Minggu, 11 November 2018

KISAH KERAJAAN KALINGGA


KISAH KERAJAAN KALINGGA

Orientasi
Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu-Budha yang muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan Tiongkok, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Historiografi
Catatan sejarah mengenai keberadaan Kerajaan Kalingga didapatkan dari dua sumber utama, yaitu dari kronik sejarah Tiongkok, serta catatan sejarah manuskrip lokal, ditambah dengan tradisi lisan setempat yang menyebutkan mengenai Ratu legendaris bernama Ratu Shima.

Sumber  Lokal
Cerita Parahyangan
Berdasarkan naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Bratasena. Sanaha dan Bratasena memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).

Setelah Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Raja Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Kisah Lokal
Terdapat kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar. Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya.

Berita Tiongkok
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal dari zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.

Catatan dari zaman Dinasti Tang
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M - 906 M) memberikan tentang keterangan Ho-ling sebagai berikut. Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera. Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu. Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat, beratap daun palem, dan singgasananya terbuat dari gading. Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari bunga kelapa.

Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan gading gajah. Catatan dari berita Cina ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun 674, rakyat Ho-ling diperintah oleh Ratu Hsi-mo (Shima). Ia adalah seorang ratu yang sangat adil dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Ho-ling sangat aman dan tentram.

Catatan I-Tsing
Catatan I-Tsing (tahun 664/665 M) menyebutkan bahwa pada abad ke-7 tanah Jawa telah menjadi salah satu pusat pengetahuan agama Buddha Hinayana. Di Ho-ling ada pendeta Cina bernama Hwining, yang menerjemahkan salah satu kitab agama Buddha ke dalam Bahasa Tionghoa. Ia bekerjasama dengan pendeta Jawa bernama Janabadra. Kitab terjemahan itu antara lain memuat cerita tentang Nirwana, tetapi cerita ini berbeda dengan cerita Nirwana dalam agama Buddha Hinayana.

Peninggalan
Peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah:
1.    Prasasti Tukmas
Prasasti Tukmas ditemukan di ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

2.    Prasasti Sojomerto
Prasasti Sojomerto ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno dan berasal dari sekitar abad ke-7 masehi. Prasasti ini bersifat keagamaan Siwais. Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu. Kedua temuan prasasti ini menunjukkan bahwa kawasan pantai utara Jawa Tengah dahulu berkembang kerajaan yang bercorak Hindu Siwais. Catatan ini menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan Wangsa Sailendra atau kerajaan Medang yang berkembang kemudian di Jawa Tengah Selatan.

Candi dan situs bersejarah
1.    Candi Angin Candi Angin ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
2.    Candi Bubrah Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
3.    Situs Puncak Sanga Likur Gunung Muria. Di Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar puncak tersebut, Prof Gunadi[4] dan empat orang tenaga stafnya dari Balai Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak. Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.

Referensi
1. Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. hlm. pages 171. ISBN 981-4155-67-5.
2. Drs. R. Soekmono, (1973 edisi cetak ulang ke-5 1988). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2, 2nd ed. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 37.
3.    IPS Terpadu Kelas VII SMP/MTs, Penerbit Galaxy Puspa Mega:Tim IPS SMP/MTs.

Sumber : Google Wikipedia

Sejarah Kerajaan Kalingga
Kalingga berasal dari kata kalinga,nama sebuah kerajaan di india selatan, yang didirikan oleh beberapa kelompok orang lain dari india yang berasal dari orissa, mereka melarikan diri karena daerah orissa dihancurkan oleh Maharaga Asoka. Kerajaan ini didirikan pada abad ke-6 dan dibubarkan pada abad ke-7.

Kerajaan kalingga diperkirakan terletak di jawa tengah, di kecamatan keling sebelah utara gunung muria, Sekarang letak nya dekat dengan kabupaten pekalongan dan kabupaten jepara. Ibu kota dari kerajaan kalingga adalah keling(jepara), bahasa yang digunakan kerajaan kalingga yaitu, melayu kuna sanskerta, agama yang dianut kerajaan kalingga yaitu, hindu dan buddha. Sebenarnya agama yang dianut oleh penduduk kerajaan ini umumnya buddha, karena agama buddha berkembang pesat pada saat itu,bahkan pendeta cina datang ke keling dan tinggal selama tiga tahun.

Ratu Sima adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan sebagai  seorang pemimpin wanita  yang  tegas  dan taat  terhadap peraturan yang berlaku dalam kerajaan  itu. Ratu sima memerintah sekitar tahun 674-732 m.

Kehidupan ekonomi kerajaan Kalingga :
Perekonomian kerajaan kalingga bertumpu pada sector perdagangan dan pertanian. Letaknya yang dekat dengan pesisir pantai utara jawa tengah menyebabkan kalingga mudah di akses oleh pedagang luar negeri.kalingga merupakan daerah penghasil kulit penyu, emas, perak, culabadak,dan gading gajah untuk dijual. Penduduk kalingga dikenal pandai membuat minuman yang berasal dari bunga kelapa dan bunga aren.

Kehidupan sosial kerajaan kalingga :
Kerajaan kalingga hidup dengan teratur,berkat kepemimpinan ratu sima ketentraman dan ketertiban di kerajaan kalingga berlangsung dengan baik. Dalam menegakkan hukum, ratu sima tidak membeda-bedakan antara rakyat dengan kerabatnya sendiri. Berita tentang ketegasan hukum ratu sima, raja yang bernama T-shih ia adalah kaum muslim arad dan persia, ia menguji kebenaran berita yang ia dengar.beliau memerintahkan anak buahnya untuk meletakkan satu kantong emas di jalan wilayah kerajaan kalingga. Selama tiga tahun kantong tersebut tidak ada yang menyentuh, jika ada yang melihat kantong itu ia berusaha menyingkir.  Tetapi pada suatu hari, putra mahkota tidak sengaja menginjak kantong tersebut hingga isinya berceceran. Mendengar kejadian tersebut ratu sima marah, dan memerintahkan agar putra mahkota dihukum mati. Tetapi karena para menteri memohon agar putra mahkota mendapat pengampunan. Akhirnya ratu sima hanya memerintahkan agar jari putra mahkota yang menyentuh kantong emas tersebut di potong,hal ini menjadi bukti ketegasan ratu sima.

Kehidupan politik kerajaan kalingga :
Pada abad ketujuh masehi kerajaan kalingga dipimpin oleh ratu sima, hukum di kalingga ditegakkan dengan baik sehingga ketertiban dan ketentraman di kalingga berjalan dengan baik.  Menurut naskah parahhayang, Ratu sima memiliki cucu bernama sanaha yang menikah dengan Raja Brantasenawa dari kerajaan galuh. Sanaha memiliki anak bernama sanjaya yang kelas akan menjadi raja mataram kuno. Sepeninggalan Ratu sima, kerajaan Kalingga ditaklukan oleh kerajaan Sriwijaya.

Masa kejayaan kerajaan kalingga :
Masa kepemimpinan Ratu sima menjadi masa keemasan bagi kerajaan kalingga sehingga membuat raja-raja dari kerajaan lain segan, hormat, kagum, sekaligus penasaran. Masa masa itu adalah masa keemasan bagi perkembangan kebudayaan apapun. Agama buddha juga berkembang secara harmonis, sehingga wilayah di sekitar kerajaan Ratu Sima juga sering disebut Di Hyang(tempat bersatunya dua kepercayaan hindu dan buddha).

Dalam bercocok tanam Ratu Sima mengadopsi sistem pertanian dari kerajaan kakak mertuanya. Ia merancang sistem pengairan yang diberi nama subak. Kebudayaan baru ini yang kemudian melahikan istilah Tanibhala, atau masyarakat yang mengolah mata pencahariannya dengan cara bertani atau bercocok tanam.

Masa kehancuran kerajaan kalingga :
Kerajaan kalingga mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan sriwijaya yang menguasai perdagangan, serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan kijen menyingkir ke jawa bagian timur atau mundur ke pedalaman jawa bagian tengah antara tahun 742-755 M. Bersama melayu dan tarumanegara yang sebelumnya telah ditaklukan kerajaan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.

Peninggalan kerajaan kalingga :
1.    Prasasti Tukmas
Ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang di Jawa Tengah.
Bertuliskan huruf Pallawa yang berbahasa Sanskerta.
Isi prasasti menceritakan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di India.
Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak, kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan manusia dengan dewa-dewa Hindu.

2.    Candi Bubrah, Jepara
Candi Bubrah ditemukan di Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Candi Bubrah adalah salah satu candi Buddha yang berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara Percandian Rara Jonggrang dan Candi Sewu. Secara administratif, candi ini terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, KabupatenKlaten, Provinsi Jawa Tengah.
Dinamakan ‘Bubrah’ karena keadaan candi ini rusak (bubrah dalam bahasa Jawa) sejak ditemukan. Menurut perkiraan, candi ini dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno, satu periode dengan Candi Sewu.
Candi ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m terbuat dari jenis batu andesit, dengan sisa reruntuhan setinggi 2 meter saja. Saat ditemukan masih terdapat beberapa arca Buddha, walaupun tidak utuh lagi.

3.    Candi Angin
Candi Angin terdapat di desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Karena letaknya yang tinggi tapi tidak roboh terkena angin, maka dinamakan “Candi Angin”.
Menurut para penelitian Candi Angin lebih tua dari pada Candi Borobudur. Bahkan ada yang beranggapan kalau candi ini buatan manusia purba di karenakan tidak terdapat ornamen-ornamen Hindu-Budha.

4.    Prasasti Sojomerto
Ditemukan di Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.
Prasasti ini beraksara Kawi dan berbahasa Melayu Kuno
Berasal dari sekitar abad ke-7 masehi.
Bersifat keagamaan Siwais.
Isi prasasti memuat keluarga dari tokoh utamanya, Dapunta Selendra, yaitu ayahnya bernama Santanu, ibunya bernama Bhadrawati, sedangkan istrinya bernama Sampula. Prof. Drs. Boechari berpendapat bahwa tokoh yang bernama Dapunta Selendra adalah cikal-bakal raja-raja keturunan Wangsa Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Mataram Hindu.
Bahan prasasti ini adalah batu andesit dengan panjang 43 cm, tebal 7 cm, dan tinggi 78 cm. Tulisannya terdiri dari 11 baris yang sebagian barisnya rusak terkikis usia.

sumber : Google Wikipedia dan blog lainya. 
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...