Minggu, 24 September 2023

PROVINSI MALUKU


PROVINSI MALUKU

BER-IBU KOTA DI KOTA AMBON

Orientasi

Maluku adalah sebuah provinsi yang meliputi bagian selatan Kepulauan Maluku, Indonesia. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Seram di Utara, Samudra Hindia dan Laut Arafura di Selatan, Papua di Timur, dan Sulawesi di Barat. Ibu kota dan kota terbesarnya ialah kota Ambon. Provinsi Maluku berada di urutan ke-28 provinsi menurut jumlah penduduk di Indonesia, di mana pada tahun 2020, populasi provinsi Maluku berjumlah 1.848.923 jiwa.

Sebelum masa penjajahan, Maluku menjadi poros perdagangan rempah dunia dengan cengkih dan pala sebagai barang dagangan utama. Hal ini membuat Maluku dijuluki sebagai "Kepulauan Rempah" hingga hari ini. Rakyat Maluku berdagang dengan para pedagang dari berbagai daerah di Nusantara maupun mancanegara seperti pedagang-pedagang Tionghoa, Arab, dan Eropa. Kekayaan rempah ini pun menjadi daya tarik bangsa-bangsa Eropa yang pada akhirnya menguasai Maluku, dimulai oleh Portugis dan terakhir Belanda.

Sejarah Maluku sebagai satu kesatuan dimulai dari pembentukan tiga kegubernuran oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda pada abad ke-18, yaitu Ambon, Kepulauan Banda, dan Ternate yang disatukan oleh Belanda pada awal abad ke-19 dalam satu nama, yaitu Maluku. Setelah masa penjajahan, Maluku tetap dipertahankan seutuhnya sebagai provinsi sebelum Maluku Utara dimekarkan menjadi provinsi sendiri pada akhir abad ke-20.

Penamaan

Kata pertama yang dapat diidentifikasi dengan Maluku berasal dari Nagarakretagama, sebuah kakawin berbahasa Jawa Kuno dari tahun 1365. Pupuh 14 bait 5 menyebutkan Maloko, yang Pigeaud identifikasikan dengan Ternate atau Maluku.

Nama Maluku bisa berasal dari konsep "Maluku Kie Raha". “Raha” berarti empat, sedangkan “kie” berarti gunung yang mengacu pada empat pulau bergunung yaitu Ternate, Tidore, Bacan, and Jailolo (Halmahera). Walaupun bisa juga mengacu pada daerah lain. Masing-masing memiliki pemimpin yang disebut Kolano yang kemudian bergelar Sultan. Ada berbagai macam ide untuk asal kata Maluku. “Moloku” berarti menggenggam, yang memiliki asal kata "Loku" yaitu unit dalam perdagangan.

Menggunakan makna ini "Moloku Kie Raha" bisa berarti "persatuan empat kerajaan" Tetapi kata "Loku" merupakan kata serapan dari bahasa melayu. Asal kata lain berupa “Maloko” merupakan gabungan kata “Ma” yaitu penunjang dan “Loko” yang kemudian berubah menjadi "Luku" yang berarti tempat atau dunia, jika digabungkan berarti "Maloko Kie Raha" artinya “Dunia berdirinya empat gunung”.

Sejarah

Prasejarah

Kepulauan Maluku mulai terbentuk antara 150 hingga satu juta tahun yang lalu, antara zaman Kehidupan Tengah dan zaman Es. Kepulauan Maluku tergabung dalam rangkaian Dangkalan Sahul yang terhubung dengan Australia. Kepulauan Maluku pertama kali diduduki sekitar 30.000 tahun yang lalu oleh bangsa Austronesia-Melanesia yang terdiri dari Negrito dan Wedda, kemudian dilanjutkan oleh kedatangan bangsa Melayu Tua, Melayu Muda, kemudian Mongoloid, mengingat letak Maluku sebagai daerah lintas perpindahan penduduk Asia Tenggara ke Melanesia dan Mikronesia. Meskipun demikian, Austronesia-Melanesia dan kebudayaannya tetap menjadi yang terbesar di Maluku. Pulau Seram sebagai nusa ina (pulau ibu) memegang kunci sebagai pusat penyebaran penduduk ke seluruh penjuru Kepulauan Maluku.

Budaya prasejarah Maluku dimulai oleh budaya Batu Tua, didukung oleh peninggalan berupa kapak genggam, meskipun manusia pendukung kebudayaan tersebut beserta peninggalan kebudayaan lainnya belum ditemukan. Sementara itu, peninggalan kebudayaan Batu Tengah berupa gua-gua beserta bekas-bekasnya yang dapat ditemukan di Seram dan Kei. Gua-gua di Maluku memiliki lukisan yang menyerupai lukisan gua Papua yang tidak hanya berupa lukisan telapak tangan layaknya gua-gua di Sulawesi, melainkan juga lukisan kehidupan manusia dan hewan.

Kebudayaan dilanjutkan oleh kebudayaan Batu Baru dengan budaya bercocok tanam, seiring ditemukannya kapak dan cangkul, yang menjadi dasar perkembangan kebudayaan Maluku hingga saat ini. Selanjutnya, kebudayaan perunggu dan besi meninggalkan nekara, kapak perunggu, gelang, dan patung yang hingga kini dipelihara penduduk setempat sebagai benda pusaka dan lambang kebesaran suku.

Sebagian besar nekara yang berada di Maluku merupakan hasil perdagangan dengan daratan Asia Tenggara, Tiongkok Selatan, dan Tonkin sekitar abad pertama masehi. Berbeda dengan daerah lainnya di Asia Tenggara, Batu Besar hanya meninggalkan sedikit peninggalan, yakni punden berundak dan batu pemali (dolmen) yang biasanya diletakaan di atas bukit atau di dekat baileo.

Prapenjajahan

Maluku menjadi salah satu tempat terpenting dalam perdagangan dunia karena hasil buminya berupa rempah, terutama pala dan cengkih, yang ramai dicari pedagang dari Barat. Perdagangan dunia konon terbagi menjadi dua jalur, yakni jalur sutra dan jalur rempah di mana keduanya melalui Maluku.

Karenanya, Maluku ramai dikunjungi para pedagang asing seperti dari Arab, Persia, Gujarat, dan Tiongkok. Pada abad ke-7, pedagang dari Tiongkok menguasai perdagangan rempah Maluku, kemudian perdagangan dikuasai oleh para pedagang Arab dan Persia pada abad-abad setelahnya. Meskipun demikian, pedagang Arab dan Persia telah tercatat beramai-ramai memasarkan rempah dari Maluku seperti cengkih ke Eropa sejak abad ke-7. Pedagang Arab pun mengenalkan abjad Arab yang berkembang menjadi abjad Jawi kepada masyarakat Maluku serta angka Arab yang digunakan dalam segala pembayaran dalam perdagangan di Maluku.

Sriwijaya menguasai Maluku pada abad ke-12, kemudian Majapahit pada abad ke-14. Pada masa ini, pedagang Jawa mengambil alih kuasa dagang Maluku. Pada masa yang sama pula Islam mulai disebarkan kepada penduduk Maluku—sebelumnya Islam hanya dipeluk oleh kalangan musafir dan pedagang—melalui hubungan dagang dengan Timur Tengah serta mubalig Jawa dan Melaka.

Uli Lima dan Uli Siwa sebelum Perjanjian Saragosa.

Selain perdagangan rempah, sejarah Maluku tidak bisa lepas dari empat kerajaan besar Maluku Utara, yaitu Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo yang telah ada sejak abad ke-13. Penguasa kerajaan-kerajaan tersebut bergelar kolano (kelana), kemudian diubah menjadi sultan sejak para kolano memeluk Islam pada abad ke-15. Meskipun keempatnya merupakan kerajaan besar, hanya Ternate dan Tidorelah yang memiliki kedudukan penting. Ternate yang membidik barat memperluas wilayahnya hingga Ambon dan barat Seram, terutama pada masa Sultan Khairun dan Sultan Baabullah pada abad ke-16. Sementara itu, Tidore yang membidik timur berhasil menguasai timur Seram.

Persaingan antarkedua kerajaan yang sudah menjadi kesultanan tersebut membuat keduanya sering bertikai seperti dalam persaingan untuk bekerja sama dengan mitra asing, khususnya Barat, memicu kekuasaan Barat di Maluku di kemudian hari. Wilayah kekuasaan Ternate disebut sebagai Uli Lima atau persekutuan lima negeri, sedangkan wilayah kekuasaan Tidore disebut sebagai Uli Siwa atau persekutuan sembilan negeri.

Masa Penjajahan

Ekspedisi Kedua Belanda ke Nusantara

Setelah menaklukkan Melaka pada 1511, Portugis di bawah Francisco Serrão mencari Kepulauan Maluku. Serrão yang pada awalnya berlabuh di Ambon berakhir di Ternate sebagai sekutunya pada 1512. Sejak itu, Portugis berhasil menanamkan kekuasaannya di Maluku. Portugis membangun beberapa loji dan benteng di Ambon serta Banda di mana terjadi penginjilan dan perkawinan campur di permukiman yang tumbuh di sekitarnya. Banda berperan sebagai pusat perdagangan, sementara Ambon menjadi bandar. Kedudukan Portugis sempat terguncang oleh Spanyol yang tiba pada 1521.

Kehadiran Spanyol yang bersekutu dengan Tidore menimbulkan pertikaian dengan Portugis, meski dapat diakhiri dengan penandatanganan Perjanjian Saragosa pada 1529 yang memaksa Spanyol untuk meninggalkan Maluku. Selama berkuasa di Maluku, Portugis mengenalkan teknologi pembangunan Eropa dan tanaman-tanaman asing seperti ketela serta merintis pendidikan barat di Maluku. Dua Sultan Ternate yang kala itu menguasai sebagian besar Maluku tercatat secara resmi menyerahkan Maluku kepada Raja Portugal, pada 1545 oleh Tabariji dan setahun setelahnya oleh Khairun. Namun demikian, pusat kedudukan Portugis berpindah dari Ternate ke Ambon sejak Portugis diusir oleh Baabullah pada 1575. Spanyol sempat kembali lagi ke Maluku pascapembentukan Uni Iberia di bawah Mahkota Spanyol pada 1580 juga dengan bersekutu bersama Tidore.

Belanda pertama kali menginjakaan kakinya di Maluku pada 1599 di bawah pimpinan Wybrand van Warwijck dengan mengunjungi Ambon dan Banda. Kedatangan Belanda disusul Inggris yang datang di bawah pimpinan James Lancaster pada 1601.[c] Mereka membangun loji di Banda. Setahun setelahnya, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dibentuk. Persaingan Inggris-Belanda pun terjadi pasca Inggris yang kini datang sebagai Perusahaan Hindia Timur Inggris tiba kembali di Maluku pada 1604.

Namun, setahun setelahnya, Portugis menyerah tanpa perlawanan kepada Belanda di Ambon pada 1605 dan segera meninggalkan Maluku. Sejak itu, Ambon menjadi pusat VOC di Nusantara sebelum pindah ke Batavia pada 1619. VOC sempat mengizinkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon pada 1920 karena urusan diplomatik, meski Inggris harus meninggalkan Maluku pada 1623 setelah Pembantaian Amboyna terjadi. Monopoli VOC menimbulkan perlawanan dari penghasil setempat dalam bentuk penyelundupan. Hal inilah yang menyebabkan Pembantaian Banda oleh VOC pada 1621 dan kekerasan VOC terhadap Ambon-Lease yang berakhir menjadi Perang Ambon pada 1624–1658 di mana banyak rakyat Maluku dijadikan budak.

VOC yang menerapkan kebijakan pelayaran hongi dan ekstirpasi membatasi penanaman cengkih hanya di Ambon-Lease setelah Perang Huamual antara Huamual dan VOC-Ternate berakhir pada 1658. VOC benar-benar menjadi kekuatan terdepan Eropa di Maluku setelah Spanyol diusir dari Tidore dengan bantuan VOC pada 1663.

Sebagai jajahan VOC, Kepulauan Maluku terbagi menjadi tiga kegubernuran: Ambon, Kepulauan Banda, dan Ternate.

Perang Dunia II

Pecahnya Perang Pasifik tanggal 7 Desember 1941 sebagai bagian dari Perang Dunia II mencatat era baru dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Gubernur Jenderal Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh, melalui radio, menyatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda dalam keadaan perang dengan Jepang.

Tentara Jepang tidak banyak kesulitan merebut kepulauan di Indonesia. Di Kepulauan Maluku, pasukan Jepang masuk dari utara melalui pulau Morotai dan dari timur melalui pulau Misool. Dalam waktu singkat seluruh Kepulauan Maluku dapat dikuasai Jepang. Perlu dicatat bahwa dalam Perang Dunia II, tentara Australia sempat bertempur melawan tentara Jepang di desa Tawiri. Dan untuk memperingatinya dibangun monumen Australia di negeri negeri Tawiri (tidak jauh dari Bandara Pattimura).

Dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Maluku dinyatakan sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia. Namun pembentukan dan kedudukan Provinsi Maluku saat itu terpaksa dilakukan di Jakarta, sebab segera setelah Jepang menyerah, Belanda (NICA) langsung memasuki Maluku dan menghidupkan kembali sistem pemerintahan kolonial di Maluku. Belanda terus berusaha menguasai daerah yang kaya dengan rempah-rempahnya ini, bahkan hingga setelah keluarnya pengakuan kedaulatan pada tahun 1949 dengan mensponsori terbentuknya Republik Maluku Selatan (RMS).

Pemerintahan

Daftar Gubernur Maluku, Daftar Wakil Gubernur Maluku, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku

Maluku ditetapkan sebagai salah satu provinsi yang merupakan daerah swatantra tingkat I melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1958 tertanggal 17 Juni 1958 yang juga dapat disebut sebagai Undang-Undang Pembentukan Maluku. Undang-undang tersebut merupakan penetapan dari Undang-Undang Darurat Nomor 22 Tahun 1957 yang memiliki tujuan yang sama. Pada undang-undang tersebut, Pemerintah Provinsi Maluku ditetapkan berkedudukan di Ambon.

Provinsi Maluku dipimpin oleh seorang gubernur sebagai kepala daerah beserta wakilnya yang dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Maluku (DPRD Provinsi Maluku) yang memiliki 45 anggota. Gubernur dan wakilnya memiliki masa jabatan lima tahun dan dapat diperbarui sekali. Anggota DPRD pun dipilih langsung oleh rakyat dengan masa bakti lima tahun. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, gubernur dibantu oleh perangkat daerah: sekretariat daerah, sekretariat DPRD, inspektorat, 23 dinas daerah, dan 11 badan.

Pembagian administratif

Provinsi Maluku terbagi menjadi 9 kabupaten dan 2 kota. Di bawahnya, terdapat 118 kecamatan yang terdiri dari 35 kelurahan dan 1.198 desa dan negeri. Di antara seluruh kabupaten dan kota, ibu kota provinsi, Ambon merupakan yang terbesar menurut jumlah penduduk dan Maluku Tengah merupakan yang terbesar menurut luas wilayah. Sepanjang sejarah Maluku, terdapat beberapa usaha mengubah nama kabupaten. Hingga kini, yang baru terwujud ialah pengubahan nama Maluku Tenggara Barat menjadi Kepulauan Tanimbar.

Ibu kota Provinsi Maluku adalah Kota Ambon.

Berikut daftar kabupaten dan/atau kota di Provinsi Maluku

No

Kode Wilayah

Kabupaten/Kota

Ibu Kota Kabupaten

Luas Wilayah (km2)

Luas Wilayah (%)

1

81.04

Kabupaten Buru

Namlea

4.932,32

10,51%

2

81.09

Kabupaten Buru Selatan

Namrole

3.780,56

8,06%

3

81.07

Kabupaten Kepulauan Aru

Dobo

8.152,42

17,38%

4

81.08

Kabupaten Maluku Barat Daya

Tiakur

4.581,06

9,76%

5

81.01

Kabupaten Maluku Tengah

Masohi

7.953,81

16,95%

6

81.02

Kabupaten Maluku Tenggara

Langgur

1.031,81

2,20%

7

81.03

Kabupaten Maluku Tenggara Barat

Saumlaki

4.465,79

9,52%

8

81.06

Kabupaten Seram Bagian Barat

Piru

5.033,38

10,73%

9

81.05

Kabupaten Seram Bagian Timur

Bula

6.429,88

13,71%

10

81.71

Kota Ambon

298,61

0,64%

11

81.72

Kota Tual

254,39

0,54%



Provinsi Maluku


46.914,03

100,00%

Ekonomi

Maluku merupakan ekonomi terkecil ke-3 di Indonesia, setelah Maluku Utara dan Gorontalo, menurut PDRB lapangan usaha dan juga merupakan ekonomi termiskin ke-3 di Indonesia, juga setelah Maluku Utara dan Gorontalo, menurut PDRB pengeluaran. Dengan kata lain, pada tahun 2018, Maluku menyumbang 0,29% dari nilai PDB Indonesia.

Menurut pendapatan per kapitanya, Maluku merupakan provinsi termisikin ke-2 di Indonesia, setelah Nusa Tenggara Timur, dengan PDRB lapangan usaha per kapita senilai Rp24.278.490,00 pada tahun 2018. Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi Maluku berada di atas rata-rata nasional dengan pertumbuhan PDRB senilai 5,94% dan pertumbuhan PDRB per kapita senilai 4,20%.

Pertanian, kehutanan, dan perikanan memberikan topangan terbesar terhadap ekonomi Maluku, diikuti dengan administrasi pemerintahan dan pertahanan serta perdagangan besar dan eceran. Lapangan-lapangan usaha tersebut pun menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi provinsi. Pertumbuhan industri Maluku merupakan salah satu yang terpesat di Indonesia dengan pertumbuhan industri mikro dan kecil di atas tiga belas persen pada 2019. Pada tahun yang sama, angka pengangguran terbuka provinsi merupakan kedua tertinggi setelah Jawa Barat dengan kisaran tujuh persen.

Infrastruktur

Transportasi di Maluku, Energi di Maluku, Komunikasi di Maluku, dan Penyediaan air dan sanitasi di Maluku

Dengan bentuk kepulauan, transportasi di Maluku dikuasai oleh transportasi laut. Meskipun demikian, infrastruktur transportasi laut Maluku belum mampu memenuhi permintaan. Kini, di Maluku terdapat 31 pelabuhan penyeberangan dengan 66 lintas penyeberangan yang dilayani 25 unit kapal. Maluku dilalui 3 lintas Tol Laut dengan 9 pelabuhan singgah yang tersebar di seluruh penjuru kepulauan. Sebagai pulau terbesar, transportasi darat dan jalan terpusat di Seram. Maluku memiliki 13 bandara dengan 13 rute komersial dan 7 rute perintis. Pelabuhan terbesar Maluku adalah Pelabuhan Yos Sudarso, sementara bandara terbesarnya adalah Bandara Pattimura.

Pada akhir 2019, rasio elektrifikasi Maluku baru mencapai 89%. Lebih dari empat perlima listrik Maluku dihasilkan oleh kapal pembangkit listrik, terutama Kota Ambon. Maluku masih membangun beberapa pembangkit listrik, sebagian besar mesin gas dengan salah satunya panas bumi. Dari seluruh listrik yang dihasilkan, hanya 85% yang terjual. Maluku tidak memiliki sistem gas kota; sebagian besar masyarakat menggunakan kayu bakar dan minyak tanah untuk memasak. Sebagian besar masyarakat Maluku masih memanfaatkan air sumur sebagai sumber air minumnya.

Demografi

Demografi Maluku dan Orang Maluku

Dengan penduduk sebesar 1.533.506 jiwa pada sensus 2010, tumbuh menjadi 1.831.880 menurut proyeksi 2020, Maluku merupakan provinsi terbesar ke-29 di Indonesia. Kawasan Ambon-Maluku Tengah mencakup hampir setengah dari seluruh penduduk provinsi dengan ibu kota, Ambon, sendiri mencakup hampir sepertiga. Kepadatan penduduk Maluku merupakan salah satu yang terendah dengan 36 jiwa per kilometer persegi. Umur harapan hidup Maluku mencapai 65,82 tahun, terendah ketiga. Angka kesuburan Maluku sebesar 3,20 anak lahir tiap wanita merupakan salah satu yang tertinggi di negara.

Suku bangsa

Sebagian besar penduduk Maluku merupakan penduduk asli Maluku yang terdiri dari berbagai suku bangsa seperti suku-suku Alifuru, suku Ambon, Buru, Kei dan Tanimbar. Suku-suku pendatang—sebagian besar mendiami Ambon dan Maluku Tengah— di antaranya Bugis, Makassar, dan Buton serta suku-suku dari Jawa yang datang beriringan dengan Majapahit.

Meskipun demikian, penduduk asli Maluku tercatat sejak dahulu kala telah melakukan berbagai perkawinan campuran dengan suku-suku pendatang tersebut serta Minahasa dan suku-suku dari Sumatra. Selain itu, mengingat peran Maluku dalam sejarah perdagangan dunia, penduduk asli Maluku telah bercampur dengan bangsa Arab, India, dan Eropa (umunya Belanda dan Portugis), dapat dilihat dari marga-marga asing yang masih digunakan orang Maluku hingga kini. Hal ini pun menjadi salah satu penyebab mengapa Maluku menjadi satu-satunya kawasan mestizo di Indonesia.

Berdasarkan data dari Sensus Penduduk Indonesia 2010, berikut ini komposisi etnis atau suku bangsa di provinsi Maluku:

No

Suku

Jumlah 2010

%

1

Asal Maluku

1.127.148

73,83%

2

Asal Sulawesi

247.266

16,20%

3

Jawa

79.340

5,20%

4

Bugis

25.419

1,66%

5

Asal NTT

8.624

0,56%

6

Makassar

6.414

0,42%

7

Tionghoa

4.556

0,30%

8

Sunda

4.457

0,30%

9

Suku Lainnya

23.486

1,53%


Provinsi Maluku

1.526.710

100%

Agama

Konflik sektarian Maluku

Agama di Maluku pada 2020

Agama



%


Islam

  

5.285

Protestan

  

3.939

Katolik

  

687

Kepercayaan

  

055

Hindu

  

032

Buddha

  

002

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik provinsi Maluku tahun 2021, penduduk Maluku sebagian besar beragama Islam yakni 52, 85%. Islam dibawa oleh para pedagang dari Melaka dan Jawa Timur, khususnya Gresik, seiring dengan dilaluinya Maluku oleh Jalur Sutra. Sementara itu, Kekristenan berjumlah 46,26%, dan mayoritas Protestan dengan persentasi 39,39% dan selebihnya beragama Katolik yakni 6,87%. Pada mulanya, Katolik dibawa oleh Portugis pada abad ke-16 dengan tokoh penting Fransiskus Xaverius sebagai pelopor, lalu diteruskan oleh Yesuit dengan penganut besar di Ambon. Kemudian, setelah Belanda mengambil alih Maluku, Protestanisme mulai menyebar.

Gereja Protestan terbesar Maluku merupakan Gereja Protestan Maluku (GPM) yang melayani Maluku dan Maluku Utara serta merupakan hasil kemandirian dari Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Keduanya didirikan di Ambon sebelum pada masa VOC-Belanda dan terpengaruh oleh para zending Belanda. Sementara itu, Maluku juga memiliki keuskupannya sendiri, yaitu Keuskupan Amboina yang merupakan keuskupan sufragan dari Keuskupan Agung Makassar.

Kesukupan Amboina juga melayani Maluku Utara atau dengan kata lain melayani seluruh Kepulauan Maluku.[101] Ketiga agama kecil lainnya memiliki penganut yang tersebar di seluruh penjuru Maluku. Penganut Hindu tercatat ada di seluruh kabupaten dan kota dengan Buru, Buru Selatan, dan Maluku Tenggara sebagai kabupaten yang memiliki penduduk Hindu terbanyak. Kedua agama lainnya, Buddha dan Konghucu tidak memiliki penganut di seluruh kabupaten dan kota Maluku.

Buddha memiliki penganut terbanyak di Seram Bagian Timur, Maluku Tengah, dan Buru, sedangkan tercatat tidak memiliki penganut di Seram Bagian Barat, Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Tual. Sebagai agama terkecil, penganut Konghucu hanya terdapat di daerah-daerah seperti Kepulauan Tanimbar, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, dan Kepulauan Aru.

Pertikaian antaragama besar pernah terjadi pada akhir abad ke-20 hingga permulaan abad ke-21. Krisis politik melanda Indonesia pada saat itu setelah terjadinya krisis ekonomi, kemudian dipertajam lagi oleh rencana pemekaran Maluku Utara dari Maluku yang disebabkan oleh permasalahan politik yang menyangkut agama. Hal ini menimbulkan pertikaian antara kedua belah pihak Kristen dan Islam pada awal 1999.

Pertikaian ini pun berkembang menjadi pertempuran dengan warga sipil sebagai sasaran kekerasan setelah pecahnya kerusuhan di Batu Merah, Ambon pada Januari 1999. Kerusuhan pun menyebar ke seluruh penjuru provinsi serta Maluku Utara yang baru dibentuk pada saat itu. Pertikaian dihentikan setelah berbagai upaya pemerintah dan turun tangan dari TNI serta diakhiri dengan Piagam Malino II pada 2002. Setelah sekian lama ketegangan mereda, kerusuhan serupa terjadi lagi di Ambon pada 2011, namun tidak sebesar kerusuhan sebelumnya dan tidak menyebar ke seluruh bagian provinsi.

Meskipun demikian, kerusuhan ini menuai kritik dari kalangan agama seperti sinode GPM. Pertikaian-pertikaian keagamaan yang terjadi di Maluku dipercayai memiliki akar kuat yang berasal dari kedatangan Eropa, di mana Kepulauan Maluku secara sosioagama terbelah menjadi Maluku Utara yang beragama Islam dan berada dalam pengaruh Ternate dan Maluku Selatan (kini Provinsi Maluku) yang berada dalam pengaruh zending-zending Belanda.

Bahasa

Daftar bahasa di Maluku dan Bahasa Ambon

Bahasa Indonesia yang berperan sebagai bahasa resmi digunakan secara luas bersama-sama dengan bahasa Ambon (juga dikenal sebagai bahasa Melayu Ambon atau Melayu Maluku) sebagai bahasa pengantar provinsi. Hingga 2020, Maluku tercatat memiliki 62 bahasa daerah. Meskipun demikian, Maluku merupakan salah satu pusat kepunahan bahasa di Indonesia.

 Dalam tiga tahun terakhir, bahasa daerah yang punah di Indonesia berjumlah 11 bahasa dengan 8 di antaranya merupakan bahasa daerah Maluku. Kepunahan bahasa daerah disebabkan salah satunya oleh pengaruh bahasa Ambon yang dulunya merupakan bahasa kedua (bahasa pengantar) bagi sebagian besar penduduk Maluku, kini menjadi bahasa ibu, menggantikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu di hampir seluruh wilayah Provinsi Maluku.

Bahasa Ambon yang sebenarnya merupakan salah satu dialek bahasa Melayu berkembang pesat sejak masa VOC. Dimulai dari gereja, di kalangan masyarakat Kristen terdidik, bahasa Melayu kian lama menggantikan bahasa tanah (bahasa daerah atau bahasa asli). Setelah itu, pada masa Hindia Belanda, pemerintah melarang penggunaan bahasa tanah dalam usaha menuntut masyarakat menggunakan bahasa Ambon. Kini, bahasa tanah hanya bertahan di beberapa kampung Kristen terpencil dan kampung Islam. Penggunaan bahasa Indonesia pun menjadi salah satu penyebab terancam punahnya bahasa tanah. Bahasa tanah digunakan secara luas hanya oleh tokoh adat saat upacara adat dan dicap sebagai tuturan-tuturan adat.

Pendidikan

Pendidikan di Maluku

Daftar perguruan tinggi di Maluku

Pendidikan barat atau pendidikan modern mulai memasuki Maluku seiring dengan masuknya Kekristenan pada masa Portugis. Portugis mendirikan sekolah-sekolah gereja dengan tujuan memberantas buta huruf sehingga masyarakat yang telah masuk Kristen dapat membaca Alkitab. Namun, setelah Belanda datang, semua sekolah dibebaskan dari pengaruh agama dan dijadikan sekolah negeri.

Kemajuan pendidikan umum maupun pendidikan agama di Maluku pun terjadi pada masa ini. Meskipun demikian, di kemudian hari, para misionaris tetap mendirikan sekolah Kristen. Peran pendidikan pun sangat penting dalam perkembangan bahasa Ambon yang pada awalnya digunakan secara luas pada masyarakat Kristen terdidik. Sepanjang masa penjajahan Belanda, pendidikan di Ambon merupakan yang termaju di Hindia Belanda.

Kini, Maluku mencanangkan wajib belajar dua belas tahun bagi warga negara berumur antara 7 hingga 18 tahun, sejenjang di atas wajib belajar nasional yang hanya sembilan tahun, seiring dengan telah tercapainya standar pelayanan minimal. Terlepas dari keadaan ekonominya, Maluku merupakan provinsi paling terdidik ketiga di Indonesia, setelah DKI Jakarta dan Kepulauan Riau, dengan rata-rata lama sekolah selama 9,81 tahun pada 2019.

Dengan didorong oleh partisipasi pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas yang tinggi, partisipasi pendidikan tinggi Maluku merupakan kedua tertinggi nasional setelah DI Yogyakarta. terdapat 43 perguruan tinggi di Maluku yang terdiri dari 31 sekolah tinggi, 4 universitas, akademi dan politeknik masing-masing berjumlah 3, dan 2 institut.

Kesehatan

Kesehatan di Maluku

Maluku menerapkan sistem pelayanan kesehatan gugus pulau dengan 56 pusat gugus tersebar di segala penjuru provinsi pada 2018. Sistem ini bertujuan untuk mengatasi kendala kesehatan Maluku selama ini, yaitu biaya pengangkutan yang mahal dan penyaluran perlengkapan yang tidak merata. Gugus pulau dibagi berdasarkan kedekatan suatu pulau dengan pusat gugus yang memiliki sarana dan prasarana kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit pratama. Di bawah pusat gugus, terdapat pulau satelit sebagai tempat puskesmas pembantu, polindes, dan bidan desa.

Maluku memiliki jaringan puskesmas yang besar dengan hampir dua puskesmas tiap kecamatan. Meskipun demikian, hanya dua dari lima puskesmas memberikan layanan sesuai standar. Setengah dari seluruh rumah sakit di Maluku belum terakreditasi.[122] RSUP dr. J. Leimena yang terletak di Ambon merupakan rumah sakit rujukan tertinggi dan RSUP pertama di Maluku; RSUP melayani Provinsi Maluku dan sekitarnya.

Seni dan Budaya

Musik

Alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu, Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas, ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang yang merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja dengan beberapa lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang).

Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas di mana terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi tarian tradisional seperti Katreji.

Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling yang mencirikan alat musik gurun pasir.

Di luar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal andal dalam bernyanyi. Sejak dahulu pun mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak ayal bila sekarang terdapat banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja para legenda seperti Broery Pesulima, Harvey Malaihollo, Masnait Group, dan Yopie Latul. Belum lagi para penyanyi kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo, Glenn Fredly, Ello Tahitu, Webster Manuhutu, (Duo) Moluccas, Figgy Papilaya, dan lain-lain.

Tarian

Tari yang terkenal dari negeri Maluku adalah tari Cakalele yang menggambarkan keperkasaan orang Maluku. Tari ini biasanya diperagakan oleh para pria dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai).

Ada pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik yang sangat menarik

Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya Maluku. Hal ini lebih tampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme. Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa, dan bas gitar dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.

Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan, membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti setiap orang baik tua maupun muda.

Selain itu, ada pula Tarian Bambu Gila. Tarian bambu gila adalah tarian khusus yang bersifat magis, berasal dari Desa Suli. Keunikan tarian ini adalah para penari seakan-akan dibebani oleh bambu yang dapat bergerak tidak terkendali dan tarian ini bisa diikuti oleh siapa saja.

 

-oooooooooo oOo oooooooooo-

Sumber : Google Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...