabdapalon banyak-banyak mencaci
Sang Prabu.
“Kamu
cela sudah tanpa guna, karena sudah terlanjur, sekarang hanya kamu kutanya,
masihkah tetapkah tekadmu? Aku masuk agama Islam, sudah disaksikan oleh si
Sahid, sudah tidak bisa kembali kepada Buddha lagi.” Sabdapalon berkata bahwa
dirinya akan memisahkan diri dengan beliau. Ketika ditanya perginya akan ke
mana? Ia menjawab tidak pergi, tetapi tidak berada di situ,hanya
menepati yang namanya Semar, artinya meliputi sekalian wujud, anglela kalingan
padang.
Sang
Prabu bersumpah, besok apabila ada orang Jawa tua, berpengetahuan, yaitulah
yang akan diasuh Sabdapalon. Orang Jawa akan diajari tahu benar salah. Sang
Prabu hendak merangkul Sabdapalon dan Nayagenggong, tetapi kedua orang tersebut
musnah.
Sang
Prabu kemudian menyesal dan meneteskan air mata. Kemudian berkata kepada Sunan
Kalijaga,”Besok Negara Blambangan gantilah nama dengan Negara Banyuwangi agar
menjadi pertanda kembalinya Sabdapalon ke tanah Jawa membawa asuhannya. Adapun
kini Sabdopalon masih dalam alam Ghaib.”
Sumber
: Google Wikipedia
Hampura saya mau tanya Raden Jaka sena tau gak om
BalasHapusHampura saya mau tanya Raden Jaka sena/ kumpi anoman tau gak om
BalasHapus