KISAH
PERANG BADAR
Orientasi
Quraisy adalah suku bangsa Arab
yang menguasai kota Mekkah. Istilah "Quraisy" dan "penduduk
Mekkah" secara umum dapat digunakan saling menggantikan, yaitu pada masa
antara peristiwa Hijrah
pada tahun 622 dan Pembebasan Mekkah
oleh kaum Muslim pada tahun 630. Pertempuran Badar (bahasa Arab: غزوة بدر, ghazwāt badr), adalah
pertempuran besar pertama antara umat Islam
melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 13 Maret
624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum
Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang.
Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan
barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan.
Sebelum
pertempuran ini, kaum Muslim dan penduduk Mekkah telah
terlibat dalam beberapa kali konflik bersenjata skala kecil antara akhir 623
sampai dengan awal 624, dan konflik bersenjata tersebut semakin lama semakin
sering terjadi. Meskipun demikian, Pertempuran Badar adalah pertempuran skala
besar pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu. Muhammad saat itu sedang
memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang
dari Syam, ketika ia dikejutkan oleh
keberadaan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Pasukan Muhammad yang sangat
berdisiplin bergerak maju terhadap posisi pertahanan lawan yang kuat, dan
berhasil menghancurkan barisan pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa
pemimpin penting Quraisy, antara lain ialah Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.
Bagi
kaum Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti
pertama bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di
Mekkah. Mekkah saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia
zaman jahiliyah. Kemenangan kaum Muslim juga
memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa suatu kekuatan baru telah
bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas Muhammad sebagai pemimpin atas
berbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai
suku Arab mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum
Muslim di Madinah; dengan demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai. Kekalahan
Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka bersumpah untuk membalas
dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun kemudian dalam Pertempuran Uhud.
Latar Belakang
Muhammad
Pada
awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah
suku Badui; bangsa nomad
penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa adalah suku petani
yang tinggal di oasis daerah utara
atau daerah yang lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman
dan Oman). Mayoritas bangsa Arab
menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga memeluk
agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan Zoroastrianisme.
Nabi
Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari
keluarga Bani
Hasyim dari
suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia
mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyendiri di
suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai
berdakwah kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum.
Dakwahnya ada yang diterima dengan baik tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada
periode ini, Muhammad dilindungi oleh pamannya Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal
dunia sekitar tahun 619, kepemimpinan Bani Hasyim diteruskan kepada salah
seorang musuh Muhammad, yaitu Amr bin Hisyam, yang menghilangkan perlindungan
kepada Muhammad serta meningkatkan penganiayaan terhadap komunitas Muslim. Pada tahun 622, dengan
semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang dilakukan kaum Quraisy kepada kaum
Muslim di Mekkah, Muhammad dan banyak pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal ini menandai dimulainya
kedudukan Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.
Ghazawat
Setelah
kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di Mekkah dan Madinah
semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun 623 ketika kaum Muslim
memulai beberapa serangan (sering disebut ghazawāt dalam bahasa Arab) pada
rombongan dagang kaum Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan Mekkah. Meskipun kebanyakan
kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy juga, mereka yakin akan haknya untuk
mengambil harta para pedagang Quraisy Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah
menjarah harta dan rumah kaum muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena
hijrah) dan telah mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah
penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan. Kaum
Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut,
karena mereka melihat kaum Muslim sebagai penjahat dan juga ancaman terhadap
lingkungan dan kewibawaan mereka.
Pada
akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawāt semakin sering dan
terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623, Muhammad memimpin sendiri 200
orang kaum Muslim melakukan serangan yang gagal terhadap rombongan besar
kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu, kaum Quraisy Mekkah melakukan
"serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan sebenarnya hanyalah
untuk mencuri ternak kaum Muslim. Pada bulan January 624, kaum Muslim menyerang
kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar
kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy
Mekkah. Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu
terjadi pada bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh
penduduk Mekkah. Menurut tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang
dan gencatan
senjata
seharusnya dijalankan. Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya Pertempuran
Badar terjadi.
Pertempuran
Di
musim semi tahun 624, Muhammad mendapatkan informasi dari mata-matanya bahwa
salah satu kafilah dagang yang paling banyak membawa harta pada tahun itu,
dipimpin oleh Abu
Sufyan dan
dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan
dari Suriah menuju Mekkah. Mengingat
besarnya kafilah tersebut, atau karena beberapa kegagalan dalam penghadangan
kafilah sebelumnya, Muhammad mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300
orang, yang sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang
pernah diterjunkan ke medan perang.
Pergerakan
menuju Badar
Muhammad
memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima utamanya, termasuk
pamannya Hamzah dan para calon Kalifah pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ali
bin Abi Thalib.
Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda, yang berarti bahwa
mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang duduk di atas satu unta
Namun, banyak sumber-sumber kalangan Muslim pada awal masa itu, termasuk dalam
Al-Qur'an sendiri, tidak mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang
serius, dan calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena
istrinya sakit.
Ketika
kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan mulai mendengar mengenai
rencana Muhammad untuk menyerangnya. Ia mengirim utusan yang bernama Damdam ke
Mekkah untuk memperingatkan kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera saja
kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang untuk
melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang
turut bergabung, termasuk di antaranya Amr bin Hisyam, Walid
bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan Umayyah
bin Khalaf.
Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut karena
mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah dagang tersebut, yang
lain ikut untuk membalas dendam atas Ibnu al-Hadrami, penjaga yang tewas di
Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena berharap untuk mendapatkan kemenangan
yang mudah atas kaum Muslim. Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir
setidak-tidaknya seorang bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta
dalam penyerangan ini.
Di
saat itu pasukan Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan yang telah
direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang biasanya menjadi
tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang dalam rute perdagangan dari
Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas pengintai kaum Muslim berhasil
diketahui keberadaannya oleh para pengintai kafilah dagang Quraisy tersebut dan
Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.
Rencana
pasukan Muslim
(QS. Al-Anfal: 7)
7. dan (ingatlah), ketika Allah
menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi)
adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan
senjatalah[597] yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang
benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir,
[597] Maksudnya kafilah Abu Sofyan
yang membawa dagangan dari Siria. sedangkan kelompok yang datang dari Mekkah
dibawah pimpinan Utbah bin Rabi'ah bersama Abu Jahal.
Pada
saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai keberangkatan
pasukan dari Mekkah. Muhammad segera menggelar rapat dewan peperangan, disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk
mundur dan di antara para pejuang Muslim banyak yang baru saja masuk Islam
(disebut kaum Anshar atau "Penolong",
untuk membedakannya dengan kaum Muslim Quraisy), yang sebelumnya hanya berjanji
untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal dalam Piagam Madinah, mereka berhak untuk menolak
berperang serta dapat meninggalkan pasukan. Meskipun demikian berdasarkan
tradisi Islam (sirah), dinyatakan bahwa mereka pun berjanji untuk
berperang. Sa'ad bin Ubadah, salah seorang kaum Anshar, bahkan berkata
"Seandainya engkau (Muhammad) membawa kami ke laut itu, kemudian engkau
benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu." Akan
tetapi, kaum Muslim masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran
terbuka, dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.
Pada
tanggal 11 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari perjalanan
dari Badar. Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa sumber, termasuk Ali bin
Abi Thalib) yang telah berkuda di depan barisan utama, berhasil menangkap dua
orang pembawa persedian air dari pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim
sangat terkejut ketika mendengar para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal
dari kafilah dagang, melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena
menduga bahwa mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua tawanan tersebut
sampai mereka berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan tetapi
berdasarkan catatan tradisi, Muhammad kemudian menghentikan tindakan tersebut.
Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para
bangsawan Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah
Mekkah. Ia telah melemparkan kepada kalian potongan-potongan hatinya."
Hari berikutnya Muhammad memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi
Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.
Sumur
Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah yang bernama
"Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit besar
bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah timur,
Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada sumur pertama yang
dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil diyakinkan oleh salah seorang
pejuangnya, untuk memindahkan pasukan ke arah barat dan menduduki sumur yang
terdekat dengan posisi pasukan Quraisy. Muhammad kemudian memerintahkan agar
sumur-sumur yang lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus
berperang melawan pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air
yang tersisa.
Rencana
pasukan Mekkah
"Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita
akan maju ke depan dengan segala kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita
untuk selama-lamanya."
- Amr bin Hisyam. Di sisi lain,
meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan pasukan Quraisy sejak
saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan kedatangannya di perbatasan
Badar, beberapa hal penting dapat dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab
untuk membawa istri dan anak-anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka
selama pertempuran, tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini.
Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak menghubungi
suku-suku Badui sekutu mereka yang banyak
tersebar di seluruh Hijaz. Kedua fakta itu
memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu untuk mempersiapkan
penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk melindungi kafilah dagang
mereka.
Ketika
pasukan Quraisy sampai di Juhfah, sedikit di arah selatan
Badar, mereka menerima pesan dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagang telah aman
berada di belakang pasukan tersebut, sehingga mereka dapat kembali ke Mekkah.
Pada titik ini, menurut penelitian Karen Armstrong, muncul pertentangan kekuasaan
di kalangan pasukan Mekkah. Amr bin Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi
beberapa suku termasuk Bani Zuhrah dan Bani 'Adi, segera kembali ke Mekkah.
Armstrong memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan yang akan
diraih oleh Amr bin Hisyam, dari penghancuran kaum Muslim. Sekelompok
perwakilan Bani
Hasyim yang
juga enggan berperang melawan saudara sesukunya, turut pergi bersama kedua suku
tersebut. Di luar beberapa kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh dengan
keinginannya untuk bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali
sampai kita berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa
orang dari kafilah dagang turut bergabung dengan pasukan utama.
Hari
pertempuran
Di
saat fajar tanggal 13 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya dan bergerak
menuju lembah Badar. Telah turun hujan pada hari sebelumnya, sehingga mereka
harus berjuang ketika membawa kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit
'Aqanqal (beberapa sumber menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka
berhasil mencapai puncak bukit). Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan
Mekkah mendirikan kemah baru di dalam lembah. Saat beristirahat, mereka
mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair
bin Wahab,
untuk mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa pasukan
Muhammad berjumlah kecil, dan tidak ada pasukan pendukung Muslim lainnya yang
akan bergabung dalam peperangan. Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada
banyak korban dari kaum Quraisy bila terjadi penyerangan (salah satu hadits
menyampaikan bahwa ia melihat "unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa
kematian"). Hal tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena
adanya kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan korban,
dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy. Meskipun
demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amr bin Hisyam membungkam semua
ketidak-puasan dengan membangkitkan rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut
mereka agar menuntaskan hutang darah mereka.
Pertempuran
diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua pasukan untuk berperang tanding.
Tiga orang Anshar maju dari barisan Muslim, akan tetapi diteriaki agar mundur
oleh pasukan Mekkah, yang tidak ingin menciptakan dendam yang tidak perlu dan
menyatakan bahwa mereka hanya ingin bertarung melawan Muslim Quraisy. Karena
itu, kaum Muslim kemudian mengirimkan Ali, Ubaidah
bin al-Harits,
dan Hamzah. Para pemimpin Muslim berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Mekkah
dalam pertarungan tiga lawan tiga, meskipun Ubaidah mendapat luka parah yang
menyebabkan ia wafat.
Selanjutnya
kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah lawannya. Dua orang Muslim
dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas jumlahnya tewas. Sebelum
pertempuran berlangsung, Muhammad telah memberikan perintah kepada kaum Muslim
agar menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh mereka, dan bertarung melawan
kaum Quraisy dengan senjata-senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat. Segera setelah itu ia
memberikan perintah untuk maju menyerbu, sambil melemparkan segenggam kerikil
ke arah pasukan Mekkah; suatu tindakan yang mungkin merupakan suatu kebiasaan
masyarakat Arab, dan berseru "Kebingungan melanda mereka!" Pasukan Muslim berseru "Ya
manshur, amit!!" dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy. Besarnya
kekuatan serbuan kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an,
yang menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran Badar
untuk membinasakan kaum Quraisy. Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim
awal memahami kejadian ini secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits
mengenai Muhammad yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam
pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan Mekkah yang kalah kekuatan
dan tidak bersemangat dalam berperang segera saja tercerai-berai dan melarikan
diri. Pertempuran itu sendiri berlangsung hanya beberapa jam dan selesai
sedikit lewat tengah hari.
Setelah
pertempuran
Korban
dan tawanan
Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa
dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan. Hal
ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali bila ternyata
jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih sedikit, maka persentase
pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim umumnya
dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar 4% dari jumlah
mereka yang terlibat peperangan. Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai
jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak, dan besarnya selisih jumlah
korban keseluruhan antara kedua belah pihak menimbulkan dugaan bahwa
pertempuran berlangsung dengan sangat singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah
terbunuh ketika sedang bergerak mundur.
Selama
terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan beberapa orang Quraisy
Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di antara pasukan Muslim mengenai
nasib bagi para tawanan tersebut. Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan
menyerbu kembali dan kaum Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para
tawanan. Sa'ad dan Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar
mengusulkan pengampunan. Muhammad akhirnya menyetujui usulan Abu Bakar, dan
sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian karena alasan hubungan
kekerabatan (salah seorang adalah menantu Muhammad), keinginan untuk menerima
tebusan, atau dengan harapan bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan
memang kemudian sebagian melakukannya). Setidak-tidaknya dua orang
penting Mekkah, Amr
bin Hisyam dan
Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran Badar. Demikian pula dua
orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada
Muhammad saat ia masih berdakwah di Mekkah, dibunuh dalam perjalanan kembali ke
Madinah. Bilal, bekas budak Umayyah, begitu
berkeinginan membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya
bahkan sampai melukai seorang Muslim yang ketika itu sedang mengawal Umayyah.
Beberapa
saat sebelum meninggalkan Badar, Muhammad memberikan perintah agar mengubur
sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke dalam sumur Badar. Beberapa
hadits menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi penyebabkan kemarahan
besar pada kaum Quraisy Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang
baru saja ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai
pembalasan atas kekalahan yang terjadi. Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai
hutang darah, siapa saja yang memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas
di Badar, haruslah merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap
orang-orang dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak
Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembalasan, karena
telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh kaum Quraisy Mekkah selama
bertahun-tahun. Akan tetapi selain pembunuhan awal yang telah terjadi, para
tawanan lainnya yang masih hidup kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga
Muslim di Madinah dan mendapat perlakuan yang baik; yaitu sebagai kerabat atau
sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.
Dampak
selanjutnya
Pertempuran
Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang tokoh yang akan menentukan
arah masa depan Jazirah Arabia pada abad selanjutnya. Tokoh pertama adalah
Muhammad, yang dalam semalam statusnya berubah dari seorang buangan dari
Mekkah, menjadi salah seorang pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong,
"selama bertahun-tahun Muhammad telah menjadi sasaran pencemoohan dan
penghinaan; tetapi setelah keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu, semua
orang di Arabia mau tak mau harus menanggapinya secara serius."[32] Marshall Hodgson menambahkan
bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku Arab lainnya untuk "menganggap
umat Muslim sebagai salah satu penantang dan pewaris potensial terhadap
kewibawaan dan peranan politik yang dimiliki oleh kaum Quraisy."
Kemenangan di Badar juga membuat Muhammad dapat memperkuat posisinya sendiri di
Madinah. Segera setelah itu, ia mengeluarkan Bani
Qainuqa' dari
Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan
politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay, seorang Muslim pemimpin Bani Khazraj dan penentang Muhammad,
menemukan bahwa posisi politiknya di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya,
ia hanya mampu memberikan penentangan dengan pengaruh terbatas kepada Muhammad.
Tokoh
lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah
Abu Sufyan. Kematian Amr bin Hisyam,
serta banyak bangsawan Quraisy lainnya telah memberikan Abu Sufyan peluang,
yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin bagi kaum Quraisy. Sebagai akibatnya, saat
pasukan Muhammad bergerak memasuki Mekkah enam tahun kemudian, Abu Sufyan
menjadi tokoh yang membantu merundingkan penyerahannya secara damai. Abu Sufyan
pada akhirnya menjadi pejabat berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam, dan anaknya
Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan
mendirikan Kekhalifahan
Umayyah.
Keikutsertaan
dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai,
sehingga Ibnu
Ishaq
memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam biografi
Muhammad yang dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang bertempur di
Badar dinyatakan dengan jelas sebagai sebentuk penghormatan, bahkan kemungkinan
mereka juga menerima semacam santunan pada tahun-tahun belakangan. Meninggalnya veteran
Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat perang
saudara Islam pertama.
Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan
kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan, yang menurutnya pada awalnya
dikerjakan umat Muslim untuk mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar.
Meskipun demikian pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi
Islam, pasukan Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka bergerak maju ke
medan pertempuran.
Sumber
sejarah
Badar
dalam al-Qur'an
Pertempuran
Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit
dibicarakan dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini bahkan
disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai bagian dari
perbandingan terhadap Pertempuran Uhud. Sungguh
Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika
itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu
mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin,
"Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat
yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan
bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya
Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali
'Imran: 123-125
Menurut
Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar,
barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat;
sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-orang Mekkah,
sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah dapat menyerang dari samping dan
menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar merupakan "pembeda"
(furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi
dalam surah yang sama ayat 13.
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada
dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan
Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat
(seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan
dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." Ali
'Imran:13
Badar
juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai
berbagai tingkah laku dan kegiatan militer. "Al-Anfal" berarti "rampasan
perang" dan merujuk pada pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim
mengenai bagaimana membagi barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah
tersebut tidak menyebut Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta
beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah
pertempuran tersebut terjadi.
Catatan
tradisi Islam
Sesungguhnya
seluruh pengetahuan mengenai Pertempuran Badar berasal dari catatan-catatan
tradisi Islam, baik berupa hadits maupun biografi Muhammad, yang
dituliskan beberapa puluh tahun setelah kejadiannya. Ada beberapa alasan
mengapa hal ini terjadi. Pertama, banyak suku-suku Arab yang hidup di jazirah
Arabia buta
huruf dan
tradisi oral merupakan cara mereka untuk menyampaikan informasi. Pada saat
Balatentara Islam dapat menaklukkan suku-suku Arab yang lebih berpendidikan di Suriah dan Irak,
dapat dikatakan seluruh kaum Quraisy telah masuk Islam, sehingga menghilangkan
peluang adanya catatan-catatan non-Muslim mengenai pertempuran tersebut. Kedua,
dengan tersusunnya berbagai kompilasi hadits, maka naskah-naskah catatan
aslinya menjadi tidak dibutuhkan lagi, dan menurut Hugh Kennedy kemudian
dimusnahkan dengan "kecepatan yang menyedihkan". Terakhir, umumnya
umat Muslim yang taat beranggapan bahwa para Muslim yang tewas di Badar adalah
para syahid yang mulia, sehingga besar
kemungkinan menjadi kendala bagi usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan
penggalian arkeologis di Badar.
Referensi
modern
Militer
Mengingat
posisi pertempuran ini dalam sejarah Islam dan makna tersiratnya berupa
kemenangan atas suatu penghalang yang sangat besar, maka pemakaian nama
"Badar" menjadi populer di kalangan tentara atau kelompok paramiliter
Islam. "Operasi
Badar"
adalah nama yang digunakan oleh Mesir
untuk perannya dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973, dan Pakistan menggunakannya dalam Perang Kargil pada tahun 1999. Di Irak,
sayap militer dari Dewan Tertinggi Revolusi Islam
di Irak
(SCIRI) menamakan diri sebagai Organisasi Badar.
Pertempuran
Badar ditampilkan dalam film layar lebar berjudul The
Message,
yang diproduksi tahun 1976. Meskipun pada umumnya film ini sesuai dengan
jalannya kejadian, terdapat beberapa perubahan yang nyata. Pasukan Quraisy
digambarkan mengikut-sertakan barisan kaum wanita, sedangkan keberadaan mereka
sesungguhnya jelas tidak ada. Demikian pula tidak ditampilkan adanya kelompok
yang tidak bersedia ikut bertempur, meskipun dalam film digambarkan Abu Sufyan
menolak turut serta. Para pejuang di depan sumur Badar digambarkan melakukan
tiga pertarungan satu lawan satu, dan bukannya pertarungan berkelompok tiga
lawan tiga. Selain itu, karena Muhammad dan Ali tidak ditampilkan (hanya pedang
Ali yang terlihat) karena alasan-alasan religius, maka Hamzah lah yang menjadi
pemimpin resmi pasukan Muslim. Penampilan pertempurannya sendiri tampaknya
menyerupai adegan pertempuran dalam film Zulu, yang memperlihatkan pasukan
Quraisy melancarkan serangan habis-habisan terhadap barisan-barisan Muslim,
yang dalam kenyataannya penyerangan seperti itu umumnya akan dapat
menghancurkan pasukan yang lebih kecil. Baik Amr bin Hisyam maupun Umayyah
digambarkan tewas dalam pertempuran, dan kematian mereka merupakan klimaks dari
pertarungan tersebut.
Apa latar belakang Perang Badar? Mengapa Nabi memilih memerangi secara
fisik kaum Quraisy? Bagaimana dampak dari perang tersebut bagi umat Islam?
Matahari
bersinar terik saat pasukan Amr bin Hisyam alias Abu Jahal nyaris berhadapan
dengan pasukan Muslimin yang terhalang bukit di Lembah Badar. Tanah yang
sebelumnya basah oleh hujan kini mengeras terkena panas. Menyulitkan langkah
Amr dan pasukannya mendaki gundukan-gundukan bukit terjal berbatu. Namun amarah
Amr sudah diubun-ubun. Pada 12 Maret 624 Masehi itu, dalam peristirahatan
sehari menjelang perang, Amr bersumpah di hadapan sekitar 1.000 orang Quraisy
Mekkah untuk menghabisi Muhammad dan pengikutnya. “Demi Tuhan! Kita tak akan
kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan menginap tiga hari di sana,
menyembelih unta-unta, berpesta dengan minum anggur dan gadis akan bermain
untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar bahwa kita telah datang dan akan
menghormati klan Thalib pada masa yang akan datang,” kata Amr.
Kebencian Abu Jahal terhadap Muhammad dan kaum muslim sudah muncul sejak Nabi menerima dan menyebarkan wahyu pertama. Baginya, ajaran baru Muhammad bukan hanya keluar dari pakem budaya warisan nenek moyang, tapi juga menyinggung eksistensi Abu Jahal sebagai tokoh Quraisy Mekkah. Intimidasi dan penganiayaan terhadap Nabi meningkat setelah Abu Thalib, paman sekaligus pelindung beliau, wafat pada 619. Suatu hari ketika Nabi tengah berjalan-jalan di Kota Mekah, seorang anak muda Quraisy melemparkan kotoran kepada beliau. Saat tiba di rumah Fatimah, anak perempuan Nabi yang masih kecil menangis melihat perlakuan yang dialami ayahnya. Nabi lantas berusaha menenangkan gadis kecil kesayangannya.
“Jangan menangis gadis kecilku. Karena Tuhan akan melindungi ayahmu”. Kalimat itu kemudian ditambahkan oleh Nabi untuk dirinya sendiri. “Quraisy tak pernah memperlakukan aku seburuk ini ketika Abu Thalib masih hidup,” tulis Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (1991).
Hijrah
Puncaknya,
pada September 622, dalam satu pertemuan yang melibatkan para pemuka Quraisy,
Abu Jahal mengusulkan pembunuhan terhadap Nabi. Agar tak menciptakan dendam di
keluarga bani hasyim (klan Nabi), Abu Jahal meminta setiap pemuda berpengaruh
yang ada di bani-bani Quraisy turut terlibat. Dengan begitu, setidaknya setiap
bani akan bertanggung jawab memberikan uang ganti darah yang memuaskan keluarga
Bani Hasyim. Di sisi lain, Bani Hasyim juga tidak akan mungkin menuntut balas
kepada mayoritas bani Quraisy. Namun, persekongkolan itu telah diketahui Nabi
melalui malaikat Jibril. Secara cerdik, Nabi hijrah meninggalkan rumahnya
bersama Abu Bakar menuju Yastrib (Madinah). Di saat yang sama, ia mengizinkan
Ali mengisi tempat tidurnya untuk mengecoh para pemuda Quraisy yang telah
mengepung rumahnya.
Mayoritas penduduk Madinah menyambut kedatangan Nabi dengan hangat. Hal ini ditandai dengan kesempatan saling melindungi antara kaum muslim, Yahudi, dan suku-suku di Yastrib melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah menandai fase awal Islam sebagai pemersatu. “Bukannya pemecah belah,” tulis Armstrong. Meski demikian, hal ini bukan berarti konflik dengan Quraisy Mekkah reda sama sekali. Kaum Muhajirin (penduduk Mekkah muslim yang ikut hijrah) mengalami kesulitan-kesulitan mencari nafkah di Madinah. Sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan hidup kepada kaum Anshar (penduduk Madinah yang telah memeluk Islam).
Saat itulah turun wahyu Surat Al Hajj ayat 39-40 yang mengizinkan Nabi bersama pengikutnya memerangi orang yang memerangi mereka. Ini ayat Alquran yang berisi perintah jihad. Dengan nada yang simpatik, Armstrong berpendapat perintah jihad dalam Alquran memiliki makna yang lebih luas dari sekadar perang suci. Jihad, menurutnya, memiliki makna yang kaya sebagai perjuangan moral, spiritual, serta politik untuk menciptakan masyarakat adil dan sejahtera tanpa penindasan sebagaimana perintah Tuhan.
“Ada
banyak kata Arab yang berarti perang seperti harb (war), sira’ah
(combat), ma’arakah (battle), atau qital (killing)
yang dengan mudah (bisa) digunakan Alquran jika perang merupakan cara pokok
muslim mencapai keberhasilan,” katanya, menyindir kritikus Islam di Barat yang
menyebut Islam agama doyan berperang. Setelah wahyu tentang jihad turun, Nabi
bersama kaum Muhajirin menerapkan ghazwu atau serangan demi bertahan
hidup yang biasa dilakukan masyarakat Arab nomaden. Ghazwu menyasar
kafilah dagang Quraisy Mekkah dengan berfokus pada upaya mengambil harta benda,
hewan ternak, dan hasil dagang seraya menghindari jatuhnya korban jiwa.Namun,
serangan-serangan yang dimulai sejak 623 ini kerap mengalami kegagalan. Ini
karena umat Islam memiliki sedikit sekali informasi mengenai waktu dan rute
perjalanan musuh. Sehingga tidak ada kerugian dan korban yang jatuh di pihak
lawan.
Pada
September 623, Nabi memutuskan untuk memimpin langsung penyerbuan terhadap
rombongan dagang yang dipimpin Ummayah—orang yang pernah menyiksa Abu Bakar.
Lagi-lagi usaha menyergap kafilah yang membawa 2.500 unta itu mengalami
kegagalan. Pada Januari 624, insiden serius terjadi pada akhir bulan Rajab yang
dianggap suci. Kala itu, satu dari tiga orang pedagang Quraisy Mekkah yang
sedang berkemah di lembah Nakhlah (antara Mekkah dan Thaif) tewas terkena panah
pasukan Abdullah bin Jahsy dalam sebuah misi ghazwu. Peristiwa ini
dengan segera menimbulkan kemarahan dan dendam di kalangan Quraisy Mekkah. Bagi
mereka, hal ini bukan saja ancaman keamanan, tapi penghinaan terhadap keyakinan
masyarakat Arab yang menyucikan bulan Rajab dari peperangan.
Nabi
sendiri juga tak menyangka misi yang ia perintahkan bakal menimbulkan korban
jiwa. Namun, beliau tidak ingin menyalahkan Abdullah sepenuhnya. Betapapun,
penindasan yang dilakukan Quraisy Mekkah kepada kaum muslim dengan cara
mengeluarkan mereka dari sukunya merupakan kejahatan yang lebih serius dan
melanggar nilai-nilai bangsa Arab. Di sisi lain Nabi tampaknya juga ingin
“menyelesaikan” kepercayaan bulan-bulan suci masyarakat Arab yang merupakan bagian
dari sistem penyembahan berhala.
Perang Badar di Bulan Ramadan
Sampai
di sini perang besar antara kaum muslimin di Madinah dengan suku Quraisy Mekkah
hanya tinggal menunggu waktu. Benar saja, pada bulan Ramadan 2 Hijiriah (Maret
624), karavan dagang besar pimpinan Abu Sufyan hendak kembali ke Mekkah dari
Suriah. Nabi memimpin langsung aksi ghazwu dengan
melibatkan sekitar 313 orang muslim, 8 pedang, 6 baju perang, 70 ekor unta, dan
2 ekor kuda.
Di dalam pasukan tersebut juga ada paman Nabi, Hamzah, dan tiga calon khalifah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Meski begitu, tak seorang pun menyangka ghazwu kali ini akan menjadi peristiwa penting dalam sejarah. Wajar apabila sebagian umat Islam termasuk menantu Nabi, Utsman bin Affan, tetap tinggal di rumah karena Ruqayah istrinya sakit.
Nabi memulai rencananya dengan menggerakkan pasukan ke salah satu sumur terdekat di Lembah Badar. Namun pergerakan Nabi ternyata berhasil diketahui Abu Sufyan. Ia lantas mengirim seorang utusan ke Mekkah untuk mendapat bantuan. Orang-orang Quraisy murka saat mendengar rencana penyergapan Nabi terhadap Abu Sufyan. Di bawah komando Abu Jahal, seluruh klan menyiapkan pasukan menuju Badar. Total ada sekitar 1.000 orang, 600 persenjataan lengkap, 700 unta, dan 300 kuda yang siap menghadapi pasukan Muhammad. Di saat yang sama, Abu Sufyan dengan cerdik mengubah rute karavan dagangnya. Ia dan rombongan berhasil selamat setelah berbelok melalui Yanbu menyusuri pesisir Laut Merah.
Pada 11 Maret 624, pasukan Abu Jahal telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang muslim, termasuk di antaranya Ali bin Abi Thalib, berhasil menangkap dua orang pembawa persediaan air pasukan Abu Jahal di sumur Badar. Dari hasil interogasi, kedua orang itu mengaku sebagai pasukan Abu Jahal, bukan kafilah dagang Abu Sufyan. Pengakuan ini mengejutkan kaum muslimin. Mereka tak menyangka Abu Sufyan berhasil meminta pertolongan dan mengirim bantuan yang jaraknya semakin dekat. Artinya, perang sukar terhindarkan. Nabi lalu menanyai sahabat mengenai solusi terbaik dari situasi yang dihadapi. Apakah kembali ke Madinah? Apakah menghadapi peperangan dengan Quraisy Mekkah? Atau mengejar karavan Abu Sufyan? Rapat akhirnya memutuskan untuk menghadapi serangan pasukan Abu Jahal.
Keputusan ini menciptakan situasi yang problematis di kalangan Anshar. Mereka memang sebelumnya telah berjanji melindungi Nabi, tapi janji itu hanya jika Nabi di serang di Madinah. Bukan di luar Madinah seperti di lembah Badar. Sa’ad bin Mu’adz mengakhiri kebimbangan Anshar dengan pidatonya yang heroik:
“…
Demi Tuhan, kalau engkau meminta kami menyeberangi lautan ini dan engkau
menceburkan ke dalamnya, kami akan mencebur bersamamu; tak ada seorang orang
pun yang tertinggal."
Di
pihak lain, kabar karavan Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari sergapan
kaum muslimin juga menghilangkan semangat perang di dalam pasukan Abu Jahal.
Bani Zuhrah dan Bani Adi menarik diri karena khawatir pengaruh politik Abu
Jahal bakal menguat jika mengalahkan kaum muslimin. Sementara Thalib bin Abi
Thalib membawa serombongan keluarga Bani Hasyim karena tak sanggup bertempur
dengan saudara sendiri tanpa alasan.
“Orang Arab tidak suka mengambil risiko yang tak perlu dalam peperangan, dan selalu berusaha menghindari jatuhnya banyak korban,” kata Armstrong.
Tapi Abu Jahal sudah di luar nalar. Ia memaki orang-orang Quraisy yang memilih pulang. Termasuk Utbah bin Rabi’ah, pelindung laki-laki yang tewas oleh kelompok Abdullah bin Jahsy di Nakhlah.
“Uthbah
pengecut!” maki Abu Jahal.
Orang-orang
Arab tak suka disebut pengecut. Dengan seketika, ucapan Abu Jahal membangkitkan
lagi semangat perang Quraisy Mekkah.
Strategi pertempuran
Atas
saran seorang sahabat, Nabi menggeser pergerakan kaum muslimin ke sumur mata
air terdekat musuh. Beliau juga memerintahkan agar sumur-sumur yang tersisa
ditimbuni. Taktik ini brilian. Kaum Quraisy Mekkah terpaksa perang dengan
bergerak ke arah yang diinginkan kaum muslimin demi mendapatkan sumber mata air
terakhir. Sementara itu, Nabi telah berhasil memosisikan para prajuritnya agar
Quraisy Mekkah menghadap ke timur dengan sinar matahari langsung ke mata
mereka.
Hari
yang menentukan akhirnya datang. Tepat 17 Ramadan 2 Hijriah, atau 13 Maret 624,
kedua kubu saling bertemu di lembah Badar. Perang dimulai dengan pertarungan
kecil yang melibatkan tiga wakil dari kedua kubu. Kaum muslimin menurunkan
Hamzah, Ali, dan Ubaidah bin Alharits. Sementara kaum Quraisy menerjunkan Utbah,
Syaibah, dan Walid bin Utbah. Ketiga jago Quraisy itu akhirnya tewas
mengenaskan. Sementara Ubaidah mendapat luka serius dan mesti diusung ke luar
medan.
Meskipun Quraisy Mekkah unggul jumlah dan senjata, tetapi mereka kalah. Ini karena mereka bertempur dalam gaya Arab kuno yang sembrono dan hanya mengandalkan keberanian. Setiap klan memimpin pasukannya sendiri dengan motivasi perang masing-masing: balas dendam, merebut harta, hingga meraih status sosial. Tak ada kesatuan komando. Sebaliknya, pasukan muslimin disiplin dalam satu komando dan terlatih. Di awal perang, pasukan Nabi menghindari pertarungan jarak dekat dan lebih memilih menyerang menggunakan panah. Pertarungan jarak dekat hanya dimungkinkan jika musuh mendekat. Nabi juga membagi pasukan muslim menjadi tiga kelompok sayap kanan, sayap kiri, dan tengah. Pasukan tengah adalah kaum Muhajirin dan Anshar yang telah berbalik membela Nabi sampai titik darah penghabisan. Salah satu orang yang berada di pasukan tengah terdepan adalah Ali bin Abi Thalib.
Setelah menyadari kekalahannya, pasukan Abu Jahal panik dan melarikan diri. Mereka meninggalkan sekitar 50 pemimpinnya termasuk Abu Jahal dan Ummayah yang mati di medan pertempuran. Dalam euforia kemenangan, kaum muslimin mulai membunuh pasukan lawan yang tertinggal dengan gaya khas Arab. Berdasarkan wahyu yang turun, Nabi segera menghentikan perbuatan itu dan meminta para tawanan diperlakukan dengan baik. Nabi juga memerintahkan kaum Muslimin berhenti berebut harta rampasan perang yang terdiri dari 150 unta, 10 kuda, dan pelbagai perlengkapan perang. Semua harus dibagi secara merata. Dalam euforia kemenangan Perang Badar yang tak terduga ini, Nabi bersungguh-sungguh melihat ke depan untuk rekonsiliasi akhir.
“Seusai perang, Rasulullah justru memperlakukan kaum musyrik dengan baik untuk memulihkan harga diri mereka yang hancur disebabkan kekalahan Perang Badar,” tulis Muhammad Fethulleh Gulen dalam Cahaya Abadi Muhammad (2012).
Kemenangan
kaum muslimin pada akhirnya berdampak luar biasa terhadap umat Islam.
Kemenangan ini meningkatkan kepercayaan diri dan keimanan mereka mengalahkan
musuh. Selain itu, umat Islam juga dipandang sebagai kekuatan baru yang patut
diperhitungkan. Kemenangan ini pun memperkuat otoritas Muhammad sebagai
pemimpin dari pelbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering
bertikai.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar