KISAH
PANGERAN JAYAKARTA
Orientasi
Pangeran Jayakarta adalah nama seorang penguasa kota pelabuhan Jayakarta,
yang menjabat sebagai wakil dari Kesultanan
Banten. Kekuasaan Banten atas wilayah ini berhasil direbut oleh
Belanda, setelah Pangeran Jayakarta dikalahkan oleh pasukan VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen pada tanggal 30 Mei
1619.
Asal
Usul
Asal
usul Pangeran Jayakarta masih samar. Dalam situs internet Pemerintah Jakarta
Timur disebutkan, Pangeran Jayakarta adalah nama lain dari Pangeran Achmad
Jakerta, putra Pangeran Sungerasa Jayawikarta dari Kesultanan Banten. Namun ada
juga yang menganggap Pangeran Jayakarta adalah Pangeran Jayawikarta. Menurut
Hikayat Hasanuddin dan Sajarah Banten Rante-rante yang disusun pada abad ke-17
(yaitu sesudah Sajarah Banten, 1662/3), Pangeran Jayakarta atau Jayawikarta
adalah putra Tubagus Angke dan Ratu Pembayun, puteri Hasanuddin, anak Sunan
Gunung Jati. Menurut Adolf Heukeun SJ
dalam buku Sumber-sumber Asli Sejarah Jakarta Jilid II, silsilah ini tidak
sesuai dengan sumber-sumber sekunder lain karena sumber-sumber yang digunakan
oleh hikayat mengandung banyak cerita dongeng.
Peran
Politik di Banten
Pada
tahun 1596 Pangeran Muhammad, penguasa Banten ketiga, gugur waktu menyerang
Palembang. Putera satu-satunya ialah Abdul Kadir, yang baru berusia lima bulan.
Maka dipilihlah seorang mangkubumi yang sekaligus menjadi wali putera itu.
Tetapi mangkubumi ini wafat pada tahun 1602. Maka ibu putra mahkota menjadi
wali dan menikah dengan mangkubumi yang ketiga. Karena ayah tiri disayang
putera mahkota Banten dan dihormati rakyat, maka para pangeran menjadi iri dan
memberontak. Pangeran dari Jayakarta datang dengan banyak bawahannya sehingga
pemberontak mengalah dan berdamai.
Pangeran
Jayakarta, Membumihanguskan Sunda Kelapa
Ia seorang panglima yang mampu mengusir Portugis dari Sunda Kelapa.
Juga seorang Ulama Muda yang berhaasil mensyiarkan Agama Islam lebih marak di
Tanah Jawa. Awal
abad ke 16, seorang Ulama Muda asal Samudera Pasai baru saja pulan dari Mekkah.
Seperti pemuda Aceh lainnya, ia tidak bisa lagi menginjakkan kakinya ditanah
kelahirannya, untuk menyebarkan agama Islam. Pasalnya, Portugis sangat ketat
mengawasi masyarakat bumiputra yang mensyiarkan agama Islam, lebih-lebih yang
baru kembali dari tanah suci. Ulama muda itu adalah Fadhilah
Khan, orang Portugis mengucapkannya dengan nama Fatahillah
atau Falatehan.
Portugis
memang berbeda dengan Belanda, tidak ingin ajaran Islam makin meluas. Mereka khawatir,
melalui ajaran-ajaran Islam yang mulai banyak dianut, akan tumbuh semangat
persatuan, antar kerajaan kecil, yang pada gilirannya akan berhimpun menjadi
sebuah kekuatan besar. Untuk itu, tidak ada sebuah celah sedikitpun yang
disisakan Portugis bagi upaya meluasnya hubungan antara satu kerajaan dengan
kerajaan lainnya. Demikian pula terhadap kedatangan tokoh agama, seperti tokoh
ulama muda Fadhilah Khan.
Namun
niat, tekad, dan semangat pemuda ini untuk mensyiarkan agama Islam, tidak
mengendur sedikitpun. Sebelum berangkat ke Mekah, ia sudah tahu jalinan
hubungan baik antar kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Demak di Jawa. Ia
berpikir, kelak jika tidak bisa masuk ke tanah kelahirannya usai menuntut ilmu
di Mekah, ia bertekad menuju Demak. Pada masa itu hanya ada tiga kekuatan Islam
yang tumbuh dan berkembang di tanah Jawa, yaitu Demak, Banten, dan Cirebon, di
wilayah Utara Jawa Barat. Tetapi setelah dipertimbangkan Fatahillah memilih
singgah lebih dulu di kerajaan Cirebon sebelum ke kerajaan Demak, sebab
kerajaan ini dianggap paling aman. Kekuasaan Portugis di wilayah ini kurang
kuat. Armadanya hanya mondar-mandir dari Sunda Kelapa ke pelabuhan Cirebon
tanpa menetap.
Tanpa
banyak rintangan, Fatahillah berhasil menyusup ke Cirebon. Saat itu syiar Islam
sudah cukup marak di daerah ini. Berkat kehadiran Sunan Gunung Jati dan Syekh
Siti Jenar kehadiran Fatahillah tentu saja menambah semangat perjuangan.
Bersama Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, ia mensyiarkan agama Islam
di tanah Sunda ini, bahkan ia sempat menjadi warga kehormatan di kerajaan
Cirebon. Cukup lama pemuda Aceh ini menetap di Cirebon. Ia menikah dengan Ratu
Ayu, anak pasangan Syarif Hidayatullah dan Nyai Kawunganten asal Banten. Istri
Fatahillah kemudian dikenal dengan nama Putri Wulung Ayu.
Setelah
cukup lama menyebarkan agama Islam di Jawa Barat bersama sang mertua, niat
utama Fatahillah untuk menuju Demak akhirnya tercapai juga. Itu dimungkinkan
karena Kharisma dirinya yang telah lebih dulu masuk ke Demak. Sultan Trenggana
yang memimpin kerajaan Demak, sangat senang atas kehadiran Fatahillah. Ia
merasa memperoleh petujuk dari Allah SWT tentang figur yang cocok untuk
memimpin serangan ke Sunda Kelapa, kota pelabuhan terpenting bagi
kerajaan Hindu, Pajajaran (Bogor). Munculnya Fatahillah dapat memperkuat
jajaran pertahanan Islam di wilayahnya sehingga Demak dapat menyerang Sunda
Kelapa bersama sisa pasukan Pangeran Laut.
Dalam
waktu singkat, Fatahillah mulai dikenal masyarakat sebagai ulama muda yang
berpengaruh dengan pikiran yang cemerlang. Sultan Trenggana memperlakukannya
seperti saudara kandung, bukti kasih dan sayang Sultan Demak ini diwujudkan
dengan menikahkan Fatahillah dengan adik perempuannya, putri Pamboya atau Ratu
Ayu Pembayun. Sultan Trenggana tahu, Fatahillah telah mempunyai isteri di
Cirebon, tapi perkawinan Fatahillah dengan adiknya itu tidak akan memperkeruh
suasana, bahkan akan memperkuat hubungan keislaman dan jalinan persaudaraan
dengan Cirebon. Sang mertua, Sunan Gunung Jati malah merestui pernikahan itu.
Sultan
Trenggana memberikan persetujuan terhadap rencana Fatahillah untuk mengusir
Portugis yang bercokol di tanah Sunda atau Sunda Kelapa. Tapi sebelumnya ia
akan mensyiarkan Islam di Banten dan menselaraskan pandangan dengan adik
iparnya, Sultan Hasanuddin atau Pangeran Sabakingking, yang memerintah Banten.
Bagi Fatahillah penyelarasan pandangan dengan kesultanan Banten itu sangat
penting. Sebab ia khawatir, Banten akan jalan sendiri menyerang Portugis.
Fatahillah
juga meningkatkan hubungan dengan Kesultanan Banten, seperti halnya dengan
Cirebon dan Demak. Eratnya hubungan itu hingga sampai pada pengganti Sultan
Maulana Hasanuddin, yaitu Sultan maulana Yusuf, putra Sultan Maulana
Hasanuddin. Fatahillah berhasil memperluas wilayahnya sampai Grogol dan Slipi
di Jakarta Barat. Wilayah Pulo Gadung sampai Jatinegara di Jakarta Timur
Sekarang. Wilayah Pasar Minggu, Depok hingga Bogor diluar Jakarta Selatan,
serta wilayah Cilincing di wilayah Jakarta Utara. Dalam masalah birokrasi,
kekuasaan tertinggi berada di tangan Adipati sebagai penguasa yang memperoleh
otonomi dari Demak. Dengan otonomi yang sangat luas itu termasuk dengan hal
yang berkenaan dengan transaksi perniagaan dan pengembangan kota.
Fatahillah
membangun masjid yang cukup besar di Muara Sungai Ciliwung, yang dikenal dengan
masjid Luar Batang, sebagai tempat berkumpulnya para
ulama yang sebelumnya datang ke masjid agung para wali di Demak. Fatahillah
memperkuat tahta dengan bersama empat Pangeran pembantu setianya, Pangeran
Wijayakrama, dan Arya Adikara asal Banten, Wijaya Kusuma asal Demak, serta
Pangeran Zakaria. Arya Adikara adalah putra Wijayakrama yang sebelumnya bernama
Kawis Adimarta. Sedang Wijayakrama adalah putra Ki Tubagus Angke yang pernah
mempin serangan Sunda Kelapa.
Keempat
pangeran itu sengaja diberi julukan yang sama dengan julukan Fatahillah, yaitu
Pangeran Jayakarta, untuk mengelabui Belanda. Fatahillah mempercayakan kepada
keempat Pangeran yang dikepalai oleh Pangeran Zakaria untuk mengatur kekuasaan
berikutnya di Jayakarta sebelum akhirnya ia sendiri menghilang entah kemana. Fatahillah
juga merahasiakan pengangkatan keempat Pangeran ini, agar perjuangannya melawan
penjajah bisa terus bergema. Rahasia itu berhasil dijaga para pengikut setianya
untuk waktu yang cukup lama, sehingga banyak pihak terkecoh dan kecewa. Belanda
menduga, Pangeran Jayakarta tetap hidup dan menjadi bayangan yang sangat
menakutkan. Berita-berita kematian Pangeran Jayakarta tidak dipercaya.
Di
kalangan rakyat, kematian Fatahillah tetap menjadi sesuatu yang misterius hingga
terjadi serangan Belanda. Sampai saat ini rakyat hanya mengenal satu makam
Fatahillah alias Pangeran Jayakarta, yaitu di bilangan Jatinegara Kaum, Jakarta
Timur. Namun sebagian ahli sejarah menyatakan, makam itu bukan makam
Fatahillah, melainkan makam Pangeran Zakaria.
Pada
1620, sebelum kejayaannya berakhir, Pangeran Zakaria membangun sebuah masjid di
kawasan yang sekarang ini disebut Jatinegara Kaum. Masjid yang awalnya seluas
100 meter persegi itu merupakan tempat pertahanan Pangeran Jayakarta. Kepada
keluarganya ia minta agar merahasiakan keberadaannya. Tempat itu menjadi
komunitas untuk menyiarkan agama Islam, termasuk warga Jatinegara Kaum.
Pembukaan
kawasan itu terjadi pada 1619 ketika Jayakarta jatuh ke tangan Belanda.
Pangeran Jayakarta bersembunyi di area hutan Jati dan menyusun kekuatan untuk
menghadapi Belanda. Demikian pentingnya tempat persembunyian ini, sampai-sampai
penduduk Jatinegara Kaum dilarang menikah dengan orang di luar komunitas
tersebut, sehingga kekeluargaan yang kental. Dan masjid yang semula tak bernama
itu kemudian dikenal sebagai masjid Pangeran Jayakarta atau masjid Jatinegara
Kaum.
Di
komplek masjid yang sekarang luasnya 7.000 meter itu dimakamkan lima petinggi,
yakni Pangeran Ahmad Djakerta, Lahut Djakerta, Soeria bin Pangeran Padmanegara,
serta suami istri Ratu Rupiah putri dan Pangeran Sageri. Selebihnya adalah
makam keluarga beserta kerabat yang masih keturunan Pangeran Jayakarta.
Menelusuri
Jejak Pangeran Jayakarta
Pangeran
Jayakarta merupakan orang yang paling dicari tentara VOC. Putera dari
Kesultanan Banten ini pernah mengusir tentara VOC dari Banten. Sebagai orang
yang paling dicari, kematian Pangeran Jayakarta hingga kini masih simpang siur.
Setidaknya, ada beberapa versi yang mengatakan letak makam pangeran yang
bernama lain Achmad Jacatra itu.Salah satu versi mengatakan Pangeran Jayakarta
telah mati di sumur tua di daerah Angke ketika dikejar oleh tentara VOC. Pada
saat itu, ditemukan jubah Pangeran Jayakarta di liang sumur. Sementara, versi
yang lain mengatakan, setelah dinyatakan mati di sumur tua, wujud Pangeran
Jayakarta ditemukan kembali di daerah Mangga Dua. Tetapi, banyak ahli sejarah
yang meragukan kebenaran cerita-cerita tersebut. Berbagai cerita yang tersebar
di masyarakat diyakini sudah bercampur dengan cerita hikayat yang syarat akan
hal-hal fantasi.
Versi
terakhir menjelaskan, ketika dikejar oleh tentara VOC, Pangeran Jayakarta
beserta pengikutnya melipir ke selatan. Rombongan ini masuk ke sebuah tepian
kali yang membelah hutan jati. Pangeran Jayakarta beserta pengikutnya kemudian
membuka hutan dan di tempat tersebut dibangun sebuah masjid. Sebelum bernama As
Salafiah, masjid tersebut bernama Masjid Pangeran Jayakarta, yang sengaja
dibangun oleh pasukan Pangeran Jayakarta untuk menghimpun kekuatan kembali.
Banyak yang mempercayai di tempat inilah Pangeran Jayakarta dimakamkan.
Makam
Pangeran Jayakarta bersebelahan dengan Masjid As Salafiah, tepatnya di Jalan
Jatinegara Kaum. Memasuki kawasan masjid, pengunjung akan melihat sebuah
pendopo. Di pendopo yang berukuran 10x10 meter ini, terdapat lima makam. Salah
satu makam tersebut merupakan makam Pangeran Jayakarta. Makam ini dapat
dikenali dari tulisan Achmad Jacetra pada batu nisannya. Sementara di
sebelahnya, terdapat makam Pangeran Lahut yang merupakan putera dari Pangeran
Achmad Jacetra.
Untuk
mengenang perjuangan Pangeran Jayakarta, pada ulang tahun Kota Jakarta ke-441,
Gubernur Ali Sadikin meresmikan berdirinya Makam Pangeran Jayakarta. Kemudian,
pada 1999, berdasarkan Perda Khusus Ibukota Jakarta No. 9, Makam Pangeran
Jayakarta diangkat statusnya menjadi benda cagar budaya. Sebagai benda cagar
budaya, segala bentuk perubahan harus meminta izin terlebih dahulu kepada
pemerintah daerah. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga keaslian makam.
Setiap
hari selalu ada peziarah yang datang ke Makam Pangeran Jayakarta. Biasanya para
mengunjung akan mengaji sambil berdoa mengharap berkah. “Peziarah yang datang
tidak melulu dari Jakarta, terkadang ada peziarah yang sengaja datang dari
Banten, bahkan dari Surabaya. Biasanya menjelang bulan puasa, peziarah makin
ramai,” ungkap seorang penjaga makam. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar