KISAH IBNU KHALDUN
Reorientasi
Ibnu Khaldun,
nama lengkap: Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami
(عبد الرحمن بن محمد بن خلدون الحضرمي) (lahir 27 Mei 1332 – meninggal 19 Maret 1406 pada umur 73 tahun) adalah seorang
sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak
pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah
(Pendahuluan).
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan
732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi
Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun
dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang
teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam
Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori
ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah
menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir
karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang
dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di
tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.
Riwayat Hidup
Kehidupan Ibn Khaldun didokumentasikan dengan
baik, saat dia menulis sebuah otobiografi (التعريف
بابن خلدون ورحلته غربا وشرقا, at-Ta'rīf bi-ibn Khaldūn wa-Riḥlatih Gharban wa-Sharqan[1]) di mana banyak dokumen mengenai hidupnya
dikutip kata per kata. Abdurahman bin
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin bin Abdurahman bin Ibnu Khaldun, yang
dikenal sebagai "Ibnu Khaldun", lahir di Tunisia pada tahun 1332 M
(732 H.) berasal dari keluarga Andalusia kelas atas keturunan Arab. Leluhur
keluarga tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan Waíl ibn Hujr, seorang teman Nabi Muhammad. Keluarga Ibnu Khaldun memiliki banyak kantor di
Andalusia, beremigrasi ke Tunisia setelah jatuhnya Sevilla ke Reconquista pada tahun 1248. Di bawah
pemerintahan dinasti Hafsiyun beberapa
keluarganya memegang jabatan politik; namun Ayah dan kakek Ibnu Khaldun menarik
diri dari kehidupan politik dan bergabung dalam tatanan mistis. Saudaranya,
Yahya Khaldun, juga seorang sejarawan yang menulis sebuah buku tentang dinasti
Abdalwadid, dan ia dibunuh oleh saingannya yakni seorang ahli historiografi.
Dalam
otobiografinya, Ibnu Khaldun menelusuri keturunannya kembali ke masa Nabi
Muhammad melalui suku Arab dari Yaman, khususnya Hadramaut, yang datang ke Semenanjung Iberia pada abad kedelapan pada awal penaklukan
Islam. Dengan kata-katanya sendiri: "Dan keturunan kita berasal dari
Hadramaut, dari orang-orang Arab Yaman, melalui Wa'il ibn Hujr yang juga
dikenal sebagai Hujr bin Adi, dari orang-orang Arab
terbaik, terkenal dan dihormati." (Halaman 2429, edisi Al-Waraq). Namun,
penulis biografi Mohammad Enan mempertanyakan klaimnya, menunjukkan bahwa
keluarganya adalah seorang Muladi yang berpura-pura berasal dari Arab untuk
mendapatkan status sosial. Enan juga menyebutkan tradisi masa lalu
terdokumentasi dengan baik, mengenai kelompok-kelompok Berber tertentu, di mana
mereka secara hati-hati "menambah" diri mereka menjadi beberapa
keturunan Arab. Motif semacam ini adalah demi keinginan untuk meraih kekuasaan
politik dan kemasyarakatan. Beberapa berspekulasi tentang keluarga Khaldun ini;
Diantaranya menjelaskan bahwa Ibnu Khaldun sendiri adalah produk dari keturunan
Berber yang sama dengan mayoritas penduduk asli tempat kelahirannya. Sarjana
Islam Muhammad Hozien berpendapat bahwa "Identitas palsu [Berber] akan
berlaku namun pada saat nenek moyang Ibnu Khaldun meninggalkan Andalusia dan
pindah ke Tunisia mereka tidak mengubah klaim mereka terhadap keturunan Arab.
Bahkan di saat Berber berkuasa, Pemerintahan Al-Marabats dan al-Mowahid, dan
Ibnu Khaldun tidak merebut kembali warisan Berber mereka". Penelusuran Ibu
Khaldun dari silsilah dan nama keluarganya sendiri dianggap sebagai indikasi
paling kuat dari keturunan Arab Yaman.
Orientasi
Nama lengkap beliau adalah
Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad
bin al-Hasan. Nama pemberian ayah beliau adalah Abdurrahman, Beliau biasa
dipanggil Abu Zaid dan bergelar Waliuddin. Nama Ibnu Khaldun sendiri merujuk
pada kakek moyangnya yang bernama Khalid bin Utsman. Orang Arab, sebagai bentuk
takzim kepada ketinggian ilmunya, menambahkan huruf wawu dan nun pada nama
kakek moyangnya itu. Jadilah ia terkenal hingga sekarang dengan sebutan Ibnu
Khaldun.
Ibnu Khaldun dilahirkan di
Tunisia pada awal bulan Ramadhan 732 H, atau tepatnya pada 27 Mei 1332 M.
Keluarga Bani Khaldun diketahui berasal dari daerah Hadramaut, sebuah daerah di
selatan jazirah Arab. Banu Khaldun kemudian pindah ke Andalusia dan menetap di
Sevilla pada permulaan penyebaran Islam di sana pada sekitar abad ke-9 masehi.
Selanjutnya keluarga Bani Khaldun merupakan keluarga terpandang yang memegang
jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan angkatan perang Bani Umayyah
Andalusia, Al-Murabitun (Almoravide), dan Al-Muwahhidun (Almohade).
Pada abad ke-13 masehi, ketika Andalusia menjadi republik bangsawan yang
feodal, keluarga Bani Khaldun juga memegang peranan penting.
Pada masa reconquista,
keluarga Bani Khaldun menyeberang ke Ceuta di Afrika Utara sebelum akhirnya
menetap di Tunisia. Perpindahan Bani Khaldun ini terjadi pada tahun 1248, namun
ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa Bani Khaldun pindah pada 1223. Di
Tunis ini ternyata Bani Khaldun juga memainkan peran yang cukup penting dalam
pemerintahan. Muhammad Ibn Muhammad, kakek Ibnu Khaldun berprofesi sebagai
seorang Hajib (kepala rumah tangga istana) dinasti Hafsh. la sangat
dikagumi dan disegani di kalangan istana, berkali-kali Amir Abu Yahya
al-Lihyani (711 H), pemimpin dinasti al-Muwahhidun yang telah menguasai bani
Hafz di Tunisia, menawarkan kedudukan yang lebih tinggi kepada Muhammad Ibn
Muhammad, tetapi tawaran itu ditolaknya, pada akhir hayatnya, kakek Ibnu
Khaldun ini suka menekuni ilmu-ilmu keagamaan hingga wafatnya pada 1337 M. Dalam
lingkuangan keluarga terpelajar seperti inilah Abdurrahman atau Ibnu Khaldun
lahir dan tumbuh berkembang. Tentulah lingkungan keluarganya yang terpelajar
ini membawa pengaruh besar kepada Ibnu Khaldun. Selain itu didukung dengan
intelegensi beliau yang di atas rata-rata menjadikan beliau kelak menjadi tokoh
yang mendunia dan karya-karyanya abadi.
Periode Menuntut Ilmu
Ibnu Khaldun muda, seperti
halnya pemuda-pemuda Arab lainnya, mendapatkan pengajaran tradisional langsung
dari sang ayah. Pertama-tama Ibnu Khaldun mempelajari Al-Qur’an dan
menghafalnya sekali. Lalu Ibnu Khaldun juga mempelajari macam-macam qira’at
untuk Al-Qur’an. Kemudian beliau mempelajari ilmu tata bahasa dan syair, dan
baru setelah itu beliau mempelajari hukum. Selain dari sang ayah, Ibnu Khaldun
juga amat antusias mempelajari tafsir, hadits, usul fiqih, tauhid, fiqih
madzhab Maliki, fisika dan matematika.
Semua pengetahuan itu
dipelajari langsung oleh Ibnu Khaldun dari para cendekiawan di Tunisia. Di
antara para guru beliau adalah Abu Abdillah Muhrnas Ibn Sa’ad al-Anshari dan
Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad al-Bathani dalam qira’at; Abu Abdillah Ibn
al-Qashar dalam ilmu gramatika Arab; Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn Bahr dan Abu
Abdillah Ibn Jabir al-Wadiyasyi dalam sastra; Abu Abdillah al-Jayyani dan Abu
Abdillah ibn Abd al-Salam dalam ilmu fiqh; dan masih banyak lagi gurunya. Yang
mengagumkan dari Ibnu Khaldun adalah kedalaman wawasannya dalam berbagai bidang
ilmu yang ia pelajari. Padahal tentulah bukan perkara mudah mempelajari semua
itu secara hampir bersamaan. Masa
menuntut ilmu ini beliau jalani selama kurang lebih 18 tahun. Terhitung sejak
kelahirannya pada 1332 hingga 1350. Setelah matang dengan ilmu-ilmu yang beliau
pelajari, pada usia 18 tahun Ibnu Khaldun mulai memasuki dunia politik. Inilah
pengalaman pertama Ibnu Khaldun berprofesi di pemerintahan sebagai Sahib
al-Alamah (penyimpan tanda tangan), pada pemerintahan Abu Muhammad Ibn
Tafrakhtan di Tunis.
Periode
Berpolitik
Sejak awal terjun ke dunia
politik praktis, Ibnu Khaldun seringkali berpindah-pindah tempat. Semula ia
bekerja di Fez, lalu ke Granada, Baugie, Biskara dan lain-lain, dalam jangka
waktu antara 1350-1382 M. Awal karir sebagai Sahib al-Alamah ini hanya
dijalani Ibnu Khaldun selama kurang lebih 2 tahun, kemudian ia berkelana menuju
Biskara. Kemudian
pada tahun 1354 Ibnu Khaldun pindah ke Maroko menetap di Fez. Penguasa Fez,
Sultan Abu Inan ketika itu lalu mengangkatnya menjadi sekretaris sultan. Selama
8 tahun Ibnu Khaldun menetap di Fez, banyak sekali intrik politik yang terjadi
dan akhirnya juga menyudutkannya. Sultan Abu Inan menuduhnya berkhianat dan
berkomplot dengan Abu Abdillah Muhammad dari Bani Hafsh. Akhirnya ia
memantapkan diri pergi ke Spanyol dan sampai di Granada pada tanggal 26
Desember 1362 M. Beliau diterima dengan baik oleh penguasa Granada, Abu
Abdillah Muhammad ibn Yusuf. Setahun kemudian mulailah beliau menjalankan tugas
barunya sebagai diplomat. Ibnu Khaldun di utus kepada Raja Pedro El Cruel, penguasa
Sevilla. Di Sevilla inilah beliau melihat apa yang beliau sebut
“peninggalan-peninggalan kekuasaan nenek moyang saya”. Karena dinilai cakap,
Raja Pedro menawarkan tanah-tanah “nenek moyangnya” asalkan beliau mau bekerja
kepada raja Kristen itu. Ibnu Khaldun menolak tawaran tersebut.
Lagi-lagi aktivitas politik Ibnu
Khaldun menimbulkan kecemburuan di dalam istana Granada. Untuk menghindari
konflik lebih jauh, Ibnu Khaldun mengundurkan diri dan kembali ke Afrika
bersama-sama keluarganya. Kali ini beliau mencoba peruntungan di Bougi,
Aljazair. Penguasa Bougi kemudian mengangkatnya menjadi perdana menteri. Di
sini beliau sempat memimpin pasukan-pasukan kecil untuk memadamkan
kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh suku barbar. Setelah malang melintang di
dunia politik yang penuh intrik dan kekacauan, Ibnu Khaldun akhirnya merasa
bahwa ia harus berhenti. Tahun 1375 menjadi tahun yang amat penting bagi
beliau. Sejak saat itulah beliau melepaskan semua jabatan resmi pemerintahan
kemudian bersama-sama keluarganya menetap di istana Qal’at Ibnu Salamah di
dekat Oran. Di sinilah beliau berkhalwat dan selama empat tahun berikutnya
beliau fokuskan pikirannya untuk menyelesaikan karya besarnya, Muqaddimah
dan kitab Al-I’bar wa Diwanul Mubtada’wal Khabar fi Ayamul ‘Arab wal A’jam
wal Barbar.
Karena kebutuhan akan bahan-bahan
penyusun karyanya itu, Ibnu Khaldun memutuskan kembali ke kampung halamannnya,
Tunisia, pada 1378. Di Tunisia ini beliau kembali lagi belajar dan sekaligus
juga mengajar. Pada 1382 Ibnu Khaldun berangkat ke Makkah untuk menunaikan
ibadah haji. Sebelum
itu beliau singgah sementara di kota Iskandaria di Mesir. Di kota inilah beliau
tertarik untuk menetap di Kairo dan mengajar di Universitas Al-Azhar.
Periode
Mengajar
Ibnu Khaldun tiba di Kairo
setelah karya besarnya, Muqaddimah, lebih dulu terbit di Mesir. Beliau tiba
pada tanggal 6 Januari 1383. Sungguh meriah sambutan rakyat Mesir kepada Ibnu
Khaldun. Pada waktu itu Dinasti Mamluk sedang perkasa di Mesir dan keadaan
politik di sana pun stabil. Selama 20 tahun terakhir hidupnya Ibnu Khaldun
menghabiskannya di Mesir ini. Beliau bergiat menjadi pengajar di Universitas
Al-Azhar dan juga sebagai hakim tinggi di Mahkamah Agung.
Ibnu Khaldun memberikan kuliahnya
di lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Mesir, seperti Universitas al-Azhar,
Sekolah Tinggi Hukum Qamhiyah, Sekolah Tinggi Zhahiriyyah dan sekolah tinggi
Sharghat Musyiyyah. Beliau mengajar terutama di bidang fiqih, hadis dan
beberapa teori tentang sejarah sosiologi yang telah ditulisnya dalam Muqaddimah.
Selain berjuang dalam dunia akademik, Ibnu Khaldun juga melakukan kegiatan yang
berkaitan dengan dunia hukum.
8 Agustus 1384, beliau diangkat
oleh Sultan Al-Zhahir Barqa, sebagai hakim agung Madzab Maliki pada mahkamah
Mesir. Ketika menjabat sebagai hakim agung inilah beliau berusaha keras
mereformasi lembaga hukum yang saat itu banyak dipenuhi korupsi. Tindakannya
ini tentu saja membawa dampak serius bagi dirinya. Sekali lagi Ibnu Khaldun
harus berhadapan dengan orang-orang yang iri dan menyebarkan preseden buruk
atas dirinya. Karena tidak tahan beliau akhirnya memilih mengundurkan diri. Pada
1387 Ibnu Khaldun melaksanakan ibadah haji dan ketika beliau kembali ke Mesir
diangkat lagi sebagai hakim agung Mahkamah Mesir oleh Sultan Mesir Nashir
Faraj, putera Sultan Burquq. Tahun 1400 adalah saat paling dramatis yang harus
beliau alami. Beliau beserta beberapa hakim dan ahli hukum lainnya dikirim oleh
sultan Mamluk ke Damaskus yang saat itu terancam oleh serbuan Timur Lenk.
Celaka tak dapat ditolak. Tentara Mesir yang mempertahankan Damaskus dapat
dihancurkan oleh pasukan Tartar dan terpaksa mundur. Sialnya, Ibnu Khaldun
tertangkap dan ditahan sebagai sandera untuk negosiasi penyerahan kota Damaskus
kepada Timur Lenk.
Namun Ibnu Khaldun, yang punya
segunung pengalaman politik tentu memiliki siasat untuk menghadapi Timur Lenk.
Timur Lenk sendiri tertarik pada pengetahuan dan kharisma yang dimiliki Ibnu
Khaldun. Timur Lenk mengajak beliau membahas soal-soal Afrika. Beliau sendiri
mengambil kesempatan untuk melengkapi studinya tentang sejarah bangsa Tartar
dan Mongol baru. Berkat agitasi dan lobi-lobinya, Ibnu Khaldun akhirnya
berhasil menyelamatkan sejumlah orang-orang terkemuka. Begitu kembali ke Mesir
beliau kembali diserahi jabatan hakim agung. Beliau menjabat hakim agung ini
hingga akhir hayatnya.
Karya-karya
Ibnu Khaldun & Pengaruhnya
Ibnu Khaldun dikenal sebagai
sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Al-Qur’an sejak usia dini.
Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena
pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh
telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo
(1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia
remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan
pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan
terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang
luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas
pula.
Tahun 1375 menjadi saat yang
penting dalam hidup Ibnu Kholdun. Setelah bergelut dalam aktivitas politik
selama kurang lebih 25 tahun, beliau mulai mengundurkan diri dari hiruk-pikuk dunia
politik dan memulai kembali aktivitas intelektualnya. Dalam masa 4 tahun, sejak
1375 hingga 1378 beliau memfokuskan dirinya menyelesaikan naskah kitab Al-I’bar
yang telah beliau siapkan sebelumnya. Dengan riset-riset yang terperinci dan
mendalam akhirnya selesailah kitab sejarah itu dalam 7 jilid dengan judul baru Al-I’bar
wa Diwanul Mubtada’wal Khabar fi Ayamul ‘Arab wal A’jam wal Barbar wa Man
‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. Dan bagian pendahuluannya yang
sekarang kita kenal dengan Muqaddimah Ibnu Khaldun sangat berpengaruh
dalam perkembangan ilmu sosial dan terus dikaji hingga kini.
Kitab ini pada tahun 1863
diterjemahkan oleh De Slane ke dalam bahasa Prancis dengan judul Les
Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Setelah itu menjelang akhir abad ke-19
rumusan-rumusan Ibnu Khaldun dalam kitab ini banyak memengaruhi pemikiran para
sosiolog Jerman dan Austria. Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat
tinggi diantaranya, At-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab
autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya), Lubab al-Muhassal fi Ushul
ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi,
yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa
al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).
Komentar
Mereka terhadap Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo
Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19
Maret 1406 M. Dalam hidupnya yang penuh gejolak dan pengembaraan,
renungan-renungan dan riset-risetnya yang mendalam telah menjadikannya seorang
cendekiawan muslim yang begitu masyur hingga sekarang. Tak hanya orang Timur
yang mengkaji mutiara-mutiara pemikirannya, tetapi juga para cendekiawan Barat.
Dan inilah beberapa komentar dari beberapa cendekiawan yang pernah mengkaji karya-karya
beliau.
“Tulisan-tulisan
sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi
intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli
sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa
Inggris)” – DR.
Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di
Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review &
Arabic Affairs” di tahun 1970-an.
“…
‘Abd-ar-Rahman ibn Muhammad ibn Chaldun al-Hadrami dari Tunis (hidup dalam
tahun 1332-1406) adalah seorang genial bangsa Arab yang dalam ‘kesempatan’
kurang dari empat tahun dari lima puluh empat tahun usia dewasa yang
digunakannya untuk bekerja, dapat mencapai suatu hasil karya abadi berupa
sebuah tulisan yang boleh dibandingkan dengan karya Thucydides atau
Machiavelli, baik dalam luas visinya, maupun dalam kekuatan intelektualnya
semata. Bintang Ibn Chaldun tambah bersinar dengan amat cemerlangnya, karena ia
menyoroti alam yang gelap gulita. Kalau Thucydides, Machiavelli, dan Clarendon
adalah bintang-bintang cemerlang yang hidup dalam masa-masa dan tempat-tempat
yang cemerlang pula, maka Ibn Chaldun adalah hanya satu-satunya titik cahaya
yang bersinar pada waktu itu di cakrawala.” – Arnold J. Toynbee, dari Royal Institute of International Affairs and
Oxford University Press, dalam A Study of History volume III.
“…
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli sejarah, politik, sosiologi, dan ahli ekonomi,
seorang yang mendalami persoalan-persoalan manusia, meneliti kehidupan manusia
yang telah lewat untuk memahami kehidupan sekarang dan di hari yang akan
datang. Ia bukan hanya ahli sejarah yang terbesar dari abad pertengahan, yang
menjulang tinggi laksana raksasa diantara suku orang-orang kerdil, tetapi ia
adalah seorang dari ahli filsafat sejarah yang pertama, seorang pembuka jalan
bagi Machiavelli, Bodin, Comte, dan Curnot.” – George Sarton, dalam Introduction To the History of Science.
Muqaddimah. Inilah karya
monumental Ibnu Khaldun, seorang ilmuwan dan sejarawan agung pada abad ke-14 M.
Buku yang ditulis pemikir dari Tunisia, Afrika Utara itu tercatat sebagai karya
yang sangat mengagumkan. Pengaruhnya begitru luar biasa, tak hanya mewarnai
pemikiran di dunia Islam, namun juga peradaban Barat. Orang Yunani menyebut karya Ibnu Khaldun itu sebagai
Prolegomena. Sejumlah pemikir sepakat bahwa Muqaddimah adalah karya pertama
yang mengkaji filsafat sejarah, ilmu-ilmu sosial, demografi, histografi
serta sejarah budaya. IM Oweiss dalam karyanya bertajuk Ibn Khaldun: A
fourteenth-Century Economist menilai, Muqaddimah merupakan salah satu buku
perintis ekonomi modern. Selain itu, Ibnu Khaldun dalam adikaryanya itu
juga membedah dan mengupas masalah teologi Islam. Yang lebih
menarik lagi, Ibnu Khaldun pun membahas sains atau ilmu pengetahuan alam dalam
kitabnya yang sangat populer itu. Secara khusus, Ibnu Khaldun mengupas tentang
studi biologi dan kimia dalam bab tersendiri mengenai ilmu pengetahuan alam.
Biologi
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain. Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan hewan. "Tahap terakhir mineral ''terhubung'' dengan tahap pertama dari tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,'' tutur Ibnu Khaldun.
Teodros Kiros dalam karyanya Explorations in African Political Thought, mengatakan, dalam bidang biologi secara khusus Ibnu Khaldun membahas masalah teori evolusi. Menurut Khaldun, dunia ini dengan segala isinya memiliki urutan tertentu dan susunan benda. Ia mencoba mencoba mengaitkan antara penyebab dan hal-hal yang disebabkan, kombinasi dari beberapa bagian penciptaan dengan yang lain, dan transformasi dari beberapa wujud menjadi sesuatu yang lain. Selain itu, Ibnu Khaldun juga membahas penciptaan dunia. Menurut dia, makhluk hidup berawal dari sebuah mineral kemudian berkembang dan berakal. Secara bertahap, kemudian berubah menjadi tanaman dan hewan. "Tahap terakhir mineral ''terhubung'' dengan tahap pertama dari tanaman, seperti tumbuhan dan tanaman tak berbiji,'' tutur Ibnu Khaldun.
Tahap terakhir tanaman,
lanjut dia, seperti pohon kelapa dan tumbuhan yang merambat (pohon anggur),
terhubung dengan tahap pertama binatang, seperti keong (siput) dan kerang yang
hanya memiliki kekuatan sentuh. Menurut Ibnu Khaldun, dunia
binatang kemudian semakin meluas menjadi berbagai jenis. Dalam proses
penciptaan bertahap, hewan/binatang akhirnya mengarah ke bentuk manusia, yang
mampu berpikir dan mengartikan. "Tahap tertinggi manusia dicapai dari
dunia kera, di mana kedua kecerdasan dan persepsi ditemukan, namun belum
mencapai tahap refleksi dan berpikir sebenarnya," tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun ternyata seorang penganut determinisme lingkungan. Dia menjelaskan bahwa kulit hitam itu disebabkan oleh iklim panas dari gurun Sahara Afrika dan bukan karena keturunan. "Dia justru menghalau teori Hamitic, di mana anak-anak Ham yang dikutuk oleh makhluk hitam, sebagai mitos," jelas Chouki El Hameldalam karyanya Race, slavery and Islam in Maghribi Mediterranean thought: the question of the Haratin in Morocco.
Kimia
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy. Anawati menambahkan dalam bab 26 Kitab Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma yansha min al-mafasid, Khadlun menulis sebuah sanggahan sistematis tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama.
Menurut George Anawati, dalam bidang kimia, Ibnu Khaldun adalah seorang kritikus praktik kimia pada dunia Islam. "Dalam bab 23 berjudul Fi 'Ilm al-kimya, ia membahas sejarah kimia, yang dilihat dari ahli kimia seperti Jabir ibnu Hayyan (721-815 M), dan teori dari perubahan logam dan elixir (obat yang mujarab) kehidupan. " ungkap Anawati dalam karyanya Arabic Alchemy. Anawati menambahkan dalam bab 26 Kitab Muqaddimah yang berjudul thamrat Fi inkar al-kimya wa istihalat wujudiha wa ma yansha min al-mafasid, Khadlun menulis sebuah sanggahan sistematis tentang kimia dalam sosial, ilmiah, filosofis dan dasar agama.
"Dia mengawali
sanggahan pada dasar sosial, argumentasi bahwa banyak ahli kimia yang mampu
mendapatkan penghasilan dari hidup karena pemikiran yang menjadi kaya melalui kimia
dan akhirnya kehilangan kredibilitas," papar Anawati. Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa beberapa ahli
kimia terpaksa melakukan penipuan, baik secara terbuka dengan menggunakan
sedikit lapisan emas / perak di atas perak / perhiasan tembaga maupun secara
diam-diam menggunakan prosedur yang melapisi pemutihan tembaga dengan
menyublimasi raksa. Meski begitu, ia mengakui bahwa ada saja ahli kimia
yang jujur. Ibnu Khaldun juga
mengkritisi pandangan dan teori tenteng kimia yang dicetuskan al-Farabi,
Ibnu Sina dan Al-Tughrai. "Ilmu pengetahuan manusia tak berdaya bahkan
untuk mencapai yang terendah sekalipun, kimia menyerupai seseorang yang ingin
menghasilkan manusia, binatang atau tanaman."
Anawati mengatakan, dalam mengkritisi ilmu kimia, Ibnu Khaldun pun menggunakan sosial logikanya. Anawati menuturkan bahwa Ibnu Khaldun dalam kitabnya menegaskan bahwa kimia hanya dapat dicapai melalui pengaruh psikis (bi-ta'thirat al-nufus). Hal yang luar biasa menjadi salah satu keajaiban dari ilmu gaib/ilmu sihir (rukiat) ... Mereka tak terbatas, tak dapat diklaim untuk mendapatkan mereka." Prof Hamed A EAD, dari Universitas Kairo dalam tulisannya bertajuk Alchemy in Ibn Khaldun's Muqaddimah mengatakan bahwa Ibnu Khaldun mendefinisikan kimia sebagai "ilmu yang mempelajari zat yang mana generasi emas dan perak tiruan bisa diciptakan.'' Begitulah Ibnu Khaldun mengupas ilmu pengetahuan alam dalam karyanya yang sangat fenomenal, Al-Muqaddimah.
Dibalik Penulisan Muqaddimah
lbnu Khaldun adalah seorang
ilmuwan besar yang terlahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 atau 1 Ramadhan 732
H. Ia bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad Ibn Khaldun
Al-Hadrami Al-Ishbili. Selain dikenal sebagai pemikir hebat, ia juga seorang
politikus kawakan. Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibnu Khaldun
bersama keluarganya memutuskan untuk menyepi di Qalat Ibnu Salamah, sebuah
istana yang terletak di negeri Banu Tajin, selama empat tahun. Selama masa
kontemplasi itulah, Ibnu Khaldun menyelesaikan penulisan karyanya yang sangat fenomenal
bertajuk Al-Muqaddimah.
''Dalam pengunduran diri
inilah saya merampungkan Al-Muqaddimah, sebuah karya yang seluruhnya orisinal
dalam perencanaannya dan saya ramu dari hasil penelitian luas yang
terbaik," ungkap Ibnu Khaldun dalam biografinya yang berjudul Al-Tarif bi
Ibn-Khaldun wa Rihlatuhu Gharban wa Sharqan. Buah pikir Ibnu Khaldun itu begitu
memukau. Tak heran, jika ahli sejarah Inggris, Arnold J Toynbee menganggap
Al-Muqaddimah sebagi karya terbesar dalam jenisnya sepanjang sejarah. Menurut
Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya berjudul Ibnu Khaldun dalam Pandangan Penulis
Barat dan Timur, salah satu tesis Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah yang sering
dikutip adalah: `Manusia bukanlah produk nenek moyangnya, tapi adalah produk
kebiasaan-kebiasaan sosial."
Secara garis besar, Tarif
Khalidi dalam bukunya Classical Arab Islam membagi Al-Muqaddimah menjadi tiga
bagian utama. Pertama,
membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan
Arab-Muslim. Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibnu Khaldun,
ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah. Ketiga, mengupas
lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan
abad ke-14. Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul
al-Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan
teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu.
Dalam buku itu Ibnu Khaldun diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah
melalui pengujian-pengujian yang kritis.
''Di tangan Ibnu Khaldun, sejarah
menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng,"
papar Syafii Maarif. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia
politik pada masanya, Ibnu Khaldun mampu menulis Al-muqaddimah dengan jernih.
Dalam kitabnya itu, Ibnu Khaldun juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum
kemasyarakatan dan perubahan sosial. Menurut
Charles Issawi dalam An Arab Philosophy of History, lewat Al-Muqaddimah, Ibnu
Khaldun adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus
menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip
yang dikemukakan Ibnu Khaldun mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain;
"Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan
berkembang."
Pemikiran Ibnu Khaldun telah
memberi pengaruh yang besar terhadap para ilmuwan Barat. Jauh, sebelum Aguste
Comte pemikir yang banyak menyumbang kepada tradisi keintelektualan positivisme
Barat metode penelitian ilmu pernah dikemukakan pemikir Islam seperti Ibnu
Khaldun (1332-1406). Dalam metodeloginya, Ibnu Khaldun
mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode
pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia,
saat ini. "Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan
hukum-hukum sosial," papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon
Ibn Khaldun, nama ini begitu
mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan
baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang
tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari
kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode
yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit
dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang
malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia
politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam
dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibnu Khaldun
manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang
selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga
kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan
(dharury) (Muqaddimah: 41). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat
Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk
hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam
waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari
butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang.
Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum
siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk
mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga
gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang
petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan
membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42).
Selain kebutuhan makanan
untuk mempertahankan hidup, menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan
dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika
menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk
hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki
oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk.
Oleh karenanya Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu
anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal
atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan.
Dengan akal dan tangan ini
manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan
untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan
hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya,
sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi
tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk
mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai
khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat
terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang
dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota
masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga
dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk
mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia
mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk
menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari
masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat,
mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali / wazi’ (الوازع).
Dengan demikian tidak akan ada
anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan
akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini
kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa
seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja
sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri,
serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah)
atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini
agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’,
al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia
sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang
membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya
bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada
pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai
upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa
depan dengan berbagai kecenderungannya.
Sosiologi
Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Selain apa yang telah dipaparkan
di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara
(daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة).
Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para
pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya.
‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme
kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang
seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya
diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan
dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun)
dan Hadharah (حضارة)(kehidupan
kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya
(dharury) (Muqaddimah: 120).
Penduduk kota menurutnya banyak
berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti
hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela.
Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih
dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan
(Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama.
Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup
berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama
dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat
beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi
kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang
pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota.
Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam
kenikmatan dan kemewahan.
Mereka mempercayakan urusan
keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup
memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di
luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka
sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada
orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus
memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong
dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki
‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah:
120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas
sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas)
atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih
mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh
karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan.
Maka solidaritas sosial yang
dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada,
sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan
sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di
dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas
solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas
masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin,
maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa
liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang
pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani
dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki
kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain.
Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan.
Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang
pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan
lain (Muqaddimah: 138).
Pendapat Ibn khaldun dalam hal
ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat
‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang
pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial
itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh.
Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan
mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika
solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan
sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya
akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari
kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para
pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya,
maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga
ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi
demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke
dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah
yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas
(Muqaddimah: 139-140). Akan tetapi hambatan jalan mencapai
kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka
semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan.
Kemewahan telah menghancurkan dan
melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan
digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam
solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa
itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih
mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan
golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial
(‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak
manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan
keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau
aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab
menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil
mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling
tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing
ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah
yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya
karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan
dikendalikan (Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama
saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah).
Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah
keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu
pada hal-hal diluar Agama (Muqaddimah: 159).
Homogenitas juga berpengaruh
dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat
berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan
demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang
berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar
merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas
yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam
kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah
berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam
mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari
ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas
yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari
kelompok yang dominan.
Khilafah,
Imamah, Sulthanah
Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah
pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan
petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang
dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang
pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi
Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia.
Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan
dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat,
imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun
hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri
menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu:
Ø
Memiliki
pengetahuan.
Ø
Memiliki
sifat ‘adil.
Ø
Mempunyai
kemampuan.
Ø
Sehat
Panca indera dan badannya.
Ø
Keturunan
Quraisy.
Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn
Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan
keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah
pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan
jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan
keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika
kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab
mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku
Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah
pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan
persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn
Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku
Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini
hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy
pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa,
atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang
tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi
diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang
mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun
dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah
haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan
teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Bentuk-Bentuk
Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk
pemerintahan ada 3:
Ø
Pemerintahan
yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa
masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam
memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri
dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati
akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada
zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau
inkonstitusional.
Ø
Pemerintahan
yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa
rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah
kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para
cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu
sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang
serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat
mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
Ø
Pemerintahan
yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa
semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian
maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang
terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin
tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan
karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran
Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah,
oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan
kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam
Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191).
Dari pembagian pemerintahan di
atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn
Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi
personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna
fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap
pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem
pemerintahan.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya
‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya
suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah:
175).
Ø
Tahap sukses atau tahap
konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang
berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
Ø
Tahap tirani, tahap dimana
penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang
memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup
pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala
perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan
keluarganya.
Ø
Tahap sejahtera, ketika
kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha
membangun negara.
Ø
Tahap kepuasan hati,
tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu
yang telah dibangun para pendahulunya.
Ø
Tahap hidup boros dan
berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya,
pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu
kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi,
yaitu:
ü
Generasi Pembangun, yang
dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan
yang didukungnya.
ü
Generasi Penikmat, yakni
mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem
kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
ü
Generasi
yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai
tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi
ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu,
dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun
juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah
ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan
hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan
‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan
cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian
memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula
biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172).
Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga
teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
Karya-karya lain Ibnu
Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun
(sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah
(pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan
filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang
permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab
Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin
ar-Razi).
DR. Bryan S. Turner, guru
besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The
Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari tentang
karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah
dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan
diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang
menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat
menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku
terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.
Bahkan buku ini telah
diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang
disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal
yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial
tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang
membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana
sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab keempat dan kelima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah. Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.
Ada beberapa catatan penting dari
sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung
tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah
seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang
luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang
pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan
tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam
tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran.
Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan
kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya
yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan
politik Islam. Dasar pendidikan Al-Qur’an yang diterapkan oleh ayahnya
menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain
ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Al-Qur’an, ia menjunjung tinggi
akan kehebatan Al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa
pendidikan Al-Qur’an termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di
seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Al-Qur’an dapat meresap ke
dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Al-Qur’an pun patut diutamakan
sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”
Jadi nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.
Sumber
: Wikipedia & http://kisahislamikita.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar