KISAH PAKU ALAM
Orientasi
Bendara Pangeran Harya Natakusuma (bahasa Jawa: Bendoro Pangeran Haryo Notokusumo, lahir pada 21 Maret 1764 (versi lain 1760) di Yogyakarta. Ia adalah putera ketiga Hamengkubuwono I dan Raden Ayu Srenggara, seorang selir yang berasal dari desa Karangnangka. Di dalam urutan seluruh putra-putri Hamengkubuwono I Notokusumo adalah urutan ke 11. Ia merupakan salah satu putra terkasih Sultan HB I.
Paku Alam
adalah anak dari Sultan Hamengkubuwana I saat
Sultan masih dalam peperangan dengan Belanda. Setelah Sultan wafat (1792),
seorang puteranya Bendara Pangeran Harya Notokusumo ketika diangkat menjadi Pangeran Merdiko
oleh Pemerintah Inggris nama Paku Alam dipilihnya sebagai gelar raja
melalui Perjanjian Politik 17 Maret 1813
dengan wilayahnya disebut Kadipaten. Ia merupakan putra ketiga Hamengkubuwana I dan sebagai raja di wilayah Kadipaten
bergelar sebagai Kanjeng Gusti Pangeran
Arya Adipati Paku Alam. Bendara Pangeran Harya Notokusumo dalam perjanjian 17 Maret 1813 adalah Paku Alam I. Gelar ini kemudian diteruskan ke
keturunan-keturunannya hingga saat ini yakni Paku Alam X:
Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Paku Alam IX
(dengan nama lahir Bendoro Raden Mas Haryo (BRMH) Ambarkusumo
lahir di Pakualaman, 7 Mei 1938 – meninggal
di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta,
21 November 2015 pada umur 77 tahun) adalah adipati pertama dari Pakualaman yang ditahtakan setelah Indonesia merdeka. Ibundanya bernama KBRAy Purnamaningrum.
Pada 26 Mei 1999 KPH Ambarkusumo dinobatkan sebagai KGPAA
Paku Alam IX menggantikan mendiang ayahnya Paku Alam VIII. Dari pernikahannya pada tahun 1966,
ia dikaruniai 3 orang putra. Pada tahun 2003
ia diangkat menjadi wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
periode 2003-2008, mendampingi Hamengkubuwana X sebagai gubernur.
Riwayat Hidup
Banyak yang
mengatakan bahwa KPH/Pangeran Ambarkusumo yang dinobatkan menjadi Paku Alam IX,
bukanlah sosok yang tepat untuk mewarisi tahta Pakualam dan masyarakat
Yogyakarta pada umumnya masih banyak yang belum mengenal sosoknya. Selain
Sultan Hamengkubuwono, Pakualam juga memiliki peranan yang penting di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Sri Paku Alam IX atau yang sebelumnya dikenal dengan nama
B. R. M. H. Ambarkusumo ini merupakan putra tertua dari K.G.P.A.A. Paku Alam
VIII dan ibundanya K.R.Ay. Purnamaningrum. Ia menikah dengan teman SMA-nya,
Koesoemarini, yang merupakan alumni dari Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada
pada tahun 1966.
Mereka kemudian
dikaruniai 3 orang putra, yakni:
1.
Wijoseno Hariyo Bimo, lahir tahun 1962, seorang ekonom.
2.
Hariyo Seno, lahir
tahun 1972, dan
3.
Hariyo Danardono,
lahir tahun 1974, seorang mahasiswa.
Putra pertama mereka,
Wijoseno Hariyo Bimo menikah dengan Atika Purnomowati, seorang ekonom pula dan
dikaruniai dua orang putra. Mereka sekeluarga tinggal di dalam lingkungan
istana Pakualaman di Yogyakarta (Suryo S. Negoro). Kamis (10/5/2012) di Bangsal Kencono Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. KGPAA Pakualam IX mendampingi Raja Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat HB X, mengeluarkan Sabda Tama mengenai KEISTIMEWAAN
DIY. Sabda yang dikeluarkan untuk pertamakali sepanjang sejarah Sultan HB X
menjadi Raja yang menjelaskan kedudukan DIY sebagai bagian Nusantara yang
istimewa dan otonom.
Perebutan Kekuasaan
Pada 15 April 2012, KPH Anglingkusumo
mendeklarasikan (atau didaulat) menjadi KGPAA Paku Alam IX. Peristiwa ini
berlangsung di Pantai Glagah Kulon Progo (secara tradisional kawasan
Pantai Glagah termasuk wilayah Kabupaten Adikarto milik Kadipaten Paku Alaman).
Pendeklarasian yang dilaksanakan pada acara sedekah laut ini didukung oleh
beberapa elemen masyarakat. Paku Alam IX akhirnya wafat pada tanggal 21
November 2015 pukul 15.10 WIB di ICU RSUP Dr. Sardjito Sleman karena sakit.
Nama-Nama Raja
Nama
|
Jangka hidup
|
Awal memerintah
|
Akhir memerintah
|
Keterangan
|
Keluarga
|
Gambar
|
Paku Alam I
Pangeran Harya Natakusuma |
21
Maret 1764 – 4 Oktober 1829 (umur 65)
|
1813
|
1829
|
Anak
dari Hamengkubuwono I
|
||
Paku Alam II
Raden Tumenggung Natadiningrat |
25
Juni 1786 – ?
|
1829
|
1858
|
Anak
dari Paku Alam I
|
||
Paku Alam III
Pangeran Harya Sasraningrat |
20
Desember 1827 – 17 Oktober 1864 (umur 36)
|
1858
|
1864
|
Anak
dari Paku Alam II
|
||
Paku Alam IV
Raden Mas Nataningrat |
25
Oktober 1841 – ?
|
1864
|
1878
|
Keponakan
dari Paku Alam III
|
||
Paku Alam V
Pangeran Harya Suryadilaga |
23
Juni 1833 – ?
|
1878
|
1900
|
Anak
dari Paku Alam II
|
||
Paku Alam VI
Pangeran Ario Notokusumo |
9
April 1856 – ?
|
1900
|
1902
|
Anak
dari Paku Alam V
|
||
Dewan
Perwalian Kadipaten Pakualaman
|
1902
|
1906
|
||||
Paku Alam VII
Raden Mas Haryo Surarjo |
9
Desember 1882 – 16 Desember 1937 (umur 55)
|
1906
|
1937
|
Anak
dari Paku Alam VI
|
||
Paku Alam VIII
Raden Mas Haryo Sularso Kunto Suratno |
10
April 1910 – 11 September 1998 (umur 88)
|
1937
|
1998
|
Anak
dari Paku Alam VII
|
||
Paku Alam IX
Raden Mas Haryo Ambarkusumo |
7
Mei 1938 - 21 November 2015 (umur 77)
|
1998
|
2015
|
Anak
dari Paku Alam VIII
|
||
Paku Alam X
Raden Mas Wijoseno Hario Bimo |
15 Desember 1962 (umur 55)
|
2016
|
Anak
dari Paku Alam IX
|
Perjalanan Panjang Menuju Tahta Paku Alam
Kiprah BPH Natakusuma dalam kancah politik
telah dilakukan ketika masih muda. Sekitar 1780 ia mendapat gelar Bendara
Pangeran Harya (disingkat BPH), sebuah gelar pejabat senior di Kasultanan
Yogyakarta. Putra Raden Ayu Srenggara ini sangat dekat hubungannya dengan
Pangeran Adipati Anom (gelar putra mahkota) yang kelak menjadi Hamengkubuwana II. Pada
masa pemerintahan Hamengkubuwana II timbul
intrik-intrik istana yang disulut oleh Patih Danureja II
(semacam Sekretaris Negara) dan Van Braam, minister untuk Surakarta. Pertentangan antara Sultan HB II dan Patihnya
membawa banyak sekali akibat. Hubungan antara Hamengkubuwana II dan Pangeran Adipati Anom yang kelak menjadi
Hamengkubuwana III tidak
harmonis. Untuk meredam ambisi Danureja II, Sultan mengangkat RT Natadiningrat
(kelak menjadi Paku Alam II) menjadi sekretaris istana dan menyerahkan hampir
semua urusan Sekretariat Negara padanya. Hal ini semakin memperuncing keadaan
yang ada.
Dengan sedikit intrik, Danureja II berhasil
memancing pemberontakan Bupati Madiun, Raden Rangga. BPH
Natakusuma dan terutama putranya RT Natadiningrat ikut terseret dan dituduh
mendalangi pemberontakan. Berkat laporan keliru yang dibuat Danureja II dan van
Braam, Herman Willem Daendels,
Gubernur Jenderal Belanda-Perancis di Batavia, memerintahkan pembebasan tugas RT Natadiningrat dari
sekretaris istana. Selanjutnya Daendels
meminta Hamengkubuwana II untuk
menyerahkan Natakusuma dan Natadiningrat ke Semarang. Akhirnya Natakusuma dan Natadiningrat diberangkatkan
ke Semarang dan ditawan disana. Kemudian kedua tawanan dibawa ke Tegal dan
selanjutnya ke Cirebon, dimana terjadi upaya pembunuhan terhadap mereka.
Setelah dari Cirebon, Natakusuma dan Natadiningrat
dipindahkan ke Batavia. Pada saat yang sama, dengan perundingan dan kekuatan
7000 pasukan Belanda-Perancis, Hamengkubuwana II dimakzulkan paksa dari tahtanya. Sebagai
pengganti diangkatlah Pangeran Adipati Anom sebagai Hamengkubuwana III.
Di Batavia ternyata juga terjadi kejadian yang tak terduga.
Daendels dicopot dari jabatannya dan digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Willem Janssens.
Gubernur Jenderal yang baru ini berusaha memulihkan keadaan dengan memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang dilakukan pendahulunya. Natakusuma dan Natadiningrat
tidak lagi diperlakukan sebagai tawanan kriminal. Namun ia berdua tetap belum
diperbolehkan kembali ke Kesultanan Yogyakarta. Pada jeda waktu yang tak terlalu lama
terdengar berita Bala Tentara Pemerintah Kerajaan Inggris mulai masuk perairan Laut Jawa. BPH Natakusuma dan RT Natadiningrat diminta ke
Bogor dan diserahkan pada adik Sekretaris Jendral Belanda- Perancis. Setelah
tentara Belanda-Perancis kalah di Batavia dan Meester Cornelis (sekarang kawasan Jatinegara) serta pasukan
Kerajaan Inggris menuju Bogor, Kedua bangsawan Yogyakarta
dipindahkan ke Semarang dan akhirnya ke Surabaya.
Di Surabaya, Natakusuma ditemui Pejabat
Kerajaan Inggris. Pemerintah Kerajaan Inggris tertarik dengan kasus pengasingannya. Setelah proses
penyelidikan akhirnya Raad van Indie berpendapat
kedua bangsawan tersebut hanya merupakan korban kelicikan intrik-intrik pejabat
Belanda-Perancis. Inggris berpendapat bahwa BPH Natakusuma adalah orang yang
tepat untuk melunakkan Hamengkubuwana II yang
menentang Inggris. Kemudian ia diminta Gubernur Jawa di Semarang untuk tinggal
di kota tersebut.
Di kota lumpia itu BPH Natakusuma mendapat
sambutan yang baik. Ia berterima kasih kepada Inggris atas kepercayaan terhadapnya dan putranya. Inggris
berharap Natakusuma bersedia menjadi mediator antara Inggris dengan Sultan
Sepuh yang bertahta kembali dan menentang Inggris. Setidaknya Soedarisman Poerwokoesoemo
mencatat ada dua versi yang berbeda mengenai peran Natakusuma pada tahun
1811-1812 di Yogyakarta.
Versi pertama mengatakan setelah kembali ke
Yogyakarta BPH Natakusuma menjelaskan maksud kedatangannya pada Sultan. Sultan
dalam pernyataannya menerima proposal Inggris untuk menyerahkan tahta kepada
Adipati Anom dan meminta maaf kepada Inggris atas insiden pembunuhan Danureja
II yang dilakukan menurut perintahnya dengan kompensasi Inggris memberi amnesti kepada Sultan. Sultan juga meminta agar sikapnya
jangan dipublikasikan. Sultan menyambut sendiri Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles
ketika datang ke Yogyakarta dan mengadakan jamuan
kenegaraan.
Konflik dan intrik berdarah ternyata tidak
berhenti. Kondisi yang berbalik seratus delaan puluh derajat ini menyebabkan
Adipati Anom menjadi ketakutan. Kali ini konflik turut menyeret Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunagaran.
Setelah ibundanya ditahan oleh Sultan Sepuh-karena dianggap ikut memengaruhi
Adipati Anom, Adipati Anom bekerja sama dengan Kapten Tan Jin Sing menemui John Crawford,
residen Inggris untuk Yogyakarta. Dari hasil pertemuannya Crawford
dalam suratnya kepada Raffles mengusulkan Adipati Anom di angkat lagi menjadi
sultan. Dalam surat itu pula Natakusuma diusulkan menjadi Pangeran Merdika. Akhirnya
diusulkan Letnan Gubernur Jenderal datang ke Yogyakarta dengan membawa pasukan
untuk berperang.
Versi kedua mencatat segera setelah
penyerahan kekuasaan dari Belanda-Perancis kepada Inggris, Hamengkubuwana II kembali mengambil alih tahta dari
putranya. Kepada pemerintah Inggris Sultan mengusulkan bebrapa
tuntutan, diantaranya, pembayaran kembali uang ganti rugi daerah pesisiran yang
diambil Belanda, Penyerahan makam-makam leluhur, dan diserahkannya BPH
Natakusuma dan RT Natadiningrat . Oleh Raffles Sultan Sepuh dibiarkan dalam kedudukannya dan bahkan diperkuat
kedudukannya. Tuntutan Sultan untuk membebaskan kedua kerabatnya dipenuhi.
Sebaliknya Sultan diminta untuk membubarkan Angkatan Bersenjata Kasultanan.
Akibat campur tangan Inggris terlalu jauh dalam urusan istana, Sultan segera
mengadakan perundingan dengan Sunan Surakarta untuk melepaskan diri dari Inggris. Sultan secara terang-terangan menentang
Inggris dengan menolak pembubaran korps prajuritnya dan memperkuat pertahanan
di istana serta menambah jumlah milisi bersenjata. Natakusuma dan Kapten Tan
Djiem Sing-lah yang memberi tahu kepada Inggris segala rencana Sultan.
Dan akibatnya pada pertengahan Juni 1812, Admiral Gillespie datang ke
Yogyakarta dengan pasukan bersenjata lengkap. Selain itu Legiun Pangeran
Prangwadana (Mangkunagaran) juga diperbantukan. Segera Gillespie mengirim
ultimatum kepada Sultan untuk segera merealisasikan sikapnya dengan menyerahkan
tahta pada Adipati Anom dan menjadikan BPH Natakusuma menjadi pangeran merdika.
Sultan dengan tegas enggan memenuhi ultimatum. Sebuah versi mengemukakan mulai 18 Juni 1812 istana mulai dihujani meriam. Setelah
mengepung tiga hari dan mengadakan serangan kilat pada hari terakhir istana
dapat ditaklukkan pada 20 Juni 1812. Versi lain berpendapat mulai
20 Juni 1812 keraton mulai diserang dan pada 28 Juni 1812 istana sepenuhnya dapat dikuasai Inggris. Pada
tanggal itu pula Sultan Sepuh untuk kedua kalinya diberhentikan dan sekali lagi
Hamengkubuwana III
ditahtakan sebagai Sultan Yogyakarta.
Tahta Paku Alam
Pada 29 Juni 1812 Natakusuma diangkat oleh Pemerintah Kerajaan Inggris menjadi Gusti Pangeran Adipati Paku Alam. Pengangkatan
ini berdasarkan jasa-jasanya terhadap Pemerintah Inggris (lihat Perjalanan
Panjang Menuju Tahta Paku Alam di atas). Melalui Perjanjian Politik 17 Maret
1813 (sering disebut dengan Politiek Contract) Natakusuma
secara resmi diangkat sebagai Pangeran Merdika dibawah Pemerintah Inggris
dengan gelar Pangeran Adipati Paku Alam. Kepadanya diberikan tanah dan
tunjangan, tentara kavaleri, hak
memungut pajak, dan hak tahta yang turun temurun. Semua ini diperoleh dengan
imbalan kesetiaan kepada Pemerintah Inggris. Daerah kekuasaan Paku Alam meliputi sebuah kemantren di kota Yogyakarta (sekarang menjadi wilayah
kecamatan Pakualaman) dan Daerah Karang Kemuning (Adikarto) di bagian selatan
Kabupaten Kulon Progo sekarang.
Pekerjaan sebagai penguasa baru telah
menunggu. Di samping mengurusi daerahnya sendiri Paku Alam I juga diangkat
Raffles menjadi wali Hamengkubuwana IV antara
1814-1820. Tugas perwalian ini sangat terbatas karena harus berbagi dengan GK
Ratu Ageng dan GK Ratu Kencana, nenek dan bunda Sultan, serta Patih Kasultanan.
Semasa Hamengkubuwana V
(ditahtakan ketika berusia balita), Paku Alam tidak lagi diikutkan pada
perwalian. Pada 7 Maret 1822 secara resmi oleh Pemerintah Hindia
Belanda diberi gelar Pangeran Adipati. Selanjutnya gelar ini hanya digunakan
untuk para penguasa Kadipaten yang telah berusia lebih dari 40 tahun. Dalam Perang Jawa 1825-1830 Paku Alam bersifat pasif. Setelah
memerintah selama sekitar 16 tahun Paku Alam mangkat dan dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta.
Pendiri Kadipaten Pakualaman ini meninggalkan 11 putra-putri.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar