KISAH SANGKURIANG
Reorientasi
Alkisah
pada jaman dahulu kala seekor babi tengah melintas di sebuah hutan belantara.
Babi hutan itu sedang merasa kehausan di tengah panasnya terik matahari. Pada
saat dia mencari-cari mata air, dia melihat ada air yang tertampung di pohon
keladi hutan. Segera diminumnya air itu untuk melepas dahaga. Tanpa disadarinya
air itu adalah air seni Raja Sungging Perbangkara. Karena kesaktian Raja
Sungging Perbangkara, babi hutan itu pun mengandung setelah meminum air
seninya. Sembilan bulan kemudian si babi hutan melahirkan seorang bayi
perempuan. Raja Sungging Perbangkara mengetahui perihal adanya bayi perempuan
yang terlahir karena air seninya itu. Ia pun pergi ke hutan untuk mencarinya.
Ditemukannya bayi prempuan itu. Dia pun memberinya nama Dayang Sumbi dan
membawanya pulang ke istana kerajaan.
Dayang
Sumbi tumbuh menjadi perempuan yang sangat cantik wajahnya. Serasa tak
terbilang jumlah raja, pangeran dan bangsawan yang berkehendak memperistri anak
perempuan Raja Sungging Perbangkara itu. Namun, semua pinangan itu di tolak
Dayang Sumbi dengan halus. Sama sekali tidak diduga oleh Dayang Sumbi , mereka
yang ditolak pinangannya itu saling berperang sendiri untuk memperebutkan
dirinya.
Dayang
Sumbi sangat bersedih mengetahui kenyataan bahwa para pangeran, raja dan
bangsawan yang ditolaknya saling melakukan peperangan. Dia pun memohon kepada
Raja Sungging Perbangkara untuk mengasingkan diri. Sang Raja akhirnya
mengijinkan anaknya tersebut untuk mengasingkan diri. Dayang Sumbi mengasingkan
diri di sebuah bukit ditemani oleh seekor anjing jantan bernama si tumang.
Untuk mengisi waktu luangnya selama dalam pengasingan, Dayang Sumbi pun
menenun.
Alkisah,
ketika Dayang Sumbi sedang menenun, peralatan tenunannya terjatuh. Ketika itu
Dayang Sumbi merasa malas untuk mengambilnya. Terlontarlah ucapan yang tidak
terlalu disadarinya.” Siapapun juga yang bersedia mengambilkan peralatan
tenunku yang terjatuh, seandainya itu lelaki akan kujadikan suami, jika dia
perempuan dia akan kujadikan saudara.” Tak disangka si tumang mengambil
peralatan tenun yang terjatuh itu dan memberikannya kepada Dayang Sumbi. Tidak
ada yang dapat diperbuat Dayang Sumbi selain memenuhi ucapannya. Dia menikah
dengan Si Tumang yang ternyata titisan dewa. Si Tumang adalah dewa yang dikutuk
menjadi hewan dan dibuang ke bumi. Beberapa bulan setelah menikah, Dayang Sumbi
pun mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Dayang Sumbi memberinya
nama Sangkuriang.
Waktu
terus berlalu. Beberapa tahun kemudian terlewati, Sangkuriang telah tumbuh
menjadi seorang pemuda yang tampan wajahnya. Gagah. Tubuhnya kuat dan kekar.
Sakti mandraguna pula anak Dayang Sumbi ini. Sejak kecil Sangkuriang telah
senang berburu. Setiap kali melakukan perburuan di hutan. Sangkuriang
senantiasa ditemani oleh si tumang. Sama sekali Sangkuriang tidak tahu bahwa si
Tumang adalah ayah kandungnya.
Pada
suatu hari Sangkuriang dengan di temani Si Tumang kembali melakukan perburuan
di hutan. Sangkuriang berniat mencari kijang karena ibunya sangat menghendaki
memakan hati kijang. Setelah beberapa saat berada di dalam hutan, Sangkuriang
melihat seekor kijang yang tengah merumput di balik semak belukar. Sangkuriang
memerintahkan si tumang untuk mengejar kijang itu Sangat aneh, si Tumang yang
biasanya penurut, ketika itu tidak menuruti perintahnya. Sangkuriang menjadi
marah. Katanya.” Jika engkau tetap tidak menuruti perintahku, niscaya aku akan
mebunuhmu.” Ancaman Sangkuriang seakan tidak dipedulikan si Tumang. Karena
jengkel dan marah, Sangkuriang lantas membunuh si Tumang. Hati anjing hitam itu
diambilnya dan dibawanya pulang ke rumah. Sangkuriang memberikan hati si Tumang
kepada ibunya untuk dimasak.
Tanpa
disadari Dayang Sumbi bahwa hati yang diberikan anaknya adalah hati suaminya.
Dia kemudian memasak dan memakan hati itu. Maka, tak terperikan amarah Dayang
Sumbi kepada Sangkuriang ketika dia tahu hati yang dimakannya adalah hati si
Tumang. Dia lalu meraih gayung yang terbuat dari tempurung kelapa dan memukul
kepala Sangkuriang, hingga kepala Sangkuriang terluka. Sangkuriang sangat marah
dan sakit hati dengan perlakuan ibunya itu. Menurutnya, Ibunya lebih menyayangi
si Tumang dibandingkan dirinya. Maka, tanpa pamit kepada Dayang Sumbi ibunya,
Sangkuriang lantas pergi mengembara ke arah timur. Dayang Sumbi sangat menyesal
setelah mengetahui kepergian Sangkuriang anaknya. Dia pun bertapa dan memohon
ampun kepada para dewa atas kesalahan yang diperbuatnya. Para dewa mendengar
permintaan Dayang Sumbi, mereka menerima permintaan maaf itu dan mengaruniakan
Dayang Sumbi kecantikan abadi.
Syahdan,
Sangkuriang terus mengembara tanpa tujuan yang pasti. Dalam pengembaraanya
Sangkuriang terus menambah kesaktiannya dengan berguru kepada orang-orang sakti
yang ditemuinya selama pengembaraan. Bertahun-tahun Sangkuriang mengembara
tanpa disadari dia kembali ke tempat dimana dia dahulu dilahirkan. Sangkurian
terpesona dengan kecantikan Dayang Sumbi yang abadi, dia tidak menyadari bahwa
perempuan cantik yang ditemuinya di hutan adalah ibu kandungnya sendiri. Hal
yang sama terjadi juga pada Dayang Sumbi yang tidak menyadari pemuda gagah yang
sakti itu adalah Sangkuriang anaknya. Karena saling jatuh cinta mereka
merencenakan untuk menikah.
Sebelum
pernikahan dialngsungkan Sangkuriang berniat untuk berburu. Dayang Sumbi
membantu Sangkuriang mengenakan penutup kepala. Ketika itulah dayang Sumbi
melihat luka di kepala calon suaminya. Teringatlah dia pada anak lelakinya yang
telah meninggalkannya. Dia sangat yakin pemuda gagah itu tidak lain adalah
Sangkuriang anaknya. Dayang Sumbi kemudian menjelaskan bahwa dai sesungguhnya
adalah ibu kandung dari Sangkuriang. Oleh karena itu dia tidak bersedia menikah
dengan anak kandungnya tersebut. Namun, Sangkuriang yang telah dibutakan oleh
hawa nafsu tidak memperdulikan penjelasan Dayang Sumbi, dia tetap bersikukuh
akan menikahi Dayang Sumbi.“ Jika memang begitu kuat keinginanmu untuk
menikahiku, aku mau engkau memenuhi satu permintaanku” Kata Dayang Sumbi “Apa
permintaan yang engkau kehendaki.” Tantang Sangkuriang.
Dayang
Sumbi mengajukan syarat yang laur biasa berat yaitu dia ingi sungai Citarum
dibendung untuk dibuat danau, dan didalam danau itu ada perahu besar.” Semua
itu harus dapat engkau selesaikan dalam waktu satu malam.” Ucap Dayang Sumbi.”
Sebelum fajar terbit, kedua permintaanku itu harus telah selesai engaku
kerjakan.”
Tanpa
ragu Sangkuriang menyanggupi permintaan dari Dayang Sumbi.” Baiklah, aku akan
memenuhi permintaanmu.” Sangkuriang segera bekerja mewujudkan permintaan Dayang
sumbi. Pertama kali dia menebang pohon besar untuk dibuatnya sebuah perahu.
Cabang dan ranting pohon yang tidak dibutuhkannya ditumpukan. Tumpukan cabang
dan ranting pohon itu dikemudian hari menjelma menjadi gunung Burangrang. Begitu
pula tunggul pohpon itu kemudian berubah menjadi sebuah gunung yang lebih dikenal
gunung bukit tinggul. Perahu besar itu akhirnya selesai dibuat Sangkuriang.
Pemuda Sakti itu lantas berniat membendung aliran sungai Citarum yang deras
untuk dibuat sebuah danau. Sangkuriang kemudian memanggi para makhluk halus
untuk membantunya mewujudkan permintaan Dayang sumbi.
Semua
yang dilakukan Sangkuriang diketahii oleh Dayang Sumbi. Terbit kecemasan dalam
hati Dayang Sumbi ketika melihat pekerjaan Sangkuriang sebentar lagi selesai.
Dia harus menggagalkan pekerjaan Sangkuriang agar pernikahan dengan anak
kandungnya itu tidak terlaksana. Dia pun memohon pertolongan dari para Dewa. Setelah
berdoa, Dayang Sumbi mendapatkan petunjuk. Dayang Sumbi lantas menebarkan boeh
rarang (kain putih hasil tenunan). Dia juga memkasa ayam jantan berkokok disaat
waktu masih malam. Para makhluk halus sangat ketakutan ketika mengetahui fajar
telah tiba. Mereka berlari dan menghilang kesegala penjuru. Mereka meninggalkan
pekerjaannya membuat danau dan perahu yang belum selesai.
Sangkuriang
sangat marah. Dia merasa Dayang Sumbi telah berlaku curang kepadanya. Ida
sangat yakin jika fajar sesungguhnya belum tiba. Dia merasa masih tersedia
waktu baginya untuk menyelesaikan pekerjaan. Dengan kemarahan tinggi,
Sangkuriang lantas menjebol bendungan di Sanghyang Tikoro. Sumbat aliran Citarum
lantas dilemparkannya ke arah timur yang kemudian menjelma menjadi gunung
Manglayang. Air yang semula memenuhi danau itu pun menjadi surut. Serasa belum
reda kemarahannya. Sangkuriang lantas menendang perahu besar yang telah
dibuatnya hingga terlempat jauh dan jatuh tertelungkup. Menjelmalah perahu
besar itu menjadi sebuah gunung yang kemudian di sebut gunung Tangkuban Perahu.
Kemarahan
Sangkuriang belum reda. Dia mengetahui, semua itu sesungguhnya adalah siasat
dari Dayang Sumbi untuk menggagalkan pernikahan dengannya. Dengan kemarahan
yang terus meluap, Dayang sumbi pun dikejarnya. Dayang sumbi yang ketakutan
terus berlari untuk menghindar hingga akhirnya menghilang di sebuah bukit.
Bukit itu kemudian menjelma menjadi gunung Putri. Sedangkan Sangkuriang yang
tidak berhasil menemukan Dayang Sunbi akhirnya menghilang ke alam gaib. “Pesan
Moral dari Legenda Asal Muasal Gunung Tangkuban Perahu : Kisah Sangkuriang
adalah Bersikaplah untuk jujur karena kejujuran akan membawa kebaikan dan kebahagiaan
di kemudian hari. Perbuatan curang akan merugikan diri sendiri serta bisa
mendatangkan musibah bagi diri sendiri ataupun orang lain.”
Sumber
: Google Wikipedia
LEGENDA
SANGKURIANG
Orientasi
Sangkuriang adalah legenda
yang berasal dari Jawa Barat. Legenda tersebut berkisah tentang terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang, dan Gunung Bukit Tunggul. Dari legenda
tersebut, kita dapat menentukan sudah berapa lama orang Sunda hidup di dataran
tinggi Bandung. Dari legenda tersebut yang didukung dengan fakta geologi,
diperkirakan bahwa orang Sunda telah hidup di dataran ini sejak beribu tahun
sebelum Masehi.
Legenda Sangkuriang awalnya merupakan tradisi lisan.
Rujukan tertulis mengenai legenda ini ada pada naskah Bujangga Manik yang ditulis
pada daun lontar yang berasal
dari akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Dalam naskah tersebut
ditulis bahwa Pangeran Jaya Pakuan alias Pangeran Bujangga Manik atau Ameng
Layaran mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di pulau Jawa dan pulau Bali pada akhir abad
ke-15.
Setelah melakukan perjalanan panjang, Bujangga Manik
tiba di tempat yang sekarang menjadi Kota Bandung. Dia menjadi
sasterawan yang pertama kali menuliskan nama tempat legendanya. Laporannya
adalah sebagai berikut:
Leumpang aing ka baratkeun (Aku berjalan
ke arah barat)
Datang ka Bukit Patenggeng (tiba ke
Gunung Patenggeng)
Sakakala Sang Kuriang (tempat
legenda Sang Kuriang)
Masa dek nyitu Ci tarum (semasa akan
membendung Citarum)
Burung tembey kasiangan (tetapi gagal
karena kesiangan)
Ringkasan Kisah
Awalnya
diceritakan di kahyangan ada sepasang dewa dan dewi yang berbuat kesalahan,
maka oleh Sang Hyang Tunggal mereka dikutuk turun ke bumi dalam wujud hewan.
Sang dewi berubah menjadi babi hutan (celeng) bernama Celeng Wayung
Hyang (atau Wayungyang), sedangkan sang dewa berubah menjadi anjing bernama si Tumang. Mereka
harus turun ke bumi menjalankan hukuman dan bertapa mohon pengampunan agar
dapat kembali ke wujudnya menjadi dewa-dewi kembali.
Diceritakan
bahwa Raja Sungging Perbangkara tengah pergi berburu. Di tengah hutan Sang Raja
membuang air seni yang tertampung dalam daun caring (keladi hutan), dalam versi lain
disebutkan air kemih sang raja tertampung dalam batok kelapa. Seekor babi hutan
betina bernama Celeng Wayung Hyang yang tengah bertapa sedang kehausan, ia
kemudian tanpasengaja meminum air seni sang raja tadi. Wayung Hyang secara
ajaib hamil dan melahirkan seorang bayi yang cantik, karena pada dasarnya ia
adalah seorang dewi. Bayi cantik itu ditemukan di tengah hutan oleh sang raja
yang tidak menyadari bahwa ia adalah putrinya. Bayi perempuan itu dibawa ke
keraton oleh ayahnya dan diberi nama Dayang Sumbi alias Rarasati. Dayang Sumbi
tumbuh menjadi gadis yang amat cantik jelita. Banyak para raja dan pangeran yang
ingin meminangnya, tetapi seorang pun tidak ada yang diterima.
Akhirnya
para raja saling berperang di antara sesamanya. Dayang Sumbi pun atas
permintaannya sendiri mengasingkan diri di sebuah bukit ditemani seekor anjing
jantan yaitu Si Tumang. Ketika sedang asyik menenun kain, torompong
(torak) yang tengah digunakan bertenun kain terjatuh ke bawah balai-balai.
Karena merasa malas, terlontar ucapan Dayang Sumbi tanpa dipikir dulu, dia
berjanji bahwa siapa pun yang mengambilkan torak yang terjatuh, bila laki-laki
akan dijadikan suaminya, dan jika perempuan akan dijadikan saudarinya. Si
Tumang mengambilkan torak dan diberikan kepada Dayang Sumbi. Akibat
perkataannya itu Dayang Sumbi harus memegang teguh sumpah dan janjinya, maka ia
pun mengawini si Tumang. Karena malu, kerajaan mengasingkan Dayang Sumbi ke
hutan untuk hidup hanya ditemani si Tumang. Pada malam bulan purnama, si Tumang
dapat kembali ke wujud aslinya sebagai dewa yang tampan, Dayang Sumbi mengira
ia bermimpi bercumbu dengan dewa yang tampan yang sesungguhnya adalah wujud
asli si Tumang. Maka Dayang Sumbi akhirnya melahirkan bayi laki-laki yang
diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang kuat dan tampan.
Suatu
ketika Dayang Sumbi tengah mengidamkan makan hati menjangan (rusa),
maka ia memerintahkan Sangkuriang ditemani si Tumang untuk berburu ke hutan.
Setelah sekian lama Sangkuriang berburu, tetapi tidak tampak hewan buruan
seekorpun. Hingga akhirnya Sangkuriang melihat seekor babi hutan yang gemuk
melarikan diri. Sangkuriang menyuruh si Tumang untuk mengejar babi hutan yang
ternyata adalah Celeng Wayung Hyang. Karena si Tumang mengenali Celeng Wayung
Hyang, yang adalah nenek dari Sangkuriang sendiri, maka si Tumang tidak mau
menuruti perintah itu. Saking kesalnya Sangkuriang kemudian menakut-nakuti si
Tumang dengan panah, akan tetapi secara tak sengaja anak panahnya terlepas dan
si Tumang terbunuh tertusuk oleh anak panah. Sangkuriang menjadi bingung; dan
lalu karena tidak memperoleh hewan buruan maka Sangkuriang pun menyembelih
tubuh si Tumang dan mengambil hatinya. Oleh Sangkuriang, hati si Tumang itu
diberikannya kepada Dayang Sumbi, yang kemudian dimasak dan dimakannya. Setelah
Dayang Sumbi mengetahui bahwa yang dimakannya adalah hati si Tumang, suaminya
sendiri, maka kemarahannya pun meledak; dengan serta-merta kepala Sangkuriang
dipukul dengan centong (sendok nasi) yang terbuat dari tempurung kelapa
sehingga terluka.
Kesakitan
dan ketakutan, Sangkuriang lari meninggalkan rumah. Dayang Sumbi, yang
menyesali perbuatannya telah mengusir anaknya, mencari Sangkuriang ke hutan dan
memanggil-manggil serta memohonnya untuk segera pulang; akan tetapi Sangkuriang
telah pergi jauh. Dayang Sumbi sangat sedih dan memohon kepada Sang Hyang
Tunggal agar kelak dipertemukan kembali dengan anaknya. Untuk itu Dayang Sumbi
menjalankan tapa dan laku hanya memakan tumbuh-tumbuhan dan sayuran mentah (lalapan). Sangkuriang sendiri pergi
mengembara mengelilingi dunia. Sangkuriang pergi berguru kepada banyak pertapa
sakti, sehingga Sangkuriang setelah beberapa tahun telah tumbuh menjadi seorang
pemuda yang kuat, sakti, dan gagah perkasa. Setelah sekian lama berjalan ke
arah timur akhirnya sampailah Sangkuriang di arah barat lagi dan tanpa sadar
telah tiba kembali di tempat Dayang Sumbi berada. Namun Sangkuriang tidak
mengenali bahwa putri cantik yang ditemukannya adalah Dayang Sumbi - ibunya.
Karena Dayang Sumbi melakukan tapa dan laku hanya memakan tanaman mentah, maka
Dayang Sumbi menjadi tetap cantik dan awet muda.
Dayang
Sumbi pun mulanya tidak menyadari bahwa sang ksatria tampan itu adalah putranya
sendiri. Lalu kedua insan itu berkasih mesra. Saat Sangkuriang tengah bersandar
mesra dan Dayang Sumbi menyisir rambut Sangkuriang, tanpa sengaja Dayang Sumbi
melihat tanda luka di kepala Sangkuriang, bekas pukulan sendok Dayang Sumbi;
dengan demikian ia mengetahui bahwa Sangkuriang adalah putranya. Walau demikian
Sangkuriang tetap memaksa untuk menikahinya. Dayang Sumbi sekuat tenaga
berusaha untuk menolak. Maka ia pun bersiasat untuk menentukan syarat pinangan
yang tak mungkin dipenuhi Sangkuriang. Dayang Sumbi meminta agar Sangkuriang
membuatkan perahu dan telaga (danau) dalam waktu semalam
dengan membendung aliran Sungai Citarum. Sangkuriang menyanggupinya.
Maka
dibuatlah perahu dari sebuah pohon besar yang tumbuh di sebelah timur; kelak,
tunggul atau pangkal pohon itu berubah menjadi gunung yang bernama Bukit Tunggul. Rantingnya (Sd.: rangrang) ditumpukkan
di sebelah barat dan kelak menjadi Gunung Burangrang. Dengan bantuan para guriang
(makhluk halus), lewat tengah malam bendungan pun hampir selesai dikerjakan.
Tetapi Dayang Sumbi memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar niat Sangkuriang
tidak terlaksana. Dayang Sumbi lalu membentangkan helai kain boeh rarang
(kain putih hasil tenunannya) di atas bukit di timur, sehingga kain putih itu
tampak bercahaya bagai fajar yang merekah di ufuk timur. Sementara itu ia pun
berulang-ulang memukulkan alu ke lesung, seolah-olah sedang menumbuk padi.
Para guriang makhluk halus anak buah Sangkuriang pun ketakutan karena mengira
hari mulai pagi, mereka lalu lari menghilang bersembunyi di dalam tanah. Dengan
demikian pembuatan bendungan pun tidak terselesaikan. Karena gagal memenuhi
syarat Dayang Sumbi, Sangkuriang menjadi gusar dan mengamuk. Perahu yang telah
dikerjakannya dengan bersusah payah lalu ditendangnya ke arah utara dan jatuh
menangkup menjadi Gunung
Tangkuban Perahu.
Di puncak kemarahannya, dinding bendungan yang berada di sebelah barat
dijebolnya; kelak lubang tembusan air Citarum ini dikenal sebagai Sanghyang Tikoro (Sd.: tikoro, tenggorokan atau kerongkongan). Sumbat aliran Citarum
dilemparkannya ke arah timur dan menjelma menjadi Gunung Manglayang. Air Talaga Bandung pun
menjadi surut kembali; bekas danau ini kelak menjadi lokasi Kota Bandung.
Sangkuriang
terus mengejar Dayang Sumbi yang berlari menghindari kejaran anaknya yang telah
kehilangan akal sehatnya itu. Dayang Sumbi hampir tertangkap oleh Sangkuriang
di Gunung
Putri dan ia
pun memohon kepada Sang Hyang Tunggal agar menyelamatkannya, maka Dayang Sumbi
pun berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Adapun Sangkuriang setelah sampai di
sebuah tempat yang disebut dengan Ujung Berung akhirnya menghilang ke alam gaib
(ngahiyang).
Kesesuaian
dengan fakta geologi
Legenda
Sangkuriang sesuai dengan fakta geologi terciptanya Danau
Bandung dan Gunung
Tangkuban Parahu.
Penelitian geologis mutakhir menunjukkan bahwa sisa-sisa danau purba sudah
berumur 125 ribu tahun. Danau tersebut mengering lk. 16.000 tahun yang lalu.
Telah terjadi dua letusan Gunung Sunda purba dengan tipe letusan
Plinian masing-masing sekitar 105.000 dan 55.000-50.000 tahun yang lalu.
Letusan plinian kedua telah meruntuhkan kaldera Gunung Sunda purba sehingga
menciptakan Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Burangrang (disebut juga Gunung Sunda),
dan Gunung
Bukit Tunggul.
Adalah sangat mungkin bahwa orang Sunda purba telah menempati dataran tinggi
Bandung dan menyaksikan letusan Plinian kedua yang menyapu pemukiman sebelah
barat Ci Tarum (utara dan barat laut Bandung)
selama periode letusan pada 55.000-50.000 tahun yang lalu saat Gunung Tangkuban
Parahu tercipta dari sisa-sisa Gunung Sunda purba. Masa ini adalah masanya Homo sapiens; mereka telah teridentifikasi
hidup di Australia selatan pada 62.000 tahun yang
lalu, semasa dengan Manusia Jawa (Wajak) sekitar 50.000 tahun yang
lalu.
Sangkuriang
dan falsafah Sunda
Menurut
Hidayat Suryalaga, legenda atau sasakala
Sangkuriang dimaksudkan sebagai cahaya pencerahan (Sungging Perbangkara) bagi
siapa pun manusianya (tumbuhan cariang) yang masih bimbang akan
keberadaan dirinya dan berkeinginan menemukan jatidiri kemanusiaannya
(Wayungyang). Hasil yang diperoleh dari pencariannya ini akan melahirkan kata
hati (nurani) sebagai kebenaran sejati (Dayang Sumbi, Rarasati). Tetapi bila
tidak disertai dengan kehati-hatian dan kesadaran penuh/eling (torompong),
maka dirinya akan dikuasai dan digagahi oleh rasa kebimbangan yang terus
menerus (digagahi si Tumang) yang akan melahirkan ego-ego yang egoistis, yaitu
jiwa yang belum tercerahkan (Sangkuriang). Ketika Sang Nurani termakan lagi
oleh kewaswasan (Dayang Sumbi memakan hati si Tumang) maka hilanglah kesadaran
yang hakiki. Rasa menyesal yang dialami Sang Nurani dilampiaskan dengan
dipukulnya kesombongan rasio Sang Ego (kepala Sangkuriang dipukul).
Kesombongannya pula yang memengaruhi “Sang Ego Rasio” untuk menjauhi dan
meninggalkan Sang Nurani. Ternyata keangkuhan Sang Ego Rasio yang
berlelah-lelah mencari ilmu (kecerdasan intelektual) selama pengembaraannya di
dunia (menuju ke arah Timur). Pada akhirnya kembali ke barat yang secara sadar
maupun tidak sadar selalu dicari dan dirindukannya yaitu Sang Nurani (Pertemuan
Sangkuriang dengan Dayang Sumbi).
Walau
demikian ternyata penyatuan antara Sang Ego Rasio (Sangkuriang) dengan Sang
Nurani yang tercerahkan (Dayang Sumbi), tidak semudah yang diperkirakan.
Berbekal ilmu pengetahuan yang telah dikuasainya Sang Ego Rasio (Sangkuriang)
harus mampu membuat suatu kehidupan sosial yang dilandasi kasih sayang,
interdependency – silih asih-asah dan silih asuh yang humanis harmonis, yaitu
satu telaga kehidupan sosial (membuat Talaga Bandung) yang dihuni berbagai
kumpulan manusia dengan bermacam ragam perangainya (Citarum). Sementara itu
keutuhan jatidirinya pun harus dibentuk pula oleh Sang Ego Rasio sendiri
(pembuatan perahu). Keberadaan Sang Ego Rasio itu pun tidak terlepas dari
sejarah dirinya, ada pokok yang menjadi asal muasalnya (Bukit Tunggul, pohon
sajaratun) sejak dari awal keberada-annya (timur, tempat awal terbit
kehidupan). Sang Ego Rasio pun harus pula menunjukkan keberadaan dirinya
(tutunggul, penada diri) dan pada akhirnya dia pun akan mempunyai keturunan yang
terwujud dalam masyarakat yang akan datangd dan suatu waktu semuanya berakhir
ditelan masa menjadi setumpuk tulang-belulang (gunung Burangrang).
Betapa
mengenaskan, bila ternyata harapan untuk bersatunya Sang Ego Rasio dengan Sang
Nurani yang tercerahkan (hampir terjadi perkawinan Sangkuriang dengan Dayang
Sumbi), gagal karena keburu hadir sang titik akhir, akhir hayat dikandung badan
(boeh rarang atau kain kafan). Akhirnya suratan takdir yang menimpa Sang Ego
Rasio hanyalah rasa menyesal yang teramat sangat dan marah kepada “dirinya”.
Maka ditendangnya keegoisan rasio dirinya, jadilah seonggok manusia
transendental tertelungkup meratapi kemalangan yang menimpa dirinya (Gunung
Tangkubanparahu).
Walau
demikian lantaran sang Ego Rasio masih merasa penasaran, dikejarnya terus Sang
Nurani yang tercerahkan dambaan dirinya (Dayang Sumbi) dengan harapan dapat
luluh bersatu antara Sang Ego Rasio dengan Sang Nurani. Tetapi ternyata Sang
Nurani yang tercerahkan hanya menampakkan diri menjadi saksi atas perilaku yang
pernah terjadi dan dialami Sang Ego Rasio (bunga Jaksi).
Akhir
kisah yaitu ketika datangnya kesadaran berakhirnya kepongahan rasionya
(Ujungberung). Dengan kesadarannya pula, dicabut dan dilemparkannya sumbat
dominasi keangkuhan rasio (gunung Manglayang). Maka kini terbukalah saluran
proses berkomunikasi yang santun dengan siapa pun (Sanghyang Tikoro atau
tenggorokan; bahasa Sunda: Hade ku omong goreng ku omong). Dan dengan
cermat dijaga benar makanan yang masuk ke dalam mulutnya agar selalu yang halal
bersih dan bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar