Kamis, 23 Agustus 2018

KISAH PERANG BADAR


KISAH PERANG BADAR
 

Orientasi

Quraisy adalah suku bangsa Arab yang menguasai kota Mekkah. Istilah "Quraisy" dan "penduduk Mekkah" secara umum dapat digunakan saling menggantikan, yaitu pada masa antara peristiwa Hijrah pada tahun 622 dan Pembebasan Mekkah oleh kaum Muslim pada tahun 630. Pertempuran Badar (bahasa Arab: غزوة بدر, ghazwāt badr), adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 13 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy, yang kemudian mundur dalam kekacauan.

Sebelum pertempuran ini, kaum Muslim dan penduduk Mekkah telah terlibat dalam beberapa kali konflik bersenjata skala kecil antara akhir 623 sampai dengan awal 624, dan konflik bersenjata tersebut semakin lama semakin sering terjadi. Meskipun demikian, Pertempuran Badar adalah pertempuran skala besar pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu. Muhammad saat itu sedang memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang dari Syam, ketika ia dikejutkan oleh keberadaan pasukan Quraisy yang jauh lebih besar. Pasukan Muhammad yang sangat berdisiplin bergerak maju terhadap posisi pertahanan lawan yang kuat, dan berhasil menghancurkan barisan pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa pemimpin penting Quraisy, antara lain ialah Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.

Bagi kaum Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena merupakan bukti pertama bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk mengalahkan musuh mereka di Mekkah. Mekkah saat itu merupakan salah satu kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah. Kemenangan kaum Muslim juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab lainnya bahwa suatu kekuatan baru telah bangkit di Arabia, serta memperkokoh otoritas Muhammad sebagai pemimpin atas berbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai suku Arab mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslim di Madinah; dengan demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai. Kekalahan Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka bersumpah untuk membalas dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun kemudian dalam Pertempuran Uhud.

Latar Belakang
Muhammad
Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah suku Badui; bangsa nomad penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan Zoroastrianisme.

Nabi Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari keluarga Bani Hasyim dari suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyendiri di suatu gua, yakni Gua Hira di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah kepada keluarganya dan setelah itu baru berdakwah kepada umum. Dakwahnya ada yang diterima dengan baik tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada periode ini, Muhammad dilindungi oleh pamannya Abu Thalib. Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619, kepemimpinan Bani Hasyim diteruskan kepada salah seorang musuh Muhammad, yaitu Amr bin Hisyam, yang menghilangkan perlindungan kepada Muhammad serta meningkatkan penganiayaan terhadap komunitas Muslim. Pada tahun 622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang dilakukan kaum Quraisy kepada kaum Muslim di Mekkah, Muhammad dan banyak pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal ini menandai dimulainya kedudukan Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.

Ghazawat
Setelah kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di Mekkah dan Madinah semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun 623 ketika kaum Muslim memulai beberapa serangan (sering disebut ghazawāt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan Mekkah. Meskipun kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy juga, mereka yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang Quraisy Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah menjarah harta dan rumah kaum muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan telah mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah penghinaan dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan. Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan mereka.

Pada akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawāt semakin sering dan terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623, Muhammad memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim melakukan serangan yang gagal terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu, kaum Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum Muslim. Pada bulan January 624, kaum Muslim menyerang kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy Mekkah. Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu terjadi pada bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata seharusnya dijalankan. Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya Pertempuran Badar terjadi.

Pertempuran
Di musim semi tahun 624, Muhammad mendapatkan informasi dari mata-matanya bahwa salah satu kafilah dagang yang paling banyak membawa harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu Sufyan dan dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan dari Suriah menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena beberapa kegagalan dalam penghadangan kafilah sebelumnya, Muhammad mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300 orang, yang sampai saat itu merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang pernah diterjunkan ke medan perang.

Pergerakan menuju Badar
Muhammad memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima utamanya, termasuk pamannya Hamzah dan para calon Kalifah pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda, yang berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang duduk di atas satu unta Namun, banyak sumber-sumber kalangan Muslim pada awal masa itu, termasuk dalam Al-Qur'an sendiri, tidak mengindikasikan akan terjadinya suatu peperangan yang serius, dan calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena istrinya sakit.

Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan mulai mendengar mengenai rencana Muhammad untuk menyerangnya. Ia mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk memperingatkan kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera saja kaum Quraisy Mekkah mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang untuk melindungi kelompok dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang turut bergabung, termasuk di antaranya Amr bin Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan Umayyah bin Khalaf. Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah dagang tersebut, yang lain ikut untuk membalas dendam atas Ibnu al-Hadrami, penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena berharap untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum Muslim. Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya seorang bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta dalam penyerangan ini.

Di saat itu pasukan Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan yang telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang biasanya menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang dalam rute perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas pengintai kaum Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para pengintai kafilah dagang Quraisy tersebut dan Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.

Rencana pasukan Muslim
(QS. Al-Anfal: 7)
7. dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah[597] yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir,

[597] Maksudnya kafilah Abu Sofyan yang membawa dagangan dari Siria. sedangkan kelompok yang datang dari Mekkah dibawah pimpinan Utbah bin Rabi'ah bersama Abu Jahal.

Pada saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai keberangkatan pasukan dari Mekkah. Muhammad segera menggelar rapat dewan peperangan, disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk mundur dan di antara para pejuang Muslim banyak yang baru saja masuk Islam (disebut kaum Anshar atau "Penolong", untuk membedakannya dengan kaum Muslim Quraisy), yang sebelumnya hanya berjanji untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal dalam Piagam Madinah, mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat meninggalkan pasukan. Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah), dinyatakan bahwa mereka pun berjanji untuk berperang. Sa'ad bin Ubadah, salah seorang kaum Anshar, bahkan berkata "Seandainya engkau (Muhammad) membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya, niscaya kami pun akan mengikutimu." Akan tetapi, kaum Muslim masih berharap dapat terhindar dari suatu pertempuran terbuka, dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.

Pada tanggal 11 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib) yang telah berkuda di depan barisan utama, berhasil menangkap dua orang pembawa persedian air dari pasukan Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat terkejut ketika mendengar para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari kafilah dagang, melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena menduga bahwa mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua tawanan tersebut sampai mereka berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan tetapi berdasarkan catatan tradisi, Muhammad kemudian menghentikan tindakan tersebut. Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar nama-nama para bangsawan Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia berkata "Itulah Mekkah. Ia telah melemparkan kepada kalian potongan-potongan hatinya." Hari berikutnya Muhammad memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.

Sumur Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu lembah yang bernama "Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah bukit besar bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah timur, Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada sumur pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil diyakinkan oleh salah seorang pejuangnya, untuk memindahkan pasukan ke arah barat dan menduduki sumur yang terdekat dengan posisi pasukan Quraisy. Muhammad kemudian memerintahkan agar sumur-sumur yang lain ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus berperang melawan pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air yang tersisa.

Rencana pasukan Mekkah
"Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita akan maju ke depan dengan segala kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita untuk selama-lamanya." - Amr bin Hisyam. Di sisi lain, meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai perjalanan pasukan Quraisy sejak saat mereka meninggalkan Mekkah sampai dengan kedatangannya di perbatasan Badar, beberapa hal penting dapat dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab untuk membawa istri dan anak-anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka selama pertempuran, tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini. Selain itu, kaum Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak menghubungi suku-suku Badui sekutu mereka yang banyak tersebar di seluruh Hijaz. Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu untuk mempersiapkan penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk melindungi kafilah dagang mereka.

Ketika pasukan Quraisy sampai di Juhfah, sedikit di arah selatan Badar, mereka menerima pesan dari Abu Sufyan bahwa kafilah dagang telah aman berada di belakang pasukan tersebut, sehingga mereka dapat kembali ke Mekkah. Pada titik ini, menurut penelitian Karen Armstrong, muncul pertentangan kekuasaan di kalangan pasukan Mekkah. Amr bin Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa suku termasuk Bani Zuhrah dan Bani 'Adi, segera kembali ke Mekkah. Armstrong memperkirakan suku-suku itu khawatir terhadap kekuasaan yang akan diraih oleh Amr bin Hisyam, dari penghancuran kaum Muslim. Sekelompok perwakilan Bani Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara sesukunya, turut pergi bersama kedua suku tersebut. Di luar beberapa kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh dengan keinginannya untuk bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali sampai kita berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa orang dari kafilah dagang turut bergabung dengan pasukan utama.

Hari pertempuran
Di saat fajar tanggal 13 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya dan bergerak menuju lembah Badar. Telah turun hujan pada hari sebelumnya, sehingga mereka harus berjuang ketika membawa kuda-kuda dan unta-unta mereka mendaki bukit 'Aqanqal (beberapa sumber menyatakan bahwa matahari telah tinggi ketika mereka berhasil mencapai puncak bukit). Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan Mekkah mendirikan kemah baru di dalam lembah. Saat beristirahat, mereka mengirimkan seorang pengintai, yaitu Umair bin Wahab, untuk mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa pasukan Muhammad berjumlah kecil, dan tidak ada pasukan pendukung Muslim lainnya yang akan bergabung dalam peperangan. Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum Quraisy bila terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa ia melihat "unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa kematian"). Hal tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena adanya kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan korban, dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy. Meskipun demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amr bin Hisyam membungkam semua ketidak-puasan dengan membangkitkan rasa harga diri kaum Quraisy dan menuntut mereka agar menuntaskan hutang darah mereka.

Pertempuran diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua pasukan untuk berperang tanding. Tiga orang Anshar maju dari barisan Muslim, akan tetapi diteriaki agar mundur oleh pasukan Mekkah, yang tidak ingin menciptakan dendam yang tidak perlu dan menyatakan bahwa mereka hanya ingin bertarung melawan Muslim Quraisy. Karena itu, kaum Muslim kemudian mengirimkan Ali, Ubaidah bin al-Harits, dan Hamzah. Para pemimpin Muslim berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin Mekkah dalam pertarungan tiga lawan tiga, meskipun Ubaidah mendapat luka parah yang menyebabkan ia wafat.

Selanjutnya kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah lawannya. Dua orang Muslim dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran berlangsung, Muhammad telah memberikan perintah kepada kaum Muslim agar menyerang dengan senjata-senjata jarak jauh mereka, dan bertarung melawan kaum Quraisy dengan senjata-senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat. Segera setelah itu ia memberikan perintah untuk maju menyerbu, sambil melemparkan segenggam kerikil ke arah pasukan Mekkah; suatu tindakan yang mungkin merupakan suatu kebiasaan masyarakat Arab, dan berseru "Kebingungan melanda mereka!" Pasukan Muslim berseru "Ya manshur, amit!!" dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy. Besarnya kekuatan serbuan kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an, yang menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran Badar untuk membinasakan kaum Quraisy. Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai Muhammad yang membahas mengenai Malaikat Jibril dan peranannya di dalam pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya, pasukan Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang segera saja tercerai-berai dan melarikan diri. Pertempuran itu sendiri berlangsung hanya beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.

Setelah pertempuran
Korban dan tawanan
Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan. Hal ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali bila ternyata jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih sedikit, maka persentase pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi. Korban pasukan Muslim umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang tewas, yaitu sekitar 4% dari jumlah mereka yang terlibat peperangan. Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari kedua belah pihak, dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara kedua belah pihak menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung dengan sangat singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika sedang bergerak mundur.

Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan beberapa orang Quraisy Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para tawanan tersebut. Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan kaum Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan. Sa'ad dan Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar mengusulkan pengampunan. Muhammad akhirnya menyetujui usulan Abu Bakar, dan sebagian besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian karena alasan hubungan kekerabatan (salah seorang adalah menantu Muhammad), keinginan untuk menerima tebusan, atau dengan harapan bahwa suatu saat mereka akan masuk Islam (dan memang kemudian sebagian melakukannya). Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah, Amr bin Hisyam dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran Badar. Demikian pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan keranjang kotoran kambing kepada Muhammad saat ia masih berdakwah di Mekkah, dibunuh dalam perjalanan kembali ke Madinah. Bilal, bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan membunuhnya sehingga bersama sekumpulan orang yang membantunya bahkan sampai melukai seorang Muslim yang ketika itu sedang mengawal Umayyah.

Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, Muhammad memberikan perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke dalam sumur Badar. Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi penyebabkan kemarahan besar pada kaum Quraisy Mekkah. Segera setelah itu, beberapa orang Muslim yang baru saja ditangkap sekutu-sekutu Mekkah dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai pembalasan atas kekalahan yang terjadi. Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang dari suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak Muslim juga mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembalasan, karena telah mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh kaum Quraisy Mekkah selama bertahun-tahun. Akan tetapi selain pembunuhan awal yang telah terjadi, para tawanan lainnya yang masih hidup kemudian ditempatkan pada beberapa keluarga Muslim di Madinah dan mendapat perlakuan yang baik; yaitu sebagai kerabat atau sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang tebusan.

Dampak selanjutnya
Pertempuran Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang tokoh yang akan menentukan arah masa depan Jazirah Arabia pada abad selanjutnya. Tokoh pertama adalah Muhammad, yang dalam semalam statusnya berubah dari seorang buangan dari Mekkah, menjadi salah seorang pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong, "selama bertahun-tahun Muhammad telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan; tetapi setelah keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu, semua orang di Arabia mau tak mau harus menanggapinya secara serius."[32] Marshall Hodgson menambahkan bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku Arab lainnya untuk "menganggap umat Muslim sebagai salah satu penantang dan pewaris potensial terhadap kewibawaan dan peranan politik yang dimiliki oleh kaum Quraisy." Kemenangan di Badar juga membuat Muhammad dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah. Segera setelah itu, ia mengeluarkan Bani Qainuqa' dari Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay, seorang Muslim pemimpin Bani Khazraj dan penentang Muhammad, menemukan bahwa posisi politiknya di Madinah benar-benar melemah. Selanjutnya, ia hanya mampu memberikan penentangan dengan pengaruh terbatas kepada Muhammad.

Tokoh lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah Abu Sufyan. Kematian Amr bin Hisyam, serta banyak bangsawan Quraisy lainnya telah memberikan Abu Sufyan peluang, yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin bagi kaum Quraisy. Sebagai akibatnya, saat pasukan Muhammad bergerak memasuki Mekkah enam tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang membantu merundingkan penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada akhirnya menjadi pejabat berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam, dan anaknya Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan mendirikan Kekhalifahan Umayyah.

Keikutsertaan dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai, sehingga Ibnu Ishaq memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam biografi Muhammad yang dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang bertempur di Badar dinyatakan dengan jelas sebagai sebentuk penghormatan, bahkan kemungkinan mereka juga menerima semacam santunan pada tahun-tahun belakangan. Meninggalnya veteran Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat perang saudara Islam pertama. Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan, yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat Muslim untuk mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar. Meskipun demikian pandangan ini diragukan, karena menurut catatan tradisi Islam, pasukan Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka bergerak maju ke medan pertempuran.

Sumber sejarah
Badar dalam al-Qur'an
Pertempuran Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit dibicarakan dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini bahkan disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai bagian dari perbandingan terhadap Pertempuran Uhud. Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali 'Imran: 123-125

Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di Badar, barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin secara ketat; sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu orang-orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah dapat menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa Badar merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang sama ayat 13.
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." Ali 'Imran:13

Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer. "Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada pembahasan pasca pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi barang rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah pertempuran tersebut terjadi.

Catatan tradisi Islam
Sesungguhnya seluruh pengetahuan mengenai Pertempuran Badar berasal dari catatan-catatan tradisi Islam, baik berupa hadits maupun biografi Muhammad, yang dituliskan beberapa puluh tahun setelah kejadiannya. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, banyak suku-suku Arab yang hidup di jazirah Arabia buta huruf dan tradisi oral merupakan cara mereka untuk menyampaikan informasi. Pada saat Balatentara Islam dapat menaklukkan suku-suku Arab yang lebih berpendidikan di Suriah dan Irak, dapat dikatakan seluruh kaum Quraisy telah masuk Islam, sehingga menghilangkan peluang adanya catatan-catatan non-Muslim mengenai pertempuran tersebut. Kedua, dengan tersusunnya berbagai kompilasi hadits, maka naskah-naskah catatan aslinya menjadi tidak dibutuhkan lagi, dan menurut Hugh Kennedy kemudian dimusnahkan dengan "kecepatan yang menyedihkan". Terakhir, umumnya umat Muslim yang taat beranggapan bahwa para Muslim yang tewas di Badar adalah para syahid yang mulia, sehingga besar kemungkinan menjadi kendala bagi usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan penggalian arkeologis di Badar.

Referensi modern
Militer
Mengingat posisi pertempuran ini dalam sejarah Islam dan makna tersiratnya berupa kemenangan atas suatu penghalang yang sangat besar, maka pemakaian nama "Badar" menjadi populer di kalangan tentara atau kelompok paramiliter Islam. "Operasi Badar" adalah nama yang digunakan oleh Mesir untuk perannya dalam Perang Yom Kippur pada tahun 1973, dan Pakistan menggunakannya dalam Perang Kargil pada tahun 1999. Di Irak, sayap militer dari Dewan Tertinggi Revolusi Islam di Irak (SCIRI) menamakan diri sebagai Organisasi Badar.

Pertempuran Badar ditampilkan dalam film layar lebar berjudul The Message, yang diproduksi tahun 1976. Meskipun pada umumnya film ini sesuai dengan jalannya kejadian, terdapat beberapa perubahan yang nyata. Pasukan Quraisy digambarkan mengikut-sertakan barisan kaum wanita, sedangkan keberadaan mereka sesungguhnya jelas tidak ada. Demikian pula tidak ditampilkan adanya kelompok yang tidak bersedia ikut bertempur, meskipun dalam film digambarkan Abu Sufyan menolak turut serta. Para pejuang di depan sumur Badar digambarkan melakukan tiga pertarungan satu lawan satu, dan bukannya pertarungan berkelompok tiga lawan tiga. Selain itu, karena Muhammad dan Ali tidak ditampilkan (hanya pedang Ali yang terlihat) karena alasan-alasan religius, maka Hamzah lah yang menjadi pemimpin resmi pasukan Muslim. Penampilan pertempurannya sendiri tampaknya menyerupai adegan pertempuran dalam film Zulu, yang memperlihatkan pasukan Quraisy melancarkan serangan habis-habisan terhadap barisan-barisan Muslim, yang dalam kenyataannya penyerangan seperti itu umumnya akan dapat menghancurkan pasukan yang lebih kecil. Baik Amr bin Hisyam maupun Umayyah digambarkan tewas dalam pertempuran, dan kematian mereka merupakan klimaks dari pertarungan tersebut.

Apa latar belakang Perang Badar? Mengapa Nabi memilih memerangi secara fisik kaum Quraisy? Bagaimana dampak dari perang tersebut bagi umat Islam?

Matahari bersinar terik saat pasukan Amr bin Hisyam alias Abu Jahal nyaris berhadapan dengan pasukan Muslimin yang terhalang bukit di Lembah Badar. Tanah yang sebelumnya basah oleh hujan kini mengeras terkena panas. Menyulitkan langkah Amr dan pasukannya mendaki gundukan-gundukan bukit terjal berbatu. Namun amarah Amr sudah diubun-ubun. Pada 12 Maret 624 Masehi itu, dalam peristirahatan sehari menjelang perang, Amr bersumpah di hadapan sekitar 1.000 orang Quraisy Mekkah untuk menghabisi Muhammad dan pengikutnya. “Demi Tuhan! Kita tak akan kembali sampai kita tiba di Badar. Kita akan menginap tiga hari di sana, menyembelih unta-unta, berpesta dengan minum anggur dan gadis akan bermain untuk kita. Orang-orang Arab akan mendengar bahwa kita telah datang dan akan menghormati klan Thalib pada masa yang akan datang,” kata Amr.

Kebencian Abu Jahal terhadap Muhammad dan kaum muslim sudah muncul sejak Nabi menerima dan menyebarkan wahyu pertama. Baginya, ajaran baru Muhammad bukan hanya keluar dari pakem budaya warisan nenek moyang, tapi juga menyinggung eksistensi Abu Jahal sebagai tokoh Quraisy Mekkah. Intimidasi dan penganiayaan terhadap Nabi meningkat setelah Abu Thalib, paman sekaligus pelindung beliau, wafat pada 619. Suatu hari ketika Nabi tengah berjalan-jalan di Kota Mekah, seorang anak muda Quraisy melemparkan kotoran kepada beliau. Saat tiba di rumah Fatimah, anak perempuan Nabi yang masih kecil menangis melihat perlakuan yang dialami ayahnya. Nabi lantas berusaha menenangkan gadis kecil kesayangannya.
 
“Jangan menangis gadis kecilku. Karena Tuhan akan melindungi ayahmu”. Kalimat itu kemudian ditambahkan oleh Nabi untuk dirinya sendiri. “Quraisy tak pernah memperlakukan aku seburuk ini ketika Abu Thalib masih hidup,” tulis Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (1991).

Hijrah
Puncaknya, pada September 622, dalam satu pertemuan yang melibatkan para pemuka Quraisy, Abu Jahal mengusulkan pembunuhan terhadap Nabi. Agar tak menciptakan dendam di keluarga bani hasyim (klan Nabi), Abu Jahal meminta setiap pemuda berpengaruh yang ada di bani-bani Quraisy turut terlibat. Dengan begitu, setidaknya setiap bani akan bertanggung jawab memberikan uang ganti darah yang memuaskan keluarga Bani Hasyim. Di sisi lain, Bani Hasyim juga tidak akan mungkin menuntut balas kepada mayoritas bani Quraisy. Namun, persekongkolan itu telah diketahui Nabi melalui malaikat Jibril. Secara cerdik, Nabi hijrah meninggalkan rumahnya bersama Abu Bakar menuju Yastrib (Madinah). Di saat yang sama, ia mengizinkan Ali mengisi tempat tidurnya untuk mengecoh para pemuda Quraisy yang telah mengepung rumahnya.

Mayoritas penduduk Madinah menyambut kedatangan Nabi dengan hangat. Hal ini ditandai dengan kesempatan saling melindungi antara kaum muslim, Yahudi, dan suku-suku di Yastrib melalui Piagam Madinah. Piagam Madinah menandai fase awal Islam sebagai pemersatu. “Bukannya pemecah belah,” tulis Armstrong. Meski demikian, hal ini bukan berarti konflik dengan Quraisy Mekkah reda sama sekali. Kaum Muhajirin (penduduk Mekkah muslim yang ikut hijrah) mengalami kesulitan-kesulitan mencari nafkah di Madinah. Sehingga banyak dari mereka yang menggantungkan hidup kepada kaum Anshar (penduduk Madinah yang telah memeluk Islam).

Saat itulah turun wahyu Surat Al Hajj ayat 39-40 yang mengizinkan Nabi bersama pengikutnya memerangi orang yang memerangi mereka. Ini ayat Alquran yang berisi perintah jihad. Dengan nada yang simpatik, Armstrong berpendapat perintah jihad dalam Alquran memiliki makna yang lebih luas dari sekadar perang suci. Jihad, menurutnya, memiliki makna yang kaya sebagai perjuangan moral, spiritual, serta politik untuk menciptakan masyarakat adil dan sejahtera tanpa penindasan sebagaimana perintah Tuhan.

“Ada banyak kata Arab yang berarti perang seperti harb (war), sira’ah (combat), ma’arakah (battle), atau qital (killing) yang dengan mudah (bisa) digunakan Alquran jika perang merupakan cara pokok muslim mencapai keberhasilan,” katanya, menyindir kritikus Islam di Barat yang menyebut Islam agama doyan berperang. Setelah wahyu tentang jihad turun, Nabi bersama kaum Muhajirin menerapkan ghazwu atau serangan demi bertahan hidup yang biasa dilakukan masyarakat Arab nomaden. Ghazwu menyasar kafilah dagang Quraisy Mekkah dengan berfokus pada upaya mengambil harta benda, hewan ternak, dan hasil dagang seraya menghindari jatuhnya korban jiwa.Namun, serangan-serangan yang dimulai sejak 623 ini kerap mengalami kegagalan. Ini karena umat Islam memiliki sedikit sekali informasi mengenai waktu dan rute perjalanan musuh. Sehingga tidak ada kerugian dan korban yang jatuh di pihak lawan.

Pada September 623, Nabi memutuskan untuk memimpin langsung penyerbuan terhadap rombongan dagang yang dipimpin Ummayah—orang yang pernah menyiksa Abu Bakar. Lagi-lagi usaha menyergap kafilah yang membawa 2.500 unta itu mengalami kegagalan. Pada Januari 624, insiden serius terjadi pada akhir bulan Rajab yang dianggap suci. Kala itu, satu dari tiga orang pedagang Quraisy Mekkah yang sedang berkemah di lembah Nakhlah (antara Mekkah dan Thaif) tewas terkena panah pasukan Abdullah bin Jahsy dalam sebuah misi ghazwu. Peristiwa ini dengan segera menimbulkan kemarahan dan dendam di kalangan Quraisy Mekkah. Bagi mereka, hal ini bukan saja ancaman keamanan, tapi penghinaan terhadap keyakinan masyarakat Arab yang menyucikan bulan Rajab dari peperangan.

Nabi sendiri juga tak menyangka misi yang ia perintahkan bakal menimbulkan korban jiwa. Namun, beliau tidak ingin menyalahkan Abdullah sepenuhnya. Betapapun, penindasan yang dilakukan Quraisy Mekkah kepada kaum muslim dengan cara mengeluarkan mereka dari sukunya merupakan kejahatan yang lebih serius dan melanggar nilai-nilai bangsa Arab. Di sisi lain Nabi tampaknya juga ingin “menyelesaikan” kepercayaan bulan-bulan suci masyarakat Arab yang merupakan bagian dari sistem penyembahan berhala.

Perang Badar di Bulan Ramadan
Sampai di sini perang besar antara kaum muslimin di Madinah dengan suku Quraisy Mekkah hanya tinggal menunggu waktu. Benar saja, pada bulan Ramadan 2 Hijiriah (Maret 624), karavan dagang besar pimpinan Abu Sufyan hendak kembali ke Mekkah dari Suriah. Nabi memimpin langsung aksi ghazwu dengan melibatkan sekitar 313 orang muslim, 8 pedang, 6 baju perang, 70 ekor unta, dan 2 ekor kuda.

Di dalam pasukan tersebut juga ada paman Nabi, Hamzah, dan tiga calon khalifah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Meski begitu, tak seorang pun menyangka ghazwu kali ini akan menjadi peristiwa penting dalam sejarah. Wajar apabila sebagian umat Islam termasuk menantu Nabi, Utsman bin Affan, tetap tinggal di rumah karena Ruqayah istrinya sakit.

Nabi memulai rencananya dengan menggerakkan pasukan ke salah satu sumur terdekat di Lembah Badar. Namun pergerakan Nabi ternyata berhasil diketahui Abu Sufyan. Ia lantas mengirim seorang utusan ke Mekkah untuk mendapat bantuan. Orang-orang Quraisy murka saat mendengar rencana penyergapan Nabi terhadap Abu Sufyan. Di bawah komando Abu Jahal,
seluruh klan menyiapkan pasukan menuju Badar. Total ada sekitar 1.000 orang, 600 persenjataan lengkap, 700 unta, dan 300 kuda yang siap menghadapi pasukan Muhammad. Di saat yang sama, Abu Sufyan dengan cerdik mengubah rute karavan dagangnya. Ia dan rombongan berhasil selamat setelah berbelok melalui Yanbu menyusuri pesisir Laut Merah.

Pada 11 Maret 624, pasukan Abu Jahal telah berada kira-kira satu hari perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang muslim, termasuk di antaranya Ali bin Abi Thalib, berhasil menangkap dua orang pembawa persediaan air pasukan Abu Jahal di sumur Badar. Dari hasil interogasi, kedua orang itu mengaku sebagai pasukan Abu Jahal, bukan kafilah dagang Abu Sufyan. Pengakuan ini mengejutkan kaum muslimin. Mereka tak menyangka Abu Sufyan berhasil meminta pertolongan dan mengirim bantuan yang jaraknya semakin dekat. Artinya, perang sukar terhindarkan. Nabi lalu menanyai sahabat mengenai solusi terbaik dari situasi yang dihadapi. Apakah kembali ke Madinah? Apakah menghadapi peperangan dengan Quraisy Mekkah? Atau mengejar karavan Abu Sufyan? Rapat akhirnya memutuskan untuk menghadapi serangan pasukan Abu Jahal.
 
Keputusan ini menciptakan situasi yang problematis di kalangan Anshar. Mereka memang sebelumnya telah berjanji melindungi Nabi, tapi janji itu hanya jika Nabi di serang di Madinah. Bukan di luar Madinah seperti di lembah Badar. Sa’ad bin Mu’adz mengakhiri kebimbangan Anshar dengan pidatonya yang heroik:

“… Demi Tuhan, kalau engkau meminta kami menyeberangi lautan ini dan engkau menceburkan ke dalamnya, kami akan mencebur bersamamu; tak ada seorang orang pun yang tertinggal."

Di pihak lain, kabar karavan Abu Sufyan berhasil meloloskan diri dari sergapan kaum muslimin juga menghilangkan semangat perang di dalam pasukan Abu Jahal. Bani Zuhrah dan Bani Adi menarik diri karena khawatir pengaruh politik Abu Jahal bakal menguat jika mengalahkan kaum muslimin. Sementara Thalib bin Abi Thalib membawa serombongan keluarga Bani Hasyim karena tak sanggup bertempur dengan saudara sendiri tanpa alasan.
 
“Orang Arab tidak suka mengambil risiko yang tak perlu dalam peperangan, dan selalu berusaha menghindari jatuhnya banyak korban,” kata Armstrong.

Tapi Abu Jahal sudah di luar nalar. Ia memaki orang-orang Quraisy yang memilih pulang. Termasuk Utbah bin Rabi’ah, pelindung laki-laki yang tewas oleh kelompok Abdullah bin Jahsy di Nakhlah.
“Uthbah pengecut!” maki Abu Jahal.
Orang-orang Arab tak suka disebut pengecut. Dengan seketika, ucapan Abu Jahal membangkitkan lagi semangat perang Quraisy Mekkah.

Strategi pertempuran
Atas saran seorang sahabat, Nabi menggeser pergerakan kaum muslimin ke sumur mata air terdekat musuh. Beliau juga memerintahkan agar sumur-sumur yang tersisa ditimbuni. Taktik ini brilian. Kaum Quraisy Mekkah terpaksa perang dengan bergerak ke arah yang diinginkan kaum muslimin demi mendapatkan sumber mata air terakhir. Sementara itu, Nabi telah berhasil memosisikan para prajuritnya agar Quraisy Mekkah menghadap ke timur dengan sinar matahari langsung ke mata mereka.

Hari yang menentukan akhirnya datang. Tepat 17 Ramadan 2 Hijriah, atau 13 Maret 624, kedua kubu saling bertemu di lembah Badar. Perang dimulai dengan pertarungan kecil yang melibatkan tiga wakil dari kedua kubu. Kaum muslimin menurunkan Hamzah, Ali, dan Ubaidah bin Alharits. Sementara kaum Quraisy menerjunkan Utbah, Syaibah, dan Walid bin Utbah. Ketiga jago Quraisy itu akhirnya tewas mengenaskan. Sementara Ubaidah mendapat luka serius dan mesti diusung ke luar medan.

Meskipun Quraisy Mekkah unggul jumlah dan senjata, tetapi mereka kalah. Ini karena mereka bertempur dalam gaya Arab kuno yang sembrono dan hanya mengandalkan keberanian. Setiap klan memimpin pasukannya sendiri dengan motivasi perang masing-masing: balas dendam, merebut harta, hingga meraih status sosial. Tak ada kesatuan komando. Sebaliknya, pasukan muslimin disiplin dalam satu komando dan terlatih. Di awal perang, pasukan Nabi menghindari pertarungan jarak dekat dan lebih memilih menyerang menggunakan panah. Pertarungan jarak dekat hanya dimungkinkan jika musuh mendekat. Nabi juga membagi pasukan muslim menjadi tiga kelompok sayap kanan, sayap kiri, dan tengah. Pasukan tengah adalah kaum Muhajirin dan Anshar yang telah berbalik membela Nabi sampai titik darah penghabisan. Salah satu orang yang berada di pasukan tengah terdepan adalah Ali bin Abi Thalib.

Setelah menyadari kekalahannya, pasukan Abu Jahal panik dan melarikan diri. Mereka meninggalkan sekitar 50 pemimpinnya termasuk Abu Jahal dan Ummayah yang mati di medan pertempuran. Dalam euforia kemenangan, kaum muslimin mulai membunuh pasukan lawan yang tertinggal dengan gaya khas Arab. Berdasarkan wahyu yang turun, Nabi segera menghentikan perbuatan itu dan meminta para tawanan diperlakukan dengan baik. Nabi juga memerintahkan kaum Muslimin berhenti berebut harta rampasan perang yang terdiri dari 150 unta, 10 kuda, dan pelbagai perlengkapan perang. Semua harus dibagi secara merata. Dalam euforia kemenangan Perang Badar yang tak terduga ini, Nabi bersungguh-sungguh melihat ke depan untuk rekonsiliasi akhir.
 
“Seusai perang, Rasulullah justru memperlakukan kaum musyrik dengan baik untuk memulihkan harga diri mereka yang hancur disebabkan kekalahan Perang Badar,” tulis Muhammad Fethulleh Gulen dalam Cahaya Abadi Muhammad (2012).

Kemenangan kaum muslimin pada akhirnya berdampak luar biasa terhadap umat Islam. Kemenangan ini meningkatkan kepercayaan diri dan keimanan mereka mengalahkan musuh. Selain itu, umat Islam juga dipandang sebagai kekuatan baru yang patut diperhitungkan. Kemenangan ini pun memperkuat otoritas Muhammad sebagai pemimpin dari pelbagai golongan masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai.

Sumber : Google Wikipedia
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...