Minggu, 11 November 2018

KISAH KERAJAAN KANJURUHAN


KISAH KERAJAAN KANJURUHAN

Orientasi
Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-8 Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Tarumanagara di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.

Latar belakang
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di daerah-daerah, seperti Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Maharani Shima memerintah di Kerajaan Kalingga (atau "Holing"); dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuno, di Jawa Timur terdapat pula sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede di Kecamatan Lowokwaru, Malang. Kerajaan itu bernama Kanjuruhan.

Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali Metro di lereng sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Buddha yang menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara lain Malang. Karena Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.

Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan tahun 760 M). Disebutkan seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja Gajayana.

Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan negeri terjamin. Tidak ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.

Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, bernama Uttejana, seorang putri pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti para leluhurnya, mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin mencintai rajanya. Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.

Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu, yang terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram berkembang pesat. Ia disegani oleh raja-raja lain di seluruh Pulau Jawa. Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuno selalu terlaksana, baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuno terkenal di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.

Perluasan Kerajaan Mataram Kuno itu sampai pula ke Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau tanda bahwa terjadi penaklukan dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuno dengan Kerajaan Kanjuruhan. Ketika Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara (pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah selalu terjalin dan bertambah erat.

Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Dyah Balitung, raja Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di Kanuruhan yang dapat diketahui waktu itu adalah daerah di lereng timur Gunung Kawi.

Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan meliputi watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi kemungkinan daerah Watak itu dapat ditentukan hampir sama atau setingkat dengan kabupaten saat ini. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.

Menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan di sekitar Malang, nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan adalah sebagai berikut :
1.    Daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan,Kecamatan Pakis),
2.    Daerah Turryan (sekarang Desa Turen, Kecamatan Turen),
3.    Daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron, Kelurahan Lesanpuro),
4.    Daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5.    Daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen, Kecamatan Blimbing),
6.  Daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan), dan
7. Daerah-daerah di sekitar Malang Barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam Watak Kanuruhan.

Jadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), dan Turen (selatan). Istimewanya, selain berkuasa di daerahnya sendiri, pejabat Rakryan Kanuruhan ini juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Begitulah sekilas tentang jabatan Rakryan Kanuruhan yang memiliki keistimewaan dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakryan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno sampai dengan zaman Kerajaan Majapahit.

Kerajaan Kanjuruhan: Kerajaan Hindu di Bawah Kekuasaan Mataram Kuno
Kerajaan Kanjuruhan merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-8 M, diperkirakan sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga. Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede. Kerajaan Kanjuruhan merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-8 M, diperkirakan sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga. Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede.

Bukti tertulis keberadaan kerajaan Kanjuruhan dapat ditemukan pada Prasasti Dinoyo, yang dibuat pada 760 M. Prasasti tersebut berupa lempengan batu berukir yang berisi beberapa baris tulisan beraksara Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti Dinoyo dikisahkan ada seorang raja bernama Dewa Singha yang memerintah sebuah keraton besar, yang disucikan oleh api Sang Siwa. Disebutkan Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang menggantikan kekuasaannya setelah ia wafat. Liswa memerintah kerajaan Kanjuruhan dengan gelar Raja Gajayana.

Di bawah pimpinan Raja Gajayana, kerajaan Kanjuruhan berada pada puncak kekuasaannya. Kerajaan berkembang pesat di segala bidang, seperti ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.
Raja Gajayana membuat sebuah tempat pemujaan bagi Resi Agastya, termasuk arca yang menggambarkan dewa tersebut. Tempat pemujaan itu berada di salah satu bagian Candi Badut, tetapi saat ini sudah tidak ada. Diperkirakan, kekuasaan kerajaan Kanjuruhan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada di bawah kekuasaan Mataram Kuno. Walaupun pemerintahannya masih ada, tetapi status kekuasaannya berada di bawah Mataram Kuno. Sehingga mereka tidak memiliki wilayah kekuasaan sendiri.

Ketika kerajaan Medang atau Mataram Kuno diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kanjuruhan memberikan sebuah bangunan candi di kompleks Candi Prambanan. Candi perwara atau pengiring itu ditempatkan di sebelah timur kompleks, yang menandakan kerajaan Kanjuruhan telah mengabdi pada kerajaan Mataram. Beberapa orang beranggapan bahwa kerajaan Kanjuruhan ditaklukan oleh kerajaan Mataram Kuno sehingga mereka bersedia berada di bawah kekuasannya. Namun tidak bukti yang mengarah pada peperangan antara kerajaan Kanjuruhan dengan kerajaan Mataram, sehingga pernyataan itu dianggap tidak tepat. Dalam struktur pemerintahan Raja Balitung, raja Kanjuruhan dikenal dengan sebutan “Rakryan Kanuruhan”, yang artinya “Penguasa Daerah di Kanuruhan”.

Sumber : Gustama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan Nusantara. Yogyakarta : Brilliant Book


Sejarah Lengkap Berdirinya Kerajaan Kanjuruhan
Berdiri pada abad ke 6 Masehi di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di lereng sebelah timur Gunung Kawi. Di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 sakaatau tahun 760 M. Disebutkan seorang Raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar Gajayana.

Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok, sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenekRaja Gajayana. Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang diberi nama Uttejana. Seorang putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiyabersama Permaisuri Uttejana, memerintah Kerajaan Kahuripan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana meninggal.

Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah yang diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu, melakukan perluasan ke Pulau Jawa bagian timur, tanpa peperangan. Hal ini praktis membuat Kerajaan Kanjuruhan dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan pusat. Di dalam struktur pemerintahanKerajaan Mataram Kuno zaman Raja Balitung, Raja Kerajaan Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri diartikan perubahan bunyi dari kata Kanjuruhan.

Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan disebut Watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahiwanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.
 
Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar kota Malang adalah sebagai berikut :
1.    Daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),
2.    Daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
3.    Daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
4.    Daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5.    Daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
6.  Daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanjuruhan), dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.

Peninggalan dari Kerajaan kahuripan yang masih bisa dilihat sampai sekarang di kota Malangadalah Candi Badut dan Candi Wurung. Secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal akan kebijaksanaan, keadilan, serta kemurahan hatinya. RakyatKanjuruhan pun mencintai rajanya. Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka. serta upaya pemberontakan. Pada kisaran abad VII, Malang adalah sebuah teritorial integrasi yang cukup maju di zamannya. Prasasti Dinoyo, Prasasti tertua di Jawa Timur yang berbahasa Sansekerta dengan aksara Jawa Kuno memberi arti penting bagi silsilah sejarah Malang. Pada masa itu tradisi penulisan prasasti telah dikenal oleh dinasti Kanjuruhan yang dipimpin oleh “putra” Dewa Simba yang bernama Gajayana.

Situs Kanjuruhan meliputi daerah Karang Besuki, Karang Dinoyo, Kejuron, Mertojoyo, dan Merjosari. Nama Kanjuruhan sendiri berasal dari kata Juruh yang artinya getah enau. Pemberian nama Kanjuruhan memiliki latar simbolik, bahwa kerajaan yang dipimpin oleh Limwa atau Gajahyana itu memiliki kaitan dengan kerajaan Bogor Pradah (pohon enau bersalut emas) milik ayahandanya yakni Dewa simha yang situs pen-dharma-annya terletek di dusun Bogor Pradah, Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri.

Berita Cina Dari Dinasti Tang
Keberadaan Kerajaan Kanjuruhan dapat dikaitkan dengan berita – berita Cina dari Dinasti Tang yang menyebutkan bahwa di Jawa dewasa itu terdapat Kerajaan Kalingga atau Holing, diman raja hidup di kota Chopo’o, tetapi salah seorang nenek moyangnya. Bernama Kiyen, pernah memindahkan tahtanya ke sebelah timur, yaitu P’olouk’i-asseu. Topinim Chopo’o ssendiri mengingatkan kita pada kata Kepu (ng) yakni kota Kecamatan di mana Dusun Bogor Pradah yang terletak di Desa Sima (an) berada. Sedang nama Kalingga atau Holing merujuk pada toponim Keling yakni sebuah desa di sebelah barat desa Kepung.

Sementara nama P’olouk’iasseu menunjuk pada toponim Waharu Gasek (nama Waharu kemudian hilang tetapi sempat disebutkan dalam prasasti Waharu yang ditemukan dekat Karang Besuki, dan yang tersisa hanya toponim Gasek tempat dimana candi Badut terletak). Sedang gelar Kiyen menurut berita Tang yang disandang raja tampaknya merujuk pada gelar khas yang lazim digunakan para bangsawan di daerah Malang hingga abad ke 13 seperti terpateri pada nama Ken Arok, Ken Endok, Ken Dedes, Ken Umang. Dengan demikian, jelaslah bahwa tokoh nenek moyang raja Kalingga atau Holing yang memindahkan Ibukota ke sebelah timur sebagaimana dimaksud berita dari Dinasti Tang adalah Gajahyana.

W.J van der Meulen (1988) menyebutkan bahwa berdasar sumber– sumber Tionghoa lainnya, perpindahan ibukota kerajaan Kalingga atau Holing terjadi antara tahun 742 hingga 755. Penetapan tahun itu bertepatan dengan masa dimana Gajahyana hidup. Ini, berarti, sepeninggal Dewasimha, Gajayana meningggalkan Ibukotanya dari sebelah barat Gunung Kelud ke sebelah Timur Gunung Kawi. Selanjutnya W.J van der Meulen berpendapat, perpindahan itu berkaitan dengan serangan angin ribut (Sanjaya) yang menampar dari arah barat. Pemindahan Keraton dari Bogor Pradah di barat ke Kanjuruhan di timur dibawah ini merupakan strategi terbaik Gajayana, terutama jika hal itu dikaitkan dengan letak geografis Kanjuruhan yang berada di wilayah Tumapel yang dipagari barisan gunung.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, sebelum mendirikan keraton Kanjuruhan, Gajayan berkeratin di Bogor Pradah, tetapi karena berlindung dari serangan Sanjaya yang berasal dari barat, maka Gajayana memindahkan keratonnya ke sebelah timur yakni di Kanjuruhan. Dengan demikian, nama juruh dan bogor memiliki kaitan simbolik. Tetapi keturunan Gajayana kemudian memindahkan lagi keratonnya ke sebelah barat yakni di Chopo’o atau Kepu (ng). Ditulis Oleh Anana, Cucu Raja Gajayana. Keberadaan kerajaan Kanjuruhan sendiri diketahui berdasar inskripsi dari prasasti yang ditulis oleh Anana, cucu raja Gajayana. Prasati itu ditulis dengan huruf kawi tetapi berbahasa Sansekerta. Menurut terjemahan F.D.K. Bosch dalam De Sanskritinscriptie op den steen van Dinaya, terjemahan Prasati Dinoyo adalah sebagai berikut:

“Kemuliaan di tahun saka 682 yang telah berlalu ada seorang raja bijaksana dan berkuasa Dewa-simha di bawah lindungannya api putukecwarayang menyebar sinar di sekelilingnya Juga Limwa puteranya yang bergelar Gajayana melindungi manusia bagaikan anaknya Ketika ayahandanya marak ke langit Limwa melahirkan anak perempuan Uttejana namanya dan dia adalah permaisuri raja Pradaputra dia juga ibu Anana yang bijaksana cucu Gajayana orang selalu berbuat baik terhadap kaum Brahmana dan pemuja Agastya tuan yang dilahirkan dari Tempayan.”

Ananah yang menyuruh penduduk dan banyak orang penting untuk membangun kediaman yang indah untuk Agastya yang Agung dan Suci untuk menghancurkan kekuatan musuh. Sesudah itu dia melihat patung Kalacaya dari kayu cendana yang dibuat leluhurnya dan tak boleh dipandang lebih lama diapun dengan segera memerintahkan kepada seorang seniman untuk membuat arca resi yang sama dari batu hitam/ yang keindahannya sangat menakjubkan. Bertolak dari bunyi Dinasti Tang dan Prasati Dinoyo, maka diketahui bahwa Karajaan Kanjuruhan didirikan oleh Limwa atau Gajayana sebagai kelanjutan dari kerajaan kalingga atau Holing yang berkeraton di Bogor Pradah, Sima (an), Kepu (ng), Kediri. Pelanjut Gajayana adalah Uttejana, puteri Gajayana yang menikah dengan anak lelaki Pradah Putera. Uttejana digantikan oleh Anana dimana pada masa pemerintahan Anana inilah candi Badut dan Prasasti Dinoyo dibuat yakni sekitar tahun 760 Masehi.

Menurut catatan Dinasti Tang, raja Kalingga atau Holing mengirim utusan ke kaisar pada 766 dan 779 yakni masa yang sama dengan masa kekuasaan Anana. Dengan demikian, Raja Kalingga atau Holing yang diberitakan Dinasti Tang hidup di kota Chopo’o atau Kepu (ng) adalah keturunan dari Anana. Sebuah legenda menceritakan sejarah merawikan bahwa kekuasaan yang dipimpin Prabu Gajayana disucikan oleh sang Putikecrawa atau Mahadewa Syiwa. Selain piagam Dinoyo, banyak lagi peninggalan sejarah yang mengindikasikan tingginya peradaban dan epik sejarah Malang. Seperti, Candi Badut yang ada pahatan Mahakala, Nadicwara, Arca Agastya, Piagam Muncang, Arca Ganesya, piagam Sukun dan lain-lainnya.

Menelusuri peta kekuasaan di tanah Jawa tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan perkembangan ajaran Hindu dan Buddha yang dibawa oleh para Wangsa Mataram di Kedu dan Wangsa Sailendra. Gelombang kekuasaan Hindu berhembus dari arah Barat yang akhirnya menguasai seluruh daratan Jawa. Empu Sendok yang merintis berdirinya Kerajaan Medaeng (Medang) penuh dengan misi perubahan yang berlatar Hindu. Dalam perkembangannya kemudian, Kahuripan lahir sebagai wuri kerajaan Medaeng, memperbaharui implementasi tata kasta yang saat itu meminggirkan peran mayoritas rakyat, terutama kaum tani dan nelayan. Implementasi pembaharuan itu mengukuhkan seorang sosok pembangun yang dikenal dalam sejarah sebagai seorang pembebas yang bernama Sri Erlangga. Tidak heran bila burung garuda (tunggangan Dewa Wisnu) di identikkan juga dengan Erlangga. Misi ‘Magna Carta’ yang ia cetuskan dipandang seiring dengan harapan masyarakat pada konteks peradaban manusia kala itu. Tampakanya factor ini juga yang mengharuskan Malang berada dalam pengaruh Wangsa Isyana.

Timbulnya karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Tahun penemuan Prasati abad 7 ini yang dipakai sebagai Hari jadi Kabupaten Malang, yang sekarang sudah berusia 1249 tahun. Dan dari Nama Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan banyak digunakan simbul-simbul kemegahan bangunan Kabupaten Malang / Kota Malang.  Keberadaan situs yang juga dikenal dengan nama kerajaan kanjuruhan ini dapat dikaitkan dengan berita-berita Cina dari Dinasti Tang, yang menyebutkan bahwa pada saat itu di Jawa terdapat sebuah Kerajaan Kalingga atau Holing, dimana raja hidup di kota Chopo’o yang salah satu nenek moyangnya bernama Kiyen pernah memindahkan tahtanya ke sebelah timur, yaitu P’louk’iasseu. Toponim Chopo’o dapat dikaitkan dengan nama Kepung, yaitu kota kecamatan diamana dusun Bogor Pradah yang terletak di Desa Siman Berada. Sedang untuk nama kalinga atau Holing berkaitan dengan toponim Keling, desa disebelah Desa Kepung.

Sementara nama P’olouk’iasseu merujuk pada toponim Waharu Gasek (nama Waharu sempat hilang tetapi kemudian disebutkan dalam prasasti Waharu yang ditemukan dekat karang Besuki dan yang tersisa hanya nama toponim Gasek). Sedangkan untuk gelar “Kiyen” menurut berita Tang yang disandang raja tampaknya merujuk pada gelar khas “Ken” yang lazim digunakan para bangsawan di daerah Malang hingga abad ke -13, seperti terpatri pada nama Ken Arok, Ken Dedes dan Ken Umang. Dengan demikian jelaslah bahwa yang memindahkan ibu kota ke sebelah timur sebagaimana dimaksud berita dari dinasti Tang adalah Gajayana.

Berdasarkan data dari Lingkaran Studi Kebudayaan Malang (LSKM) 200, WJ Van Der Meulen (1988) menyebutkan bahwa berpijak pada sumber-sumber Tionghoa lainnya, perpindahan ibu kota Kerajaan Kalingga atau Holing terjadi antara tahun 742 -755. Penetapan tahun tersebut bertepatan dengan masa dimana Gajayana hidup, sepeninggal Dewa Simha. Gajayana memindahkan ibu kotanya dari sebelah barat Gunung Kelut ke sebelah timur Gunung kawi.  WJ Van Der Meulen juga berpendapat bahwa perpindahan itu berkaitan dengan serangan angin ribut (Sanjaya) yang menyerang  dari arah barat. Perpindahan itu merupakan strategi terbaik dari Gajayana, terutama jika hal tersebut dikaitkan dengan letak geografis Kanjuruhan yang berada di wilayah Tumapel dengan dipagari barisan gunung di sekelilingnya.
               
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa sebelum mendirikan keraton Kajuruhan, Gajayana bertempat di Bogor Pradah, tetapi karena berlindung dari serangan Sanjaya yang berasal dari barat, maka Gajayana memindahkan keratonnya ke sebelah timur, yakni Kanjuruhan. Dengan demikian nama “juruh” dan “bogor” memiliki kaitan simbolik. Tetapi keturunan Gajayana kemudian memindahkan lagi keratonnya ke sebelah barat, yakni di Chopo’o atau Kepung.

Keberadaan Kerajaan Kanjuruhan sendiri diketahui berdasarkan inkripsi dari prasati yang di tulis oleh Anana, cucu Raja Gajayana. Prasasti itu ditulis dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Menurut terjemahaan F.D.K. Bosch dalam “De Sans Kritinscriptie op dan steen van Dinaya,” terjemahan Prasasti Dinoyo adalah sebagai berikut :

“Kemulan di tahun Saka 682 yang telah berlalu, ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, Dewa Simha. Dibawah lindungannya api putikecwara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya, juga Limwa peteranya yang bergelar Gajayana melindungi manusia bagaikan anaknya. Ketika ayahandanya marak ke langit. Limwa melahirkan anak perempuan, Uttejana namanya dan dia adalah permaisuri Raja Pradaputra, dia juga ibu Anana yang bijaksana. Cucu Gajayana orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum Brahmana dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan.”

Bertolak dari bunyi berita Dinasti Tang dan prasasti Dinoyo, maka diketahui bahwa kerajaan Kanjuruhan didirikan  oleh Limwa atau Gajayana sebagai kelanjutan dari kerajaan Kalingga atau Holing yang berkeraton di Bogor Pradah, Siman Kepung, Kediri, Penerus Gajayana adalah Uttejana yang kemudian digantikan oleh Anana, dimana pada masa pemerintahan Anana inilah Candi Badut dan Prasasti Dinoyo dibuat, yakni sekitar tahun 760 Masehi.

Sumber : Google Wikipedia dan Blog lainnya.

1 komentar:

  1. Kalau itu benar, sekali lagi kalau itu benar, maka kerajaan Kanjuruhan kalah tua dengan suatu kerajaan di Kabupaten Kediri (Bogor Pradah, didirikan Dewa Simha, katanya).

    BalasHapus

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...