KISAH KOTA CIREBON
Orientasi
Asal
Nama Kota Cirebon
Kota
Cirebon adalah salah satu kota yang berada di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Kota
ini berada di pesisir utara Pulau Jawa atau yang dikenal dengan jalur pantura
yang menghubungkan Jakarta-Cirebon-Semarang-Surabaya. Pada awalnya Cirebon
berasal dari kata sarumban, Cirebon adalah sebuah dukuh kecil yang dibangun
oleh Ki Gedeng Tapa. Lama-kelamaan Cirebon berkembang menjadi sebuah desa yang
ramai yang kemudian diberi nama Caruban (carub dalam bahasa Cirebon artinya
bersatu padu). Diberi nama demikian karena di sana bercampur para pendatang
dari beraneka bangsa diantaranya Sunda, Jawa, Tionghoa, dan unsur-unsur budaya
bangsa Arab), agama, bahasa, dan adat istiadat. kemudian pelafalan kata caruban
berubah lagi menjadi carbon dan kemudian cerbon.
Selain karena faktor penamaan tempat penyebutan kata cirebon juga dikarenakan sejak awal mata pecaharian sebagian besar masyarakat adalah nelayan, maka berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai, serta pembuatan terasi, petis dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan terasi atau yang dalam bahasa Cirebon disebut (belendrang) yang terbuat dari sisa pengolahan udang rebon inilah berkembang sebutan cai-rebon (bahasa sunda : air rebon), yang kemudian menjadi cirebon.
Geografi
Cirebon
Kota
Cirebon terletak pada 6°41′LU 108°33′BT pantai Utara Pulau Jawa, bagian timur
Jawa Barat, memanjang dari barat ke timur 8 kilometer, Utara ke Selatan 11
kilometer dengan ketinggian dari permukaan laut 5 meter (termasuk dataran
rendah). Kota Cirebon dapat ditempuh melalui jalan darat sejauh 130 km dari
arah Kota Bandung dan 258 km dari arah Kota Jakarta.
Kota Cirebon terletak pada lokasi yang strategis dan menjadi simpul pergerakan transportasi antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Letaknya yang berada di wilayah pantai menjadikan Kota Cirebon memiliki wilayah dataran yang lebih luas dibandingkan dengan wilayah perbukitannya. Luas Kota Cirebon adalah 37,54 km2 dengan dominasi penggunaan lahan untuk perumahan (32%) dan tanah pertanian (38%).
Wilayah Kotamadya Cirebon Sebelah Utara dibatasi Sungai Kedung Pane, Sebelah Barat dibatasi Sungai Banjir Kanal, Kabupaten Cirebon, Sebelah Selatan dibatasi Sungai Kalijaga, Sebelah Timur dibatasi Laut Jawa. Sebagian besar wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian antara 0-2000 dpl, sementara kemiringan lereng antara 0-40 % di mana 0-3 % merupakan daerah berkarateristik kota, 3-25 % daerah transmisi dan 25-40 % merupakan pinggiran. Kota ini dilalui oleh beberapa sungai di antaranya Sungai Kedung Pane, Sungai Sukalila, Sungai Kesunean, dan Sungai Kalijaga.
Sejarah
Cirebon
Menurut
Manuskrip Purwaka Caruban Nagari, pada abad 15 di pantai Laut Jawa ada sebuah
desa nelayan kecil bernama Muara Jati. Pada waktu itu sudah banyak kapal asing
yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat. Pengurus pelabuhan adalah
Ki Gedeng Alang-Alang yang ditunjuk oleh penguasa Kerajaan Galuh (Pajajaran).
Dan di pelabuhan ini juga terlihat aktivitas Islam semakin berkembang. Ki
Gedeng Alang-Alang memindahkan tempat permukiman ke tempat permukiman baru di
Lemahwungkuk, 5 km arah selatan mendekati kaki bukit menuju kerajaan Galuh.
Sebagai kepala permukiman baru diangkatlah Ki Gedeng Alang-Alang dengan gelar
Kuwu Cerbon.
Pada Perkembangan selanjutnya, Pangeran Walangsungsang, putra Prabu Siliwangi ditunjuk sebagai Adipati Cirebon dengan Gelar Cakrabumi. Pangeran inilah yang mendirikan Kerajaan Cirebon, diawali dengan tidak mengirimkan upeti kepada Raja Galuh. Oleh karena itu Raja Galuh mengirimkan bala tentara ke Cirebon Untuk menundukkan Adipati Cirebon, namun ternyata Adipati Cirebon terlalu kuat bagi Raja Galuh sehingga ia keluar sebagai pemenang.
Dengan demikian berdirilah kerajaan baru di Cirebon dengan Raja bergelar Cakrabuana. Berdirinya kerajaan Cirebon menandai diawalinya Kerajaan Islam Cirebon dengan pelabuhan Muara Jati yang aktivitasnya berkembang sampai kawasan Asia Tenggara. Kemudian pada tanggal 7 Januari 1681 Cirebon secara politik dan ekonomi berada dalam pengawasan pihak VOC, setelah penguasa Cirebon waktu itu menanda tangani perjanjian dengan VOC.
Pada tahun 1858, di Cirebon terdapat 5 toko eceran dua perusahaan dagang. Pada tahun 1865, tercatat ekspor gula sejumlah 200.000 pikulan (kuintal), dan pada tahun 1868 ada tiga perusahaan Batavia yang bergerak di bidang perdagangan gula membuka cabang di Cirebon. Pada tahun 1877 Cirebon sudah memiliki pabrik es. Pipa air minum yang menghubungkan sumur-sumur artesis dengan perumahan dibangun pada tahun 1877.
Pada masa kolonial pemerintah Hindia Belanda, tahun 1906 Cirebon disahkan menjadi Gemeente Cheribon dengan luas 1.100 ha dan berpenduduk 20.000 jiwa (Stlb. 1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Kemudian pada tahun 1942, Kota Cirebon diperluas menjadi 2.450 ha dan tahun 1957 status pemerintahannya menjadi Kotapraja dengan luas 3.300 ha, setelah ditetapkan menjadi Kotamadya tahun 1965 luas wilayahnya menjadi 3.600 ha.
Cikal Bakal Nama Kota Cirebon Ternyata Dari Dua Benda
Ini
Editor: Wahid Nurdin
Anda
barangkali sudah familiar dengan nama Cirebon, sebuah kota di Jawa Barat. Namun masih
banyak orang yang belum tahu sejarah nama Cirebon itu muncul sebagai
nama kota di kawasan tersebut. Usut punya usut, menurut keyakinan dan cerita
yang beredar di masyarakat, asal muasal nama Cirebon, ternyata berasal dari
dua situs benda cagar
budaya yang ada di pelataran Keraton Kanoman Cirebon.
Lingga
dan Yoni, dua benda yang menyerupai kelamin pria dan wanita ini ternyata adalah
asal usul dinamakannya kota Cirebon.
Mustaqim, pemandu wisata Travel Heritage, Keraton Kanoman Cirebon, bercerita, Kota Cirebon merupakan kota pesisir
yang sangat dekat dengan laut. Sejak zaman dahulu sebagian besar masyarakat Cirebon berprofesi sebagai
nelayan. Mereka menggantungkan hidupnya, mengambil dan mengolah hasil dari
laut. Ia menuturkan, salah satu produk yang dibuat oleh masyarakat Cirebon yang dikenal sampai
sekarang adalah Terasi, produk olahan laut yang terbuat dari udang yang
difermentasikan, dan digunakan untuk bumbu masakan.
"Terasi
merupakan salah satu produk hasil laut, yang sudah diproduksi sejak zaman
dahulu ketika Cirebon masih
dalam bentuk Kerajaan pada abad ke 15," tutur Mustaqim, Jumat (2/10/2015)-Lanjutnya,
Terasi ini dibuat dari bahan-bahan hasil panenan nelayan seperti ikan-ikan
kecil dan udang yang sudah dibuang kepalanya. Cara pembuatannya, campuran ikan
dan udang ditambah air garam dihancurkan dengan alu dan lumpang, untuk
selanjutnya difermentasikan. Zaman dahulu, alat alu dan lumping ini menyiratkan
simbol tertentu. Seperti alu yang disimbolkan sebagai lingga atau alat kelamin
pria, dan lumpang yang disimbolkan sebagai Yoni atau menyerupai alat kelamin
wanita. "Alu dan Lumpang, alat-alat untuk membuat terasi ini disimbolkan
sebagai Lingga dan Yoni sebagaimana pria dan wanita," ujar Mustaqim.
Mustaqim
bercerita, Alu dan Lumpang yang menyimbolkan Lingga dan Yoni ini ternyata
diabadikan di pelataran Keraton Kanoman Cirebon. Lingga, berbentuk
sebagai alu, batu silinder panjang sepanjang kurang lebih satu meter diletakkan
di bangunan gubuk di sebelah utara Siti Inggil Keraton Kanoman Cirebon. Sebagai mana dengan
Yoni, yang berbentuk seperti meja dengan luas satu kali satu meter, dengan
lubang di tengah-tengahnya. Lanjutnya, lingga dan yoni ini ternyata digunakan
oleh masyarakat sejak zaman dahulu untuk membuat terasi. Sedangkan asal usul
nama Cirebon didapat ketika
zaman dahulu masyarakat di Keraton Kanoman Cirebon membuat terasi, dari
air garam (cair) dan udang (rebon).
Sampai
saat itulah, daerah di Keraton Kanoman selanjutnya dinamakan Cirebon.
"Cirebon
berasal dari kata Cair yang artinya air, dan rebon yang artinya udang. Karena
kebiasaan, daerah tersebut, dinamakan Cirebon. Sedangkan alu dan
lumping tersebut sebagai perlambangnya. Istilah tersebut yang dulu digunakan
masyarakat Kanoman untuk menamakan daerahnya," tutur Mustaqim. Bangunan
lingga dan yoni telah ada sejak didirikannya Keraton Kanoman Cirebon pada tahun 1678
Masehi, oleh Sultan Anom I. Alu dan lumpang ini masih dapat disaksikan sampai
sekarang, terletak di belakang pasar Kanoman, di sebelahnya kokoh berdiri
Ringin Kurung dan Siti Inggil Keraton Kanoman Cirebon.
ASAL USUL NAMA JALAN DI KOTA
CIREBON
Kota
Cirebon sudah lama dikenal dengan budayanya yang sangat kuat. Bahkan, nama-nama
jalan di kota ini memiliki asal-usul tersendiri. Memang banyak versi
berkembang, perjalanan Putra Prabu Siliwangi, Walangsungsang saat melakukan Babad Yaksa menjadi salahsatu asal
muasal penamaan sejumlah daerah di wilayah Cirebon. Beberapa versi soal
penamaan sejumlah daerah di Cirebon, yang dirangkum radarcirebon.com, di antaranya Sejarah Cirebon, Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN)
dan Babad Tanah Sunda (BTS)
memiliki perbedaan satu sama lainnya. Namun, perbedaan ini adalah sebuah
kekayaan tersendiri bagi gerage (negeri gede), sebutan Cirebon dari
naskah Carita Purwaka Caruban Nagari
(CPCN).
Dalam
buku Sunan Gunung Jati (Antara
Fiksi dan Fakta), Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural
yang ditulis Dr H Dadan Wildan MHum, di dalamnya juga memuat cerita di balik
penamaan tempat-tempat di Cirebon. Sejarah Cirebon jilid kedua menguraikan
panjang lebar tentang asal-usul sebuah tempat terutama Lemahwungkuk, Panjunan,
Pasayangan, Pekarungan, Gunungsari, Dukuh Semar, Kebon Pring, Pekalangan,
Pandesan, Parujakan, Anjatan, Pulasaren dan Jagasatru.
Cerita
itu bermula ketika Walangsungsang alias Somadullah berpamitan menuju arah
selatan dari Gunung Jati. Hari itu adalah hari Sabtu. Walangsungsang sampai di
tempat yang sunyi dan tidak ada seorang pun kecuali seorang lelaki yang sudah
sangat tua bernama Ki Pangalang-alang. Sesampainya di tempat itu,
Walangsungsang mengucapkan kalimat lamma waqo’tu atau saya telah tiba.
Karenanya tempat itu dinamakan Lemahwungkuk. Usai sembahyang, Walangsungsang
keluar dari rumah untuk memulai pekerjaan. Ia melihat banyak pohon besar,
bahkan ada yang tingginya 500 meter, dengan rajin dia membuka hutan belukar,
menebang pepohonan menuju arah utara Lemahwungkuk. Hingga dia tiba di suatu
tempat yang banyak binatang buas, lalu ia membaca doa agar terhindar dari
celaka.
Setelah
selamat dari gangguan, ia berucap fa anjaena yang artinya aku telah selamat.
Oleh karena itu tempat itu dinamakan Panjunan. Perjalanan berikutnya,
Walangsungsang berjalan ke arah barat sampai ia merasa kebingungan dan tidak
tahu jalan. Ia kembali membaca doa dan nampaklah jalan, dan ketika itu dia berucap
fasyalamuna artinya mengetahuilah. Tempat ini kemudian dinamai Pasayangan.
Perjalanan Walangsungsang kemudian berlanjut ke daerah yang menjadi cikal bakal
Pekarungan.
Asal
kata Pekarungan sendiri adalah fakkarnaa, kata yang diucapkan Walangsungsang
saat merasa bimbang akan melanjutkan perjalanan atau tidak. Perjalanan
berlanjut dan Walangsungsang pun merasa senang, tempat itu kemudian dinamakan
Gunung Sari dan Dukuh Semar dari ucapan Walangsungsang qooma sirri jami’an
samarin.
Dari
perjalanan Walangsungsang itu beberapa daerah memiliki cikal bakal nama seperti
Parujakan yang asal katanya farjanaa, Pekalangan yang juga berasal dari ucapan
Walangsungsang yaitu fachlonaa (aku terlupa pikiran), Pandesan yang berasal
dari fahandasnaa (aku dapat petunjuk), rokibuna rumatallahi farihin yang
menjadi cikal bakal Kebon Pring, faroaetu aajataini (aku melihat dua tanda)
yang kini daerahnya disebut Anjatan.
Perjalanan
Walangsungsang menuju arah selatan juga menjadi cikal bakal nama daerah seperti
Pulasaren yang berasal dari falaa sasarenaa (aku tidak terus berjalan). Cerita
legenda tersebut terutama pada asal mula Panjunan berbeda dengan Babad Tanah
Sunda, ceritanya berawal dari Negeri Baghdad, dimana Sultan Maulana Sulaeman
tidak tentram lantaran anak-anaknya tidak mengindahkan aturan agama.
Ketiga
anaknya kemudian dikirim ke Cirebon untuk berguru pada Syekh Nurjati atas saran
Syekh Juned. Ketiga anak Sultan Maulana Sulaeman, Syarif Abdurrahman, Syarif
Kafi dan Syarifah Baghdad kemudian berguru pada Syekh Nurjati. Singkat cerita,
Syarif Abdurrahman menjadi ayunaning orang (pemimpin masyarakat) yang bekerja
membuat keramik dari tanah liat. Kemudian ia disebut Pangeran Panjunan.
Karenanya pemakamannya pun disebut Dukuh Panjunan pada 1464.
Berdasarkan
Babad Tanah Sunda, ada beberapa
daerah lain yang memiliki cerita legenda seperti Kejaksan, Kapetakan, Gunung
Ciremai dan Pakungwati. Salahsatunya nama Kejaksan yang diambil dari nama
jabatan Syarif Abdurrahim ketika tinggal di Cirebon. Saat itu Syarif Abdurrahim
menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama dan disebut Pangeran Kejaksan.
Foto
ini menunjukkan Masjid At Taqwa di Alun Alun Kejaksan
Keraton
Kanoman punya catatan tersendiri untuk legenda nama-nama jalan ini. Catatan
Budayawan TD Sujana yang didokumentasikan dalam pustaka Keraton Kanoman juga
menceritakan asal mula 54 daerah di wilayah Cirebon. Sumber topo nimi yang
dibuat TD Sujana, adalah Babad
Cirebon.
Dari
sekian banyak legenda nama jalan tersebut, hanya akan dibahas beberapa di
tulisan ini terutama yang memiliki perbedaan versi dengan perjalanan
Walangsungsang yang ditulis dalam naskah Sejarah
Cirebon. Misalnya Pulasaren yang dalam tulisan TD Sujana penamaan
tersebut dikarenakan ada sebuah rumah milik Pangeran Pulasaren. Kemudian
Lemahwungkuk yang menurut TD Sujana dinamakan demikian karena tanah di kawasan
itu yang memang paling tinggi dari seluruh dataran Kota Cirebon. Sunan Kalijaga
waktu itu datang ke Cirebon untuk berguru pada Sunan Gunung Jati, setelah
berhari-hari menunggu kemudian dia tertidur dalam keadaan duduk membungkuk.
Inilah asal-usul Lemahwungkuk.
Sedangkan
Pekalangan, menurut catatan TD Sujana, berasal dari salahsatu rumah milik Ki
Gedheng Pekalangan yang juga berfungsi untuk memelihara Ki Pedati Gedhe. Untuk
kawasan Karanggetas, nama ini berasal dari kondisi tanah yang bila musim
kemarau kekeringan tetapi pada musim hujan tanahnya gembur. Untuk Panjunan,
dalam catatan TD Sujana penamaan tempat didasarkan pada Pangeran Panjunan yang
saat itu tinggal di kawasan tersebut. Berikut foto Pasar Bolong Tjirebon
1906-1931,
Juru
Bicara Keraton Kanoman, Ratu Raja Arimbi Nurtina ST, mengatakan,
perbedaan-perbedaan cerita legenda soal penamaan tempat di wilayah Cirebon
memang menghadirkan kesulitan tersendiri dalam melakukan inventarisasi. Tetapi,
perbedaan-perbedaan tersebut menjadi salahsatu ciri bahwa Cirebon adalah daerah
dengan latar belakang budaya yang sangat kuat. “Ini salahsatu bukti kekuatan
budaya dan latar belakang sejarah yang dimiliki Cirebon,” ujar Arimbi di
kediamannya di komplek Keraton Kanoman.
Menurut
Arimbi, masing-masing versi memiliki latar belakang sendiri soal penamaan
sebuah tempat. Misalnya penamaan Panjunan yang dasarnya adalah tempat tinggal
Pangeran Panjunan atau Kejaksan yang merupakan jabatan Jaksa yang diemban
Pangeran Kejaksan.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar