KABUPATEN SANGGAU
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Orientasi
Kabupaten Sanggau adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Kalimantan Barat. Ibu kotanya adalah Kapuas. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara provinsi Kalimantan Barat dengan luas daerah 12.857,70 km² dengan kepadatan 29 jiwa per km². Dilihat dari letak geografisnya kabupaten sanggau terletak di antara 1° 10" Lintang Utara dan 0° 35" Lintang Selatan serta di antara 109° 45", 111° 11" Bujur Timur.
Sejarah
Kontrak 1756, Sultan Tamjidullah I dari Banjarmasin dengan VOC-Belanda mendaftarkan Sanggau dalam wilayah pengaruh Kesultanan Banjarmasin. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah ini termasuk dalam wester-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.
Sejarah Pemerintah Kabupaten Sanggau
Sanggau adalah sebuah nama sebuah kabupaten di Kalimantan Barat yang terletak tidak begitu jauh dari Kota Pontianak. Sebelum berubah menjadi kabupaten, di wilayah Sanggau berdiri suatu kerajaan Melayu yang sudah ada sejak abad ke-4 Masehi. Penyebutan “Sanggau” sendiri berasal dari nama tanaman yang tumbuh di tepi sungai daerah tempat berdirinya kerajaan itu, yakni Sungai Sekayam. Dalam buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat karya J.U. Lontaan disebutkan bahwa Sungai Sekayam merupakan tempat merapatnya rombongan yang dipimpin Dara Nante, seorang perempuan ningrat dari Kerajaan Sukadana, Ketapang, saat mencari suaminya yang bernama Babai Cinga (J.U.Lontaan, 1975:170). Namun ada juga pendapat yang meyakini bahwa nama “Sanggau” diambil dari nama Suku Dayak Sanggau, sebuah klan Suku Dayak yang menjadi suku asal Baba Cinga.
Masa Awal Kerajaan Sanggau
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau (www.pontianakonline.com).
Dalam perjalanan menyusuri Sungai Sekayam, rombongan Dara Nante bertemu dengan orang-orang dari Suku Dayak Mualang yang dipimpin oleh Patih Bardat dan Patih Bangi. Rombongan Suku Dayak Mualang tersebut sedang berusaha menemukan sebuah tempat yang bernama Tampun Juah. Akhirnya, kedua rombongan itu bergabung dan bersama-sama mengarungi Sungai Sekayam. Di tengah perjalanan, ternyata di aliran Sungai Sekayam terdapat dua cabang anak sungai. Rombongan besar ini kemudian memilih salah satu cabang Sungai Sekayam yang dikenal dengan nama Sungai Entabai. Ternyata pilihan itu tepat karena rombongan Dara Nante dan Suku Dayak Mualang berhasil menemukan Tampun Juah yang terletak di hulu Sungai Entabai. Berkah bagi Dara Nante karena di tempat itulah ia dapat menemukan Babai Cinga.
Tampun Juah merupakan tempat persinggahan dan salah satu pusat berkumpulnya suku-suku bangsa Dayak dari berbagai klan yang bermigrasi dari banyak daerah asal. Setelah beberapa saat menetap di Tampun Juah, rombongan Patih Bardat dan Patih Bangi memutuskan untuk meneruskan perjalanannya menuju hulu Sungai Kapuas. Kelak, rombongan Singa Patih Bardat menurunkan Suku Kematu, Benawas, Sekadau, dan Melawang. Sedangkan rombongan Patih Bangi adalah leluhur Suku Dayak Melawang yang menurunkan raja-raja Sekadau (www.pontianakonline.com).
Dara Nante tidak menetap selamanya di Tampun Juah karena Dara Nante memutuskan untuk pulang ke Sukadana dan kembali menyusuri Sungai Sekayam. Namun, di tengah perjalanan, tepatnya di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Labai Lawai, rombongan Dara Nante menghentikan perjalanannya dan membangun suatu kerajaan kecil di tempat itu, yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Sanggau. Rombongan Dara Nante sendiri sebelumnya pernah singgah di Labai Lawai dalam perjalanan pertama mereka ketika mencari Babai Cinga.
Hingga kini, di Labai Lawai masih dapat ditemukan situs sejarah peninggalan Kerajaan Sanggau, yakni berupa batu-batu keramat yang dinamakan Batu Dara Nante dan Batu Babai Cinga. Batu-batu itu menancap di tanah dan ditutup kain kuning berbentuk segi empat dengan ketinggian sekitar 1 meter. Hingga saat ini, warga setempat masih melakukan ritual adat yang rutin diadakan setiap tahun tersebut dengan memberikan sesaji untuk batu-batu yang disucikan tersebut (www.harianberkat.com).
Keturunan Kerajaan Sanggau di masa sekarang meyakini bahwa kerajaan leluhur mereka itu didirikan pertama kali pada tanggal 7 April 1310 M, yaitu ketika Dara Nante dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Sanggau yang pertama. Untuk itu, maka pada tanggal 26 Juli 2009, perwakilan tiga etnis yang terdapat di Sanggau, yaitu Melayu, Dayak, dan Tionghoa, menyepakati bahwa setiap tanggal 7 April diperingati sebagai hari jadi Kota Sanggau, meskipun hal ini masih sebatas pendeklarasian dan belum sebagai ketetapan pemerintah. Sedangkan upaya untuk mendapatkan peresmian dari pemerintah masih diperjuangkan sampai saat ini (www.borneotribune.com).
Kerajaan Sanggau mengalami masa-masa sulit ketika Dara Nante menitipkan pucuk pimpinanKerajaan Sanggau kepada orang kepercayaannya yang bernama Dakkudak. Namun, Dakkudak ternyata tidak mampu menjalankan amanat Dara Nante dengan semestinya. Berbagai perkara tidak dapat diselesaikannya dengan baik. Akibat kondisi yang kian terjepit dan tidak menguntungkan, Dakkudak kemudian memilih angkat kaki dari Kerajaan Sanggau dan pergi menuju ke daerah Semboja dan Segarong (Lontaan, 1975:171).
Kepergian Dakkudak membuat roda pemerintahan Kerajaan Sanggau tersendat. Kelanjutan riwayatKerajaan Sanggau setelah era pemerintahan Dakkudak belum diketahui dengan pasti, namun, pada tahun 1485 M, seorang perempuan yang masih memiliki garis keturunan dengan Dara Nante, bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M),dinobatkan sebagai penguasa Sanggau. Kebijakan pertama Dayang Mas Ratna setelah bertahta adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Labai Lawai ke Mengkiang, sebuah tempat yang terletak di muara Sungai Sekayam. Dalam menjalankan pemerintahannya, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal atau Abdurrahman, keturunan Kyai Kerang dari Banten (Lontaan, 1975:172). Meski Nurul Kamal diduga kuat adalah seorang muslim, namun belum diketahui apakah Kerajaan Sanggau sejak masa pemerintahan Dayang Mas Ratna juga telah bercorak Islam.
Pemimpin Kerajaan Sanggau pengganti Dayang Mas Ratna masih seorang perempuan, bernama Dayang Puasa yang kemudian bergelar Nyai Sura (1528-1569 M). Dalam menjalankan pemerintahan Kerajaan Sanggau, Dayang Puasa dibantu oleh suaminya yang bernama Abang Awal, seorang keturunan penguasa Kerajaan Embau di Kapuas Hulu. Selain itu, masih pada era pemerintahan Nyai Sura, Kerajaan Sanggau telah menjalin hubungan kekerabatan dengan KerajaanSintang yang saat itu dipimpin oleh Raja Juhair atau Jubair. Jadi, dalam hal ini sebenarnya masih ada hubungan darah (famili) antara raja-raja Kerajaan Sanggau dengan raja-raja Kerajaan Sintang (Syahzaman & Hasanuddin, 2003:32).
Selanjutnya, Kerajaan Sanggau dipimpin oleh seorang raja bernama Abang Gani dengan gelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M). Pada era ini, Kerajaan Sanggau terlibat perkara dengan Kerajaan Matan (Tanjungpura). Kasus ini bermula dari perkawinan puteri Sanggau, bernama Dayang Seri Gemala, dengan seorang penguasa dari Kerajaan Matan. Namun, beberapa tahun setelah perkawinan itu, terdengar kabar bahwa Raja Matan telah menikah lagi. Oleh karena itu, pihak Kerajaan Sanggau bermaksud untuk menjemput Dayang Seri Gemala dari KerajaanMatan. Melalui berbagai perundingan antara Kerajaan Matan dan Kerajaan Sanggau, akhirnya Dayang Seri Gemala berhasil dipulangkan kembali ke Sanggau secara damai. Warga KerajaanSanggau menyambut kepulangan sang puteri dengan suka-cita (Lontaan, 1975:172).
Setelah Raja Abang Gani wafat pada tahun 1614 M, tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau diserahkan kepada putra mahkota yang bernama Abang Basun dengan gelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M). Pemerintahan Pangeran Mangkubumi Pakunegara mendapat dukungan penuh dari saudaranya, bernama Abang Abon dengan gelar Pangeran Sumabaya, dan sepupunya yang bernama Abang Guneng
(A. Roffi Faturrahman, et.al., tt:97).
Eksitensi Kesultanan Sanggau
Penerus pemerintahan Kerajaan Sanggau setelah Pangeran Mangkubumi Pakunegara adalah Abang Bungsu (Uju) yang bertahta sejak tahun 1658 hingga 1690 M. Abang Bungsu adalah anak lelaki Pangeran Mangkubumi Pakunegara dari istri ketiga yang berasal dari Tanah Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Pengangkatan Abang Bungsu menjadi raja dilakukan karena kedua istri Pangeran Mangkubumi yang lain tidak bisa memberikan anak laki-laki. Abang Bungsu dinobatkan sebagai Raja Sanggau dengan gelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara. Menilik nama dan penyebutan gelar yang disematkan kepada Abang Bungsu, dapat dipastikan bahwa pemerintahan Sanggau pada masa ini telah bercorak Islam. Dengan demikian, nama Kerajaan Sanggau pun berubah menjadi Kesultanan Sanggau, sesuai dengan pemerintahan khas Islam.
Sultan Mohammad Jamaluddin memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjadi Kota Sanggau. Akan tetapi, masih banyak keturunan Abang Bungsu yang tetap bertahan di Mengkiang. Konon, Abang Bungsu atau Sultan Mohammad Jamaluddin pernah berkunjung ke Kesultanan Cirebon di Jawa Barat. Sultan Mohammad Jamaluddin membawa pulang oleh-oleh berupa tiga buah meriam yang diberi nama Bujang Juling, Dara Kuning, dan Dara Hijau (Lontaan, 1975:173).
Pada tahun 1690 M Sultan Mohammad Jamaluddin mangkat. Tahta Kerajaan Sanggau dijabat oleh anak sulungnya, bernama Abang Kamaruddin atau Abang Saka bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M). Dalam mengelola pemerintahan, Sultan Akhmad dibantu oleh adiknya yang bernama Panembahan Ratu Surya Negara. Kedua putera almarhum Sultan Mohammad Jamaluddin ini saling bekerja sama untuk memajukan Kesultanan Sanggau. Sultan Akhmad Kamaruddin berperan sebagai kepala pemerintahan dan menyandang gelar Gusti, sedangkan Panembahan Ratu Surya Negara, yang memperoleh gelar Ade, diangkat sebagai penasehatkesultanan sekaligus membawahi daerah perairan atau kawasan pesisir laut (Faturrahman, et.al.,tt:98).
Pada suatu hari, Sultan Akhmad Kamaruddin menderita sakit. Ketika Sultan Akhmad Kamaruddin dalam kondisi lemah karena sakitnya itu, Panembahan Ratu Surya Negara berkali-kali datang menghadap sang kakak agar tahta pemerintahan Kesultanan Sanggau diserahkan kepadanya. Awalnya, permintaan itu tidak ditanggapi secara serius oleh Sultan Akhmad Kamaruddin, namun karena Panembahan Ratu Surya Negara terus-menerus mendesak, maka akhirnya Sultan menyerahkan tahta kepada sang adik. Pada tahun 1722 M, Panembahan Ratu Surya Negara dinobatkan menjadi Sultan Sanggau dan bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M). Selain itu, karena sebelum dinobatkan Panembahan Ratu Surya Negara selalu bertanya kepada kakaknya kapan ia bisa naik tahta menjadi raja, maka ia mendapat julukan Abang Sebilang Hari (Lontaan, 1975:174).
Pascawafatnya Sultan Zainuddin, terjadi sedikit perubahan dalam aturan suksesi KesultananSanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin. Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin.
Pengganti Sultan Zainuddin (dari Istana Kuta di daerah laut) sebagai pemimpin Kesultanan Sanggau adalah Abang Tabrani dengan gelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M) dari daerah darat dan bertahta di Istana Beringin. Pada masa ini, terjalin hubungan akrab antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Hal ini dibuktikan dengan pemberian sebuah meriam yang dinamakan “Gentar Alam” kepada Kesultanan Sanggau dari Sultan Kadriah Pontianak. Sebagai hadiah balasan, Pangeran Ratu Surya Negara mengirimkan balok-balok kayu belian yang kini masih tersimpan di Istana Kesultanan Kadriah Pontianak (Faturrahman, et.al., tt:98).
Hubungan antara Kesultanan Sanggau dan Kesultanan Kadriah Pontianak mulai retak pada tahun 1778 M. Penguasa Kesultanan Kadriah Pontianak saat itu berambisi melakukan sejumlah ekspansi untuk memperluas wilayahnya (Hasanuddin, 2000:17).
Kesultanan Kadriah Pontianak berhasil menduduki wilayah Kesultanan Sanggau sekaligus menguasai jalur perdagangan Sungai Kapuas. Sebagai legitimasi penguasaan atas wilayah Sanggau, Sultan Kadriah Pontianak mendirikan benteng yang dinamakan Jambu Basrah di Pulau Simpang Labi yang merupakan pulau milik Kerajaan Sanggau (Ansar Rahman, 2000:81).
Setelah Pangeran Ratu Surya Negara wafat pada tahun 1762 M, tahta Kesultanan Sanggau kembali beralih ke Istana Kuta yang dijabat oleh Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M). Selanjutnya, Kesultanan Sanggau dipimpin oleh Pangeran Usman (di Istana Beringin) yang bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812). Pada masa pemerintahan Panembahan Usman Paku Negara, Kerajaan Sanggau menjalin hubungan kekerabatan denganKerajaan Sekadau melalui ikatan perkawinan. Ratu Godok, puteri Panembahan Usman Paku Negara, menikah dengan Raja Sekadau (Lontaan, 1975:174). Di sisi lain, pada tahun 1812, terjadi lagi perselisihan antara Kesultanan Sanggau dengan Kesultanan Kadriah Pontianak. Kali ini, KesultananSanggau dapat menghalau serangan dari Kesultanan Kadriah Pontianak (Lontaan, 1975:174).
Setelah Panembahan Usman Paku Negara, tampuk kekuasaan Kerajaan Sanggau beralih kepada Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) dari Istana Kuta. Era pemerintahan Panembahan Mohammad Ali Mangku Negara berakhir pada tahun 1823 dan digantikan oleh wakil dari Istana Beringin, yakni Sultan Ayub Paku Negara, yang memimpin Kerajaan Sanggau sampai tahun 1828. Pada masa pemerintahannya, Sultan Ayub mengagagas pembangunan Masjid Jami’ Syuhada yang diperkirakan berdiri pada tahun 1826. Selain itu, menurut laporan yang ditulis Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 dan terangkai dalam tulisan berseri dengan title “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).
Saudara Sultan Ayub, bernama Ade Akhmad, naik tahta menjadi Sultan Sanggau dengan gelar Panembahan Mohammad Kusuma Negara. Penobatan Ade Akhmad yang notabene masih berasal dari pihak Istana Beringin itu disebabkan karena calon sultan dari Istana Kuta masih kecil dan belum cukup umur untuk memimpin Kesultanan Sanggau. Setelah Ade Akhmad atau Panembahan Mohammad Kusuma Negara wafat pada tahun 1860, giliran wakil dari keluarga Istana Kuta yang naik tahta, yakni Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876). Panembahan Mohammad Thahir II pernah merumuskan batas-batas wilayah hukum antara Kesultanan Sanggau dengan KesultananBrunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat Panembahan Mohammad Thahir II tersebut kini belum dapat dilacak dan ditemukan (Lontaan, 1975:175).
Pada era pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II, wilayah Kesultanan Sanggau didatangi bangsa Belanda. Pada awalnya, kedatangan Belanda disambut dengan baik oleh rakyat dan keluarga Kesultanan Sanggau. Belanda memanfaatkan sambutan baik ini dengan memohon untuk diizinkan menetap di Sanggau. Permintaan Belanda ini dikabulkan oleh Panembahan Mohammad Thahir II. Dengan demikian, Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di wilayah KesultananSanggau.
Panembahan
Mohammad Thahir II wafat pada tanggal 23 Maret 1876,. Kedudukannya sebagai
Sultan Sanggau digantikan oleh Ade Sulaiman (dari Istana Beringin) yang
bergelar Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Sejak saat inilah
roda pemerintahan di KesultananSanggau mulai dipengaruhi oleh hegemoni Belanda,
termasuk dalam hal mengangkat, memecat, dan menggantikan kedudukan seorang
sultan, serta berbagai perjanjian yang dilakukan antara pihak Kesultanan
Sanggau dengan Belanda
Pada tahun 1877,
misalnya, dilakukan penandatanganan surat kontrak mengenai penyewaan
tanahKesultanan Sanggau oleh Belanda, yang ditandatangani oleh Gubernur
Jenderal Hindia Belanda J.W. van Lansberge (1875-1881) serta pihak Kesultanan
Sanggau yang diwakili oleh Sultan Sanggau, Panembahan Muhammad Saleh
(Mangkubumi),Pangeran Ratu Mangku Negara (Raja di Semerangkai),Pangeran Mas
Paduka Putera (Raja di Balai Karangan),dan Pangeran Adi Ningrat selaku (Menteri
Kesultanan Sanggau). Dalam perjanjian itu, ditetapkan bahwa Tanjung Sekayam
disewakan kepada Belanda (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004)
Setelah Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara meninggal dunia pada tahun 1908, tampuk pemerintahan Kesultanan Sanggau diteruskan oleh Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (dari Istana Kuta) yang berkuasa sampai tahun 1915 (Faturrahman, et.al., tt:98). Pemangku tahtaKesultanan Sanggau berikutnya adalah Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (dari Istana Beringin). Era Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara berakhir pada tahun 1921 setelah beliau dipensiunkan oleh Belanda. Belanda yang telah berhasil masuk ke dalam setiap kebijakan pemerintahan Kesultanan Sanggau kemudian menobatkan Panembahan Thahir III Surya Negara (dari Istana Kuta) menjadi pemimpin Kesultanan Sanggau yang selanjutnya. Kekuasaan Panembahan Thahir III Surya Negara bertahan hingga tahun 1941 dan digantikan oleh Gusti Mohammad Arif Paku Negara dari pihak keluarga Istana Beringin.
Pada tahun 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sejak itulah masa pendudukan Jepang di Indonesia, termasuk di wilayah Kesultanan Sanggau, dimulai. Era kekuasaan Gusti Mohammad Arif Paku Negara hanya bertahan selama satu tahun karena pada tahun 1942 beliau ditangkap dan kemudian dibunuh oleh tentara Jepang. Sepeninggal Gusti Mohammad Arif Paku Negara, atas campur-tangan pemerintah pendudukan Jepang, Ade Marhaban Saleh diangkat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau (Faturrahman, et.al., tt:98). Ade Marhaban Saleh sejatinya juga berasal dari pihak Istana Beringin. Namun, kondisi ini menjadi hal yang bisa dimaklumi karena adanya tekanan dari pihak pemerintah militer Jepang. Ade Marhaban Saleh digantikan oleh Panembahan Gusti Ali Akbar, masih dari keluarga Istana Beringin, pada tahun 1944. Panembahan Gusti Ali Akbar mengemban mandat sebagai pemangku adat Kesultanan Sanggau pada saat-saat terakhir pendudukan Jepang di Indonesia.
Tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian, Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Namun, pada bulan September 1945, Belanda yang menjadi bagian dari pemenang Perang Dunia ke-2, datang ke wilayah Indonesia dan bermaksud berkuasa lagi, termasuk berkeinginan untuk kembali menanamkan pengaruhnya diKesultanan Sanggau. Oleh karena itu, Belanda kemudian mengirim utusannya yang bernama Riekerk untuk menempati posisi sebagai Asisten Residen di wilayah Sanggau. Riekerk, yang datang ke Sanggau bersama pasukan militer bersenjata lengkap, kemudian menurunkan Panembahan Gusti Ali Akbar dari singgasana Kesultanan Sanggau dan mengangkat Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara sebagai penggantinya (Lontaan, 1975:177). Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara berasal dari pihak keluarga Istana Kuta.
Tahta Panembahan
Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara bertahan hingga Sanggau diubah
menjadi daerah swapraja. Dengan demikian, maka Panembahan Gusti Mohammad Taufik
Surya Negara merupakan Sultan Sanggau yang terakhir (Basilius, dalam Pontianak
Pos, 3 Oktober 2004). Pada tanggal 2 Mei 1960 dilakukan serah terima
pemerintahan Swapraja Sanggau kepada M. Th. Djaman selaku Kepala Daerah
Swatantra Tingkat II Sanggau. Sejak saat inilah riwayatKesultanan Sanggau
mengalami kemandegan seiring perubahan statusnya menjadi ibu kota Kabupaten
Sanggau di Provinsi Kalimantan Barat
Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau. Acara agung itu dihadiri oleh beberapa tokoh, seperti Sultan Iskandar Machmud Badarudin dari Kesultanan Palembang Darussalam, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah dari Istana Ismayana, dan Bupati Sanggau Ir. H. Setiman H. Sudin.
Silsilah
Urutan para pemegang tampuk pemerintahan di Kerajaan/Kesultanan Sanggau yang berhasil ditemukan dari buku karya J.U.Lontaan yang bertitle Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat” dan tulisan bertajuk “Kesultanan Sanggau” karya A. Roffi Faturrahman, et.al. (tt) yang terhimpun dalam buku Istana-istana di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
1. Dara Nante (1310 M).
2. Dakkudak.
3. Dayang Mas Ratna (1485-1528 M).
4. Dayang Puasa atau Nyai Sura (1528-1569 M).
5. Abang Gani bergelar Pangeran Adipati Kusumanegara Gani (1569-1614 M).
6. Abang Basun bergelar Pangeran Mangkubumi Pakunegara (1614-1658 M).
7. Abang Bungsu (Uju) bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M).
8. Abang Kamaruddin bergelar Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M).
9. Panembahan Ratu Surya Negara bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M).
10. Abang Tabrani bergelar Pangeran Ratu Surya Negara (1741-1762 M).
11. Panembahan Mohammad Thahir I Surya Negara (1762-1785 M).
12. Pangeran Usman bergelar Panembahan Usman Paku Negara (1785-1812).
13. Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823).
14. Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828).
15. Panembahan Mohammad Kusuma Negara (1812-1860).
16. Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876).
17. Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908).
18. Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915).
19. Pangeran Gusti Mohammad Said Paku Negara (1915-1921).
20. Panembahan Thahir Surya Negara (1921-1941).
21. Gusti Mohammad Arif (1941-1942).
22. Ade Marhaban Saleh (1942-1944).
23. Panembahan Gusti Ali Akbar (1944-1945).
24. Panembahan Gusti Mohammad Taufik Surya Negara (1945).
25. Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara (2009).
Sistem pemerintahan Kerajaan Sanggau sejak masa awal atau ketika didirikan pertama kali oleh Dara Nante pada tahun 1310 masih berdasarkan aturan dan hukum-hukum adat setempat. Pejabat sementara pengganti Dara Nante, yakni Dakkudak, ternyata tidak dapat mengelola pemerintahan Kerajaan Sanggau dengan baik. Dakkudak tidak mampu menjalankan undang-undang adat dengan semestinya. Ketidakmampuan ini membuat Dakkudak memilih pergi meninggalkan Kerajaan Sanggau.
Pengganti Dakkudak adalah keturunan Dara Nante yang bernama Dayang Mas Ratna (1485-1528 M). Sejak masa inilah tampuk pemerintahan Kerajaan Sanggau mulai diampu oleh orang-orang yang mempunyai tali keturunan berdasarkan garis darah. Dalam menjalankan pemerintahan, Dayang Mas Ratna dibantu oleh suaminya yang bernama Nurul Kamal. Hal yang sama juga berlaku pada masa pemerintahan Dayang Puasa atau Nyai Tua yang berperan meneruskan kekuasaan Dayang Mas Ratna. Pengelolaan pemerintahan Kerajaan Sanggau pada rezim Dayang Puasa juga dibantu oleh sang suami yang bernama Abang Awal (Faturrahman, et.al., tt:97).
Sejak masa kepemimpinan Dayang Puasa berakhir, Kerajaan Sanggau selalu dipimpin oleh kaum pria dari waktu ke waktu. Dalam melaksanakan pemerintahannya, biasanya Raja atau Sultan Sanggau dibantu oleh penasehat kerajaan/kesultanan yang diberi gelar Ade. Bahkan, sejumlah orang yang pernah menjabat sebagai Ade, sempat naik tahta menjadi penguasa Sanggau, beberapa di antaranya adalah Panembahan Ratu Surya Negara (1722-1741 M) yang mengambil-alih tahta Sultan Akhmad Kamaruddin (1690-1722 M) dan Panembahan Mohammad Ali Surya Negara (1812-1823) yang menggantikan Sultan Ayub Paku Negara (1812-1828). Para pemegang jabatan Ade pada umumnya adalah saudara kandung dari pemimpin Kesultanan Sanggau yang tengah berkuasa.
Setelah era pemerintahan Panembahan Ratu Surya Negara yang bergelar Sultan Zainuddin (1722-1741 M),terjadi perubahan dalam aturan suksesi Kesultanan Sanggau. Mulai saat itu, pucuk kepemimpinan Kesultanan Sanggau dijabat secara bergantian oleh keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Sultan Zainuddin, keduanya adalah putera dari Sultan Sanggau sebelumnya, yakni Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara (1658-1690 M). Selain itu, kedua belah pihak juga menempati istana yang berbeda, yakni Istana Beringin (daerah darat) untuk pihak keturunan Sultan Akhmad Kamaruddin dan Istana Kuta (daerah laut) untuk pihak keturunan Sultan Zainuddin. Suksesi kepemimpinan yang bergantian seperti ini terus berlangsung hingga Kesultanan Sanggau melebur dan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sedikit pengecualian yang disebabkan hal-hal tertentu, misalnya calon Sultan masih berusia belum dewasa atau kondisi politik saat itu.
Sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau mempunyai undang-undang yang didasarkan atas hukum adat dan hukum Islam. Akan tetapi, ketika Belanda mulai menanamkan pengaruhnya di Kesultanan Sanggu, segala kebijakan yang dirumuskan Kesultanan Sanggau harus mendapat persetujuan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Selain itu, Kesultanan Sanggau juga memiliki lembaga Mahkamah Syariah atau Raad Agama. Lembaga ini dipimpin oleh Haji Muhammad Yusuf bergelar Pangeran Tumenggung Suria Igama dan Ade Ahmaden Baduwi bergelar Raden Penghulu Suria Igama (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004). Pembentukan Raad Agama ini sebenarnya merupakan taktik Belanda untuk turut campur dalam persoalan-persoalan agama (Islam) yang sebelumnya menjadi wewenang penuh Sultan Sanggau.
Pada tanggal 30 Oktober 1932, dilakukan penyempurnaan hukum adat yang berlaku di Kesultanan Sanggau. Hukum adat yang sebelumnya berjumlah 34 pasal ditambah menjadi 70 pasal. Dalam hukum baru tersebut dikatakan bahwa segala urusan agama tidak hanya diputuskan oleh Sultan Sanggau, tetapi juga harus dilakukan oleh Raad Agama. Urusan-urusan yang ditangani oleh Raad Agama antara lain: nikah, talak, rujuk, waris, wasiat, penetapan bulan Ramadhan, fardlu kifayah, pengangkatan imam dan khatib, dan bilal (muadzin) masjid (Basilius, dalam Pontianak Pos, 1 Oktober 2004).
Belanda memang berupaya mengendalikan sistem pemerintahan Kesultanan Sanggau. Hal yang paling jelas adalah ketika terjadi suksesi kepemimpinan kesultanan di mana Belanda sangat berpengaruh dalam hal ini. Belanda, misalnya, menobatkan Panembahan Gusti Mohammad Ali Surya Negara (1808-1915),sebagai pengganti Panembahan Haji Sulaiman Paku Negara (1876-1908). Orang-orang yang menolak pengangkatan itu, salah satunya adalah Pangeran Dipati Ibnu, dibuang ke Jawa oleh Belanda. Campur-tangan Belanda dalam proses pengangkatan pemangku adat Sanggau terus terjadi sampai tahun 1941.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia pada tahun 1949, maka kedudukan Kesultanan Sanggau secara politik sudah tidak berlaku lagi karena Sanggau bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berubah bentuk menjadi swapraja. Sejak tanggal 2 Mei 1960, riwayat Kesultanan Sanggau berubah status menjadi ibu kota Kabupaten Sanggau yang termasuk ke dalam wilayah Provinsi Kalimantan Barat (Lontaan, 1975:177). Setelah mati suri selama kurang lebih 49 tahun lamanya, akhirnya pada tanggal 26 Juli 2009, dimulailah kebangkitan Kesultanan Sanggau, meski tidak lagi memiliki kewenangan dalam hal politik dan bersifat adat semata. Pada tanggal tersebut, Pangeran Ratu H. Gusti Arman Surya Negara dinobatkan sebagai Sultan Sanggau.
Sejak pertama kali didirikan oleh Dara Nante pada tahun 1310, Kerajaan/Kesultanan Sanggau telah mengalami perpindahan pusat pemerintahan selama beberapa kali dengan masing-masing daerah kekuasaannya. Pertama kali didirikan, pusat Kerajaan Sanggau berada di Labai Lawai di dekat Sungai Sekayam. Kemudian, pada era pemerintahan Dayang Mas Ratna (1485-1528 M),keturunan Dara Nante, pusat pemerintahan Kerajaan Sanggau dipindahkan dari Labai Lawai ke Mengkiang di muara Sungai Sekayam. Pemerintahan Kerajaan/Kesultanan Sanggau di Mengkiang bertahan hingga masa kekuasaan Abang Bungsu yang bergelar Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara yang bertahta dari tahun 1658 hingga 1690 M. Sultan Mohammad Jamaluddin Kusumanegara memindahkan pusat pemerintahan dari Mengkiang ke tempat yang sekarang menjelma menjadi Kota Sanggau (Lontaan, 1975:173).
Menurut laporan Bassilius dalam surat kabar Pontianak Pos edisi 28 September 2004 yang terangkai dalam tulisan berseri dengan title “Melihat Perkembangan Sanggau dari Masa ke Masa”, disebutkan bahwa Sultan Ayub Paku Negara (1823-1828) memindahkan pusat pemerintahanKesultanan Sanggau ke Kampung Kantuk (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004). Sementara Lontaan (1975) menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Panembahan Mohammad Thahir II (1860-1876),telah dirumuskan batas-batas wilayah hukum antara KesultananSanggau dengan Kesultanan Brunei. Namun, tanda batas yang telah dibuat tersebut kini belum dapat dilacak lagi (Lontaan, 1975:175).
Selain itu, meski bukan sebuah kerajaan yang besar, namun Kesultanan Sanggau juga memiliki beberapa wilayah pendudukan. Pada masing-masing dari daerah taklukan Kesultanan Sanggau tersebut ditempatkan seorang pejabat yang ditunjuk oleh Sultan Sanggau. Daerah-daerah yang disebutkan sebagai bagian dari wilayah pendudukan Kesultanan Sanggau tersebut di antaranya adalah Semerangkai, Balai Karangan, Tanjung Sekayam, dan sejumlah daerah lainnya (Basilius, dalam Pontianak Pos, 28 September 2004).
Secara umum, wilayah Kerajaan/Kesultanan Sanggau tidak jauh berbeda dengan wilayah Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, pada masa sekarang. Hal tersebut terlihat ketika pembentukan Kabupaten Sanggau yang mengacu kepada wilayah Swapraja Sanggau, sementara Swapraja Sanggau merupakan kelanjutan dari Kerajaan/Kesultanan Sanggau dahulu. Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada di bagian utara Kalimantan Barat. Sebelah utara Sanggau berbatasan dengan Serawak (Malaysia),sebelah selatan dengan Kabupaten Ketapang, sebelah barat dengan Kabupaten Landak, dan sebelah timur dengan Kabupaten Sintang dan Kabupaten Sekadau.
Geografis
Batas Wilayah
Kabupaten Sanggau memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Utara |
Serian, Sarawak, Malaysia Timur |
Timur |
|
Selatan |
|
Barat |
Iklim
Likuefaksi gempa bajir tdk bisa jadi ibukota Kabupaten Sanggau beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan tertinggi mencapai 196 mm terjadi pada bulan Januari dan terendah mencapai 54 mm terjadi pada bulan Juli. Pada umumnya Kabupaten Sanggau merupakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan rawa-rawa yang dialiri oleh beberapa sungai seperti Sungai Kapuas dan Sungai Sekayam. Adapun jenis tanah yang terdapat di kabupaten Sanggau adalah jenis podsolik yang hampir merata di seluruh kecamatan.
Topografi
Jenis tanah yang terdapat di Kabupaten Sanggau adalah jenis tanah podsolid merah kuning batuan dan padat yg hampir seluruh Kecamatan dengan luas mencapai sekitar 576,910 ha.
Geologi
Formasi geologi antara lainj adalah Formasi kwartir, Kapur, Trias, Pistosen, Instruksif dan Plutonik Basa menengah, Intruksif Plutonik Asam, Seksi Hablur Intruksif dan Plutonik Lapisan Batu dan Permo Karbon.
Tokoh
1. Abang Ishar (Penulis)
2. Drs. H. Gusti Arman, M.Si ( Raja Sanggau)
3. Paolus Hadi, SIp (Bupati Sanggau)
4. Yohanes Ontot (Ketua DAD Sanggau)
5. Nur Kurniawan (Ketua Pemuda Melayu Sanggau)
6. Budi Darmawan (Ketua MABM Sanggau)
7. Agustinus Agus (Uskup)
8. R. Masri Sareb Putra (Penulis)
9. Rifa'i Navis (Budayawan)
10. Gusti Heriman, S.Sos (Tokoh Melayu Sanggau)
11. Gusti Baiturrahman, B.Ed (Penulis)
Pemerintahan
Kecamatan
Kabupaten Sanggau terdiri dari 15 kecamatan, 6 kelurahan, dan 163 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 482.500 jiwa dengan luas wilayah 12.857,80 km² dan sebaran penduduk 38 jiwa/km².
Suku bangsa yang ada di daerah ini adalah :
1. Suku Dayak Pompakng di Kec. Kapuas
2. Suku Dayak Jangkang di Kec. Jangkang, Kapuas, dan Mukok.
3. Suku Dayak Bidayuh di Kecamatan Noyan, Sekayam, Kembayan, dan Beduai, Jangkang, dan Sanggau
4. Suku Dayak Kerambay di sebagian Kecamatan Sekayam dan Entikong
5. Suku Dayak Mali di Kecamatan Balai, Tayan Hulu,Tayan Hilir, Teraju, Meliau, Parindu, dan Sanggau
6. Suku Dayak Tobak di Toba dan Tayan Hilir.
7. Suku Dayak Banyuke di kecamatan Tayan Hulu, Kembayan, Toba
8. Suku Dayak Desa di Kecamatan Toba, Sanggau
9. Suku Dayak Pandu di sebagian Kecamatan Parindu dan Kapuas
10. Suku Dayak Ribun di sebagian Kecamatan Parindu, Tayan Hulu, Tayan Hilir, Bonti, Kembayan, dan Meliau
11. Suku Dayak Iban di sebagian besar wilayah perbatasan dengan Serawak, Malaysia
12. Suku Melayu yang tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Sanggau, terutama di daerah pesisir sungai besar di Kab. Sanggau. Terbagi Menjadi dua subetnis yang berbeda bahasa. Etnis Melayu Sanggau tersebar di (Kec. Kapuas, Mukok, Jangkang, Bonti, Kembayan, Beduai, Sekayam, dan Entikong). Etnis Melayu Tayan tersebar di (Kec. Tayan, Meliau, Toba, Balai, dan Tayan Hulu).
13. Selain suku-suku setempat terdapat pula suku-suku lain yang merupakan pendatang, seperti suku Jawa, Tionghoa, Sunda, Batak, Minang, Bugis, Madura, Toraja, Bima, Flores
Jumlah penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Sanggau pada tahun 2010 tercatat sebanyak 407.989 jiwa terdiri atas 211.304 Laki-laki dan 196.685 Perempuan (BPS 2010) dengan laju Pertumbuhan sebesar 1,63 Persen per tahun. Jumlah penduduk terbesar terdapat di Kecamatan Kapuas dengan jumlah penduduk sebanyak 78.702 jiwa sedangkan jumlah penduduk yang terkecil terdapat di Kecamatan Noyan dengan jumlah penduduk sebanyak 9.872 jiwa.
Tabel 2. 2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Administrasi Kependudukan Menurut Jenis Kelamin dan Sex Rasio Kab. Sanggau
No. |
Kecamatan |
Jenis Kelamin |
Sex Rasio |
||
Laki-Laki |
Perempuan |
Jumlah |
|||
1 |
T o b a |
6.597 |
5.890 |
12.487 |
112 |
2 |
M e l i a u |
25.458 |
23.020 |
48.478 |
111 |
3 |
Kapuas |
42.396 |
41.873 |
84.269 |
101 |
4 |
M u k o k |
9.869 |
9.335 |
19.204 |
106 |
5 |
Jangkang |
14.914 |
13.313 |
28.227 |
112 |
6 |
B o n t i |
11.285 |
10.404 |
21.689 |
108 |
7 |
Parindu |
18.755 |
17.558 |
36.313 |
107 |
8 |
Tayan Hilir |
17.048 |
15.625 |
32.673 |
109 |
9 |
B a l a i |
12.113 |
11.094 |
23.207 |
109 |
10 |
Tayan Hulu |
17.904 |
16.489 |
34.393 |
109 |
11 |
Kembayan |
14.119 |
13.266 |
27.385 |
106 |
12 |
Beduwai |
5.772 |
5.400 |
11.172 |
107 |
13 |
N o y a n |
5.446 |
4.834 |
10.280 |
113 |
14 |
Sekayam |
17.054 |
15.511 |
32.565 |
110 |
15 |
Entikong |
8.776 |
7.876 |
16.652 |
111 |
Jumlah |
227.506 |
211.488 |
438.994 |
1.631 |
|
Sumber: Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Sanggau, 2013 |
Kepadatan penduduk
Kepadatan penduduk Kabupaten Sanggau rata-rata 32 jiwa per km2, dengan jumlah kepadatan penduduk terbesar adalah Kecamatan Kapuas yakni 57 jiwa per kilometer persegi dan paling jarang penduduknya adalah kecamatan Toba sebesar 11 jiwa per kilometer persegi. Masalah pokok dalam bidang kependudukan antara lain adalah jumlah penduduk yang besar, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, penyebaran penduduk yang belum merata, komposisi penduduk yang tidak seimbang serta arus urbanisasi dari desa ke kota. Untuk mengetahui secara jelas mengenai jumlah dan kepadatan penduduk di Kabupaten Sanggau pada tahun 2009 dapat dilihat pada link Kabupaten Sanggau terkait.
Agama
Badan Pusat Statistik 2010 mencatat bahwa terdapat 200.798 umat Katolik (49.16%), 135.394 Muslim (33.15%), 65.105 adalah umat Protestan (15.94%), 3.168 adalah umat Buddha (0.78%), 479 adalah umat Konghucu (0.12%), 167 adalah umat Hindu (0.04%) dan selebihnya memilih lainnya dan tidak menjawab
Agama di kabupaten Sanggau (2010) |
||
No. |
Agama |
Jumlah Pemeluk |
1. |
Katholik Roma |
49,16 % |
2. |
Islam |
33,15 % |
3. |
Protestan |
15,94 % |
4. |
Lainnya |
1,76 % |
Pariwisata
Rumah Kuta
Rumah Kuta Diarsipkan 2019-05-28 di Wayback Machine. merupakan nama sebuah bangunan Istana Kerajaan Sanggau pada zaman dahulu, yang beralamatkan di jalan Pangeran Mas No 1 Kelurahan Ilir Kota Kecamatan Kapuas Kabupaten Sanggau. Bangunan ini dibangun oleh Sultan Zainudin dari Dinasty Surya Negara pada masa perpindahan pusat Ibu kota Kerajaan dari Mengkiang ke Kampong Kantu'. Saat ini, Rumah kuta dijadikan sebagai pusat Kebudayaan Melayu Sanggau dan kediaman resmi Sri Paduka Yang Mulia Raja Sanggau Surya Negara.
Bangunan yang sudah berumur empat ratus tahun lebih ini sudah mengalami renovasi, namun tidak mengurangi bentuk asli dari bangunan lamanya. Sampai saat ini Istana Surya Negara masih terpelihara dengan baik. Bangunan yang memiliki luas ± 1000 Meter persegi ini memiliki lima belas ruang. Ketika memasuki Istana Surya Negara, ruangan yang pertama dilalui adalah ruang tamu. Ruangan ini cukup besar, dan terlihat banyak foto-foto tua dari Raja dan Sultan serta Ratu terdahulu, hingga foto Putri, dan Ratu hingga Raja saat ini. Diruangan lain, terdapat sebuah ruangan yang sangat luas dengan singasana bernuansa emas. Ruangan ini digunakan sebagai ruang musyawarah dan pemberian titah.
Rumah Kuta merupakan salah satu dari ikon Kabupaten Sanggau yang berada dijalan Pangeran Mas Kelurahan Hilir Kota Kecamatan Kapuas. Istana ini juga terbuka untuk umum, sehingga banyak wisatawan berkunjung kesini dan menjadi salah satu destinasi wisata yang digemari turis di Sanggau. Istana Surya Negara dapat dikunjungi secara gratis dan dibuka setiap hari sejak 09.00 pagi hingga pukul 20.00 WIB. Selama berkunjung, para wisatawan dapat bersuafoto dan masuk ke dalam Istana dengan ditemani juga oleh penjaga, yang bisa sekaligus menceritakan sekilas tentang bangunan bersejarah ini.
Panc Aji
Pancur Aji merupakan salah satu objek wisata alam yang terdapat di Kabupaten Sanggau, Wisata ini terletak di kota Sanggau dengan jarak kurang lebih 4 km dari kota Sanggau. Lokasi ini dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat. Konon ceritanya lokasi ini merupakan persembunyian Bujang Melaka membentengi diri dari kejaran musuh. Kawasan ini nantinya akan dikembangkan atau ditata menjadi kawasan yang memiliki kesesuaian dan integritas antara satu dengan lainnya.
Rencana pengembangan kawasaan wisata Pancur Aji akan di kembamgkan antara lain: resort, villa, cottege dan fasilitas perlengkapan,sarana dan prasarananya, kebun binatang, aktrasi wisata air ( kolam pemancingan, kolam renang bagi anak, perahu dayung bagi anak-anak ), wisata minat khusus (camping ground, outbond) dan pentas hiburan, taman bunga,warung rakyat dan warung kuliner, pendopo, wisata aktraksi kereta api mini.
Arung jeram
Arung Jeram merupakan salah satu olahraga yang bernilai rekreasi ( sport tourism) yang banyak menarik minat orang untuk mengikutinya. Arung jeram juga dianggap sebagai wisata petualangan yang menantang sekaligus atraktif dan memberikan pengalaman yang cukup mendalam bagi yang pernah mengikutinya. Kabupaten Sanggau memiliki lokasi arum jeram yang terletak Entikong di Kecamatan antara suruh tembawang ke kota Entikong Kecamatan Entikong, kurang lebih 115 Km dari kota Sanggau.
Arung
jeram suruh tembawang memiliki 20 riam ( kesulitan ) yang terjal dengan waktu
tempuh dari Entikong ke Suruh Tembawang 5 sampai 12 jam tergantung kondisi air,
serta memiliki tikungan sungai yang sempit. Arung jeram suruh tembawang
merupakan peluang bagi investasi untuk mengembangkan olahraga arung jeram ini
Sipatn Lotup (air panas)
Objek wisata sumber air panas ini terletak di kampung Peruntan, Desa Sape, Kecamatan Jangkang yang dapat dikunjungi melalui jalan darat dari Kecamatan Kembayan menuju Jangkang atau dari kota Sanggau melalui Kecamatan Mukok selanjutnya menuju lokasi air panas tersebut dengan jarak tempuh kurang lebih 70 km dari kota Sanggau.
Sumber air panas ini oleh penduduk setempat dinamakan Sipatn Lotup yang artinya air mendidih. Keunikan sumber air panas Sipatn Lotup ini berasal dari mata air yang di panaskan oleh panas bumi (geothermal) dengan temperatur 52-55 derajat Celsius, Air panas Sipant Lotup termasuk andalan wisata kabupaten Sanggau, namun belum banyak yang mengetahui potensi wisata ini, sehingga belum banyak yang mengunjungi sumber air panas yang unik ini. Kedepannya sumber air panas ini dapat dikembangkan atau ditata sehingga memiliki kesesuain dan intergrasi antara satu dengan lainnya berupa tempat pemandian air panas, sarana dan prasarana lainnya, tempat parkir tempat penggantian pakaian, warung rakyat, pendopo, dan taman bermain.
Gunung Tiong Kandang
Gunung Tiong Kandang merupakan salah satu objek wisata alam dan sebagai kawasan hutan lindung yang terjaga dengan baik oleh masyarakat setempat yang terdapat di Kabupaten Sanggau. Wisata gunung Tiong Kandang ini terletak di Dusun Mangkit dan Dusun Mak Ijing dengan jarak 83 km dari kota Sanggau, dapat ditempuh dengan kenderaan roda dua atau roda empat melalui Dusun Mangkit dengan jarak 2.502 meter sampai di pedagi, atau melalui Dusun Mak Ijing dengan jarak 2.855 meter sampai ke pedagi di tengah-tengah gunung Tiong Kandang, sebuah batu dengan ketinggian 160 cm berbentuk pintu masuk oleh masyarakat menuju puncak gunung, sedangkan kiri kanan batu terdapat jurang yang sangat dalam.
Objek wisata gunung Tiong Kandang terdapat lokasi air terjun yaitu air terjun Kajang memiliki tiga tingkatan yang terletak disebelah utara Dusun mangkit dan air terjun Nosok dengan ketinggian 6 meter terletak di sebelah selatan Dusun mangkit,dan terdapat batu berbentuk kulintang serta batu pengasih di puncak gunung Tiong Kandang.
Dengan menjaga keseimbangan antara pola pengembangan dan karakteristik ekologi atau lingkungan alam dan budaya yang dimiliki, dengan menekankan pada upaya mengembangkan perekonomian lokal untuk meningkatkan kesejahteraan setempat,berupa home stay, sarana dan prasarana, camping ground, taman safari, penjelajahan, penelitian, dan outbond. Gunung tiong kandang pada bulan Agustus 2008 pernah di kunjungi oleh delegasi Dinas kehutanan Kanada dan Amerika Serikat.
Jembatan Tayan
Jbatan Tayan Memiliki Panjang Seluruhnya 1480 M dan lebar 11,5 M melintang di Sungai Kapuas dan melewati Pulau Tayan, di Kecamatan Tayan Hilir. Objek Wisata ini adalah wisata baru yang sedang ramai dikunjungi karena keindahan rancangan dan desainnya yang didominasi warna merah dan putih.
Riam Odong (air terjun)
Riam Odong merupakan salah satu objek wisata air terjun yang indah. Riam Odong ini terletak di Dusun Engkolai, Kecamatan Jangkang, Kabupaten Sanggau. Pengunjung lokal maupun luar daerah yang datang untuk menikmati keindahan wisata alam Riam Odong ini tidak dipungut biaya.
Kuliner Tradisional
Sungkui, merupakan kuliner khas masyarakat Melayu Sanggau dan menjadi identitas utama Sanggau yang pembuatannya menggunakan bahan dasar beras yang dibungkus dengan daun dan dimasak secara khas. Sungkui biasanya disajikan dengan Opor ayam dan sambal nenas. Penganan tradisional ini biasa disajikan saat hari raya idul Fitri dan pada acara adat Melayu lainnya.
1. Lemang/Ajan merupakan kuliner tradisional yang terbuat dari beras ketan dimasak dalam seruas bambu. Lemang pada dasarnya merupakan makanan khas Melayu namun lambat lain diserap oleh masyarakat lainnya. Makanan ini biasanya disajikan saat Hari raya idul Fitri dan pesta Gawai (Panen Padi).
2. Tuak, (Boramp/beram) minuman tradisional masyarakat Dayak yang terbuat dari beras ketan yang difermentasi sampai menjadi air. Tuak ini merupakan minuman yang mengandung alkohol.
3. Pansuh (bahasa Melayu Sanggau)/ Ponsouh (bahasa Dayak Bokidoh) Merupakan masakan tradisional asli Sanggau yang biasanya terbuat dari daging ayam, ikan, dll yang dimasak didalam seruas bambu
4. Tempoyak atau disebut juga Tempuyak/empuyak (bahasa Melayu Sanggau)/Tompek (bahasa Dayak Jangkang) merupakan penganan tradisional yang berbahan dasar durian yang di fermentasi.
5. Jorok (Bahasa Melayu Sanggau), yaitu sayur-sayuran yang difermentasi sehingga menghasilkan citarasa keasaman. Umumnya sayuran yang difermentasi yaitu daun ubi dan sawi.
6. Rusip olahan fermentasi ikan oleh masyarakat Melayu Sanggau.
7. Lempok durian, merupakan panganan dodol khas Melayu Sanggau yang berbahan dasar durian. Biasanya mudah di jumpai saat musim durian.
8. Keturi piring, olahan khas ikan Keturi yang dijemur melingkar mengikuti piring khas masyarakat Melayu Sanggau khususnya Balai Sebut.
9. Ikan Salai, merupakan ikan
yang diawetkan menggunakan asap. Umumnya dibuat oleh masyarakat Balai sebut,
Kec. Jangkang
10. Pekasam/Jikot (bahasa Dayak pandu), yaitu daging yang difermentasi sehingga menghasilkan citarasa keasaman biasanya dibuat dari bahan daging ikan
Ekonomi
Ekonomi Sanggau ditopang oleh dua komoditas utama,yakni karet dan sawit.
Transportasi
Sebagian besar transportasi di Kabupaten Sanggau masih mengandalkan transportasi sungai seperti sampan, speedboat dan lain-lain. Daerah ini juga masih mengandalkan transportasi umum seperti bus, angkutan dalam kota dan lain-lain.
Pendidikan
Tersedia lebih dari 670 fasilitas sekolah di Kabupaten Sanggau. Mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) Rumah Anak (RA), Sekolah Dasar (SD) baik swasta maupun negeri, Sekolah Menengah Pertama (SMP) baik swasta maupun negeri, Sekolah Menengah Atas (SMA) baik swasta maupun negeri, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) baik swasta maupun negeri Serta Sekolah Dasar Luar Biasa atau yang sering disebut dengan SDLB. Lebih jelasnya perhatikan tabel dibawah ini:
Nomor |
Jenis Sekolah |
Jumlah |
1 |
Taman Kanak-kanak |
35 Sekolah |
2 |
Rumah Anak |
2 Sekolah |
3 |
Sekolah Dasar Luar Biasa |
2 Sekolah |
4 |
Sekolah Dasar Negeri |
476 Sekolah |
5 |
Sekolah Dasar Swasta |
12 Sekolah |
6 |
Sekolah Menengah Pertama Negeri |
48 Sekolah |
7 |
Sekolah Menengah Pertama Swasta |
44 Sekolah |
8 |
Sekolah Menengah Atas Negeri |
14 Sekolah |
9 |
Sekolah Menengah Atas Swasta |
19 Sekolah |
10 |
Sekolah Menengah Kejuruan |
14 Sekolah |
-oooooooooo oOo oooooooooo-
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar