Selasa, 30 Oktober 2018

KISAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN


KISAH KERAJAAN PAKUAN PAJAJARAN

Orientasi
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah ibu kota (Dayeuh dalam Bahasa Sunda Kuno) Kerajaan Sunda Galuh yang pernah berdiri pada tahun 1030-1579 M di Tatar Pasundan, wilayah barat pulau Jawa. Lokasinya berada di wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga Kerajaan Sunda Galuh sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan.

Lokasi Pajajaran pada abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan, dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno tersebut.

Pakuan Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579 akibat serangan Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan Sunda ditandai dengan dirampasnya Palangka Sriman Sriwacana (batu penobatan tempat seorang calon raja dari trah kerajaan Sunda duduk untuk dinobatkan menjadi raja pada tradisi monarki di Tatar Pasundan), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.

Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, Maulana Yusuf mengklaim sebagai penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja, raja Kerajaan Sunda.

Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman. Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah penggawa istana yang meninggalkan istana lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang Baduy.

Raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran
Berikut adalah raja-raja yang memerintah di Pakuan Pajajaran:
1.    Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
2.    Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
3.    Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
4.    Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
5.    Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
6.    Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari Pandeglang

Toponimi Pakuan dan Pajajaran
Asal usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu :
1.    Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuno ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
2.    K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
3.    G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
4.    R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
5.    H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".

Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibu kota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang" (sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane).

Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran". Sebutan "Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan di Bekasi.

Dalam naskah Carita Parahiyangan ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).

Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.

Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.

Karena nama yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibu kota dan akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibu kota dan nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.

Pendapat Ten Dam (Pakuan = ibu kota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibu kota kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila bermaksud menyebut ibu kota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata "dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk menyebut ibu kota kerajaan. Karena lokasi Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga Pajajaraan.
Penelitian Lokasi Bekas Pakuan Pajajaran

Naskah Kuno
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Museum Pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:

“Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
“Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.

Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuno dan Jawa Kuno kata "kancil" memang berarti "peucang".

Berita-berita VOC
Laporan tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni Inggris. Setelah mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane menjadi batas kedua belah pihak.

Laporan Scipio
Dua catatan penting dari ekspedisi Scipio adalah:
Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".

Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.

Dari perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis". Penemuan Scipio segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau).

Rupanya laporan penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)

Laporan Scipio menggugah para pimpinan Kompeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur. Perjalanan ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut : Seperti Scipio, Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen ("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.

Setelah melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.

Bila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuno yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.

Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.

Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.

Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.

Dengan indikasi tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.

Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah telantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada posisi semula.

Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.

Laporan Abraham van Riebeeck (1703, 1704, 1709)
Abraham adalah putera Jan van Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
1.    Rute perjalanan tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok - Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang - Parungangsana (Tanah Baru).
2.    Rute perjalanan tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina dan seterusnya sama dengan rute 1703.
3.    Rute perjalanan tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung - Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.

Berbeda dengan Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang (jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
1.    Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
2.    Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
3.    Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota. Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.

Pada kunjungan tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.

Hasil Penelitian
Prasasti Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden, Belanda. Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.

Hasil penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan, "Waar alle legenden, zoowel als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah menelusuri letaknya yang tepat).

Sedikit kontradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.

Babad Pajajaran melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan Jalan Batutulis.

Peneliti lain seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor.
Menurut kisah klasik, leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi Sipatahunan" itu. Pantun Bogor mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua.

Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".

Sebenarnya hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.

Penelitian lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi gerbang.

Benteng pada tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas fondasi benteng.

Selanjutnya benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.

Di Kampung Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cincaw.

Rujukan
1.    “Maharadja Cri Djajabhoepathi, Soenda’s Oudst Bekende Vorst”, TBG, 57. Batavia: BGKW, page 201-219, 1915)
2.    Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I: Dokumen-dokumen sejarah Jakarta sampai dengan akhir abad ke-16
3.    Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Jilid 2, Edi S. Ekajati, Pustaka Jaya, 2005
4.    The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor, Herwig Zahorka, Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2007-05-20

Reorientasi
Kerajaan Pajajaran ialah nama lain dari Kerajaan suku Sunda, yang mana Kerajaan Pajajaran tersebut berada di daerah Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat. Kata Pakuan ini diambil dari kata Pakuwuan yang mempunyai arti kota, kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang mengatakan ibu kota seagai sebutan kerajaan.

Ada beberapa catatan yang mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran ini berdiri kurang lebih sekitar pada tahun 923 Masehi dan didirikan atau dibentuk oleh Sri Jayabhupati, ibarat yang tercantum didalam Prasasti Sanghyang Tapak tahun 1030 Masehi yang dijumpai di Desa Pangcalikan dan Desa Bantarmuncang, Cibadak, Sukabumi, dan pinggir Sungai Cicatih.

Asal Mula Kerajaan Pakuan Pajajaran
Di akhir tahun 1400-an Kerajaan Majapahit mulai menyurut. Pemberontakan dan kegegeran terjadi dimana – mana, masing-masing antar saudara sedarah saling berebutan kekuasaan kerajaan. Masa kejatuhan atau kerobohan kepemimpinan Brawijaya V ini yang kemudian mengakibatkan kerabat-kerabat Kerajaan Majapahit berlindung atau menyelamatkan diri ke ibukota Kerajaan Galuh di daerah Kawali, Kuningan, Jawa Barat.

Raden Baribin ialah merupakan seorang keluarga dari Prabu Kertabumi yang ikut serta dalam pemindahan atau pengungsian tersebut. Kemudian Kerajaan Galuh pun menerima dan menyambut kedatangan Kerajaan Majapahit dengan baik dan damai. Sampai-sampai Raja Dewa Niskala menikahkan Ratna Ayu Kirana putri yang berasal dari Kerajaan Galuh dengan Raden Barin yang mana Raden Barin ini ialah masih termasuk sanak famili dari Prabu Kertabumi. Pernikahan-pernikahan yang diadakan oleh Raja Galuh tidak berhenti disitu saja. Raja Galuh selain dari menikahkan Ratna Ayu Kirana putri dari raja Kerajaan Galuh dengan Raden baribin, Raja Galuh juga menikahkan kembali salah satu sanak keluarg pengungsi dari rombongan Kerajaan Majapahit.

Setelah pernikahan ini berlanjut, ternyata adanya penyelanggaraan pernikahan ini mengakibatkan terjadinya kemarahan dari Kerajaan Sunda. Kemudian Kerajaan Sunda ini menanggapi bahwa Dewa Niskala dan Raja Galuh sudah menyalah gunakan aturan-aturan yang memang telah disetujui dari kedua kerajaan tersebut. Peraturan ini ialah peraturan yang keluar semenjak terjadinya peristiwa-peristiwa Bubat yang mengatakan bahwa dari Kerajaan Sunda dilarang untuk menikah dengan Kerajaan Majapahit, nah akibat dari adanya pernikahan dari Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit hampirnya saja terjadinya peperangan antar kedua kerajaan tersebut. sebenarnya kedua kerajaan tersebut adalah besan. Pengucapan kata besan itu dikarenakan Jayadewata anak dari Dewa Niskala menikah dengan putri dari anak raja Kerajaan Sunda, Raja Susuktunggal.

Untungnya ketika akan terjadinya peperangan antara kedua kerajaan tersebut, dewa penasehat bisa meredam semua amarah dari kedua pihak sehingga diputuskan dua raja dari kedua kerajaan tersebut turun jabatan, Kedua raja tersebut harus menaruh posisi mereka kepada putera-putera mahkota yang akan ditunjuk oleh masing-masing kerajaan. Kemudian Dewa Niskala menunjuk anak dari Jayadewata, tidak hanya Dewa Niskala saja yang memilih anak dari Jayadewata Prabu Susuktunggal pun menunjuk dengan tunjukan yang sama persis dengan tunjukkan Dewa Niskala yaitu anak dari Jayadewata.

Lalu Jayadewata menyatukan kembali kedua kerajaan tersebut dan membawa nama Sri Baduga Maharaja yang memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482. Kemudian nama Pakuan Pajajaran pun menjadi terkenal sebagai nama kerajaan

Sejarah Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran adalah salah satu kerajaan hindu yang letaknya di daerah Pulau Jawa, yakni berada di bagian Pulau Jawa bagian barat yang beribu kota di daerah Bogor. Diterangkan dari beberapa sumber yang ditangkap menerangkan bahwa Sejarah Pajajaran atau Kerajaan Pajajaran ini dibentuk pada tahun 923 Masehi.

Yang mana Kerajaan Pajajaran ini dibentuk dan didirikan oleh Sri Jayabhupati yang juga dikatakan didalam prasasti Sang Hyang Tapak di desa Banrarmuncang dan Pancilakan Sukabumi.
Didalam sejarah, Kerajaan Pajajaran ini terbentuk sesudah meninggalnya Wasta Kencana yang mana Wasta Kencana ini meninggal kurang lebih pada tahun 1475 mengikuti sejarah Kerajaan Galuh. Raja dari kerajaan ini dibagi menjadi dua bagian sesudah meninggalnya Rahyang Wastu Kencana.

Dewa Niskala dan Prabu Susuktunggal ialah merupakan dari dua bagian dari Kerajaan Galuh yang mempunyai tingkatan yang sama. Kerajaan Pajajaran yang letaknya berada di wilayah Kota Bogor dibawah dari kepemerintahan Prabu Susuktunggal dan Kerajaan Galuh yang meliputi Parahyangan yang mana Parahyangan ini bertepatan di wilayah Kawali kawasan Dewa Siskala.
Kedua raja itu tidak mendapatkan gelar Prabu Siliwangi, karena kekuasaan-kekuasaan mereka tidak meliputi seluruh wilayah tanah sunda.

Berbeda sekali dengan Prabu Siliwangi yang awalnya diduduki oleh Prabu Wangi dan Rahyang Wastu. Sebelum terbentuknya Kerajaan Pajajran, berikut ini terdapat beberapa kerajaan-kerajaan yang mungkin perlu kalian ketahui untuk menambah wawasan tentang sejarah. Kerajaan tersebut ialah terdiri dari Tarumanegara, Kerajaan Galuh, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Kawali.

Misteri Hilangnya Kerajaan Pajajaran
Sebenarnya Kerajaan Pajajaran ini tidak lepas dari kerajan-kerajaan tersebut, karena Kerajaan ini ialah sambungan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Kisah-kisah misteri dari menghilangnya kerajaan ini disebabkan adanya penyerangan dari kerajaan lain. Sehingga pada masa itu kurang lebih pada tahun 1579 Kerajaan Banten lah yang menyelesaikan atau mengakhiri Kerajaan Pajajaran. Pasukan-pasukan yang diketuai atau dipimpin oleh Maulana Yusuf membawa kedudukan Raja dari Pakuan ke Surasowan di daerah Banten sebagai tanda sudah runtuhnya Kerajaan Pajajaran. Kedaton yang dibawa lari itu bentuknya seerti bongkahan batu yang memiliki ukuran 200 x 160 x 20 cm. Pasukan Kerajaan Banten yang dibawah kepemerintahan Maulana Yusuf memboyong kembali ke Banten sebagai sebuah bentuk budaya politik di jaman dulu yang memiliki tujuan supaya di Pakuan tidak bisa melantik seseorang untuk dijadikan sebagai raja yang baru dan Maulana Yusuflah secara otomatis menjadi raja tersebut.

Silsilah Prabu Siliwangi
Prabu Jayadewata atau yang lebih populer dengan sebutan Prabu Siliwangi ialah merupakan seorang raja yang memiliki pengaruh tinggi di wilayah tanah sunda. Gelar atau julukan Siliwangi yang pegangnya bukan berarti tidak memiliki arti tersendiri.
Arti dari kata Siliwangi adalah orang yang mengambil alih Raja Wangi. Sampai detik ini, menurut sejarah saat ini banyak sekali yang mencatat raja yang mendapati julukan Siliwangi. Jadi, sudah tidak di herankan kembali apabila sejarah atau silsilah Prabu Siliwangi dapat dikatakan agak rumit.

Tetapi, berdasarkan cerita dari Eyang Androi Cigondewah, sejarah atau silsilah Prabu Siliwangi ini awal mulanya berawal dari keturunan-keturunan Maharaja Adi Mulya. Dari keturunan tersebut keluar 3 nama besar, yakni Prabu Ciung Wanara, Prabu Lingga Hiang dan Sri Ratu Purbasari
Prabu Lingga Hiang ini mempunyai 2 orang putra, Cakrawati dan Prabu Lingga Wesi itulah anak dari Prabu Lingga Hiang. Dari keturunan-keturunan Prabu Lingga Wesi inilah keluar nama Susuk Tunggal, Banyak Wangi, Banyak Larang, Prabu Mundingkawati (Siliwangi I), Prabu Linggawastu dan Prabu Anggalarang (Siliwangi).

Dari garis silsilah Angga Larang, keturunan Prabu Siliwangi dilanjutkan oleh Prabu Siliwangi yakni Prabu Jaya Pupukan dan R. Rangga Pupukan. Silsilah Prabu Siliwangi dari Seorang Maharaja Adi Mulya Maha Raja Adi Mulya atau Ratu Galuh Ajar Sukaresi menikah dengan Nyai Ujung Sekarjingga atau Dewi Naganingrum dan memliki putra:
1.    Prabu Ciung Wanara
2.    Sri Ratu Purba Sari
3.    Prabu Lingga Hiang
4.    Prabu Susuk Tunggal
5.    Prabu Lingga Wesi
6.    Prabu Banyak Larang
7.    Brabu Banyak Wangi
8.    Prabu Lingga Buana atau Prabu Mung Kawati
9.    Prabu Wastu Kencana
10.    Prabu Anggalarang

Kesaktian Prabu Siliwangi
Kisah cerita tentang betapa saktinya Prabu Siliwangi ini memang selalu membuat diri kita untuk mengetahui betapa banyaknya kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi sang legenda dari Kerajaan Pajajaran. Pada umumnya tidak mungkin sekalin apabila seluruh daerah kekuasaan kerjaan yang di pimpin olehnya jikalau raja dari kerajaan tersebut tidak mempunyai ilmu kanuragan yang mumpuni.

Ilmu kanuragan apa yang sesungguhnya dimiliki Oleh sang raja dari Kerajaan Pajajaran? Kisah cerita tentang sejarah Prabu Siliwangi ini memang sangat menarik sekali untuk di analisa lebih jelas lagi. Bahkan didalam sebuah kisah sejarah Prabu Siliwangi ini terdapat banyak sekali cerita-cerita yang hingga saat ini masih menjadi misteri. Selain dari kisah-kisah yang sampai saat ini masih dibilang menjadi kisah misteri, pertarungan sengit dengan Raden Kian Santang dari keturunannya sendiri pun hingga saat ini belum begitu jelas kisah cerita yang sebenarnya.

Prabu Siliwangi ini sangat dikenal sekali sebagai salah satu Pemimpin atau raja dari Kerajaan Pajajaran sebagaimana telah dijelaskan melalui tulisan didalam kitab Suwasit, yang mana kitab Suwasit ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan Pajajaran yang berisi tulisan-tulisan mengenai kisah perjalanan Prabu Siliwangi. Sebelum Prabu Siliwangi menjadi raja, di masa kecil nya Prabu Siliwangi ini di didik dan diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang pakar di Pelabuhan Muara Jati pada di daerah Kerajaan Singapura (Lokasi tersebut saat ini dikenal dengan Kota Cirebon) dan Prabu Siliwangi ini ialah keturunan ke 12 dari Maharaja Adimulia. Sesudah Prabu Anggararang memiliki perasaan bahwa putranya tersebut pantas menduduki jabatan Raja Gajah sesudah kepemimpinannya, dan pada akhirnya kedudukan raja diserahkan kepada Pangeran Pamanah Rasa (sebelum di beri gelar Siliwangi)

Pertarungan Prabu Siliwangi
Di tanah Sunda Jawa Barat, tidak ada satu orang pun yang tidak kenal dengan nama Prabu SIliwangi yang mana Prabu Siliwangi ini adalah seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yang sangat identik dengan ilmu-ilmu kesaktiannya, yaitu ajian harimau putih sangat dikenal sebagai salah satu yang pernah dipunyai oleh tanah Pasundan, Jawa Barat. Didalam Kitab Suwasit, diceritakan bahwa seorang yang bernama Pangeran Pamanah Rasa ialah merupakan anak putra mahkota dari Prabu Anggararang penguasa KErajaah Gajah untuk meneruskan kerajaan ayah nya sebagai Raja Gajah selanjutnya.

Dikisahkan juga di tengah-tengah kepemimpinannya menjadi seorang raja, Prabu Pamanah Rasa sering yang namanya menggembara hewan ke suatu wilayah. Didalam perjalanan menggembaranya, Prabu Ramanah Rasa dihalangi oleh siluman Harimau Putih di kawasan hutan yang letak lokasinya sekarang berada didaerah Majalengka. Karena diantara mereka berdua merasa terganggu satu sama lain pertempuran tidak bisa dihindarkan. Kesaktian-kesaktian yang dimiliki oleh Prabu Siliwangi dan Siluman Harimau Putih yang diketahui mempunyai kesaktian yang begitu tinggi juga bertarung dan bertempur dengan sengit.
Akan tetapi, kesaktian yang dimiliki oleh seorang raja dari Kerajaan Pajajaran yaitu Prabu Siliwangi namanya berhasil mengalahkan musuhnya dan membuat Siluman Harimau Putih itu tunduk kepada Prabu Siliwangi.

Pusaka Prabusiliwangi
Seiring dengan melebarnya daerah Kerajaan Gajah, kemudian Prabu Siliwangi ini membuat pusaka sakti yang saat ini menjadi logo Provinsi Jawa Barat, yakni kujang namanya. Senjata kujang ini juga bisa menambah kesaktian Prabu Siliwangi. Bentuk dari pusaka kujang ini melengkung dengan ukiran-ukiran kepala harimau pada gagangnya. Ukiran kepala harimau tersebut yang ada pada gagang atau pegangan kujang itu konon katanya digunakan oleh Prabu Siliwangi ini untuk menginat akan jasa-jasa pendaming setianya, yakni siluman Harimau Putih. Legenda kesaktian Prabu Siliwangi ini sejak dulu memang telah banyak orang-orang yang mengenal legenda kesaktian tersebut, selain itu Raja dari Kerajaan Pajajaran ini begitu populer atau terkenal sebagai salah satu raja yang bijaksana dan arip serta sangat mencintai kepada rakyat-rakyatnya.

Makam Prabu Siliwangi
Hingga saat ini dan detik ini belum ada yang mengetahui secara langsung tentang akhir cerita dari hidupnya Prabu Siliwangi, karena Makam Prabu Siliwangi hingga saat ini belum diketahui pasti letak yang aslinya. Orang-orang banyak yang meyakini bahwa Prabu Siliwangi bersama pasukannya menghilang, dan memindahkan kerajaannya kedalam alam Ghaib. Dan melanjutkan kehidupannya bersama pengikut-pengikutnya dan membangun kembali kerajaan ghaib di wilayah Gunung Salak, kawasan daerah Kota Bogor Jawa Barat.

Memang kebanyakan orang-orang terdahulu ini mengatakan bahwa raja dari Kerajaan Pajajaran yang bernama Prabu Siliwangi ini belum ada yang mengetahui letak sebenarnya makam sang prabu tersebut, ada juga yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi dan para pasukannya itu beralih ke daerah Gunung Salak dan membuat kerajaan Ghaib disana. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa makam sang raja tersebut terletak di daerah Cirebon, ada juga yang mengatakan di Gunung Gede Pangrango. Memang diluar sana banyak sekali yang mengatakan demikian, akan tetapi perkataan-perkataan yang dikatakan oleh mereka mengenai makam prabu siliwangi ini belum begitu jelas mana perkataan yang benar dan mana perkataan yang tidak benar.
Dan yang pastinya, diantara kita semua belum ada yang mengetahui letak makam tersebut.

Legenda Prabu Siliwangi
Cerita tentang Prabu Siliwangi ini begitu dikenal didalam sejarah suku sunda sebagai seorang raja di Kerajaan Pajajaran. Salah satu tulisan kuno yang menerangkan mengenai kisah perjalanan hidup Prabu Siliwangi ialah Kitab Suwasit namanya. Didalam kitab tersebut terdapat sebuah tulisan yang di tulis dengan memakai bahasa sunda kuno yang tertulis pada selembar kulit Macan putih yang dijumpai di daerah Desa Rajagaluh, Jawa Barat.

Prabu Siliwangi ini ialah seorang raja terbesar di tanah Sunda yang memliki kesaktian yang sangat luar biasa, beliau juga seorang raja yang sangat bijaksana yang memimpin para rakyat-rakyatnya di Kerajaan Pakuan Pajajaran Putra dari Prabu Anggalarang. Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa. Sejak kecil beliau Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru pelabuhan Muara Jati di kerajaan singapura (seblum bernama kota cirebon). Setelah Raden pemanah Rasa Dewasa & sudah cukup ilmu yang diajarkan oleh ki gedeng sindangkasih. Beliau kembali ke kerajaan Gajah untuk Mengabdi kepada ayahandanya prabu Angga Larang/dewa Niskala. Setelah itu Raden pemanah Rasa Menikahi Putri ki gedeng sindangkasih.
Yang bernama Nyi Ambet kasih. Ketika itu Kerajaan gajah dalam pemerintahan Prabu dewa Niskala atau prabu Angga Larang sedang dlm masa keemasanya. Wilayahnya terbentang Luas dari Sungai Citarum Di karawang yg berbatasan Langsung dengan kerajaan Sunda,sampai sungai ci-pamali berbatasan Dengan Majapahit.

Sumber : Google Wikipedia


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...