KISAH PRABU KIANSANTANG
Orientasi
Prabu Kiansantang atau Raden Sangara
atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi Subang
Larang, Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang dinikahkan oleh Syekh Quro Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja dengan
Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang anak yaitu Walangsungsang (Pangeran
Cakrabuana), Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati) dan Prabu Kiansantang.
Prabu
Kiansantang menjadi dalem Bogor
Pada usia 22 tahun Prabu Kiansantang diangkat
menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara
penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra
Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang
peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut,
maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai
sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.
Peristiwa itu merupakan kejadian paling
istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua
sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kiansantang
merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan
kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, Prabu Kiansantang
belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya
dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa.
Sering dia merenung seorang diri memikirkan,
"Dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian
dirinya." Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu
Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah
memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah
dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang
mampu menunjukkannya.
Prabu
Kiansantang dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib
iba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu
bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah
Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu
Sayyidina Ali telah wafat, tetapi kejadian ini dipertemukan secara goib dengan
kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa.
Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu
Kiansantang, "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus
melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon.
Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra
- Bersih-Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut,
maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah.
Setiba di tanah Mekah dia bertemu dengan
seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, tetapi Kiansantang tidak mengetahui
bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah
berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu,
"Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-laki itu
menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.
Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan
dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah
berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang
Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu."
Semula Galantrang Setra tidak mau, tetapi Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau
tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."
Terpaksalah Galantrang Setra kembali ke
tempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat
tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira
tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan
tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat
itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat
dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi daripada kecabut,
malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar
pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.
Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi
namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk
pulang ke Tanah Jawa (Padjadjaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan,
maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu
Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama
Islam. Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari
sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Sunda
(Padjadjaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya.
Setibanya di Padjadjaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan
pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina
Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat
mengajak ayahnya untuk masuk agama Islam.
Kiansantang
dan Rakeyan Sancang
Prabu Kiansantang inilah disebut-sebut
tradisi masyarakat sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan
agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk
menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang
bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara
berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Cerita rakyat turun menurun dari mulut ke
mulut bahwa Prabu Kiansantang / Kian Santang abad ke 15 yang bertemu dengan
Sayyidina Ali bin Abi Thalib tahun
599-661 dan mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan, hai ini terkait dengan
siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda,
yakni dengan nama yang serupa dengan Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara,
yang bernama Rakeyan Sancang
(lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Raja Kerajaan Tarumanagara 561
– 618 M) saudara sebapak Raja Suraliman Sakti (568–597) Putra Manikmaya cucu
Suryawarman Raja Kerajaan Kendan.
Keturunan
Ki Santang
Dalam wangsit uga siliwangi dikatakan bahwa
keturunnya akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang lain.
Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik
hatinya:
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki
Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka
batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di
haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora
tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak
Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi
ulah ngalieuk ka tukang!:
artinya:
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh
kalian Ki Santang! Sebab
nanti, keturunan kalian yang akan
mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara
yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila
tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah
tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak
Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan
pergi!
Ingat! Jangan menoleh kebelakang!
Maung dan Prabu Siliwangi: Mitos atau Fakta?
Maung atau harimau
punya posisi yang cukup dalam bagi kesadaran orang Sunda. Kita bisa menemukan
maung menjadi nama tempat di kawasan Jawa Barat, seperti Cimaung dan Cimacan
yang bisa ditemukan di beberapa daerah (Garut, Subang, Banjaran, Cianjur, dll),
lambang Kodam Siliwangi, sampai Persib—klub sepakbola kebanggaan warga Jawa
Barat dan Sunda yang dijuluki Maung Bandung. Simbol maung yang melekat dalam
alam pikiran masyarakat Sunda pada umumnya dikaitkan dengan legenda nga-hyang
atau menghilangnya Prabu Siliwangi di hutan Sancang ketika dikejar bala tentara
Islam dari Kerajaan Banten dan Cirebon. Peristiwa ini mengisyaratkan mulai
masuknya pengaruh Islam di tatar Sunda. Dalam legenda ini juga disebutkan
sebelum benar-benar menghilang, Prabu Siliwangi meninggalkan pesan atau amanat
kepada para pengikutnya.
Amanat yang dikenal
dengan Uga Wangsit Siliwangi ini, di antaranya, memuat pesan Siliwangi tentang
masa depan wacana Pajajaran di masa depan: “Ti mimiti poé ieu, Pajajaran
leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal
ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal
réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu
laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu
marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.” "Dari
mulai hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. hilang kotanya, hilang
negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka
yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! Tapi
suatu saat akan ada yang akan mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan
kembali. Bisa saja, tapi menelusurinya harus memakai dasar. Tapi sayangnya yang
menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau
bicara.” (Perjalanan Spiritual Menelisik Jejak Satrio Piningit, hal. 16).
Setelah menyampaikan
pesan, Prabu Siliwangi kemudian nga-hyang. Salah satu bunyi wangsit yang
populer di kalangan masyarakat Sunda: “Lamun aing geus euweuh marengan sira,
tuh deuleu tingkah polah maung.” (Kalau aku sudah tidak menemanimu, lihat saja
tingkah laku harimau). Hal ini, salah satunya, yang mendasari keyakinan bahwa
Prabu Siliwangi telah bersalin rupa menjadi harimau. Sebagian pendapat
menerangkan harimau di sini tidak bermakna harfiah, melainkan lebih merujuk
karakter harimau yang diidentifikasi sebagai pemberani dan menyayangi keluarga.
Poin kedua dari karakter itu, yaitu menyayangi keluarga, dikaitkan dengan
pilihan Prabu Siliwangi yang konon memutuskan untuk mundur dan tidak meladeni
pasukan Islam karena menghindari pertumpahan darah. Alasannya: pengejaran itu
dipimpin oleh Kian Santang, salah satu keturunan Prabu Siliwangi. Dalam budaya
pop kiwari, salah seorang seniman Sunda yaitu Yayan Jatnika mengabadikan kisah
ini dalam lagu Sancang: “Ceunah ceuk béja baheula aya nagara/ Sancang Pakuan
Pajajaran katelahna/ Prabu Siliwangi nu jadi rajana/ sakti mandraguna/ badé
di-Islam-keun anjeunna alim/ diudag putrana Prabu Kian Santang/ ilang di
leuweung éta tilem di leuweung éta/ Sancang nu canéom geueuman.”
(Konon dulu ada
negara/ Sancang Pakuan Pajajaran disebutnya/ Prabu Siliwangi yang jadi rajanya/
sakti mandraguna/ hendak di-Islam-kan beliau tidak mau/ dikejar anaknya Prabu
Kian Santang/ hilang di hutan itu lenyap di hutan itu/ Sancang yang angker).
Uraian bahwa Prabu Siliwangi menghilang karena terdesak oleh masuknya Islam
mengandaikan bahwa dialah raja terakhir Pajajaran. Dan memang tidak sedikit
yang menganggap Siliwangi sebagai raja terakhir Pajajaran sehingga nga-hyang
atau moksanya Siliwangi sebagai akhir dari Pajajaran sendiri.
Paparan di atas, yang
merujuk legenda dan alam pikiran masyarakat Sunda, kiranya mesti diperiksa
ulang. Benarkan Prabu Siliwangi seperti yang dikisahkan sebelumnya adalah penguasa
Kerajaan Pakuan Pajajaran yang terakhir? Dalam buku Melacak Sejarah Pakuan
Pajajaran dan Prabu Siliwangi karya Saleh Danasasmita diterangkan beberapa
pendapat tentang siapa sebetulnya Prabu Siliwangi. Poerbatjaraka berpendapat
Prabu Siliwangi adalah raja Sunda yang gugur di Bubat. Dalam Carita
Parahiyangan, yang dijadikan sumber olehnya, disebutkan bahwa raja yang
berangkat mengantar putrinya ke Majapahit adalah Prabu Maharaja, ayah dari
Wastu Kancana.
Sedangkan Jayadewata
(Sri Baduga) adalah cucu Wastu Kancana. Dalam naskah itu Prabu Maharaja
disebutkan “keuna kalawiyasa” (terkena perbuatan khianat), sementara Jayadewata
disebut sebagai “Sang mwakta ring Rancamaya” (yang dikuburkan di Rancamaya).
Poerbatjaraka menafsirkan bahwa arti kata "kalawiyasa" sama dengan
kata "Rancamaya", artinya menganggap Prabu Maharaja dan Jayadewata
adalah orang yang sama. Padahal kalimat lengkapnya “Wastu Kancana nu surup di
Nusalarang, Tohaan di Galuh nu surup di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata mwakta
ring Rancamaya” (Wastu Kancana yang dikuburkan di Nusalarang, Tohaan di Galuh
yang dikuburkan di Gunung Tiga, Ratu Jayadewata yang wafat di Rancamaya).
“Berdasarkan maksud
kalimat ditambah dengan adanya kata sambung yang menyatakan tempat yaitu di dan
ring, tentunya Nusalarang, Gunung Tiga, dan Rancamaya adalah nama tempat,”
tulis Saleh. Hal ini tentu saja menggugurkan teori Poerbatjaraka, yang artinya
siapa sosok Prabu Siliwangi menjadi tidak jelas. Sementara dalam Babad
Siliwangi, diterangkan bahwa Siliwangi berarti "asilih wewangi"
(berganti nama/gelar). Hal ini bersesuaian dengan Prasasti Batutulis yang
menerangkan bahwa Sri Baduga atau Jayadewata dua kali dinobatkan. Pertama ia
dinobatkan dengan menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, lalu namanya diganti
ketika dinobatkan untuk kali kedua: “Semoga selamat. Ini tanda peringatan untuk
(peninggalan dari) prabu ratu suwargi. Ia dinobatkan dengan gelar Prabu Guru
Dewataprana. Dinobatkan (lagi) ia dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata.
Dialah yang membuat
parit (di) Pakuan. Dia anak Rahiyang Dewa Niskala yang mendiang di Guna Tiga;
cucu Rahiyang Niskala Wastu Kancana yang mendiang ke Nusa Larang.” Saleh
Danasasmita menulis bahwa nama raja yang resmi dalam bahasa Sunda sering
disebut "wawangi". Arti harfiahnya adalah "seuseungit"
karena "seungit" (harum atau wangi) atau kemasyhuran raja terletak
pada namanya yang resmi, sebab upacara penobatan biasanya harus diikuti dengan
penetapan nama resmi. Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja, yang diidentikkan
dengan Prabu Siliwangi, pun sesungguhnya bukanlah raja terkahir dari Pakuan
Pajajaran. Masih ada lima raja lagi setelahnya yaitu: Prabu Surawisesa
(1521-1535), Ratu Dewata (1535-1543), Ratu Sakti (1543-1551), Nilakendra Tohaan
di Majaya (1551-1567), dan Ragamulya Suryakancana sebagai raja terakhir ketika
pengaruh Islam mulai masuk dan meruntuhkan kerajaan tersebut pada 1579.
Fakta ini tentu saja
tidak sesuai dengan legenda Prabu Siliwangi yang digambarkan sebagai raja
Pakuan Pajajaran penghabisan yang nga-hyang dan kemudian melahirkan simbol
maung. Ada rentang waktu yang cukup panjang antara Sri Baduga Maharaja dengan
berakhirnya kerajaan Pakuan Pajajaran. Artinya ada periodesasi yang gamblang
untuk memetakan betapa berakhirnya masa hidup Prabu Siliwangi bukanlah akhir
dari Pajajaran. Baca juga artikel terkait HARIMAU atau tulisan menarik lainnya
Irfan Teguh (tirto.id - Sosial Budaya)
Reporter: Irfan Teguh
Penulis: Irfan Teguh Editor: Zen RS
Mencari Prabu Siliwangi
Prabu Siliwangi menjadi tapal batas peralihan
zaman. Sosoknya terselubung misteri antara mitos dan realitas.
Oleh : Yudi Anugrah Nugroho
Kean Santang menetapkan pilihannya beralih
agama, memeluk Islam sebagai jalan hidup. Pilihan itu berseberangan jalan
dengan ayahnya, Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Kean Santang (juga kerap
disebut Kian Santang atau Keyan Santang) lantas pergi berkeliling Jawa untuk
menimba ilmu dan memperdalam pengetahuan agama. Di sela pengembaraan, dia
berganti nama menjadi Sunan Rahmat.
Dia mengemban tugas mengislamkan wilayah
barat Pulau Jawa. Dan salah satu tujuan utamanya, mengajak sang ayah beralih
keyakinan. Ajakan itu ditolak Sang Prabu dan para pengikutnya. Pertempuran pun
tak terelakkan.
Prabu Siliwangi bersama para pengikutnya
melarikan diri ke hutan Sancang –di selatan Garut. Putranya terus memburu. Demi
menghindari pertempuran lebih lanjut dengan anaknya, Sang Prabu ngahiang (moksa) dan bersalin rupa
menjadi Macan Putih. Sementara para pengikutnya berubah wujud menjadi Macan
Sancang.
Salah satu versi cerita tutur masyarakat
Sunda mengenai moksa Prabu Siliwangi di Sancang itu dihimpun Robert Wessing,
antropolog University of Illinois, Amerika Serikat. Wessing menyebut cerita itu
kental balutan mitos. Namun, mitos itu dapat dipahami melalui telusur konteks
sosial dan historisnya, yang berkaitan dengan “perubahan politik di Jawa Barat
dari kerajaan [Hindu] Vaisnava ke kerajaan Islam pada sekira 1579, serta
orientasi masing-masing kerajaan,” tulis Wessing dalam “A Change in the Forest:
Myth and History in West Java”, dimuat Journal of Southeast
Asian Studies, Vol 24, No 1, Maret 1993.
Lantas siapakah Prabu Siliwangi, yang
sosoknya melekat kuat dalam alam pikir masyarakat Sunda dan menjadi junjungan
dalam cerita tutur, dan berjejak pada beragam jenis susastra Sunda?
Pantun dan Karya Sastra
Catatan awal mengenai Prabu Siliwangi
samar-samar terekam dalam cerita pantun Langga Larang,
Babakcatra, Siliwangi, dan Haturwangi. Keempat cerita pantun
itu disebut dalam teks Siksa Kandang
Karesian yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuna, bertarikh 1518 M.
Namun, para peneliti kajian Sunda kehilangan
narasi awal tersebut. Pasalnya, keempat cerita pantun itu lenyap tak berjejak.
Kendati begitu, “dengan bukti ini sudahlah jelas bagi kita, bahwa dalam tahun
1518 M Prabu Siliwangi sudah jadi tokoh cerita pantun,” tulis Amir Sutaarga,
filolog pada Museum Gajah (kini, Museum Nasional) dalam Prabu Siliwangi.
Menariknya, sosok Prabu Siliwangi masih
tampil di banyak karya sastra, terutama cerita pantun Sunda sekira akhir abad
ke-16. Seorang linguis asal Belanda, Fokko Siebold Eringa, yang menggarap
cerita pantun Loetoeng Kasaroeng
sebagai objek disertasinya, berhasil menghimpun tigapuluh tujuh judul cerita
pantun yang dikenal luas masyarakat Sunda. Namun dalam banyak cerita pantun
tersebut, Sang Prabu justru tak ditempatkan sebagai tokoh utama yang memiliki
peran besar dalam cerita. Sebaliknya, tulis Eringa dalam Loetoeng Kasaroeng: Een Mythologisch Verhaal
uit West Java (1949), diterbitkan sebagai seri Verhandelingen van het Koniklijk Instituut voor
Taal-, Land- en Volkekunde, (VKI), deel
8. 1949, tokoh utama yang tampil dalam cerita ialah para putranya: Jaka
Susuruh, Guru Gantangan, dan Munding Laya Dikusuma.
Kaitan rekam jejak Sang Prabu dalam karya
sastra abad ke-16 dengan kenyataan zaman pernah diungkap Jacobus Noorduyn,
filolog asal Belanda yang menggeluti beragam naskah Sunda. Dia mengambil
pijakan dari teks Bujangga Manik
yang memuat kekayaan detail topografi wilayah Jawa, Bali, dan berbagai lokasi
di tanah Sunda yang dilalui Bujangga Manik, pujangga kelana asal Pakuan.
Sesaat akan menyeberangi perbatasan Sungai
Ci-Pamali (sungai di Brebes), batas wilayah Sunda, Bujangga Manik terlebih dulu
singgah di wilayah Arega Jati dan Jalatunda –keduanya tak dikenali. Teks itu
menghubungkan Jalatunda, yang biasanya mengacu pada tempat pemandian (patirthan), sebagai tempat
melestarikan kenangan (sakakala)
terhadap Siliwangi. Potongan kecil informasi dalam teks Bujangga Manik menunjukkan bahwa
Siliwangi telah menjadi tokoh historis saat teks itu ditulis.
“Kisahnya sudah dikenal pada masa itu, serta
suatu peristiwa penting dalam hidupnya pasti telah terhubung dengan Jalatunda
atau area yang lebih spesifik,” tulis J. Noorduyn dalam ”Journeys through Java: Topographical Data from an Old
Sundanese Source”, Bijdragen
tot de taal, land- en volkenkunde
138, 1982.
Narasi agak lengkap mengenai laku hidup Prabu
Siliwangi tersua dalam beberapa manuskrip yang digubah pada abad ke-19: Tjerita Prabu Anggalarang, Babad Pajajaran, Babad Siliwangi, dan Wawatjan Tjarios Prabu Siliwangi.
Namun muatan teks manuskrip-manuskrip tersebut, “kurang artinya sebagai sumber
sejarah, tetapi lebih banyak merupakan karya sastra yang ditulis dalam bentuk
tembang,” ujar Sutaarga.
Prabu Siliwangi tidak hanya hidup dalam teks
dan rangkaian cerita. Namanya pun kerap digunakan sebagai legitimasi politik
para bupati dan bangsawan Sunda. Menurut Sutaarga, dalam berbagai naskah yang
kebanyakan ditulis abad ke-19, nama Prabu Siliwangi dimuat untuk memenuhi
kebutuhan para bupati yang berkuasa di berbagai kabupaten di Jawa Barat,
khususnya Priangan. Mereka ingin mengaitkan hubungan trahnya dengan Prabu
Siliwangi lewat babad-babad keluarga yang memuat pohon kekerabatan.
Identifikasi Siliwangi
Dalam Carita Purwaka
Caruban Nagari, sebuah manuskrip yang digubah di bawah lindungan
Pangeran Arya Carbon dari Cirebon dan selesai ditulis tahun 1720, tokoh Prabu
Siliwangi disebut sebagai raja Sunda yang beribukota di Pakuan-Pajajaran.
Informasi serupa didapat dalam banyak manuskrip yang berasal dari pertengahan
abad ke-19. Apakah realitas teks yang menghubungkan Prabu Siliwangi dengan
salah seorang raja Sunda adalah realitas historis?
Hasan Djafar, ahli epigrafi, mengatakan Prabu
Siliwangi tidak pernah disebut dalam sumber-sumber primer yang berasal dari
prasasti dan naskah Sunda Kuna yang muatannya dapat dipercaya. Dari 23 prasasti
dari masa kerajaan Sunda yang telah diteliti, 11 prasasti menyebut nama
raja-raja Sunda tapi tak satu pun menyebut nama Prabu Siliwangi. Hal itu bisa
dipahami karena, “Prabu Siliwangi bukan nama seorang raja dan nama gelar
seorang raja, tetapi julukan bagi salah satu di antara deretan raja-raja
Sunda,” ujar Hasan Djafar kepada Historia.
Sumber dari karya sastra lumrahnya
menyelaraskan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran. Namun, kaitan Sang Prabu
dengan kerajaan Pajajaran ditolak C.M. Pleyte, etnolog asal Belanda. Pleyte
mengajukan pandangannya bahwa Prabu Siliwangi tidak pernah menjadi penguasa
Pajajaran.
“Prabu Siliwangi sama dengan Prabu Wangi dari
Carita Parahiyangan, yang
telah tewas di tanah lapang Bubat,” tulis Pleyte dalam “Raden Moending Laja di
Koesoema. Een Oude Soendasche Ridderroman. Met een inleiding over den Toekang
Pantoen”, dimuat Tijdschrift
voor Indische taal-, land- en volkenkunde
(TBG), XLIX. Menurutnya, Prabu Siliwangi identik dengan Prabu Wangi atau Prabu
Maharaja dari kerajaan Sunda.
Sejatinya, terdapat dua arus besar pendapat
dari para ahli Sunda mengenai identifikasi Prabu Siliwangi. Pendapat pertama
dilontarkan Ayatrohaedi, arkeolog Universitas Indonesia, yang mengidentifikasi
Prabu Siliwangi dengan tokoh Raja Sunda Niskala Wastukancana. Hal itu
disampaikannya dalam “Tunas Bersemi di Bumi Subur”, dimuat Proceedings Seminar Sejarah dan Budaya II
Tentang Galuh. Menurutnya, Siliwangi berasal dari kata “silih” yang berarti “ganti”,
sedangkan “wangi” berarti “harum”; atau
bermakna menggantikan seseorang yang harum atau tersohor namanya.
Raja yang harum dan tersohor namanya, menurut
Ayatrohaedi, adalah Prabu Maharaja yang gugur di tanah lapang Bubat. Walau
tahta kerajaan sementara sempat diisi Buni Sora selama enam tahun, Ayatrohaedi
memandang Niskala Wastu Kancana merupakan raja pengganti Prabu Maharaja yang
berjasa besar membangun kerajaan Sunda. Masa bertahtanya pun cukup lama, 104
tahun (1371-1357), hingga mangkat di Nusalarang.
Tapak jasanya sebagai raja tersua dalam
beberapa prasasti. Prasasti Kawali IA, dari wilayah Astana Gede, Kawali,
Ciamis, yang berasal dari abad ke-15, menyebut Niskala Wastu Kancana sebagai
Prebu Raja Wastu yang bertahta di ibukota Kawali. Dialah yang memperindah
kadaton Surawisesa, membuat parit yang mengelilingi ibukota, memberikan
kemakmuran bagi seluruh desa, dan melaksanakan kebajikan agar lama jayanya di dunia.
Namanya pun disebut dalam Prasasti Kabantenan I (abad ke-16) dan Batu Tulis,
Bogor (1533 M).
Pendapat berbeda dikemukakan Amir Sutaarga
dalam Prabu Siliwangi dan Saleh
Danasasmita dalam Tokoh Prabu
Siliwangi dalam Perspektif Sejarah. Kedua ahli itu mengidentifikasi
Prabu Siliwangi sebagai Sri Baduga Maharaja, cucu Niskala Wastu Kencana, yang
bertahta pada 1482-1521 dan memindahkan pusat kekuasaan ibukota di
Pakuan-Pajajaran. Pada masanya kerajaan Sunda mencapai puncak kejayaan. Sri
Baduga Maharja membangun kembali dan memperindah ibukota Pakuan, memariti
sekeliling ibukota Pakuan, membuat monumen berupa gugunungan,
membuat jalan yang diperkeras dengan batu (ngabalay),
membuat hutan lindung (samida),
dan membuat Talaga Warena Mahawijaya.
“Tidaklah mengherankan bahwa Prabu Siliwangi
atau Sri Baduga Maharaja sampai dua kali mengalami pemberkatan (diwastu) dan masa pemerintahannya
merupakan masa kejayaan dan kemakmuran,” ungkap Sutaarga. Terkait perbedaan
pendapat itu, kemunculan sosok Prabu Siliwangi dapat dibaca sebagai sebuah
fenomena zaman, gejala peralihan antara tatanan lama dan tatanan baru. Menurut
Hasan Djafar, fenomena ini mirip dengan sosok Brawijaya yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai
raja Majapahit akhir sebelum ditundukkan Demak.
“Prabu Siliwangi di wilayah barat Jawa, dan
Brawijaya di wilayah timur Jawa, menjadi tapal batas antara tatanan lama dan
baru. Kedua sosok itu merupakan gejala peralihan kepercayaan, agama, dan masa
kejayaan,” ujar Hasan Djafar.
Disebut Titisan Prabu Siliwangi,
Inilah Legenda Manusia Keturunan Harimau di
Garut Selatan
Prabu Siliwangi merupakan raja paling
terkenal dari Kerajaan Pajajaran berkat kebijaksanaanya dan sikap adil. Sebagai
sosok yang tersohor pada masa itu, namanya Prabu Siliwangi selalu dikaitkan
dengan beberapa cerita yang berkembang dalam masyarakat, bahkan sampai
sekarang.
Di masa sekarang, Prabu Siliwangi selalu
digambarkan sebagai mitologi sosok manusia
harimau
yang melegenda di masyarakat. Kisahnya, saat itu Prabu Siliwangi menolak ajakan
anaknya Raden Kian Santang untuk masuk Islam. Raden Kian Santang memaksa Prabu
Siliwangi untuk masuk Islam, dan aksi kejar-kejaran pun terjadi.
Karena merasa lelah dengan ajakan putranya,
Prabu Siliwangi pun seketika menghilang ke dalam gelapnya rimba. Namun, setelah
Prabu Siliwangi menghilang tiba-tiba saja sekumpulan harimau
putih muncul di Hutan Sancang. Masyarakat pun kemudian mengaitkan munculnya harimau
putih sebagai jelmaan dari Prabu Siliwangi.
Sampai abad ke-21 ini, kepercayaan tersebut
tetap dipegang teguh oleh masyarakat Sunda.
Beragam mitos
pun berkembang di masyarakat.
Salah satunya adalah mitos
yang berkembang kuat di daerah Pameungpeuk, Garut
Selatan, yang pernah dimuat dalam pemberitaan Pikiran Rakyat Masyarakat
di sana percaya bahwa dulunya manusia
bisa melakukan pernikahan dengan harimau
putih, yang tentu saja adalah harimau
jadi-jadian.
Menurut kepercayaan, harimau
tersebut berbentuk sosok manusia yang begitu tampan atau cantik. Oleh sebab itu, warga
di Garut Selatan lantas banyak yang mengklaim sebagai keturunan
dari harimau Pajajaran. Jauh dari kata malu, predikat ini justru
membawa kebanggaan tersendiri bagi mereka. Sampai saat ini, masyarakat Sunda
percaya jika petilasan Prabu Siliwangi berada di Hutan
Sancang tepatnya di Curug Kajayaan dan Karanggajah.
Bukan hanya di Hutan
Sancang, tetapi masyarakat juga percaya bahwa di beberapa wilayah
Sunda terdapat petilasan Prabu Siliwangi. Salah satunya di ada di Sukabumi
Selatan, yang bernama Gua Kutamaneuh. Setiap harinya, banyak warga yang datang
ke tempat-tempat tersebut untuk bertapa atau hanya berziarah semata.
Nama Prabu Siliwangi begitu lekat di hati
masyarakat Sunda. Sehingga jika melihat harimau
putih, masyarakan akan selalu mengaitkannya dengan nama sosok sang Raja. (Mitha
Paradilla Rayadi/PR)
Editor: Andika Thaselia Prahastiwi
Sumber: Pikiran Rakyat