KISAH
PERANG UHUD
Orientasi
Perang
Uhud adalah pertempuran yang pecah antara kaum muslimin
dan kaum kafir
Quraisy
pada tanggal 22 Maret
625 M (7 Syawal 3 H). Pertempuran
ini terjadi kurang lebih setahun lebih seminggu setelah Pertempuran
Badr. Tentara Islam berjumlah 700 orang sedangkan tentara kafir berjumlah
3.000 orang. Tentara Islam
dipimpin langsung oleh rasulullah sedangkan tentara kafir dipimpin oleh Abu Sufyan.
Disebut Pertempuran Uhud karena terjadi di dekat bukit Uhud yang terletak 4 mil
dari Masjid Nabawi
dan mempunyai ketinggian 1000 kaki dari permukaan tanah dengan panjang 5 mil.
Pendahuluan
Rasulullah
menempatkan pasukan Islam
di kaki bukit Uhud di bagian barat. Tentara
Islam berada dalam formasi yang kompak dengan panjang front kurang lebih 1.000
yard. Sayap kanan berada di kaki bukit Uhud sedangkan sayap kiri berada di kaki
bukit Ainain (tinggi 40 kaki, panjang 500 kaki). Sayap kanan
Muslim aman karena terlindungi oleh bukit Uhud, sedangkan sayap kiri
berada dalam bahaya karena musuh bisa memutari bukit Ainain dan menyerang dari
belakang, untuk mengatasi hal ini rasulullah menempatkan 50 pemanah di Ainain dibawah pimpinan
Abdullah bin Zubair dengan perintah yang sangat
tegas dan jelas yaitu "Gunakan panahmu terhadap kavaleri musuh. Jauhkan kavaleri
dari belakang kita. Selama kalian tetap di tempat, bagian belakang kita aman.
jangan sekali-sekali kalian meninggalkan posisi ini. Jika kalian melihat kami
menang, jangan bergabung; jika kalian melihat kami kalah, jangan datang untuk
menolong kami."
Di
belakang pasukan Islam terdapat 14 wanita
yang bertugas memberi air bagi yang haus, membawa yang terluka keluar dari
pertempuran, dan mengobati luka tersebut. Di antara wanita ini adalah Fatimah,
putri rasulullah yang juga istri Ali, sedangkan rasulullah sendiri berada di
sayap kiri.
Posisi
pasukan Islam bertujuan untuk mengeksploitasi kelebihan pasukan
Islam yaitu keberanian dan keahlian bertempur. Selain itu juga meniadakan
keuntungan musuh yaitu jumlah dan kavaleri (kuda pasukan Islam hanya 2, salah
satunya milik rasulullah). Abu Sufyan tentu lebih memilih pertempuran
terbuka di mana dia bisa bermanuver ke bagian samping dan belakang tentara
Islam dan mengerahkan seluruh tentaranya untuk mengepung pasukan tersebut.
Tetapi rasulullah menetralisir hal ini dan memaksa Abu Sufyan
bertempur di front yang terbatas di mana infantri
dan kavalerinya
tidak terlalu berguna. Juga patut dicatat bahwa tentara Islam sebetulnya
menghadap Madinah
dan bagian belakangnya menghadap bukit Uhud, jalan ke Madinah
terbuka bagi tentara kafir.
Tentara
Quraish
berkemah satu mil di selatan bukit Uhud. Abu Sufyan
mengelompokkan pasukan ini menjadi infantri di bagian tengah dan dua sayap
kavaleri di samping. Sayap kanan dipimpin oleh Khalid bin
Walid dan sayap kiri dipimpin oleh Ikrimah bin Abu Jahal, masing-masing
berkekuatan 100 orang. Amr bin Al Aas ditunjuk sebagai panglima bagi
kedua sayap tetapi tugasnya terutama untuk koordinasi. Abu Sufyan
juga menempatkan 100 pemanah di barisan terdepan. Bendera Quraish dibawa oleh Talha bin Abu Talha
Sebab kemenangan
dalam Perang Uhud
Kisah
ini ditulis di Sura Ali ‘Imran ayat 140-179. Dalam ayat2 di
Sura Ali ‘Imran, Muhammad menjelaskan kekalahan di Uhud adalah ujian dari Allah
(ayat 141) – ujian bagi Muslim mu’min dan munafik (ayat 166-167).
"Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad di antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar
(ayat 142)? Bahkan jika Muhammad sendiri mati terbunuh, Muslim harus terus
berperang (ayat 144), karena tiada seorang pun yang mati tanpa izin Allah (ayat
145). Lihatlah para nabi yang tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa
mereka di jalan Allah (ayat 146). Para Muslim tidak boleh taat pada kafir (ayat
149), karena Allah Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa
takut (ayat 151)." --
Ayat2
di atas tidak menunjukkan sebab yang sebenarnya mengapa Muhammad dan Muslim
kalah perang di Uhud. Penjelasan yang lebih lengkap bisa dibaca di Hadis Sahih
Bukhari, Volume 4, Book 52, Number 276
Sebagaimana
manusia biasa, wajar bila seseorang terlupa akan sesuatu. Begitu juga pasukan
yang berjaga di atas bukit Uhud. Mereka terlupa dan akhirnya turun ke lembah
untuk mengambil hak pemenang perang. Melihat banyak pasukan dari pihak islam
yang meninggalkan pos di atas bukit, Khalid bin Walid memerintahkan pasukan
kafir yang tersisa untuk berbalik kembali dan menyerang pasukan islam. Pos di
atas bukit direbut oleh kafirin dan pasukan islam yang tersisa di sana dibunuh,
termasuk Hamzah paman rasulullah.
Arti Penting
Kekalahan dalam Perang Uhud
Setelah
memenangkan Perang Badar secara gemilang, pasukan muslim harus menelan
kekalahan menyakitkan dalam Perang Uhud. Kekalahan pasukan Quraisy di Sumur
Badar pada Ramadan tahun 642 Masehi sangat memukul mentalitas pemimpinnya, Abu
Sufyan. Dalam versi penduduk Mekah yang tidak mengakui kenabian Muhammad,
kekalahan yang mereka terima adalah sebuah penyergapan. Mereka menganggapnya
sebagai penyergapan yang memukul aktivitas utama kehidupan kota
metropolis-perdagangan mereka.
Dengan jumlah pasukan kurang dari sepertiga dari orang-orang Quraisy, Philip K. Hitti dalam History of The Arabs (2005: 146) menerangkan, peristiwa itu punya posisi penting dalam sudut pandang militer, terutama dari aspek psikologis. Perang Badar menjadi tonggak munculnya reputasi Nabi Muhammad yang tidak hanya andal sebagai seorang pemimpin agama, melainkan juga pemimpin militer yang tangguh meski tanpa pengalaman memimpin perang sebelumnya.
Segera, setelah kekalahan tersebut, Abu Sufyan mendesak para penduduk Mekah untuk melancarkan serangan balasan. Dalam tempo yang relatif singkat, Shafiyyu al-Rahman al-Mubarakfuri menyebut dalam Sirah Nabawiyah (1997: 279) bahwa Abu Sufyan berhasil mengumpulkan sekitar seribu unta dan seribu lima ratus dinar. Selain soal balas dendam, serangan ini juga berfungsi untuk mengamankan rute perdagangan ke Negeri Syam bagi pedagang-pedagang Mekah. Abu Sufyan memimpin sendiri pasukan Quraisy berjumlah 3.000 orang terlatih, termasuk di dalamnya pasukan berbaju zirah. Ta khanya itu, mereka juga diperkuat 200 orang pasukan kavaleri. Keberangkatan itu terjadi setahun setelah perang di Badar (625 Masehi) pada bulan Syawal tahun ketiga Hijriah.
Rombongan pasukan ini berjalan dari Mekah sampai tiba di dua mata air di Lembah Sabkhah dari saluran air di atas lembah yang menghadap Madinah. Pasukan muslim awalnya tidak tahu bahwa ada pemukiman pasukan dari Mekah yang berkemah dengan jarak tidak begitu jauh dari Madinah. Baru dua sampai tiga hari kemudian Nabi Muhammad mengetahui informasi bahwa Madinah sedang berada dalam ancaman. Itupun karena pemberitahuan dari Abbas, pamannya yang masih di Mekah, yang diam-diam mengirim surat. Pada akhirnya, setelah informasi dari mata-mata yang dikirim Nabi untuk menandai musuh, diadakan pertemuan pada Jumat, 6 Syawal 3 Hijriah. Karena merasa bahwa pasukan yang bermukim tidak jauh dari Madinah adalah pasukan yang sangat berbeda dari pasukan setahun sebelumnya di Badar, Nabi pun mengusulkan untuk tetap bertahan di dalam kota.
Membiarkan pasukan musuh menyerbu kota tentu saja pilihan yang lebih bijak. Harapannya, strategi ini akan lebih mampu memukul mundur pasukan musuh daripada meladeni pertempuran di tempat terbuka. Maklum, selain soal jumlah, dari segi pengalaman tempur dan persiapan, musuh jauh lebih unggul daripada pasukan muslim.
Masalahnya,
euforia kegemilangan pada Perang Badar satu tahun sebelumnya masih muncul dari
para pasukan muslim. Beberapa di antaranya begitu bersemangat sehingga lebih
memilih untuk menyambut kedatangan musuh di luar kota Madinah.
“Rasulullah, kami tidak ingin bertempur di jalan-jalan Madinah. Pada zaman jahiliyah kami selalu menjaga agar hal itu tidak terjadi. Jadi, ada baiknya setelah kedatangan Islam, hal itu tetap dilestarikan,” kata seorang Anshar dalam Biografi Rasulullah (terj. As-Sirah an-Nabawiyyah, 2005: 484). Mendengar itu, Nabi tanpa bicara langsung mengenakan baju zirah dan menyiapkan persenjataan. Siap untuk segera berangkat menuju medan perang. Melihat reaksi Nabi, para sahabat yang lain terkejut. Ada yang merasa bahwa yang baru saja terjadi tidaklah pantas karena terkesan seperti “membangkang” perintah Nabi. Perdebatan kecil pun terjadi di antara mereka.
“Rasulullah
sebenarnya telah menjelaskan sesuatu kepada kalian, tetapi kalian menghendaki yang
lain. Jadi, Hamzah, temuilah Rasulullah dan katakan kepada beliau, 'segala
keputusan kami serahkan kepada Rasulullah',” ujar salah satu sahabat kepada
Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Nabi. Hamzah pun menemui Nabi dan menyampaikan
pesan tersebut. Mendengar pesan demikian, Nabi bersabda, “Bukanlah seorang nabi
bila ia telah memakai baju zirahnya lalu menanggalkannya dan surut sebelum
perang terlaksana.” Maka berangkatlah pasukan berjumlah 1.000 pasukan dari
Madinah menuju Pegunungan Uhud. Jumlah pasukan yang hanya sepertiga dari
pasukan Quraisy ini rupanya masih harus berkurang karena ada perselisihan saat
perjalanan.
Ketika pasukan ini sampai ke wilayah Syauth, Abdullah bin Ubay bin Salul bersama pasukannya yang berjumlah 300 orang memilih pulang ke Madinah. Ada dua alasan yang disebutkan Ibnu Salul. Pertama, peperangan ini tidak akan terjadi (karena perjalanan sudah cukup jauh tapi mereka belum juga menemui pemukiman musuh). Kedua, Ibnu Salul tidak ingin bertempur di luar teritori Madinah. “Dia (Nabi) lebih memilih mengikuti pendapat para budak dan orang-orang yang tak berakal dan menolak pendapatku. Lalu untuk apa kita membinasakan diri kita sendiri?” kata Ibnu Salul kepada pasukannya. Rupanya, Ibnu Salul adalah orang yang setuju dengan usul Nabi yang pertama saat musyawarah yakni memilih bertahan di Madinah.
Hal yang diabadikan dalam surat An-Nisa ayat 88 dan Ali Imran 166-167 ini sempat membuat pasukan Nabi terpecah menjadi dua kubu. Terutama ketika Nabi tidak mengijinkan para sahabat untuk balik memerangi Ibnu Salul yang membelot. Beberapa klan, seperti Bani Salamah dan Bani Haritsah, sempat tergerak untuk ikut pulang ke Madinah mengikuti Bani Salul. Tapi tindakan pengecut itu tidak terlaksana.
Dengan berpulangnya pasukan Ibnu Sulal, pasukan Nabi hanya tersisa 700 pasukan. Melawan 3.000 pasukan musuh memang rasanya sedikit mengkhawatirkan. Mengingat di kubu musuh juga ada sosok Khalid bin Walid (saat itu belum masuk Islam) yang begitu tersohor karena kepiawaiannya dalam berperang. Berkurangnya pasukan ini kembali terjadi saat Nabi memulangkan beberapa pasukan di barisannya yang dianggap terlalu muda. Ada Abdullah bin Amru, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, dan banyak lagi yang jika ditotal ada sekitar 14 remaja yang disuruh Nabi pulang ke Madinah. Meski begitu ada beberapa remaja yang dibolehkan, seperti Rafi bin Khudaij yang bersikeras ingin ikut berperang. Nabi pun mengizinkannya karena ia seorang pemanah.
Pada Sabtu paginya, tanggal 3 Hijriah, pasukan Nabi melewati kebun milik Mirba’ bin Qiadzhi, seorang buta yang membenci Nabi setengah mati. Mendengar kabar bahwa pasukan Nabi akan melewati kebunnya, ia langsung mengambil segenggam tanah dan melemparnya ke wajah pasukan ini, termasuk mengenai muka Nabi. “Seandainya pun engkau benar utusan Tuhan, aku tidak rela engkau menginjak kebunku ini! Demi Tuhan, seandainya aku tahu bahwa debu yang kulemparkan ini mengenai orang selain dirimu Muhammad, aku akan menghantam wajahmu!” kata Ibnu Qiadzhi.
Terang saja pasukan Nabi yang mendengarnya langsung berebut untuk membunuhnya. Maklum, bahkan sebelum melemparkan tanah tingkah laku Qiadzhi ini sudah memancing kemarahan. Salah satu sahabat yang begitu marah adalah Sa’ad bin Zaid. Namun, lagi-lagi, Nabi melarang Ibnu Zaid untuk melakukannya dan memilih meninggalkan pria buta ini. Sesampainya di bukit Uhud, Nabi kemudian mengatur 50 pemanah di bawah pimpinan Abdullah bin Jubair di posisi puncak bukit. Posisi yang sempurna agar posisi pasukan Nabi tidak dikepung musuh. “Lindungilah kami dari belakang. Bila kalian melihat kami bertempur, tidak perlu kalian membantu kami,” kata Nabi.
Philip K. Hitti, dalam History of Arabs (2005: 850), menceritakan bagaimana detail persiapan peperangan Arab pada era kenabian. Masing-masing suku atau klan akan memiliki ciri masing-masing. Misalnya, secarik kain yang menjadi identitas diikatkan pada ujung tombak (atau panji) oleh orang yang paling tersohor di barisan terdepan.
Panji perang milik Nabi Muhammad sendiri bergambar uqub atau burung elang. Pedang terbaik bangsa Arab diadopsi dari pedang buatan India yang juga sering disebut hindi. Senjata utama pasukan kavaleri (berkuda/berunta) adalah rumh atau tombak panjang yang gagangnya diukir tulisan Arab. Selain busur dan panah, tombak juga merupakan senjata tradisional bangsa Arab.
Selain
soal senjata, formasi tempur maupun tata cara pertempuran pada era itu juga
masih primitif. Pertempuran akan dimulai secara individu. Setiap kubu akan
mengajukan petarung terbaik. Ada berbagai versi yang menyebut Ali bin Abi
Thalib maju sebagai lawan Thalhah bin Abu Thalhah. Versi lain menyebut Hamzah
yang berduel dan versi lain menyebut Al-Zubair yang maju. Yang jelas, sebelum
terjadi perang, duel individu ini dimenangi oleh pihak Nabi.
Dari riwayat Imam Muslim (terj. As-Sirah an-Nabawiyyah, 2005: 492) peperangan terjadi begitu dahsyat. Situasi awal pertempuran didominasi oleh pasukan Nabi, terutama karena keberadaan pasukan pemanah di atas bukit yang bisa melihat pergerakan musuh di bawah. Untuk membangkitkan semangat pasukan, di tengah-tengah bertempuran Nabi mengambil sebilah pedang yang jatuh dan menawarkannya pada pasukannya, “Siapa yang akan mengambil (pedang) ini dariku?”
Pasukan Nabi berebut mengambilnya, “Aku ya Rasulullah, aku…”
Nabi
kemudian meneruskan kalimatnya, “Siapa yang akan mengambil pedang ini dan akan
menggunakannya dengan benar?”
Mendadak para pasukan yang tadi berebutan terdiam. Sampai kemudian Abu Dujanah maju. “Aku akan mengambil pedang itu dan siap menggunakannya dengan benar.”
Dari riwayat Ibnu Ishaq, disebutkan bahwa Abu Dujanah kemudian bertanya kepada Nabi. “Lalu apa hak pedang ini, ya, Rasulullah?”
“Agar
pedang tersebut diayunkan kepada musuh sampai musuh itu roboh,” sabda Nabi
kemudian. Situasi menjadi berbalik ketika pasukan muslimin di bukit melihat
kemenangan seperti sudah di ujung mata. Ashhab bin Jabir berkata dari puncak
bukit, “Mari kita ambil harta rampasannya!”
Ibnu Jubair, pemimpin pasukan pemanah, mencoba mengingatkan, “Apa kalian lupa pesan Nabi?” Tanpa memedulikan peringatan Abdullah, mereka pun turun. Kemenangan di periode awal pertempuran di Bukit Uhud pun hilang saat Khalid bin Walid bersama pasukan kavalerinya menyadari kecerobohan pasukan pemanah Nabi. Dengan mengitari bukit, Khalid bin Walid menyerang pasukan ini dari belakang. Hal yang kemudian membuat Lembah Uhud jadi jebakan sempurna bagi pasukan Muslim. Membuat mereka terdesak dari arah depan dan belakang.
Kekacauan yang sampai membuat pasukan muslim tidak bisa membedakan kawan dan lawan. Beberapa sahabat bahkan tidak sengaja saling serang karena tidak tahu harus menyerang ke arah mana. Kacaunya situasi ini sempat membuat keberadaan Nabi tidak diketahui oleh sesama pasukan muslim. Dalam kekacauan tersebut, tersiar kabar bahwa Nabi ikut gugur pula. Desas-desus ini tentu saja membuat mental pasukan muslim runtuh seketika. Beberapa ada yang masih bertempur tapi sebagian besar sudah putus asa karena merasa pemimpin mereka sudah ikut gugur. Bahkan tidak sedikit yang memilih melarikan diri dari medan pertempuran.
Dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Jilid 2 (2008: 122) disebutkan “ketiadaan” Nabi terjadi karena seorang sahabat bernama Mush’ab bin Umair mencoba melindungi Nabi dari gempuran musuh. Perlindungan yang juga menyembunyikan identitas dan keberadaan Nabi di tengah situasi kacau ini. Hal itu terus dilakukan oleh Mush'ab sampai ia sendiri gugur di medan perang. Kekalahan di Perang Uhud tentu saja menyakitkan. Tidak ada kekalahan yang menyenangkan. Euforia kemenangan dalam Perang Badar seperti menguap begitu saja. Apalagi kekalahan ini juga diikuti oleh kematian yang tidak sedikit. Salah satu yang meninggal adalah Hamzah, paman Nabi Muhammad sendiri, orang yang nyaris selalu berada di samping Nabi dalam Perang Badar.
Namun, kekalahan ini juga bermakna penting karena memberi banyak pelajaran kepada pasukan Muslim tentang pentingnya menjauhi perseteruan di kala genting, tentang pentingnya disiplin sebagai pasukan, juga perihal keharusan menaati taktik dan strategi yang sudah diputuskan dan disepakati. Setidaknya, kendati kalah, Nabi Muhammad selamat. Pengorbanan Mush’ab tidak sia-sia karena Nabi berhasil diselamatkan untuk melakukan perang balasan yang akan membalikkan situasi dua tahun kemudian.Jika peperangan di Bukit Uhud memunculkan nama Khalid bin Walid sebagai aktor utama, maka di periode berikutnya, giliran nama Salman Al-Farisi yang muncul. Tentu saja dengan kisah melegenda lainnya yang bernama Perang Khandak (Perang Parit).
Pasca
Perang Uhud
Perang Hamro’ul Asad
Peperangan
ini termasuk bagian dari Perang Uhud.
Oleh karenanya sebagian ulama menggabungkan pembahasan perang ini dalam
rangkaian Perang Uhud. Seusai
Perang Uhud, pasukan kafir Quraisy
tidak langsung pulang ke Mekah, mereka berhenti di Hamro’ul Asad dan bermaksud
kembali menyerang kaum muslimin di Madinah. Mereka merasa belum memperoleh
kemenangan yang sempurna karena tiga tokoh utama pemimpin kaum muslimin
–Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu,
Umar radhiallahu ‘anhu– masih hidup.
Tatkala
Rasulullah mengetahui bahwa musuh berhenti di tengah jalan untuk kembali
menyerang, maka beliau memerintahkan para sahabat untuk segera menyusul dan
mengejar mereka. Beliau mensyaratkan bahwa yang boleh berangkat adalah para
sahabat yang ikut berperang di Uhud adapun orang-orang munafik tidak
diperkenankan ikut. Maka bangkitlah para sahabat dalam keadaan kepayahan, rasa
sakit dan luka-luka demi menyambut panggilan Allah dan Rasul-Nya. Allah
berfirman menggambarkan keadaan mereka:
“Orang-orang yang memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka
ditimpa musibah luka-luka, bagi yang berbuat baik di antara mereka dan bertakwa
mendapat pahala yang besar.” (QS. Ali-Imron: 172)
Di
Hamroul Asad orang-orang kafir Quraisy menakut-nakuti kaum muslimin dengan
mengirim seseorang untuk menyampaikan kepada para sahabat bawha Quraisy telah
bersatu padu mengumpulkan bala tentara untuk menyerang kalian maka waspadalah
dan hendaknya kalian takut terhadap kekuatan mereka. Akan tetapi para sahabat
tidak gentar sedikit pun bahkan semakin bertambah keimanan mereka dan semakin
yakin akan datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah. Firman Allah:
“Orang-orang yang dikatakan kepada mereka sesungguhnya manusia telah
berkumpul untuk menyerang kalian maka takutlah kepada mereka akan tetapi mereka
menjawab cukuplah Allah penolong kami dan Dia sebaik-baik penolong.”
(QS. Ali Imron: 173)
Tatkala
orang-orang kafir Quraisy mendengar bahwa Rasulullah dan para sahabat menyusul
dan mengejar untuk menyerang mereka, maka mereka takut dan segera mereka
berangkat pulang menuju Mekah. Itulah rasa takut yang meliputi tentara Iblis
yang tidak memiliki kekuatan mental sedikit pun padahal sebelumnya mereka
menakut-nakuti kaum muslimin dengan bala tentaranya yang besar. Kaum muslimin
tinggal di Hamro’ul Asad selama tiga hari. Mereka tidak menemukan musuh. Mereka
pulang ke Madinah dengan membawa kemenangan dan rampasan perang. Setelah itu
kedudukan kaum muslimin di Jazirah Arab makin disegani. Itulah firman Allah: “Lalu mereka kembali dengan membawa kemenangan dan nikmat dari Allah
berupa rampasan perang sedang mereka tidak ditimpa kejelekan sedikitpun berupa
luka dan mereka mengikuti ridho Allah dan Allah memiliki keutamaan yang sangat
besar.” (QS. Ali Imran: 174)
Sesungguhnya
keluarnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersama pasukan kaum muslimin ke Hamro’ul Asad merupakan
bukti yang sangat besar yang menunjukkan kesempurnaan beliau, keberanian,
ketabahan, dan kesabaran serta tidak menyerah atau menunjukkan rasa lemah dan
kalah kepada musuh sedikit pun. Kejadian itu juga merupakan bukti bagusnya
siasat beliau dan juga keutamaan para sahabat radhiallahu
‘anhu, mereka taat dan sabar dalam memenuhi panggilan Allah dan
Rasul-Nya tanpa sedikit pun merasa keberatan padahal mereka masih dirundung
musibah kekalahan, sakit, luka-luka, rasa takut, hilangnya kewibawaan mereka di
mata musuh dan penderitaan. Maka mereka berhak menjadi wali-wali pilihan
kekasih Allah.
Peperangan
Setelah Uhud
Dua
peperangan dahsyat yakni Perang Badar
dan Perang Uhud telah berlalu, namun
perjuangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabat radhiallahu ‘anhum
belum berakhir. Bahkan ini merupakan awal dari perjuangan beliau karena tugas
mulia, jihad fi sabilillah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat sekitar 8 tahun setelah dua perang tersebut. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam
diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala
untuk mendakwahi dan memerangi manusia sampai mereka masuk Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan rezeki beliau di bawah
naungan pedangnya berupa harta rampasan perang yang disebut ghanimah atau fai.
Orang-orang kafir pun bertambah marah, tersiksa, dan dengki. Sebab harta yang
mereka kumpulkan jatuh ke tangan kaum muslimin. Bahkan jiwa, anak, dan istri
mereka menjadi budak yang diperjualbelikan oleh kaum muslimin sehingga menjadi
sia-sia usaha mereka dunia dan akhirat.
Orang-orang
kafir ingin hidup aman dan bahagia di atas kekafiran, tanpa tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki hidup seperti itu.
Akibatnya mereka hidup di atas kegoncangan, ketakutan, dan tidak aman dari
pedang-pedang kaum muslimin. Sebab, satu-satunya kebahagiaan, keamanan, dan
keselamatan di dunia dan akhirat adalah tauhid dan berpegang teguh dengan
Islam. Hal ini juga karena bumi diwariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kaum mukminin dan tidak
diwariskan kepada orang-orang kafir.
Jika
ada pertanyaan, apakah benar orang-orang kafir memiliki hak hidup atau hak
asasi? Jawabannya adalah benar. Mereka memiliki hak hidup atau hak asasi yaitu
berupa makan, tidur, bekerja, menikah, bersenang-senang, dan lain-lain. Namun
hak hidup (baca: hak asasi manusia) mereka yang demikian itu seperti hak
hidupnya hewan. Adapun hak kebahagiaan, keselamatan, dan keamanan, mereka tidak
berhak memperolehnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
“Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan
seperti makannya binatang, dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.”
(QS. Muhammad: 12)
Seandainya
hidup mereka sekadar menyerupai hewan maka sungguh ia merupakan kehinaan yang
tiada tara. Lantas bagaimana dengan balasan di akhirat yaitu adzab api neraka
sebagaimana disebutkan dalam akhir ayat di atas:
“…dan neraka tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12)
Delegasi Abu
Salamah
Kekalahan
kaum muslimin pada Perang Uhud
berdampak negatif terhadap kaum muslimin karena musuh bertambah semangat
memerangi Madinah. Pada akhir tahun ke-3 hijriah, sampailah berita kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
Bani Asad yang dipimpin oleh Thulaihah bersekongkol dengan Bani Hudzail yang
dipimpin oleh Khalid bin Sufyan untuk menyerang Madinah.
Sebagai
tanggapannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengirim 150 pasukan perang dari kalangan Muhajirin dan
Anshar yang dipimpin oleh Abu Salamah radhiallahu ‘anhu
dan menyerang musuh secara tiba-tiba di mata air milik musuh hingga mereka lari
kocar-kacir. Para sahabat pun pulang ke Madinah dengan membawa harta rampasan
perang. Selanjutnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mengutus Abdullah bin Unais radhiallahu
‘anhu untuk membunuh Khalid bin Sufyan. Maka Zaid radhiallahu ‘anhu pun berangkat dan membunuhnya sebelum
Khalid bergerak bersama pasukannya menuju Madinah.
Oleh:
Ustadz Abu Hafshoh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar