KISAH
KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN
Orientasi
Pakuan Pajajaran atau Pakuan
(Pakwan) atau Pajajaran adalah ibu kota (Dayeuh dalam Bahasa Sunda Kuno) Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada
tahun 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa.
Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara
ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan
Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.
Lokasi
Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang
menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang
mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke
15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga
Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa
itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.
Pakuan
Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan
Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu
penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk
dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan
Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh
pasukan Maulana Yusuf.
Batu
berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di
Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf
mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya
adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda.
Palangka
Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan
kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang
meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak.
Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka
dikenal sebagai orang Baduy.
Raja-raja yang memerintah di Pakuan
Pajajaran
Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan
Pajajaran:
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di
Pakuan (Bogor sekarang)
2. Surawisesa
(1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3. Ratu Dewata
(1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4. Ratu Sakti
(1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5. Ratu
Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan
Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
6. Raga Mulya
(1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang
Toponimi Pakuan dan Pajajaran
Asal usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai
sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut
berdasarkan urutan waktu :
1. Naskah Carita Waruga Guru
(1750-an).
Dalam naskah berbahasa Sunda Kuno ini diterangkan bahwa nama
Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
2. K.F. Holle (1869). Dalam tulisan
berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg
(Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat
kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana
banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada
kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti
pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
3. G.P. Rouffaer
(1919)
dalam Encyclopedie van Niederlandsch
Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian
"paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker
der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan
Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja".
Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau
"imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri
sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan
Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran
menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang
dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat
(1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
4. R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan
De Batoe-Toelis bij Buitenzorg
(Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya
berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian
dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti
Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan".
Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran,
menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen
staande hoven).
5. H. ten Dam (1957). Sebagai
seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani
Jawa Barat
dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya,
Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu
yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda
kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang
Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian
"paku".
Ia berpendapat
bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti
ibu kota (hoffstad) yang harus
dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan
keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan
bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai
Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung
dan Ci Sadane).
Ten Dam menarik
kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa
kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran
dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh
Pajajaran". Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan
"Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan
nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi
"Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri
Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu
Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana
(untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam
di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri
Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton"
yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal
untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran
Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita
Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih
mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas
nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang
masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah
mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada"
(lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan
dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali,
Surasowan di Banten dan
Surakarta di Jayakarta
pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih
senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton
dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara.
Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibu kota ) benar dalam
penggunaan, tetapi salah dari segi semantik.
Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu
kota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di
daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa
di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau
pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata
"dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibu kota.
Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan
dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibu kota
kerajaan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar
maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.
Penelitian Lokasi Bekas Pakuan
Pajajaran
Naskah
Kuno
Dalam
kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum
Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian
telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang
belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai
kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
“Di inya urut kadatwan, ku
Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga
Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
“Artinya: Di sanalah
bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta
Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh
Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan.
Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan
Maharaja Tarusbawa.
Dari
sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh
dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi
kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut
Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai
itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya
menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno
kata "kancil" memang berarti "peucang".
Berita-berita VOC
Laporan
tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan
ekspedisi pasukan VOC
("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia
Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun
memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India
Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC
disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681),
Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684).
Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.
Laporan Scipio
Dua
catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
Catatan
perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui
Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah
salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana
dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan,
tampaknya pernah dihuni".
Lukisan
jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan
dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan
parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua
itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari
perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan
"kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan
Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada
atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia
memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal
tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali
tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang
masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya
laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota
ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28
Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan
ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan
keberadaan harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan
Scipio menggugah para pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk
kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan
Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang
ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah
Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua
lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan
tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu
ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini
sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah
melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang
dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang
tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20
menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi
kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai
ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda
santai.
Bila
kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung
Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon
buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada
zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah
kata Sunda Kuno yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung
sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai
kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan.
Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua
sisinya.
Dari
Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709)
dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota
(lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak
Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian
lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi
ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI).
Dulu di sana ada pohon gintung.
Di
Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut
penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent
gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban
tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.
Di
dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara
indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan
karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca
"Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat
batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah
dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini
bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini
adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah
seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan
indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang
dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit
yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu"
yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara).
Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya
mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
Dari
Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa
"Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah
batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris
ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang
penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond"
(berdiri). Jadi setelah telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran
burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih
berdiri, masih tetap pada posisi semula.
Dari
tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911
Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang
menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang
Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di
Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk
pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan
seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan
antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu
Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang
tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham
adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town
di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan
dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal
dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai
pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
1.
Rute
perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina
- Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) -
Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).
2.
Rute
perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng -
Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
3.
Rute
perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung
- Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.
Berbeda
dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena
itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal
ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang
khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa
hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
1.
Alun-alun
Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari
benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang
dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
2.
Tanjakan
Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit
dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang
berjalan kaki.
3.
Tanah
rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal
dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang
sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota. Di belakang benteng Pakuan
pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada
sisi Ci Sadane.
Pada
kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung
"Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian
melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak
tahun 1806 dengan
pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya
pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah
ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus
Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi
prasasti itu.
Hasil
penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung
tahun 1903). Dalam tulisannya, Het
Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada
Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan, "Waar alle legenden, zoowel als de meer
geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als
plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er
aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam
hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung
Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah
yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit
kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai
lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi
seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri
dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan
Pakuan sebagai kota.
Babad
Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero
kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah
"kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan
benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada
pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti
lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung
(bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada
lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang
ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan
pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam
lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut
kisah klasik, leuwi (lubuk) itu
biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika
bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa"
(Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari
kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang
sumber sejarah yang lebih tua.
Selain
itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya
merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan
dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga
sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian
ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung
yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya
hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke
Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk
situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang
beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang
bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas
"balay" yang lama.
Penelitian
lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng
yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng"
berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat
yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat
pada bekas lokasi gerbang.
Benteng
pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung
lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah
Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke
tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana
dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan
pada bekas fondasi benteng.
Selanjutnya
benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat
simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi
benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang
membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut
sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu
menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat
daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus
memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di
Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam"
yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api
Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta
api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan.
Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan
"benteng" pada tebing Kampung Cincaw.
Rujukan
1. “Maharadja Cri
Djajabhoepathi, Soenda’s Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57. Batavia: BGKW, page
201-219, 1915)
2. Sumber-sumber
asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan
akhir abad ke-16
3. Kebudayaan
Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, Edi S. Ekajati, Pustaka Jaya, 2005
4. The Sunda
Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal
Center of Bogor, Herwig Zahorka, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007-05-20
Reorientasi
Kerajaan
Pajajaran ialah nama lain dari Kerajaan suku Sunda, yang mana Kerajaan
Pajajaran tersebut berada di daerah Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat. Kata Pakuan
ini diambil dari kata Pakuwuan yang mempunyai arti kota, kebiasaan-kebiasaan
masa lalu yang mengatakan ibu kota seagai sebutan kerajaan.
Ada
beberapa catatan yang mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran ini berdiri kurang
lebih sekitar pada tahun 923 Masehi dan didirikan atau dibentuk oleh Sri
Jayabhupati, ibarat yang tercantum didalam Prasasti Sanghyang Tapak tahun 1030
Masehi yang dijumpai di Desa Pangcalikan dan Desa Bantarmuncang, Cibadak,
Sukabumi, dan pinggir Sungai Cicatih.
Asal
Mula Kerajaan Pakuan Pajajaran
Di
akhir tahun 1400-an Kerajaan Majapahit mulai menyurut. Pemberontakan dan
kegegeran terjadi dimana – mana, masing-masing antar saudara sedarah saling
berebutan kekuasaan kerajaan. Masa kejatuhan atau kerobohan
kepemimpinan Brawijaya V ini yang kemudian mengakibatkan kerabat-kerabat
Kerajaan Majapahit berlindung atau menyelamatkan diri ke ibukota Kerajaan Galuh
di daerah Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden
Baribin ialah merupakan seorang keluarga dari Prabu Kertabumi yang ikut
serta dalam pemindahan atau pengungsian tersebut. Kemudian Kerajaan Galuh pun
menerima dan menyambut kedatangan Kerajaan Majapahit dengan baik dan damai. Sampai-sampai
Raja Dewa Niskala menikahkan Ratna Ayu Kirana putri yang berasal dari Kerajaan
Galuh dengan Raden Barin yang mana Raden Barin ini ialah masih termasuk sanak
famili dari Prabu Kertabumi. Pernikahan-pernikahan yang diadakan oleh Raja
Galuh tidak berhenti disitu saja. Raja Galuh selain dari menikahkan Ratna Ayu
Kirana putri dari raja Kerajaan Galuh dengan Raden baribin, Raja Galuh juga
menikahkan kembali salah satu sanak keluarg pengungsi dari rombongan Kerajaan
Majapahit.
Setelah
pernikahan ini berlanjut, ternyata adanya penyelanggaraan pernikahan ini
mengakibatkan terjadinya kemarahan dari Kerajaan Sunda. Kemudian Kerajaan Sunda
ini menanggapi bahwa Dewa Niskala dan Raja Galuh sudah menyalah gunakan
aturan-aturan yang memang telah disetujui dari kedua kerajaan tersebut. Peraturan
ini ialah peraturan yang keluar semenjak terjadinya peristiwa-peristiwa Bubat
yang mengatakan bahwa dari Kerajaan Sunda dilarang untuk menikah dengan
Kerajaan Majapahit, nah akibat dari adanya pernikahan dari Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Majapahit hampirnya saja terjadinya peperangan antar kedua kerajaan
tersebut. sebenarnya kedua kerajaan tersebut adalah besan. Pengucapan kata
besan itu dikarenakan Jayadewata anak dari Dewa Niskala menikah dengan putri
dari anak raja Kerajaan Sunda, Raja Susuktunggal.
Untungnya
ketika akan terjadinya peperangan antara kedua kerajaan tersebut, dewa
penasehat bisa meredam semua amarah dari kedua pihak sehingga diputuskan dua
raja dari kedua kerajaan tersebut turun jabatan, Kedua raja tersebut harus
menaruh posisi mereka kepada putera-putera mahkota yang akan ditunjuk oleh
masing-masing kerajaan. Kemudian Dewa Niskala menunjuk anak dari Jayadewata,
tidak hanya Dewa Niskala saja yang memilih anak dari Jayadewata Prabu
Susuktunggal pun menunjuk dengan tunjukan yang sama persis dengan tunjukkan
Dewa Niskala yaitu anak dari Jayadewata.
Lalu
Jayadewata menyatukan kembali kedua kerajaan tersebut dan membawa nama Sri
Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Kemudian
nama Pakuan Pajajaran pun menjadi terkenal sebagai nama kerajaan
Sejarah
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran adalah salah satu kerajaan hindu yang letaknya di daerah Pulau Jawa,
yakni berada di bagian Pulau Jawa bagian barat yang beribu kota di daerah
Bogor. Diterangkan dari beberapa sumber yang ditangkap menerangkan bahwa
Sejarah Pajajaran atau Kerajaan Pajajaran ini dibentuk pada tahun 923 Masehi.
Yang
mana Kerajaan Pajajaran ini dibentuk dan didirikan oleh Sri Jayabhupati yang
juga dikatakan didalam prasasti Sang Hyang Tapak di desa Banrarmuncang dan
Pancilakan Sukabumi.
Didalam
sejarah, Kerajaan Pajajaran ini terbentuk sesudah meninggalnya Wasta Kencana
yang mana Wasta Kencana ini meninggal kurang lebih pada tahun 1475 mengikuti
sejarah Kerajaan Galuh. Raja dari kerajaan ini dibagi menjadi dua bagian
sesudah meninggalnya Rahyang Wastu Kencana.
Dewa
Niskala dan Prabu Susuktunggal ialah merupakan dari dua bagian dari Kerajaan
Galuh yang mempunyai tingkatan yang sama. Kerajaan Pajajaran yang letaknya
berada di wilayah Kota Bogor dibawah dari kepemerintahan Prabu Susuktunggal dan
Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan yang mana Parahyangan ini bertepatan
di wilayah Kawali kawasan Dewa Siskala.
Kedua
raja itu tidak mendapatkan gelar Prabu Siliwangi, karena kekuasaan-kekuasaan
mereka tidak meliputi seluruh wilayah tanah sunda.
Berbeda
sekali dengan Prabu Siliwangi yang awalnya diduduki oleh Prabu Wangi dan
Rahyang Wastu. Sebelum terbentuknya Kerajaan Pajajran, berikut ini terdapat
beberapa kerajaan-kerajaan yang mungkin perlu kalian ketahui untuk menambah
wawasan tentang sejarah. Kerajaan tersebut ialah terdiri dari Tarumanegara,
Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kawali.
Misteri Hilangnya Kerajaan
Pajajaran
Sebenarnya
Kerajaan Pajajaran ini tidak lepas dari kerajan-kerajaan tersebut, karena
Kerajaan ini ialah sambungan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Kisah-kisah
misteri dari menghilangnya kerajaan ini disebabkan adanya penyerangan dari
kerajaan lain. Sehingga pada masa itu kurang lebih pada tahun 1579 Kerajaan
Banten lah yang menyelesaikan atau mengakhiri Kerajaan Pajajaran. Pasukan-pasukan
yang diketuai atau dipimpin oleh Maulana Yusuf membawa kedudukan Raja dari
Pakuan ke Surasowan di daerah Banten sebagai tanda sudah runtuhnya Kerajaan
Pajajaran. Kedaton yang dibawa lari itu bentuknya seerti bongkahan batu yang
memiliki ukuran 200 x 160 x 20 cm. Pasukan Kerajaan Banten yang dibawah
kepemerintahan Maulana Yusuf memboyong kembali ke Banten sebagai sebuah bentuk
budaya politik di jaman dulu yang memiliki tujuan supaya di Pakuan tidak bisa
melantik seseorang untuk dijadikan sebagai raja yang baru dan Maulana Yusuflah
secara otomatis menjadi raja tersebut.
Silsilah
Prabu Siliwangi
Prabu
Jayadewata atau yang lebih populer dengan sebutan Prabu Siliwangi ialah
merupakan seorang raja yang memiliki pengaruh tinggi di wilayah tanah sunda.
Gelar atau julukan Siliwangi yang pegangnya bukan berarti tidak memiliki arti
tersendiri.
Arti
dari kata Siliwangi adalah orang yang mengambil alih Raja Wangi. Sampai detik
ini, menurut sejarah saat ini banyak sekali yang mencatat raja yang mendapati
julukan Siliwangi. Jadi, sudah tidak di herankan kembali apabila sejarah atau
silsilah Prabu Siliwangi dapat dikatakan agak rumit.
Tetapi,
berdasarkan cerita dari Eyang Androi Cigondewah, sejarah atau silsilah Prabu
Siliwangi ini awal mulanya berawal dari keturunan-keturunan Maharaja Adi Mulya.
Dari keturunan tersebut keluar 3 nama besar, yakni Prabu Ciung Wanara, Prabu
Lingga Hiang dan Sri Ratu Purbasari
Prabu
Lingga Hiang ini mempunyai 2 orang putra, Cakrawati dan Prabu Lingga Wesi
itulah anak dari Prabu Lingga Hiang. Dari keturunan-keturunan Prabu Lingga Wesi
inilah keluar nama Susuk Tunggal, Banyak Wangi, Banyak Larang, Prabu Mundingkawati
(Siliwangi I), Prabu Linggawastu dan Prabu Anggalarang (Siliwangi).
Dari
garis silsilah Angga Larang, keturunan Prabu Siliwangi dilanjutkan oleh Prabu
Siliwangi yakni Prabu Jaya Pupukan dan R. Rangga Pupukan. Silsilah Prabu
Siliwangi dari Seorang Maharaja Adi Mulya Maha Raja Adi Mulya atau Ratu Galuh
Ajar Sukaresi menikah dengan Nyai Ujung Sekarjingga atau Dewi Naganingrum dan
memliki putra:
1. Prabu Ciung
Wanara
2. Sri Ratu Purba
Sari
3. Prabu Lingga
Hiang
4. Prabu Susuk
Tunggal
5. Prabu Lingga
Wesi
6. Prabu Banyak
Larang
7. Brabu Banyak
Wangi
8. Prabu Lingga
Buana atau Prabu Mung Kawati
9. Prabu Wastu
Kencana
10. Prabu
Anggalarang
Kesaktian
Prabu Siliwangi
Kisah
cerita tentang betapa saktinya Prabu Siliwangi ini memang selalu membuat diri
kita untuk mengetahui betapa banyaknya kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh
Prabu Siliwangi sang legenda dari Kerajaan Pajajaran. Pada umumnya tidak
mungkin sekalin apabila seluruh daerah kekuasaan kerjaan yang di pimpin olehnya
jikalau raja dari kerajaan tersebut tidak mempunyai ilmu kanuragan yang
mumpuni.
Ilmu
kanuragan apa yang sesungguhnya dimiliki Oleh sang raja dari Kerajaan
Pajajaran? Kisah cerita tentang sejarah Prabu Siliwangi ini memang sangat
menarik sekali untuk di analisa lebih jelas lagi. Bahkan didalam sebuah kisah
sejarah Prabu Siliwangi ini terdapat banyak sekali cerita-cerita yang hingga
saat ini masih menjadi misteri. Selain dari kisah-kisah yang sampai saat ini
masih dibilang menjadi kisah misteri, pertarungan sengit dengan Raden Kian
Santang dari keturunannya sendiri pun hingga saat ini belum begitu jelas kisah
cerita yang sebenarnya.
Prabu
Siliwangi ini sangat dikenal sekali sebagai salah satu Pemimpin atau raja dari
Kerajaan Pajajaran sebagaimana telah dijelaskan melalui tulisan didalam kitab
Suwasit, yang mana kitab Suwasit ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan
Pajajaran yang berisi tulisan-tulisan mengenai kisah perjalanan Prabu
Siliwangi. Sebelum Prabu Siliwangi menjadi raja, di masa kecil nya Prabu
Siliwangi ini di didik dan diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang pakar di
Pelabuhan Muara Jati pada di daerah Kerajaan Singapura (Lokasi tersebut saat
ini dikenal dengan Kota Cirebon) dan Prabu Siliwangi ini ialah keturunan ke 12
dari Maharaja Adimulia. Sesudah Prabu Anggararang memiliki perasaan bahwa
putranya tersebut pantas menduduki jabatan Raja Gajah sesudah kepemimpinannya,
dan pada akhirnya kedudukan raja diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa
(sebelum di beri gelar Siliwangi)
Pertarungan
Prabu Siliwangi
Di
tanah Sunda Jawa Barat, tidak ada satu orang pun yang tidak kenal dengan nama
Prabu SIliwangi yang mana Prabu Siliwangi ini adalah seorang raja dari Kerajaan
Pajajaran yang sangat identik dengan ilmu-ilmu kesaktiannya, yaitu ajian
harimau putih sangat dikenal sebagai salah satu yang pernah dipunyai oleh tanah
Pasundan, Jawa Barat. Didalam Kitab Suwasit, diceritakan bahwa seorang yang
bernama Pangeran Pamanah Rasa ialah merupakan anak putra mahkota dari Prabu
Anggararang penguasa KErajaah Gajah untuk meneruskan kerajaan ayah nya sebagai
Raja Gajah selanjutnya.
Dikisahkan
juga di tengah-tengah kepemimpinannya menjadi seorang raja, Prabu Pamanah Rasa
sering yang namanya menggembara hewan ke suatu wilayah. Didalam perjalanan
menggembaranya, Prabu Ramanah Rasa dihalangi oleh siluman Harimau Putih di
kawasan hutan yang letak lokasinya sekarang berada didaerah Majalengka. Karena
diantara mereka berdua merasa terganggu satu sama lain pertempuran tidak bisa
dihindarkan. Kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi dan Siluman
Harimau Putih yang diketahui mempunyai kesaktian yang begitu tinggi juga
bertarung dan bertempur dengan sengit.
Akan
tetapi, kesaktian yang dimiliki oleh seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yaitu
Prabu Siliwangi namanya berhasil mengalahkan musuhnya dan membuat Siluman
Harimau Putih itu tunduk kepada Prabu Siliwangi.
Pusaka Prabusiliwangi
Seiring
dengan melebarnya daerah Kerajaan Gajah, kemudian Prabu Siliwangi ini membuat
pusaka sakti yang saat ini menjadi logo Provinsi Jawa Barat, yakni kujang
namanya. Senjata kujang ini juga bisa menambah kesaktian Prabu Siliwangi. Bentuk
dari pusaka kujang ini melengkung dengan ukiran-ukiran kepala harimau pada
gagangnya. Ukiran kepala harimau tersebut yang ada pada gagang atau pegangan
kujang itu konon katanya digunakan oleh Prabu Siliwangi ini untuk menginat akan
jasa-jasa pendaming setianya, yakni siluman Harimau Putih. Legenda kesaktian
Prabu Siliwangi ini sejak dulu memang telah banyak orang-orang yang mengenal
legenda kesaktian tersebut, selain itu Raja dari Kerajaan Pajajaran ini begitu
populer atau terkenal sebagai salah satu raja yang bijaksana dan arip serta
sangat mencintai kepada rakyat-rakyatnya.
Makam
Prabu Siliwangi
Hingga
saat ini dan detik ini belum ada yang mengetahui secara langsung tentang akhir
cerita dari hidupnya Prabu Siliwangi, karena Makam Prabu Siliwangi hingga saat
ini belum diketahui pasti letak yang aslinya. Orang-orang banyak yang meyakini
bahwa Prabu Siliwangi bersama pasukannya menghilang, dan memindahkan
kerajaannya kedalam alam Ghaib. Dan melanjutkan kehidupannya bersama
pengikut-pengikutnya dan membangun kembali kerajaan ghaib di wilayah Gunung
Salak, kawasan daerah Kota Bogor Jawa Barat.
Memang
kebanyakan orang-orang terdahulu ini mengatakan bahwa raja dari Kerajaan
Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi ini belum ada yang mengetahui letak
sebenarnya makam sang prabu tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa Prabu
Siliwangi dan para pasukannya itu beralih ke daerah Gunung Salak dan membuat
kerajaan Ghaib disana. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa makam sang raja
tersebut terletak di daerah Cirebon, ada juga yang mengatakan di Gunung Gede
Pangrango. Memang diluar sana banyak sekali yang mengatakan demikian, akan
tetapi perkataan-perkataan yang dikatakan oleh mereka mengenai makam prabu
siliwangi ini belum begitu jelas mana perkataan yang benar dan mana perkataan
yang tidak benar.
Dan
yang pastinya, diantara kita semua belum ada yang mengetahui letak makam
tersebut.
Legenda
Prabu Siliwangi
Cerita
tentang Prabu Siliwangi ini begitu dikenal didalam sejarah suku sunda sebagai
seorang raja di Kerajaan Pajajaran. Salah satu tulisan kuno yang menerangkan
mengenai kisah perjalanan hidup Prabu Siliwangi ialah Kitab Suwasit namanya. Didalam
kitab tersebut terdapat sebuah tulisan yang di tulis dengan memakai bahasa
sunda kuno yang tertulis pada selembar kulit Macan putih yang dijumpai di
daerah Desa Rajagaluh, Jawa Barat.
Prabu
Siliwangi ini ialah seorang raja terbesar di tanah Sunda yang memliki kesaktian
yang sangat luar biasa, beliau juga seorang raja yang sangat bijaksana yang memimpin
para rakyat-rakyatnya di Kerajaan Pakuan Pajajaran
Putra dari Prabu Anggalarang. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden
Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang
juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan singapura (seblum bernama kota cirebon). Setelah
Raden pemanah Rasa Dewasa & sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh ki gedeng
sindangkasih. Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk Mengabdi kepada ayahandanya
prabu Angga Larang/dewa Niskala. Setelah itu Raden pemanah Rasa Menikahi Putri
ki gedeng sindangkasih.
Yang bernama Nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dlm masa keemasanya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum Di karawang yg berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda,sampai sungai ci-pamali berbatasan Dengan Majapahit.
Yang bernama Nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dlm masa keemasanya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum Di karawang yg berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda,sampai sungai ci-pamali berbatasan Dengan Majapahit.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar