KISAH
KERAJAAN KANJURUHAN
Orientasi
Kanjuruhan
adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur,
yang pusatnya berada di dekat Kota Malang
sekarang. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-8 Masehi (masih sezaman
dengan Kerajaan Tarumanagara di sekitar Bekasi
dan Bogor
sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana.
Peninggalan lainnya adalah Candi Badut
dan Candi Wurung.
Latar belakang
Jaman dahulu, ketika Pulau Jawa diperintah oleh raja-raja yang tersebar di
daerah-daerah, seperti Raja Purnawarman memerintah di Kerajaan Tarumanegara; Maharani Shima memerintah di Kerajaan Kalingga (atau
"Holing"); dan Raja Sanjaya memerintah di Kerajaan Mataram Kuno, di Jawa Timur terdapat pula
sebuah kerajaan yang aman dan makmur. Kerajaan itu berada di daerah Malang
sekarang, di antara Sungai Brantas dan Sungai
Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan
Ketawanggede di Kecamatan Lowokwaru, Malang.
Kerajaan itu bernama Kanjuruhan.
Bagaimana Kerajaan Kanjuruhan itu bisa berada dan
berdiri di lembah antara Sungai Brantas dan Kali Metro di lereng
sebelah timur Gunung Kawi, yang jauh
dari jalur perdagangan pantai atau laut? Kita tentunya ingat bahwa pedalaman
Pulau Jawa terkenal dengan daerah agraris, dan di daerah agraris semacam itulah
muncul pusat-pusat aktivitas kelompok masyarakat yang berkembang menjadi pusat
pemerintahan. Rupa-rupanya sejak awal abad masehi, agama Hindu dan Buddha yang
menyebar di seluruh kepulauan Indonesia bagian barat dan tengah, pada sekitar
abad ke VI dan VII M sampai pula di daerah pedalaman Jawa bagian timur, antara
lain Malang. Karena
Malang-lah kita mendapati bukti-bukti tertua tentang adanya aktivitas
pemerintahan kerajaan yang bercorak Hindu di Jawa bagian timur.
Bukti itu adalah prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682 (atau
kalau dijadikan tahun masehi ditambah 78 tahun, sehingga bertepatan dengan
tahun 760 M). Disebutkan
seorang raja yang bernama Dewa Singha, memerintah keratonnya yang amat besar
yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama
Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja bergelar
Gajayana. Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang
pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi maupun seni budayanya. Dengan
sekalian para pembesar negeri dan segenap rakyatnya, Raja Gajayana membuat
tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja
juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang sangat elok,
sebagai pengganti arca Resi Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenek Raja
Gajayana.
Dibawah pemerintahan Raja Gajayana, rakyat merasa aman
dan terlindungi. Kekuasaan kerajaan meliputi daerah lereng timur dan barat
Gunung Kawi. Ke utara hingga pesisir laut Jawa. Keamanan negeri terjamin. Tidak
ada peperangan. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, karena raja selalu
bertindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Dengan demikian rakyat hidup
aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.
Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, bernama
Uttejana, seorang putri pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia
dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya.
Akhirnya Pangeran Jananiya bersama Permaisuri Uttejana, memerintah kerajaan
warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana mangkat. Seperti para leluhurnya,
mereka berdua memerintah dengan penuh keadilan. Rakyat Kanjuruhan semakin
mencintai rajanya. Demikianlah, secara turun-temurun Kerajaan Kanjuruhan
diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal
akan kebijaksanaannya, keadilan, serta kemurahan hatinya.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno
di Jawa Tengah diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu, yang
terkenal adil dan bijaksana. Dibawah pemerintahannya, Kerajaan Mataram
berkembang pesat. Ia disegani oleh raja-raja lain di seluruh Pulau Jawa.
Keinginan untuk memperluas wilayah Kerajaan Mataram Kuno selalu terlaksana,
baik melalui penaklukan maupun persahabatan. Kerajaan Mataram Kuno terkenal di
seluruh Nusantara, bahkan sampai ke mancanegara. Wilayahnya luas, kekuasaannya
besar, tentaranya kuat, dan penduduknya sangat banyak.
Perluasan Kerajaan Mataram Kuno itu sampai pula ke
Pulau Jawa bagian timur. Tidak ada bukti atau tanda bahwa terjadi penaklukan
dengan peperangan antara Kerajaan Mataram Kuno dengan Kerajaan Kanjuruhan.
Ketika Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah
Balitung, raja Kanjuruhan menyumbangkan sebuah bangunan candi perwara
(pengiring) di komplek Candi Prambanan yang dibangun oleh Sri Maharaja Rakai
Pikatan tahun 856 M (dulu bernama “Siwa Greha”). Candi pengiring (perwara) itu
ditempatkan pada deretan sebelah timur, tepatnya di sudut tenggara. Kegiatan
pembangunan semacam itu merupakan suatu kebiasaan bagi raja-raja daerah kepada
pemerintah pusat. Maksudnya agar hubungan kerajaan pusat dan kerajaan di daerah
selalu terjalin dan bertambah erat.
Kerajaan Kanjuruhan saat itu praktis di bawah
kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun demikian Kerajaan Kanjuruhan tetap
memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan
pusat. Di dalam struktur pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Dyah
Balitung, raja Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan,
artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri rupa-rupanya
perubahan bunyi dari Kanjuruhan. Karena sebagai raja daerah, maka kekuasaan
seorang raja daerah tidak seluas ketika menjadi kerajaan yang berdiri sendiri
seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dulu. Kekuasaaan raja daerah di
Kanuruhan yang dapat diketahui waktu itu adalah daerah di lereng timur Gunung
Kawi.
Kekuasaan Rakryan Kanjuruhan
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan meliputi watak
Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh
wanua (desa). Jadi kemungkinan daerah Watak itu dapat ditentukan hampir sama
atau setingkat dengan kabupaten saat ini. Dengan demikian Watak Kanuruhan
membawahi wanua-wanua (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur
Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga
pantai selatan Pulau Jawa.
Menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan
di sekitar Malang, nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak)
Kanuruhan adalah sebagai berikut :
3. Daerah Tugaran
(sekarang Dukuh Tegaron, Kelurahan Lesanpuro),
4. Daerah Kabalon
(sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
6. Daerah
Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan
Kanuruhan), dan
7. Daerah-daerah
di sekitar Malang Barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan
– Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam
beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan
(bangunan candi) di dalam Watak Kanuruhan.
Jadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan dapat
dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis
(timur), dan Turen (selatan). Istimewanya, selain berkuasa di daerahnya
sendiri, pejabat Rakryan Kanuruhan ini juga menduduki jabatan penting dalam
pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai
pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Begitulah sekilas tentang
jabatan Rakryan Kanuruhan yang memiliki keistimewaan dapat berperan di dalam
struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat
(Rakryan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno sampai dengan zaman
Kerajaan Majapahit.
Kerajaan Kanjuruhan: Kerajaan Hindu
di Bawah Kekuasaan Mataram Kuno
Kerajaan
Kanjuruhan merupakan salah satu kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur. Kerajaan
ini berdiri sejak abad ke-8 M, diperkirakan sezaman dengan kerajaan
Tarumanegara dan kerajaan Kalingga. Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan
berada di sekitar Kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo, Merjosari, Tlogomas,
dan Ketawanggede. Kerajaan Kanjuruhan merupakan salah satu kerajaan
bercorak Hindu di Jawa Timur. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke-8 M,
diperkirakan sezaman dengan kerajaan Tarumanegara dan kerajaan Kalingga.
Wilayah kekuasaan kerajaan Kanjuruhan berada di sekitar Kota Malang, tepatnya
di daerah Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede.
Bukti tertulis keberadaan kerajaan Kanjuruhan dapat
ditemukan pada Prasasti Dinoyo, yang dibuat pada 760 M. Prasasti tersebut berupa
lempengan batu berukir yang berisi beberapa baris tulisan beraksara Jawa Kuno
dan bahasa Sansekerta. Dalam prasasti Dinoyo dikisahkan ada seorang raja
bernama Dewa Singha yang memerintah sebuah keraton besar, yang disucikan oleh
api Sang Siwa. Disebutkan Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang
menggantikan kekuasaannya setelah ia wafat. Liswa memerintah kerajaan
Kanjuruhan dengan gelar Raja Gajayana.
Di bawah pimpinan Raja Gajayana, kerajaan Kanjuruhan
berada pada puncak kekuasaannya. Kerajaan berkembang pesat di segala bidang,
seperti ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.
Raja Gajayana membuat sebuah tempat pemujaan bagi Resi
Agastya, termasuk arca yang menggambarkan dewa tersebut. Tempat pemujaan itu
berada di salah satu bagian Candi Badut, tetapi saat ini sudah tidak ada. Diperkirakan,
kekuasaan kerajaan Kanjuruhan tidak bertahan lama. Kerajaan itu akhirnya berada
di bawah kekuasaan Mataram Kuno. Walaupun pemerintahannya masih ada, tetapi
status kekuasaannya berada di bawah Mataram Kuno. Sehingga mereka tidak
memiliki wilayah kekuasaan sendiri.
Ketika kerajaan Medang atau Mataram Kuno diperintah
oleh Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung, raja Kanjuruhan memberikan
sebuah bangunan candi di kompleks Candi Prambanan. Candi perwara atau pengiring
itu ditempatkan di sebelah timur kompleks, yang menandakan kerajaan Kanjuruhan
telah mengabdi pada kerajaan Mataram. Beberapa orang beranggapan bahwa kerajaan
Kanjuruhan ditaklukan oleh kerajaan Mataram Kuno sehingga mereka bersedia
berada di bawah kekuasannya. Namun tidak bukti yang mengarah pada peperangan
antara kerajaan Kanjuruhan dengan kerajaan Mataram, sehingga pernyataan itu
dianggap tidak tepat. Dalam struktur pemerintahan Raja Balitung, raja
Kanjuruhan dikenal dengan sebutan “Rakryan Kanuruhan”, yang artinya “Penguasa
Daerah di Kanuruhan”.
Sumber
: Gustama, Faisal Ardi. 2017. Buku Babon Kerajaan-Kerajaan Nusantara.
Yogyakarta : Brilliant Book
Sejarah Lengkap Berdirinya Kerajaan Kanjuruhan
Berdiri
pada abad ke 6 Masehi
di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di lereng sebelah timur
Gunung Kawi. Di dataran yang
sekarang bernama Dinoyo, Merjosari,
Tlogomas, dan Ketawanggede
Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Bukti tertulis mengenai kerajaan ini
adalah Prasasti
Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 sakaatau
tahun 760 M. Disebutkan seorang
Raja yang bernama Dewa Singha,
memerintah keratonnya yang amat besar yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha mempunyai putra bernama Liswa, yang setelah memerintah menggantikan ayahnya menjadi raja
bergelar Gajayana.
Pada masa pemerintahan Raja
Gajayana, Kerajaan
Kanjuruhan berkembang pesat, baik pemerintahan, sosial, ekonomi
maupun seni budayanya. Dengan sekalian para pembesar negeri dan segenap
rakyatnya, Raja Gajayana membuat
tempat suci pemujaan yang sangat bagus guna memuliakan Resi Agastya. Sang raja juga menyuruh membuat arca sang Resi Agastya dari batu hitam yang
sangat elok, sebagai pengganti arca Resi
Agastya yang dibuat dari kayu oleh nenekRaja Gajayana. Raja Gajayana hanya mempunyai seorang putri, yang
diberi nama Uttejana. Seorang
putri kerajaan pewaris tahta Kerajaan
Kanjuruhan. Ketika dewasa, ia dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya. Akhirnya Pangeran Jananiyabersama Permaisuri Uttejana, memerintah Kerajaan Kahuripan warisan ayahnya
ketika sang Raja Gajayana
meninggal.
Pada sekitar tahun 847 Masehi, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah yang diperintah oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu, melakukan perluasan ke
Pulau Jawa bagian timur, tanpa peperangan. Hal ini praktis membuat Kerajaan Kanjuruhan dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Walaupun
demikian Kerajaan Kanjuruhan
tetap memerintah di daerahnya. Hanya setiap tahun harus melapor ke pemerintahan
pusat. Di dalam struktur pemerintahanKerajaan
Mataram Kuno zaman Raja
Balitung, Raja Kerajaan
Kanjuruhan lebih dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, artinya “Penguasa daerah” di Kanuruhan. Kanuruhan sendiri
diartikan perubahan bunyi dari kata Kanjuruhan.
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan disebut Watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang
membawahi berpuluh-puluh wanua (desa).
Jadi mungkin daerah watak itu
dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten.
Dengan demikian Watak Kanuruhan
membawahiwanua-wanua (desa-desa)
yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau
Jawa.
Dari sekian data nama-nama desa (wanua)
yang berada di wilayah (watak)
Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar kota Malang adalah sebagai berikut :
1. Daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),
2. Daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
3. Daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
4. Daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5. Daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
6. Daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanjuruhan), dan
daerah-daerah di sekitar Malang barat
seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede,
yang di dalam beberapa prasasti
disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.
Peninggalan dari Kerajaan kahuripan yang masih bisa dilihat sampai sekarang di kota
Malangadalah Candi
Badut dan Candi
Wurung. Secara turun-temurun Kerajaan
Kanjuruhan diperintah oleh raja-raja keturunan Raja Dewa Singha. Semua raja itu terkenal
akan kebijaksanaan, keadilan, serta kemurahan hatinya. RakyatKanjuruhan pun mencintai rajanya.
Dengan demikian rakyat hidup aman, tenteram, dan terhindar dari malapetaka.
serta upaya pemberontakan. Pada
kisaran abad VII, Malang adalah sebuah teritorial integrasi yang cukup maju di
zamannya. Prasasti Dinoyo, Prasasti tertua di Jawa Timur yang berbahasa
Sansekerta dengan aksara Jawa Kuno memberi arti penting bagi silsilah sejarah
Malang. Pada masa itu tradisi penulisan prasasti telah dikenal oleh dinasti
Kanjuruhan yang dipimpin oleh “putra” Dewa Simba yang bernama Gajayana.
Situs
Kanjuruhan meliputi daerah Karang Besuki, Karang Dinoyo, Kejuron, Mertojoyo,
dan Merjosari. Nama Kanjuruhan sendiri berasal dari kata Juruh yang artinya
getah enau. Pemberian nama Kanjuruhan memiliki latar simbolik, bahwa kerajaan
yang dipimpin oleh Limwa atau Gajahyana itu memiliki kaitan dengan kerajaan Bogor Pradah (pohon enau bersalut emas) milik ayahandanya yakni
Dewa simha yang situs pen-dharma-annya terletek di dusun Bogor Pradah, Desa Siman, Kecamatan Kepung, Kabupaten
Kediri.
Berita
Cina Dari Dinasti Tang
Keberadaan
Kerajaan Kanjuruhan dapat dikaitkan dengan berita – berita Cina dari Dinasti
Tang yang menyebutkan bahwa di Jawa dewasa itu terdapat Kerajaan Kalingga atau
Holing, diman raja hidup di kota Chopo’o, tetapi salah seorang nenek moyangnya.
Bernama Kiyen, pernah memindahkan tahtanya ke sebelah timur, yaitu
P’olouk’i-asseu. Topinim Chopo’o ssendiri mengingatkan kita pada kata Kepu (ng)
yakni kota Kecamatan di mana Dusun Bogor Pradah yang terletak di Desa Sima (an)
berada. Sedang nama Kalingga atau Holing merujuk pada toponim Keling yakni
sebuah desa di sebelah barat desa Kepung.
Sementara
nama P’olouk’iasseu menunjuk pada toponim Waharu Gasek (nama Waharu kemudian
hilang tetapi sempat disebutkan dalam prasasti Waharu yang ditemukan dekat
Karang Besuki, dan yang tersisa hanya toponim Gasek tempat dimana candi Badut
terletak). Sedang gelar Kiyen menurut berita Tang yang disandang raja tampaknya
merujuk pada gelar khas yang lazim digunakan para bangsawan di daerah Malang
hingga abad ke 13 seperti terpateri pada nama Ken Arok, Ken Endok, Ken Dedes,
Ken Umang. Dengan demikian, jelaslah bahwa tokoh nenek moyang raja Kalingga
atau Holing yang memindahkan Ibukota ke sebelah timur sebagaimana dimaksud
berita dari Dinasti Tang adalah Gajahyana.
W.J
van der Meulen (1988) menyebutkan bahwa berdasar sumber– sumber Tionghoa
lainnya, perpindahan ibukota kerajaan Kalingga atau Holing terjadi antara tahun
742 hingga 755. Penetapan tahun itu bertepatan dengan masa dimana Gajahyana
hidup. Ini, berarti, sepeninggal Dewasimha, Gajayana meningggalkan Ibukotanya
dari sebelah barat Gunung Kelud ke sebelah Timur Gunung Kawi. Selanjutnya W.J
van der Meulen berpendapat, perpindahan itu berkaitan dengan serangan angin
ribut (Sanjaya) yang menampar dari arah barat. Pemindahan Keraton dari Bogor
Pradah di barat ke Kanjuruhan di timur dibawah ini merupakan strategi terbaik
Gajayana, terutama jika hal itu dikaitkan dengan letak geografis Kanjuruhan
yang berada di wilayah Tumapel yang dipagari barisan gunung.
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, sebelum mendirikan keraton Kanjuruhan,
Gajayan berkeratin di Bogor Pradah, tetapi karena berlindung dari serangan
Sanjaya yang berasal dari barat, maka Gajayana memindahkan keratonnya ke
sebelah timur yakni di Kanjuruhan. Dengan demikian, nama juruh dan bogor
memiliki kaitan simbolik. Tetapi keturunan Gajayana kemudian memindahkan lagi
keratonnya ke sebelah barat yakni di Chopo’o atau Kepu (ng). Ditulis Oleh Anana,
Cucu Raja Gajayana. Keberadaan kerajaan Kanjuruhan sendiri diketahui berdasar
inskripsi dari prasasti yang ditulis oleh Anana, cucu raja Gajayana. Prasati
itu ditulis dengan huruf kawi tetapi berbahasa Sansekerta. Menurut terjemahan
F.D.K. Bosch dalam De Sanskritinscriptie op den steen van Dinaya, terjemahan
Prasati Dinoyo adalah sebagai berikut:
“Kemuliaan di tahun
saka 682 yang telah berlalu ada seorang raja bijaksana dan berkuasa Dewa-simha
di bawah lindungannya api putukecwarayang menyebar sinar di sekelilingnya Juga
Limwa puteranya yang bergelar Gajayana melindungi manusia bagaikan anaknya
Ketika ayahandanya marak ke langit Limwa melahirkan anak perempuan Uttejana
namanya dan dia adalah permaisuri raja Pradaputra dia juga ibu Anana yang bijaksana
cucu Gajayana orang selalu berbuat baik terhadap kaum Brahmana dan pemuja
Agastya tuan yang dilahirkan dari Tempayan.”
Ananah
yang menyuruh penduduk dan banyak orang penting untuk membangun kediaman yang
indah untuk Agastya yang Agung dan Suci untuk menghancurkan kekuatan musuh.
Sesudah itu dia melihat patung Kalacaya dari kayu cendana yang dibuat
leluhurnya dan tak boleh dipandang lebih lama diapun dengan segera
memerintahkan kepada seorang seniman untuk membuat arca resi yang sama dari
batu hitam/ yang keindahannya sangat menakjubkan. Bertolak dari bunyi Dinasti
Tang dan Prasati Dinoyo, maka diketahui bahwa Karajaan Kanjuruhan didirikan
oleh Limwa atau Gajayana sebagai kelanjutan dari kerajaan kalingga atau Holing
yang berkeraton di Bogor Pradah, Sima (an), Kepu (ng), Kediri. Pelanjut
Gajayana adalah Uttejana, puteri Gajayana yang menikah dengan anak lelaki
Pradah Putera. Uttejana digantikan oleh Anana dimana pada masa pemerintahan
Anana inilah candi Badut dan Prasasti Dinoyo dibuat yakni sekitar tahun 760
Masehi.
Menurut
catatan Dinasti Tang, raja Kalingga atau Holing mengirim utusan ke kaisar pada
766 dan 779 yakni masa yang sama dengan masa kekuasaan Anana. Dengan demikian,
Raja Kalingga atau Holing yang diberitakan Dinasti Tang hidup di kota Chopo’o
atau Kepu (ng) adalah keturunan dari Anana. Sebuah legenda menceritakan sejarah
merawikan bahwa kekuasaan yang dipimpin Prabu Gajayana disucikan oleh sang
Putikecrawa atau Mahadewa Syiwa. Selain piagam Dinoyo, banyak lagi peninggalan
sejarah yang mengindikasikan tingginya peradaban dan epik sejarah Malang.
Seperti, Candi Badut yang ada pahatan Mahakala, Nadicwara, Arca Agastya, Piagam
Muncang, Arca Ganesya, piagam Sukun dan lain-lainnya.
Menelusuri
peta kekuasaan di tanah Jawa tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan
perkembangan ajaran Hindu dan Buddha yang dibawa oleh para Wangsa Mataram di
Kedu dan Wangsa Sailendra. Gelombang kekuasaan Hindu berhembus dari arah Barat
yang akhirnya menguasai seluruh daratan Jawa. Empu Sendok yang merintis
berdirinya Kerajaan Medaeng (Medang) penuh dengan misi perubahan yang berlatar
Hindu. Dalam perkembangannya kemudian, Kahuripan lahir sebagai wuri kerajaan
Medaeng, memperbaharui implementasi tata kasta yang saat itu meminggirkan peran
mayoritas rakyat, terutama kaum tani dan nelayan. Implementasi pembaharuan itu
mengukuhkan seorang sosok pembangun yang dikenal dalam sejarah sebagai seorang
pembebas yang bernama Sri Erlangga. Tidak heran bila burung garuda (tunggangan
Dewa Wisnu) di identikkan juga dengan Erlangga. Misi ‘Magna Carta’ yang ia
cetuskan dipandang seiring dengan harapan masyarakat pada konteks peradaban
manusia kala itu. Tampakanya factor ini juga yang mengharuskan Malang berada
dalam pengaruh Wangsa Isyana.
Timbulnya
karajaan Kanjuruhan tersebut, oleh para ahli sejarah dipandang sebagai tonggak
awal pertumbuhan pusat pemerintahan yang sampai saat ini, setelah 12 abad
berselang, telah berkembang menjadi Kota Malang. Tahun penemuan Prasati abad 7
ini yang dipakai sebagai Hari jadi Kabupaten Malang, yang sekarang sudah
berusia 1249 tahun. Dan dari Nama Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan banyak
digunakan simbul-simbul kemegahan bangunan Kabupaten Malang / Kota
Malang. Keberadaan situs yang juga dikenal dengan nama kerajaan
kanjuruhan ini dapat dikaitkan dengan berita-berita Cina dari Dinasti Tang,
yang menyebutkan bahwa pada saat itu di Jawa terdapat sebuah Kerajaan Kalingga
atau Holing, dimana raja hidup di kota Chopo’o yang salah satu nenek moyangnya
bernama Kiyen pernah memindahkan tahtanya ke sebelah timur, yaitu P’louk’iasseu.
Toponim Chopo’o dapat dikaitkan dengan nama Kepung, yaitu kota kecamatan
diamana dusun Bogor Pradah yang terletak di Desa Siman Berada. Sedang untuk
nama kalinga atau Holing berkaitan dengan toponim Keling, desa disebelah Desa
Kepung.
Sementara
nama P’olouk’iasseu merujuk pada toponim Waharu Gasek (nama Waharu sempat
hilang tetapi kemudian disebutkan dalam prasasti Waharu yang ditemukan dekat
karang Besuki dan yang tersisa hanya nama toponim Gasek). Sedangkan untuk gelar
“Kiyen” menurut berita Tang yang disandang raja tampaknya merujuk pada gelar
khas “Ken” yang lazim digunakan para bangsawan di daerah Malang hingga abad ke
-13, seperti terpatri pada nama Ken Arok, Ken Dedes dan Ken Umang. Dengan
demikian jelaslah bahwa yang memindahkan ibu kota ke sebelah timur sebagaimana
dimaksud berita dari dinasti Tang adalah Gajayana.
Berdasarkan
data dari Lingkaran Studi Kebudayaan Malang (LSKM) 200, WJ Van Der Meulen
(1988) menyebutkan bahwa berpijak pada sumber-sumber Tionghoa lainnya,
perpindahan ibu kota Kerajaan Kalingga atau Holing terjadi antara tahun 742
-755. Penetapan tahun tersebut bertepatan dengan masa dimana Gajayana hidup,
sepeninggal Dewa Simha. Gajayana memindahkan ibu kotanya dari sebelah barat
Gunung Kelut ke sebelah timur Gunung kawi. WJ Van Der Meulen juga
berpendapat bahwa perpindahan itu berkaitan dengan serangan angin ribut
(Sanjaya) yang menyerang dari arah barat. Perpindahan itu merupakan
strategi terbaik dari Gajayana, terutama jika hal tersebut dikaitkan dengan
letak geografis Kanjuruhan yang berada di wilayah Tumapel dengan dipagari
barisan gunung di sekelilingnya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat di simpulkan bahwa sebelum mendirikan keraton
Kajuruhan, Gajayana bertempat di Bogor Pradah, tetapi karena berlindung dari
serangan Sanjaya yang berasal dari barat, maka Gajayana memindahkan keratonnya
ke sebelah timur, yakni Kanjuruhan. Dengan demikian nama “juruh” dan “bogor”
memiliki kaitan simbolik. Tetapi keturunan Gajayana kemudian memindahkan lagi
keratonnya ke sebelah barat, yakni di Chopo’o atau Kepung.
Keberadaan
Kerajaan Kanjuruhan sendiri diketahui berdasarkan inkripsi dari prasati yang di
tulis oleh Anana, cucu Raja Gajayana. Prasasti itu ditulis dengan menggunakan
bahasa Sansekerta. Menurut terjemahaan F.D.K. Bosch dalam “De Sans
Kritinscriptie op dan steen van Dinaya,” terjemahan Prasasti Dinoyo adalah
sebagai berikut :
“Kemulan di tahun Saka
682 yang telah berlalu, ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, Dewa Simha.
Dibawah lindungannya api putikecwara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya,
juga Limwa peteranya yang bergelar Gajayana melindungi manusia bagaikan
anaknya. Ketika ayahandanya marak ke langit. Limwa melahirkan anak perempuan,
Uttejana namanya dan dia adalah permaisuri Raja Pradaputra, dia juga ibu Anana
yang bijaksana. Cucu Gajayana orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum
Brahmana dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan.”
Bertolak
dari bunyi berita Dinasti Tang dan prasasti Dinoyo, maka diketahui bahwa
kerajaan Kanjuruhan didirikan oleh Limwa atau Gajayana sebagai kelanjutan
dari kerajaan Kalingga atau Holing yang berkeraton di Bogor Pradah, Siman
Kepung, Kediri, Penerus Gajayana adalah Uttejana yang kemudian digantikan oleh
Anana, dimana pada masa pemerintahan Anana inilah Candi Badut dan Prasasti
Dinoyo dibuat, yakni sekitar tahun 760 Masehi.
Sumber :
Google Wikipedia dan Blog lainnya.
Kalau itu benar, sekali lagi kalau itu benar, maka kerajaan Kanjuruhan kalah tua dengan suatu kerajaan di Kabupaten Kediri (Bogor Pradah, didirikan Dewa Simha, katanya).
BalasHapus