PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
(IBU KOTA BANDA ACEH)
Orientasi
Aceh (Jawi:
اچيه دارالسلام) adalah
sebuah provinsi di Indonesia yang ibu
kotanya berada di Banda Aceh. Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia
yang diberi status sebagai daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus. Aceh
terletak di ujung utara pulau Sumatra dan
merupakan provinsi paling barat di Indonesia.
Menurut hasil sensus Badan Pusat Statistik tahun 2021, jumlah penduduk provinsi ini sekitar 5.333.733 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala dan Laut Andaman di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pada awal tahun 710–1522 M, Kesultanan Samudera Pasai adalah status Wilayah protektorat Kesultanan Utsmaniyah (1569–1903) lalu menjadi Kesultanan Aceh saat itu adalah negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka.
Sejarah Aceh diwarnai oleh kebebasan politik dan penolakan keras
terhadap kendali orang asing, termasuk bekas penjajah Belanda dan
pemerintah Indonesia. Jika dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh
adalah wilayah yang sangat konservatif (menjunjung
tinggi nilai agama). Persentase penduduk Muslim-nya adalah
yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai Syari'at Islam (hukum
Islam). Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki
otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah
Aceh memiliki sumber daya alam yang melimpah, termasuk minyak bumi dan gas alam. Sejumlah analis memperkirakan cadangan gas alam Aceh adalah yang terbesar di dunia. Aceh juga terkenal dengan hutannya yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan dari Kutacane di Aceh Tenggara sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional bernama Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) didirikan di Aceh Tenggara.
Aceh adalah daratan yang paling dekat dengan episentrum gempa bumi Samudra Hindia 2004. Setelah gempa, gelombang tsunami menerjang sebagian besar pesisir barat provinsi ini. Sekitar 170.000 orang tewas atau hilang akibat bencana tersebut. Bencana ini juga mendorong terciptanya perjanjian damai antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Sejarah
Asal nama
Aceh pertama dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511–1945). Provinsi ini dibentuk pada 1956 dengan nama Aceh sebelum diubah menjadi Daerah Istimewa Aceh (1959–2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001–2009), dan kembali ke Aceh sejak 2009. Sebelumnya, nama Aceh biasa ditulis Acheh, Atjeh, dan Achin.
Zaman prasejarah
Aceh telah dihuni manusia sejak zaman Mesolitikum. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan situs Bukit Kerang yang diklaim sebagai peninggalan zaman tersebut di kabupaten Aceh Tamiang. Selain itu, pada Situs Desa Pangkalan juga telah dilakukan ekskavasi serta berhasil ditemukan artefak peninggalan dari zaman Mesolitikum berupa kapak Sumatralith, fragmen gigi manusia, tulang badak, dan beberapa peralatan sederhana lainnya.
Selain di kabupaten Aceh Tamiang, peninggalan kehidupan prasejarah di Aceh juga ditemukan di dataran tinggi Gayo tepatnya di Ceruk Mendale dan Ceruk Ujung Karang yang terdapat disekitar Danau Laut Tawar. Penemuan situs prasejarah ini mengungkapkan bukti adanya hunian manusia prasejarah yang telah berlangsung di sini pada sekitar 7.400 hingga 5.000 tahun yang lalu.
Zaman kerajaan
Zaman kerajaan Hindu-Buddha
Prasasti Neusu berbahasa Tamil ditemukan di Neusu, Banda Aceh. Sekarang tersimpan di Museum Aceh.
Arca Awalokiteswara bergaya Sriwijaya yang ditemukan di Aceh Besar diperkirakan dari abad ke-9. Sekarang tersimpan di Museum Nasional Indonesia.
Sebagaimana daerah lain di kepulauan Nusantara, Aceh juga pernah mengalami masa berkembangnya agama Hindu dan Buddha yang datang dari daratan benua Asia Selatan (India). Pada masa itu di Aceh telah diwarnai dengan adanya beberapa kerajaan-kerajaan yang berdasarkan agama tersebut misalnya Kerajaan Indra Puri, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Purwa yang terletak di Aceh Besar yang menganut kepercayaan Hindu dan dipengaruhi oleh India. Selain itu, Aceh juga dahulu termasuk bagian dari kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha yang pernah berjaya di Nusantara ribuan tahun lalu seperti Sriwijaya.
Prasasti Tanjore dari Tamil menyebutkan bahwa pada tahun 1030, Kerajaan Lamuri termasuk di antara wilayah yang ditaklukkan oleh Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola.
Masuknya Islam
Masih terjadi silang pendapat terkait persoalan dari sejak kapan Islam pertama sekali disebarkan ke Aceh. Sebagian berpandangan sudah dimulai dari sejak masa kekhalifahan Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga setelah kerasulan Muhammad SAW.
Terkait Islam yang datang ke Aceh, Snouck Hurgronje dengan teori Gujaratnya menyebut Islam yang datang ke sana bukanlah Islam yang dibawa Muhammad, tetapi Islam yang sudah berkembang matang. Bukan Islam dari Al Quran dan Hadits, melainkan Islam dengan kitab-kitab Fiqh dan dogmanya dari 3 abad kemudian.
Sebagian lagi, ada yang berpandangan bahwa Islam yang datang ke Aceh justru sudah dimulai dari sejak tahun pertama Hijriyah (618 M). Satu pandangan yang menurut penulis buku Tasawuf Aceh merupakan pandangan tidak masuk akal. Alasan yang dikemukakannya adalah pada masa tersebut; ada kevakuman antara wahyu pertama (610 M) dengan wahyu kedua kepada Muhammad selama 2,5 tahun. Ditambah dengan masa berdakwah secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Muhammad selama 3 tahun. Dengan demikian baru pada tahun ke-7 masa kenabiannya baru dimulai dakwah secara terang-terangan. Tetapi sedikitnya persoalan demikian bisa ditelusuri dari keberadaan kerajaan pertama bercorak Islam di Aceh, Kerajaan Peureulak yang didirikan pada 1 Muharram 225 Hijriyah.
Kesultanan Aceh
Wilayah Kesultanan Aceh pada masa jayanya
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudra Pasai yang runtuh pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496–1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
Aceh Darussalam pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam (Sultan Aceh ke 19), merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Prancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh pada zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Prancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Perang Aceh
Mayor Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak di bawah pohon kelumpang di depan Masjid Raya Baiturrahman dalam Perang Aceh I, Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873, dimulai dari kedatangan Jenderal J.H.R Kohler dengan jumlah pasukan sebanyak 3.198, termasuk 168 perwira KNIL.
Setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Bahkan, pada hari pertama perang berlangsung, 1 unit kapal perang Belanda, Citadel van Antwerpen harus mengalami 12 tembakan meriam dari pasukan Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli yang berpura-pura masuk Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Dawud Syah akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh pada tahun 1904. Saat itu, Ibu kota Aceh telah sepenuhnya direbut Belanda. Namun perlawanan masih terus dilakukan oleh Panglima-panglima di pedalaman dan oleh para Ulama Aceh sampai akhirnya jepang masuk dan menggantikan peran belanda. Perang Aceh adalah perang yang paling banyak merugikan pihak Belanda sepanjang sejarah penjajahan Nusantara.
Masa penjajahan
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerja sama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia. Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur Sumatra pertama, Mr. Teuku Muhammad Hasan).
Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari Asia, tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai pada tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar. Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh.
Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personel tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Pasca kemerdekaan Indonesia
Teungku Muhammad Daud Beureu'eh, ulama pemimpin perjuangan DI/TII Aceh
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
Aceh yang semula bergabung dengan Indonesia dengan jaminan Soekarno akan menerapkan syariat Islam, merasa kecewa karena syariat Islam tidak dijadikan sebagai landasan negara. Sehingga pada tanggal 13 Muharram 1372 H/21 September 1953 M, Teungku Muhammad Daud Beureu'eh atas nama rakyat Aceh mengumumkan bergabung dengan Negara Islam Indonesia yang didirikan oleh Kartosoewirjo.
Gerakan Aceh Merdeka
Sejak tahun 1976, organisasi pembebasan bernama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah berusaha untuk memisahkan Aceh dari Indonesia melalui upaya militer. Pada 15 Agustus 2005, GAM dan pemerintah Indonesia akhirnya menandatangani persetujuan damai sehingga mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun.
Pasca gempa dan tsunami 2004, yaitu pada 2005, pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka sepakat mengakhiri konflik di Aceh. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan peran besar daripada mantan petinggi Finlandia, Martti Ahtisaari.
Di samping itu, telah muncul aspirasi dari beberapa wilayah Aceh, khususnya di bagian barat, selatan dan pedalaman untuk memisahkan diri dari Aceh dan membentuk provinsi-provinsi baru.
Politik dan pemerintahan
Pemerintahan Aceh dan Sistem Pemerintahan Lokal Aceh
Sistem pemerintahan yang berlaku di Aceh saat ini ada 2, yaitu Sistem Pemerintahan Lokal Aceh dan Sistem Pemerintahan Indonesia. Berdasarkan penjenjangan, perbedaan yang tampak adalah adanya pemerintahan mukim yang berada di antara kecamatan dan gampong. Dalam sistem pemerintahan lokal Aceh dikenal beberapa jabatan seperti imeum meunasah, tuha peuet dan imeum mukim.
Aceh sebagai daerah istimewa
Saat ini satuan pemerintahan daerah yang berstatus Daerah Istimewa di Indonesia hanya dua provinsi yaitu Aceh (UU Nomor 44 Tahun 1999) dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (UU 13 Tahun 2012). Berdasarkan status pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Daerah Provinsi Istimewa Aceh telah memberikan legitimasi secara yuridis formal keistimewaan.
Penyelenggaraan keistimewaan Aceh meliputi:
1. Penyelenggaraan kehidupan beragama;
2. Penyelenggaraan kehidupan adat;
3. Penyelenggaraan pendidikan; dan
4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama, meliputi: ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Keistimewaan di bidang penyelenggaraan kehidupan adat meliputi Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat Aceh (misal Majelis Adat Aceh, Imeum mukim, dan Syahbanda).
Keistimewaan di bidang pendidikan meliputi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam serta menyelenggarakan pendidikan madrasah ibtidaiyah dan madrasah tsanawiyah. Keistimewaan di bidang peran ulama meliputi Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dan Kabupaten/Kota yang memiliki tugas dan wewenang untuk memberi fatwa baik diminta maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi; dan memberi arahan terhadap perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
Aceh sebagai daerah khusus
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia hingga saat ini hanya empat satuan daerah yang dinyatakan berstatus sebagai Daerah Khusus yaitu Aceh, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, dan Provinsi Papua serta Papua Barat.
Kekhususan Aceh telah diatur berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633) pada hakikatnya manifestasi dari UUD Tahun 1945. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat Khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang undang. Berdasarkan Undang-undang Pemerintahan Aceh (UU-PA), Sebagai daerah Khusus, saat ini sudah memiliki 26 Kewenangan Khusus. Dengan demikian, otonomi seluas-luasnya pada dasarnya bukanlah sekadar hak, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan kewajiban konstitusional untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh. Oleh karena itu Aceh terdapat 2 (dua) sebutan yaitu daerah istimewa dan daerah khusus, sehingga nama Aceh dapat disebutkan sebagai daerah khusus provinsi Daerah Istimewa Aceh.
UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain:
Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional.
Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut.
Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada.
Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Aceh.
Nama (nomenklatur) yang digunakan menurut Pasal 1 angka 2 UU 11/2006 adalah Aceh; tanpa ada kata "provinsi" maupun frasa "daerah istimewa", Aceh merupakan daerah khusus (dan juga daerah istimewa) karena Aceh adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang bersifat istimewa dan diberi otonomi khusus; "Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. " Pasal 1 angka 2 UU 11/2006.
Sistem pemerintahan
Daftar kabupaten dan kota di Aceh, Daftar kecamatan dan gampong di Aceh, dan Daftar Gubernur Aceh.
Provinsi Aceh terdiri dari 18 kabupaten, 5 kota, 290 kecamatan, dan 6.497 gampong. Pada tahun 2019, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 5.371.532 jiwa dengan total luas wilayah 57.956,00 km².
No |
Kode |
Kabupaten/kota |
Ibukota |
Luas wilayah |
Penduduk 2019 |
Kepadatan |
2019 |
||
Kecamatan |
Kelurahan |
Gampong |
|||||||
1 |
11.05 |
2.927,95 |
210.113 |
64,59 |
12 |
- |
322 |
||
2 |
11.12 |
1.490,60 |
150.393 |
99,75 |
9 |
- |
152 |
||
3 |
11.06 |
2.969,00 |
425.216 |
129,56 |
23 |
- |
604 |
||
4 |
11.14 |
3.812,99 |
92.892 |
22,57 |
9 |
- |
172 |
||
5 |
11.01 |
3.841,60 |
238.081 |
59,94 |
18 |
- |
260 |
||
6 |
11.10 |
2.185,00 |
124.101 |
59,48 |
11 |
- |
116 |
||
7 |
11.16 |
1.956,72 |
295.011 |
147,05 |
12 |
- |
213 |
||
8 |
11.04 |
4.318,39 |
208.407 |
48,26 |
14 |
- |
295 |
||
9 |
11.02 |
4.231,43 |
216.495 |
52,39 |
16 |
- |
385 |
||
10 |
11.03 |
6.286,01 |
436.081 |
67,17 |
24 |
- |
513 |
||
11 |
11.08 |
3.236,86 |
619.407 |
177,92 |
27 |
- |
852 |
||
12 |
11.17 |
1.454,09 |
148.175 |
106,26 |
10 |
- |
232 |
||
13 |
11.11 |
1.901,20 |
471.635 |
227,68 |
17 |
- |
609 |
||
14 |
11.13 |
5.719,58 |
94.100 |
16,67 |
11 |
- |
136 |
||
15 |
11.15 |
3.363,72 |
167.294 |
49,85 |
10 |
- |
222 |
||
16 |
11.07 |
3.086,95 |
444.976 |
141,80 |
23 |
- |
730 |
||
17 |
11.18 |
1.073,60 |
161.215 |
146,78 |
8 |
- |
222 |
||
18 |
11.09 |
2.051,48 |
93.228 |
43,54 |
10 |
- |
138 |
||
19 |
11.71 |
- |
61,36 |
270.321 |
3.892,01 |
9 |
- |
90 |
|
20 |
11.74 |
- |
262,41 |
176.811 |
695,19 |
5 |
- |
66 |
|
21 |
11.73 |
- |
181,06 |
207.202 |
1.052,82 |
4 |
- |
68 |
|
22 |
11.72 |
- |
153,00 |
34.874 |
261,70 |
3 |
- |
18 |
|
23 |
11.75 |
- |
1.391,00 |
81.417 |
58,37 |
5 |
- |
82 |
|
TOTAL |
57.956,00 |
5.371.532 |
88,91 |
! 290 |
0 |
6.497 |
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Daftar pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh
Berbeda dengan DPRD Provinsi lain di Indonesia pada umumnya, DPRA memiliki nama yang unik serta jumlah anggota 1¼ kali lebih banyak dari DPRD provinsi menurut undang-undang. DPRA beranggotakan 81 orang yang dipilih melalui pemilihan umum setiap lima tahun sekali. Pimpinan DPRA terdiri dari 1 Ketua dan 3 Wakil Ketua yang berasal dari partai politik dengan jumlah kursi dan suara terbanyak. Anggota DPRA yang sedang menjabat saat ini adalah hasil Pemilu 2019 yang dilantik pada 30 September 2019 oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Djumali, di Gedung Utama DPR Aceh. Komposisi anggota DPRA periode 2019-2024 terdiri dari 15 partai politik dimana Partai Aceh merupakan pemilik kursi terbanyak yaitu 18 kursi.
Sesuai peraturan perundang-undangan, DPRD Provinsi yang beranggotakan: 35-44 orang dipimpin oleh 1 ketua dan 2 wakil ketua; 45-84 orang dipimpin oleh 1 ketua dan 3 wakil ketua; dan 85-100 orang dipimpin oleh 1 ketua dan 4 wakil ketua
Berdasarkan Pemilihan umum 2019, Provinsi Aceh mengirim 13 wakil ke DPR RI dari dua daerah pemilihan dan empat wakil ke DPD. Pada tingkat provinsi, berikut perolehan jumlah kursi di DPRA hasil Pemilihan Umum Legislatif 2019 tersusun dari 15 partai, dengan perincian sebagai berikut:
Partai Politik |
Jumlah kursi DPRA dalam periode |
||
2009-2014 |
2014-2019 |
2019-2024 |
|
1 |
|||
1 |
1 |
3 |
|
0 |
3 |
8 |
|
0 |
0 |
1 |
|
8 |
9 |
9 |
|
4 |
4 |
6 |
|
4 |
6 |
6 |
|
5 |
7 |
6 |
|
0 |
0 |
1 |
|
10 |
8 |
10 |
|
1 |
1 |
0 |
|
1 |
1 |
1 |
|
33 |
29 |
18 |
|
0 |
0 |
1 |
|
1 |
1 |
3 |
|
(baru) 3 |
6 |
||
(baru) 8 |
2 |
||
Jumlah Anggota |
69 |
81 |
81 |
Jumlah Partai |
11 |
13 |
15 |
Demografi
Suku bangsa
Aceh memiliki 12 suku bangsa asli. Yang terbesar adalah suku Aceh yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah Aceh terutama mendiami wilayah pesisir mulai dari Langsa di pesisir timur utara sampai dengan Trumon di pesisir barat selatan. Suku terbesar kedua adalah suku Gayo yang mendiami wilayah Dataran Tinggi Gayo. Suku bangsa lainnya adalah suku Alas yang mendiami Kabupaten Aceh Tenggara, Melayu Tamiang di Aceh Tamiang, suku Aneuk Jamee di wilayah barat dan selatan, Suku Kluet di Aceh Selatan, dan suku Singkil di Kota Subulussalam dan Kabupaten Singkil.
Di wilayah kepulauan terdapat suku Devayan di Pulau Simeulue bagian selatan, suku Sigulai di utara Simeulue, suku Lekon di Alafan dan suku Haloban di Pulau Banyak.
Selain suku-suku asli, juga ditemui suku-suku pendatang seperti Jawa, Minang, Batak, Arab, Tionghoa, Tamil, Karo, dan Nias.
Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil etnis suku-suku aceh sebagai berikut: Aceh, Gayo, Melayu, Batak, Jawa, Jamèë, Singkil, Devayan, Minangkabau, dan lain-lain Namun sensus tahun 2000 ini dilakukan ketika Aceh dalam masa konflik sehingga tidak ada data yang pasti/akurat pada masa itu untuk mengetahui populasi per etnis masing-masing & persentasenya. Cakupannya hanya menjangkau kurang dari setengah populasi Aceh saat itu. Adapun urutan suku bangsa diatas hanya (perkiraan). Masalah paling serius dalam pencacahan ditemui di kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara, dan tidak ada data sama sekali yang dikumpulkan dari kabupaten Pidie. Ketiga kabupaten ini merupakan kabupaten dengan mayoritas etnis Aceh.
Berdasarkan sensus 2010 di peroleh hasil 10 etnis bangsa terbesar di Aceh, yaitu
Bahasa
Rambu peringatan tsunami dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Aceh
Bahasa daerah yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Aceh yang dipakai oleh suku Aceh. Selain itu juga terdapat bahasa Gayo, Alas, Kluet, Singkil, Jamee dan Melayu Tamiang.
Di Simeulue terdapat 3 bahasa yaitu bahasa Devayan, Sigulai, dan Leukon. Selain itu juga terdapat bahasa Haloban di Pulau Banyak.
Beberapa bahasa daerah dari bagian Indonesia lainnya juga dipertuturkan oleh sebagian penduduk di Provinsi Aceh. Di antaranya, yaitu bahasa Jawa yang tersebar di berbagai wilayah transmigrasi di seluruh Aceh.
Agama
Islam di Aceh dan Kekristenan di Aceh
Agama di Aceh (2010) |
|||
Agama |
Persentase |
||
Islam |
|
98,21% |
|
Kristen Protestan |
|
1,14% |
|
Kristen Katolik |
|
0,21% |
|
Buddha |
|
0,14% |
|
Konghucu |
|
0,11% |
|
Hindu |
|
0,10% |
Mayoritas penduduk Aceh menganut agama Islam dan Syariat Islam menjadi hukum positif di daerah istimewa Aceh. Agama lain yang dianut oleh penduduk Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang beretnis Batak, warga keturunan Tionghoa yang kebanyakan beretnis Hakka mayoritas menganut agama Buddha, sebagian memeluk Kristen, sedangkan sebagian lainnya menganut agama Konghucu, lalu ada agama Hindu yang dianut oleh pendatang beretnis Bali dan sebagian peranakan (Orang Keturunan India-Tamil/Hindi) yang cukup sedikit populasinya.
Selain itu Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di Aceh Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam, berdasar UU No.18/2001.
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Akan tetapi perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik Aceh yang berkepanjangan, lalu musibah gempa dan tsunami serta penganaktirian oleh Pemerintah Pusat, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada Ujian Akhir Nasional 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Aceh terus berusaha keras untuk mendongkrak dan membangkitkan taraf pendidikan di Aceh. Peningkatan mutu pendidikan merupakan upaya untuk mewujudkan "Aceh Caroeng / Aceh Hebat", sehingga pada Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang dilaksanakan pada tahun 2019 di Aceh tersebut dinyatakan sebagai satu dari tujuh provinsi di Indonesia yang menyelenggarakan UNBK 100 persen.
Aceh juga memiliki sejumlah perguruan tinggi yaitu:
Perguruan tinggi negeri
Daftar perguruan tinggi negeri di Aceh
Berikut adalah daftar perguruan tinggi negeri terkemuka yang ada di Aceh:
2. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
3. Universitas Malikussaleh, Aceh Utara
5. Universitas Teuku Umar, Meulaboh
6. Universitas Terbuka, Aceh
7. Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe
8. Institut Agama Islam Negeri Langsa
9. Institut Agama Islam Negeri Takengon
10. Institut Seni Budaya Indonesia Aceh
11. Politeknik Negeri Lhokseumawe
12. Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh
13. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teungku Dirundeng Meulaboh
Perguruan tinggi swasta
Daftar perguruan tinggi swasta di Aceh
Berikut adalah daftar perguruan tinggi swasta terkemuka yang ada di Aceh:
1. Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh
2. Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh
3. Universitas Iskandar Muda, Banda Aceh
4. Universitas Ubudiyah Indonesia, Banda Aceh
5. Universitas Bina Bangsa Getsempena, Banda Aceh
6. Universitas Abulyatama, Aceh Besar
7. Universitas Almuslim, Bireuen
8. Universitas Islam Kebangsaan Indonesia, Bireuen dan Lhokseumawe
9. Universitas Sains Cut Nyak Dhien, Langsa
10. Universitas Jabal Ghafur, Pidie
11. Universitas Gajah Putih, Aceh Tengah
12. Universitas Gunung Leuser, Aceh Tenggara
13. Institut Agama Islam Almuslim
14. Institut Agama Islam Al-Aziziyah
15. Politeknik Aceh
17. Politeknik Indonesia Venezuela
19. Politeknik Pelayaran Malahayati
Budaya
Rintjong Aceh, senjata tradisional rakyat Aceh.
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya lazimnya wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka kerajian, seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:
Kerajinan
1. Tas Khas Aceh
2. Peci Khas Aceh
3. Peci Khas Gayo
4. Kasap Aceh
5. Kupiah Meukutop
6. Kerawang Gayo
Tradisi adat
Meuseuke Eungkot (sebuah tradisi di wilayah Aceh Barat)
Peusijuek (atau Tepung tawar dalam tradisi Melayu)
Senjata tradisional
Rencong adalah senjata tradisional bangsa Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan bismillah. Rencong termasuk dalam kategori belati.
Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya, seperti sikin panyang, peurise awe, peurise teumaga, siwah, geuliwang dan peudeueng.
Rumah tradisional
Rumah tradisional Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur).
Tarian
Tari Seudati di Sama Langa tahun 1907
Tari Saman dari Gayo Lues
Aceh memiliki banyak tarian dari 9 etnis yang ada. Beberapa tarian yang terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.
Beberapa tarian yang terkenal dari etnis Aceh adalah Seudati, Ratoh Duek, Rateb Meuseukat,Tari Likok Pulo, Pho, Ranup lam Puan, Rapa'i Geleng, Tarek Pukat, Tari Laweuët dan Rabbani Wahed.
Beberapa tarian yang terkenal dari etnis Gayo adalah Saman, Bines, Didong, Guel, dan Munalu.
Tarian-tarian dari etnis lainnya adalah Ula-ula Lembing (Tamiang), Mesekat (Alas), Landok Sampot (Kluet), Dampeng (Singkil) dan Nandong (Simeulue).
Makanan khas
Mi Aceh tumis dengan kepiting
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain Timphan, Gulai Bebek, Kari Kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan Meuseukat yang langka. Di samping itu Keurupuk Meuliëng asal Pidie yang terkenal gurih, Dodoi Sabang yang dibuat dengan aneka rasa, Bu Leukat Boh Driën (ketan durian), serta bolu manis asal Peukan Bada dan Ruti Samahani Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
Di Pidie Jaya terkenal dengan kue khas Meureudu yaitu Adè. Sedangkan di Aceh Utara lazim kita temukan kuliner khas lainnya yaitu Martabak Durian yang lezat. Kuliner Bireuen yang paling terkenal adalah Sate Matang yang merupakan sate daging sapi atau kambing yang dibakar yang pada awalnya berasal dari kota Matang Glumpang Dua.
Makanan khas Kota Langsa yang sangat terkenal hingga ke seluruh Indonesia adalah Sop Sumsum yaitu berupa sop tulang daging sapi yang berisi sumsum di dalam tulangnya dan tulang daging sapi tersebut telah dipotong untuk dapat dinikmati sumsumnya menggunakan sedotan atau menuangnya langsung ke atas piring. Sop Sumsum tulang daging sapi ini disajikan panas dengan potongan-potongan daging sapi yang diracik dengan sangat gurih dan lezat menggunakan racikan bumbu khas Aceh. Lalu ada Gulai Ikan Sembilang yang juga khas Kota Langsa.
Sedangkan di wilayah Kabupaten Aceh Singkil dan juga kota Subulussalam terdapat jenis camilan yang sangat digemari banyak orang. Makanan yang disebut dengan nama lompong sagu, sesuai namanya makanan ini berbahan dasar sagu yang dicampur dengan pisang, gula merah, dan garam. semua bahan tersebut kemudian dicampur, dan dibungkus dengan daun pisang, hampir mirip dengan lemper. setelah itu, dipanggang menggunakan kompor ataupun tungku. Makanan ini mudah ditemukan di wilayah Aceh Singkil maupun Subulussalam. Sementara kuliner khas Aceh yang juga sangat terkenal bahkan hingga ke mancanegara adalah Mi Aceh, sejenis mi kuning basah yang diracik dengan bumbu khas nan pedas.
Iklim
Sebagai wilayah yang berada tidak jauh dari garis khatulistiwa, iklim di Aceh hampir seluruhnya tropis. Pada wilayah pesisir pantai suhu udara rata-rata 26,9 °C, suhu udara maksimum mencapai 32,5 °C dan minimum 22,9 °C. Kelembaban relatif daerah ini berkisar antara 70 dan 80 persen. Antara bulan Maret sampai Agustus Aceh mengalami fase musim kemarau, kondisi ini dipengaruhi oleh massa udara benua Australia. Sementara musim hujan berlangsung antara bulan September hingga Februari yang dihasilkan dari massa udara daratan Asia dan Samudra Pasifik. Aceh memiliki curah hujan yang bervariasi berkisar antara 1.500-2.500 mm per tahun.
Geografi
Aceh menempati wilayah ujung paling barat di pulau Sumatra dan Negara Indonesia, di mana titik terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia terletak di Pulau Rondo, sementara itu kilometer Nol Indonesia berada di pulau Weh. Secara geografis Aceh terletak antara 2°–6° lintang utara dan 95° – 98° lintang selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut. Batas batas wilayah Aceh, sebelah utara dan timur berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan adalah satu-satunya perbatasan darat dengan Sumatra Utara dan sebelah barat dengan Samudera Hindia.
Luas Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai 2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha. Cakupan wilayah Aceh terdiri dari 119 pulau, 35 gunung dan 73 sungai utama.
Perekonomian
Pertambangan
Aceh memiliki banyak potensi bahan tambang dan mineral seperti minyak bumi, gas alam, emas, batubara dll. Berikut daftar beberapa bahan tambang yang terdapat di Aceh.
No |
Bahan Tambang |
Potensi (ton) |
Sebaran utama |
1 |
476.800.000 |
Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya, Singkil |
|
2 |
1.700.000.000 |
Aceh Jaya, Gayo Lues, Aceh Barat, Aceh Selatan |
|
3 |
8.000.000 |
Subulussalam, Tamiang, Gayo Lues |
|
4 |
6.500 |
Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Jaya, Pidie, Aceh Tengah |
|
5 |
900.000.000 |
Aceh Timur |
Minyak dan gas bumi
Berikut adalah daftar wilayah kerja minyak dan gas bumi di Aceh beserta cadangannya.
No |
Wilayah Kerja |
Luas Wilayah (km2) |
Status |
Cadangan |
1 |
Blok A |
1.512 |
Produksi |
450 BCF gas alam |
2 |
Blok B |
1.163 |
Produksi |
18 TCF. Sisa cadangan minyak bumi 3,343 MTSB, gas 104 BCSF |
3 |
Lhokseumawe |
1.206,71 |
Produksi |
|
4 |
Pase |
920,02 |
Produksi |
240 BCF |
5 |
South Blok A |
420,87 |
Eksplorasi |
|
6 |
Andaman I |
7.346 |
Eksplorasi |
6 TCF |
7 |
Andaman II |
7.399,85 |
Eksplorasi |
6 TCF |
8 |
Andaman III |
8.517 |
Eksplorasi |
6 TCF |
Perikanan
Aceh memiliki potensi perikanan yang besar. Menurut data BPS tahun 2015, jumlah produksi perikanan laut sebesar 165.778 ton dan perikanan air tawar sebesar 1.569 ton. Beberapa produk perikanan yang terkenal dari Aceh adalah lobster dari Simeulue, udang dan tuna.
Pertanian
1. Kayu
2. Kopi
4. Buah-buahan
6. Kakao
7. Nilam
8. Pinang
9. Kelapa
10. Jagung
11. Padi
12. Kemiri
13. Pala
14. Karet
15. Kelapa sawit
dll.
Perbankan
Saat ini Aceh sudah menerapkan Qanun Lembaga Keuangan Syariah untuk menguatkan sistem perbankan / keuangan syariah di Aceh, Qanun ini merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan lembaga keuangan dalam rangka mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan Syariat Islam. Sehingga semua sistem perbankan yang beroperasi di Aceh saat ini seluruhnya sudah sesuai dengan Qanun LKS. Saat ini di Aceh terdapat dua kantor Bank Indonesia, bank sentral Republik Indonesia, yang dibuka di Banda Aceh (kelas III) dan Lhokseumawe (kelas IV).
Tugas Bank Indonesia yang terdiri dari bidang moneter, sistem pembayaran, dan perbankan. Di daerah-daerah tugas Bank Indonesia lebih dominan di bidang sistem pembayaran dan perbankan. Di bidang sistem pembayaran menyelenggarakan sistem kliring dan BI-RTGS dan di bidang perbankan mengawasi dan membina bank-bank agar beroperasi dengan sehat dan menguntungkan. Sistem perekonomian berbasis syariah saat ini sangat gencar dilaksanakan, apalagi Pemerintah Aceh telah mengubah Bank Aceh dari konvensional ke Bank Syariah.
Industri dan energi
Pada awal 2018 direncanakan akan dibuka Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun Lhokseumawe yang menyerap 40.000 tenaga kerja, Selain itu Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya:
1. Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe
2. Kawasan Industri Aceh, Ladong
4. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang
5. PT Arun NGL: Kilang Pencairan Gas Alam di Lhokseumawe
6. PT Pupuk Iskandar Muda (PIM): Pabrik Pupuk Iskandar Muda di Aceh Utara
7. PT Aceh Asean Fertilizer (AAF): Pabrik Pupuk Asean di Aceh Utara
8. PT Kertas Kraft Aceh (KKA): Pabrik Kertas di Aceh Utara
9. PT Semen Andalas Indonesia-Lafarge (SAI) : Semen Andalas di Aceh Besar
10. ExxonMobil: Kilang Gas Alam di Aceh Utara
11. PT. Perta Arun Gas, Lhokseumawe
12. PT. Pembangkitan Jawa-Bali (PJB), Lhokseumawe
13. PT. Medco E&P Indonesia, Aceh Timur
14. PT. Triangle Pase Inc., Aceh Timur
15. PT Pertamina Hulu Energi, Aceh Utara
PT. MIFA Bersaudara, Aceh Barat.
Pra-tsunami 2004
Sebelum bencana tsunami 26 Desember 2004, perikanan merupakan salah satu pilar ekonomi lokal di Aceh, menyumbangkan 6,5 persen dari Pendapatan Daerah Bruto (PDB) senilai 1,59 triliun pada tahun 2004 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2005). Potensi produksi perikanan tangkap mencapai 120.209 ton/tahun sementara perikanan budi daya mencapai 15.454 ton/tahun pada tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh 2004). Produksi perikanan tersebut merata, baik di Samudra Hindia maupun Selat Malaka.
Industri perikanan menyediakan lebih dari 100.000 lapangan kerja, 87 persen (87.783) di sub sektor perikanan tangkap dan sisanya (14.461) di sub sektor perikanan budi daya. Sekitar 53.100 orang menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian utama. Namun, 60 persen adalah nelayan kecil menggunakan perahu berukuran kecil. Dari sekitar 18.800 unit perahu/kapal ikan di Aceh, hanya 7.700 unit yang mampu melaut ke lepas pantai. Armada perikanan tangkap berskala besar kebanyakan beroperasi di Aceh Utara, Aceh Timur, Bireuen, Aceh Barat dan Aceh Selatan.
Menurut Nurasa et al. (1993), nelayan Aceh sebagian besar menggunakan alat tangkap pancing (hook and line). Alat tangkap lain adalah pukat, jaring cincin (purse seine), pukat darat, jaring insang, jaring payang, jaring dasar, jala dan lain-lain.
Infrastruktur penunjang industri ini meliputi satu pelabuhan perikanan besar di Banda Aceh, 10 pelabuhan pelelangan ikan (PPI) utama di 7 kabupaten/kota dan sejumlah tempat pelelangan ikan (TPI) kecil di 18 kabupaten/kota. Selain itu terdapat 36.600 hektare tambak, sebagian besar tambak semi intensif yang dimiliki petambak bermodal kecil. Tambak-tambak ini tersebar di Aceh Utara, Pidie, Bireuen dan Aceh Timur.
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Indonesia mengelola sebuah pusat pendidikan dan latihan (Pusdiklat) budi daya, sebuah pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang) budi daya, sebuah laboratorium uji mutu perikanan dan sebuah kapal latih. Di tiap kabupaten/kota, terdapat dinas perikanan dan kelautan. Total aset di sektor perikanan pra-tsunami mencapai sekitar Rp 1,9 triliun.
Pasca-tsunami 2004
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (2005) memperkirakan 9563 unit perahu hancur atau tenggelam, termasuk 3969 (41,5%) perahu tanpa motor, 2369 (24,8%) perahu bermotor dan 3225 (33,7%) kapal motor besar (5-50 ton). Selain itu, 38 unit TPI rusak berat dan 14.523 hektar tambak di 11 kabupaten/kota rusak berat. Diperkirakan total kerugian langsung akibat bencana tsunami mencapai Rp 944.492,00 (50% dari nilai total aset), sedangkan total nilai kerugian tak langsung mencapai Rp 3,8 miliar. Sebagian besar kerugian berasal dari kerusakan tambak.
Kapal PLTD Apung yang dibawa oleh tsunami sampai ke darat
Kerusakan tambak budi daya tersebar merata. Bahkan di daerah yang tidak terlalu parah dampak tsunaminya (misalnya di Kabupaten Aceh Selatan), tambak-tambak yang tergenang tidaklah mudah diperbaiki dan digunakan kembali. Total kerugian mencapai Rp 466 miliar, sekitar 50 persen dari total kerugian sektor perikanan. Kerugian ekonomi paling besar berasal dari hilangnya pendapatan dari sektor perikanan (tangkap dan budi daya). Hilangnya sejumlah besar nelayan, hilang atau rusaknya sarana dan prasarana perikanan termasuk alat tangkap dan perahu serta kerusakan tambak menjadikan angka kerugian sedemikian besarnya.
Diperkirakan produksi perikanan di Aceh akan anjlok hingga 60 persen. Proses pemulihan diperkirakan membutuhkan waktu paling sedikit 5 tahun. Di subsektor perikanan tangkap, bahkan diduga perlu waktu lebih lama (sekitar 10 tahun), karena banyaknya nelayan yang hilang atau meninggal selain rusaknya sejumlah besar perahu atau alat tangkap. Berdasarkan asumsi tersebut, total kerugian yang mungkin terjadi hingga sektor ini pulih total dan kembali ke kondisi pra-tsunami diperkirakan mencapai Rp 3,8 triliun.
Pariwisata
1. Pantai Lampuuk
2. Benteng Indra Patra di Ladong, Aceh Besar
Aceh memiliki banyak tujuan tempat wisata terutama wisata alam, sejarah dan islami. Dengan garis pantai yang cukup panjang, beberapa gugus kepulauan, dan luas cakupan hutan yang besar, Aceh menawarkan banyak pilihan wisata yang menarik bagi wisatawan dalam dan luar negeri.
Wisata alam
Salah satu wisata alam yang terkenal di Aceh adalah wisata pantai seperti dapat ditemui di Sabang, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Selatan, Simeulue dan Pulau Banyak. Beberapa pantai pasir putih yang terkenal misalkan Pantai Lampuuk di Aceh Besar dan Pantai Pasi Saka di Aceh Jaya. Wisata alam lainnya yang terkenal adalah wisata daerah pegunungan seperti di Tangse dan Dataran Tinggi Gayo. Selain itu Aceh juga dikenal dengan cakupan hutan yang masih cukup lestari seperti Cagar Alam Ulu Masen, Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Beberapa satwa endemis Sumatra masih lazim ditemukan di Aceh seperti orangutan, gajah, harimau dan badak.
Wisata sejarah
Sebagai wilayah yang paling awal dimasuki Islam di Kepulauan Asia Tenggara, Aceh memiliki sangat banyak tempat wisata sejarah Islam yang sangat penting seperti makam sultan kesultanan Islam pertama di Asia Tenggara yaitu Sultan Malikussaleh. Selain itu sebagai bekas wilayah kesultanan Islam paling berpengaruh di Asia Tenggara, terdapat sangat banyak peninggalan bersejarah terutama batu nisan yang tersebar di seluruh wilayah Aceh.
Transportasi
Transportasi darat
Perhubungan darat umum di Aceh dapat dijangkau dengan bus dan minibus. Setiap kabupaten dan kota di Aceh memiliki terminal. Jalur tol yang sudah dibangun adalah jalur Banda Aceh-Sigli.
Transportasi laut
Berikut ini merupakan daftar pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh :
1. Pelabuhan Malahayati, Aceh Besar.
2. Pelabuhan Internasional Samudera Pasai, Krueng Geukuh, Aceh Utara.[84]
3. Pelabuhan Internasional Langsa[85]
4. Pelabuhan Arun, Lhokseumawe
5. Pelabuhan Internasional Sabang
6. Pelabuhan Internasional Aceh Tamiang[86]
7. Pelabuhan Ulèë Lheuë, Banda Aceh.
8. Pelabuhan Jetty, Meulaboh.
9. Pelabuhan Ferry Labuhan Haji, Aceh Selatan.
10. Pelabuhan Sinabang, Simeulue.
11. Pelabuhan Ferry Singkil, Aceh Singkil.
12. Pelabuhan Ferry Susoh, Aceh Barat Daya.
13. Pelabuhan Teluk Surin, Aceh Barat Daya.
Transportasi udara
Berikut ini merupakan daftar bandar udara yang ada di Aceh :
1. BTJ–Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar
2. LSW–Bandar Udara Malikussaleh, Aceh Utara
3. MEQ–Bandar Udara Cut Nyak Dhien, Nagan Raya
4. SNB–Bandar Udara Lasikin, Sinabang
5. SBG–Bandar Udara Maimun Saleh, Sabang
6. TXE–Bandar Udara Rembele, Bener Meriah
7. SKL–Bandar Udara Syekh Hamzah Fansyuri, Singkil
8. TPK–Bandar Udara Teuku Cut Ali, Tapaktuan
9. LSX–Bandar Udara Lhoksukon, Aceh Utara
Stasiun kereta api
Sejarah awal Kereta Api di Aceh sudah dimulai sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1876 KNIL mulai membangun jalur kereta Api Aceh atau saat itu dikenal dengan Atjeh Tram yang mulai beroperasi dari tahun 1882 hingga 1942 dan sempat berubah namanya menjadi Atjeh Staatsspoorwegen (ASS) pada tahun 1916. Saat ini Kereta Api Aceh berada dibawah PT. Kereta Api Indonesia Divisi Regional I Sumatra Utara dan Aceh. Kereta Api Cut Meutia (sebelumnya bernama Kereta Api Perintis Aceh) adalah kereta api yang melayani perjalanan Stasiun Krueng Geukuh–Stasiun Kutablang.
Berikut ini merupakan daftar Stasiun Kereta Api yang ada di Aceh :
1. (KRG)–Stasiun Krueng Geukueh
2. (BKH)–Stasiun Bungkaih
3. (KRM)–Stasiun Krueng Mane
4. (GRU)–Stasiun Geurugok
5. (KKG)–Stasiun Kutablang
Tokoh dari Aceh
Pahlawan
Suku Aceh merupakan suku yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang Suku Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (empat jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkoff Peucut yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda).
Pahlawan perempuan
Pahlawan pria
3. Teuku Umar
Tokoh asal Aceh
Daftar tokoh Aceh dan Daftar tokoh suku Aceh
7. P. Ramlee
8. Pocut Baren
9. Sultan Ali Mughayat Syah dari Aceh
12. Surya Paloh
15. Syiah Kuala
16. Teuku Ben Mahmud
17. Teuku Jacob
19. Teuku Nyak Arief
22. Teungku Fakinah
23. Tun Sri Lanang
Sumber : Google Wikipedia
-oooooooooo oOo oooooooooo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar