KISAH
PERANG JAMAL
Orientasi
Pertempuran Basra (juga dikenal sebagai perang unta atau perang
jamal) adalah perang yang terjadi di Basra, Irak pada tahun 656
masehi, antara pasukan yang berpihak pada Ali bin Abi
Talib (Sepupu dan menantu dari nabi Muhammad
) dan pasukan yang berpihak kepada Aisyah,
janda dari nabi Muhammad, yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah
terdahulu yaitu Utsman bin Affan.
Setelah
berbaiat atas kekhilafahan Ali bin Abi
Talib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin
Awwam pergi ke Mekkah dan bertemu dengan Aisyah untuk meminta pertanggung
jawaban kematian Utsman bin Affan. Kemudian Ya’la bin Munyah
dari Basra
dan Abdullah bin Amir dari Kufah turut bergabung. Akhirnya mereka sepakat untuk berangkat
ke Basra beserta 700 orang lainnya untuk mencari pembunuh Utsman bin
Affan.
Sesampainya
di Basra mereka menemui Gubernur Basra yaitu Utsman bin Hunaif dan menahan
pergerakan pasukan ini berharap mereka mau menunggu kedatangan Ali dari Madinah.
Tetapi karena provokasi salah seorang khawarij
yang bernama Jalabah, peperangan antara Utsman bin Hunaif dan pasukan Aisyah
tidak terbendung. Yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Hunaif. Ali pun
baru mendengar kematian gubernurnya saat di Kufah. Disini dia mengumpulkan
pasukan hingga berjumlah 10.000 pasukan. Perang Jamal, Bagaimana Kronologis
Peperangan Tersebut, Siapa Dalang Terjadinya Peperangan? Ternyata Pendiri Syiah
Berada Dibalik semua ini.
Latar Belakang terjadinya perang jamal
Setelah Ali bin Abu Thalib dibai’at, Thalhah dan
Azzubeir meminta ijin kepadanya untuk pergi ke Makkah. Ali pun menginjinkan
mereka. Mereka kemudian bertemu dengan Ummul Mukminin Aisyah disana. Saat itu Aisyah sudah mendengar kabar bahwa
Utsman terbunuh. Maka, mereka semua berkumpul di Makkah, hendak menuntut
balas atas terbunuhnya Utsman.
Tidak lama kemudian, Ya’la bin Munyah dari
Bashrah dan Abdullah bin Amir dari Kuffah datang ke Makkah. Mereka semua
berkumpul di Makkah juga untuk menuntut balas atas terbunuhnya Utsman. Mereka
lalu keluar dari Makkah diikuti oleh orang-orang di belakang mereka, pergi menuju
ke Bashrah hendak mencarai pembunuh Utsman. Semua itu mereka lakukan karena
mereka memandang bahwa mereka telah lalai dalam menjaga Utsman. Ketika itu, Ali
berada di Madinah, sementara Utsman bin Hunaif adalah gubernur Basharah yang
diangakat oleh Ali bin Abu Thalib.
Sesampainya mereka di Bashrah, Ali
menugaskan Utsman bin Hunaif untuk menanyakan tujuan mereka datang ke Bashrah.
Mereka menjawab: “Kami menginginkan pembunuh Utsman.” Utsman bin Hunaif
berkata: “Tunggulah hingga Ali datang. Ia melarang untuk masuk ke Bashrah. Ketika itulah,
Jabalah keluar menemui mereka. Jabalah
ini adalah salah seorang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Ia
menyerang mereka dengan jumlah pasukan 700 personil. Namun mereka dapat
mengalahkannya dan membunuh personil yang bersamanya. Sementara banyak juga
penduduk Bashrah yang bergabung dengan pasukan Thalhah, Azzubair, dan Aisyah
ini.
Ali kemudian keluar dari Madinah, bergerak menuju
Kufah. Ini terjadi setelah ia mendengar kabar bahwa telah terjadi peperangan
antara Utsman bin Hunaif, gubernur tunjukan Ali untuk Bashrah, dengan Thalhah,
Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang bersama mereka. Ali keluar setelah
menyiapkan pasukan yang berjumlah 10.000 orang untuk menyerang Thalhah dan
Azzubeir.
Disini kita melihat secara jelas bahwa Ali bin Abu
Thaliblah yang keluar mendatangi mereka (Thalhah,Azzubeir, dan Aisyah), bukan
mereka yang keluar menuju Ali. Mereka
juga tidak bermaksud memerangi Ali sebagaimana yang diklaim oleh sebagian
kelompok dan orang-orang yang terpengaruh oleh isapan jempol terkait peperangan
ini. Jikalau mereka ingin memberontak terhadap Ali, tentunya mereka akan
langsung pergi menuju ke Madinah, bukan ke Bashrah.
Dengan demikian, jelaslah
bahwa Thalhah, Azzubeir, dan Aisyah, serta orang-orang yang ikut bersama mereka
tidak pernah membatalkan dan menolak kekhaliahan Ali. Mereka juga
tidak mencela, tidak menyebutkan kejelekan, tidak membai’at orang selain Ali,
dan tidak pergi menuju Bashrah untuk menyerang Ali. Karena, ketika itu Ali
memang tidak berada di Bashrah. Oleh karena itu,
Al-Ahnaf bin Qais berkata: “Aku bertemu Thalah dan Azzubeir setelah terjadi
pengepungan terhadap Utsman, lantas bertanya: “Apa yang kalian berdua
perintahkan kepadaku? Karena, aku melihat Utsman telah terbunuh.’
Mereka berdua menjawab: ‘Ikutilah Ali.’
Aku kemudian bertemu dengan Aisyah di Makkah setelah terjadi pembunuhan
terhadap Utsman, lalu bertanya: “Apa yang engkau perintahkan?’
Dia menjawab: ‘Ikutilah Ali.”
Perundingan
jelang meletusnya peperangan
Ali mengirimkan Almiqdad bin Alaswad dan
Alqa’qa bin Amr untuk berunding dengan Thalhah dan Azzubeir. Pihak Almiqdad dan
Alqa’qa sepakat dengan pihak Thalhah dan Azzubeir untuk tidak berperang.
Masing-masing pihak menjelaskan sudut pandang mereka. Thalhah dan Azzubeir
berpendapat bahwa tidak boleh membiarkan pembunuh Utsman begitu saja, sedangkan
pihak Ali berpendapat bawa menyelidiki siapa pembunuh Utsman untuk saat
sekarang bukan hal paling mendesak. Namun, hal ini bisa ditunda sampai keadaan
stabil. Jadi, mereka sepakat untuk mengqishash para pembunuh Utsman. Adapun
yang mereka perselisihkan adlah waktu untuk merealisasikan hal tersebut.
Setelah kesepakatan itu, dua pasukan pun bisa tidur
dengan tenang, sedangkan para pengikut
Abdullah bin Saba – mereka para pembunuh Utsman – terjaga dan melewati
malam yang buruk, karena akhirnya kaum Muslimin sepakat untuk tidak saling
berperang. Demikianlah keadaan yang disebutkan oleh para sejarawan yang
mencatat peperangan ini, seperti Athabari,2 Ibnu Katsir,3 Ibnu
Atsir,4 Ibnu Hazm,5 dan yang lainnya. Ketika itu para pengikut
Abdullah bin Saba sepakat akan melakukan apa pun agar kesepakatan tersebut
dibatalkan. Menjelang waktu subuh,
ketika orang-orang sedang terlelap, sekelompok orang dari mereka menyerang
pasukan Thalhah dan Azzubeir, lalu membunuh beberapa orang diantara pasukan
mereka. Setelah itu, mereka melarikan diri. Pasukan Thalhah mengira
bahwa pasukan Ali telah mengkhianati mereka. Pagi harinya, mereka menyerang
pasukan Ali. Melihat hal itu, pasukan Ali mengira bahwa pasukan Thalhah dan
Azzubeir telah berkhianat. Serang-menyerang
antara kedua pasukan ini pun berlangsung sampai tengah hari. Selanjutnya,
perang pun berkecamuk dengan heabatnya.
Upaya
Menghentikan Peperangan
Para pembesar pasukan dari kedua belah pihak telah berupaya
menghentikan peperangan, namun mereka tidak berhasil. Ketika itu Thalhah
berkata: “Wahai manusia, apakah kalian mendengar!” Namun mereka tidak
mendengarkan seruannya. Lalu, dia berkata: “Buruk! Buruk sekali jilatan neraka!
Buruk sekali kerakusan!” Ali
juga berupaya melerai mereka, namun mereka tidak menggubrisnya. Aisyah kemudian
mengirimkan Ka’ab bin Sur dengan membawa mushaf untuk menghentikan perang, namun para pengikut Abdullah bin Saba
membidiknya dengan anak panah sampai menewaskannya.
Demikianlah yang terjadi, apabila
peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorangpun yang dapat
menghentikannya. Semoga Allah melindungi kita dari fitnah seperti itu. Imam
Albukhari menyebutkan beberapa bait syair milik Imru-ul Qais:
Perang pertama-tama tampak seperti gadis
rupawan
berjalan berhias ‘tuk menarik setiap orang
bodoh
hingga jika telah menyala dan apainya
berkobar-kobar
gadis itu jadi wanita tua yang tak berdaya
tarik
rambutnya beruban, raut mukanya aneh dan
menua
dengan bau yang tak sedap dihirup bila
dicium
Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Apabila fitnah sudah terjadi, orang-orang pintar tidak akan mampu melerai
orang-orang bodoh. Demikianlah yang terjadi pada para pembesar sahabat. Mereka
tidak dapat memadamkan fitnah peperangan dan mencegah para pelakunya. Memang
seperti inilah fitnah, sebagaimana yang Allah firmankan:
Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang
tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah
bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. Alanfaal:25)
Perang jamal terjadi pada tahun 36 h atau
pada awal kekhilafahan Ali. Perang ini mulai berkecamuk setelah zhuhur dan
berakhir sebelum matahari terbenam pada hari itu. Dalam peperangan ini, Ali
disertai 10.000 personil pasukan, sementara Pasukan Jamal (berunta) berjumlah
5.000 – 6.000 prajurit. Bendera Ali dipegang oleh Muhammmad bin Ali bin Abu
Thalib, sementara bendera Pasukan Jamal dipegang oleh Abdullah bin Azzubeir.
Pada perang ini banyak sekali kaum
muslimin yang tewas terbunuh. Inilah fitnah yang kita berharap kepada Allah
agara menyelamatkan pedang-pedang kita darinya. Kita memohon kepada Allah agar
meridhai dan memberi ampunan kepada mereka (kaum Muslimin yang iktu dalam
perang ini).
Terbunuhnya
Thalhah dan Azzubeir
Thalhah, Azzubeir, dan Muhammad bin
Thalhah tewas terbunuh. Mengenai Azzubeir, ia sebenarnya tidak ikut serta dalam
perang ini. Begitu juga dengan Thalhah. Karena ada sebuah riwayat menyebutkan
bahwasanya ketika Azzubeir datang pada perang ini, ia bertemu Ali bin Abu
Thalib, lantas Ali berkata kepadanya: “Apakah engkau ingat bahwa Rasulullah
pernah bersabda: ‘Engkau akan memerangi Ali sedangkan engkau dalam posisi
mendzaliminya.’ “Maka, pada hari itu Azzubeir kembali dan tidak ikut berperang
Jadi yang benar adlah Azzubeir tidak ikut
perang. Tetapi apakah dialog yang disebutkan dalam riwayat itu memang terjadi
antara ia dan Ali? Wallahu a’lam. Karena , riwayat ini tidak memiliki sanad
yang kuat. Namun, begitulah yang masyhur dalam buku-buku sejarah. Ada lagi
riwayat yang lebih masyhur, yakni Azzubeir tidak ikut dalam perang ini, namun
ia dibunuh secara diam-diam oleh seorang yang bernama Ibnu Jurmuz.
Sementara itu, Thalhah terbunuh karena
terkena anak panah nyasar. Namun, yang masyhur, orang yang membidiknya adalah
Marwan bin Alhakam. Bidikan Marwan mengenai kakinya, tepat pada bekas luka
lamanya. Ketika itu ia sedang berusaha melerai para prajurit yang berperang. Seusai
perang, banyak prajurit yang terbunuh. Khususnya, mereka yang menjaga unta yang
dikendarai oleh Aisyah, karena Aisyah merupakan simbol bagi mereka, bahkan
mereka mati-matian dalam melindunginya. Karena itu, dengan tumbangnya unta
Aisyah, perang pun berhenti dan selesai. Kemenangan berada di pihak Ali bin Abu
Thalib, walaupun sebenarnya tidak ada pihak yang menang. Justru, Islam dan kaum
Muslimin memperoleh kerugian dalam perang ini.
Pasca
Terjadinya Peperangan
Pasca Perang Jamal, Ali berjalan di antara
para korban yang tewas, lalu menemukan mayat Thalhah bin Ubaidillah. Setelah
mendudukannya dan mengusap debu dari wajahnya, Ali berkata: “Wahai Abu
Muhammad, alangkah berat perasaan ini melihatmu meninggal tergeletak di atas
tanah di bawah bintang-bintang langit.” Ia pun kemudian menangis seraya
berkata: “Aduhai, seandainya aku mati dua puluh tahun silam sebelum peristiwa
ini. Setelah itu, Ali melihat mayat Muhammad bin Thalhah (yaitu anak dari
Thalhah), lalu ia menangis lagi. Muhammad bin Thalhah adalah orang yang
dijuluki dengan Assajjad (orang yang banyak sujud) karena dia banyak beribadah.
Seluruh Sahabat yang mengikuti perang ini, tanpa terkecuali, menyesali apa yang
telah terjadi.
Ibnu Jurmuz menemui Ali sambil membawa
pedang milik Azzubeir, lalu berkata: “Aku telah membunuh Azzubeir, aku telah
membunuh Azzubeir.” Mendengar hal itu, Ali berkata: “Pedang ini telah begitu
lama menghilangkan duka dan kesusahan Rasulullah. Berikanlah berita gembira
kepada orang yang telah membunuh Ibnu Shafiyyah (yaitu Azzubeir) bahwa ia akan
masuk Neraka.” Setelah itu Ali tidak mengijinkan Ibnu Jurmuz untuk menemuinya.
Pasca Perang Jamal, Ali menemui Ummul
Mukminin Aisyah, kemudian mengantarkannya pulang ke Madinah dengan penuh
kemuliaan dan kehormatan. Sebab, dahulu Nabi pernah memerintahkan kepada Ali
agar memuliakan dan menghormati Aisyah. Diriwayatkan dari Ali; dia berkata
bahwasanya Rasulullah bersabda kepadanya: “Akan terjadi suatu masalah antara
kau dan Aisyah.” Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kalau begitu, tentu aku akan
menjadi orang yang paling celaka.” Rasulullah berkata: “Tidak demikian adanya,
tapi jika itu terjadi, maka kembalikanlah dia (Aisyah) ke tempatnya yang aman.”
Maka Ali pun melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Rasulullah
kepadanya.
Mengapa
Ali menunda qishash bagi pembunuh Utsman?
Ali meninjau masalah ini dari segi
maslahat dan mafsadatnya, dan ia melihat bahwa yang maslahat adalah menunda
qishash, tapi bukan meninggalkannya sama sekali. Inilah yang menjadi alasan
ditundanya qishash. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi pada peristiwa
ifki, yaitu ketika sebagian orang menggosipkan Aisyah telah selingkuh.
Diantara mereka yang masyhur menggosipkan
Aisyah saat itu adalah: Hassan bin Tsabbit, Hammah binti Jahsy, dan Misthah bin
Utsatsah. Sementara yang menjadi penyulutnya adalah Abdullah bin Ubay bin
Salul. Ketika itu, Nabi naik ke atas mimbar, kemudian bersabda: “Siapa yang
membelaku terhadap seseorang yang menyakitiku dengan menyakiti keluargaku?”
Yang beliau maksud dengan orang itu adalah Abdullah bin Ubay bin Salul. Maka,
Sa’ad bin Mu’adz pun berdiri dan berkata: “Aku yang akan membelamu, wahai
Rasulullah! Apabila orang itu berasal dari kami, orang-orang Aus, maka kami
akan membunuhnya. Apabila orang itu berasal dari saudara kami, orang-orang
Khazraj, maka perintahkanlah pada kami untuk membunuhnya. Sa’ad bin Ubadah
kemudian berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Mu’adz. Setelah itu, Usaid
bin Hudhair berdiri dan membantah perkataan Sa’ad bin Ubadah. Nabi pun
menenangkan mereka.
Nabi tahu betul bahwa ini merupakan
masalah besar. Sebelum kedatangan nabi ke Madinah, suku Aus dan Khazraj sepakat
menjadikan Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pemimpin mereka. Maka dari itu,
orang ini mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pandangan mereka. Dialah yang
kembali bersama sepertiga pasukan pada saat Perang Uhud. Dalam hal ini, Nabi
tidak menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul. Mengapa demikian? Karena,
maslahat. Menurut pandangan beliau, menghukum Abdullah bin Ubay bin Salul
ketika itu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada apabila beliau
membiarkannya.
Demikian juga dengan Ali. Ia berpandangan
bahwa menunda qishash akan menimbulkan kerusakan yang lebih kecil daripada
mempercepatnya. Selain itu, pada masa-masa tersebut, Ali memang tidak mampu
untuk mengqishsash para pembunuh Utsman, karena orang-orangnya belum diketahui,
walaupun memang ada otak terjadinya fitnah ini dan mereka mempunyai
kabilah-kabilah yang akan membela mereka. Sedangkan keamanan belum pulih, dan
fitnah saat itu masih terjadi. Siapa yang berani menjamin bahwa mereka tidak
akan membunuh Ali? Bahkan, bila Ali mengqishashnya ketika itu, bisa dipastikan
mereka akan membunuhnya setelah itu.
Oleh karena itu, ketika tampuk
kekhalifahan dipegang oleh Mu’awiyah, ia pun tidak membunuh para pembunuh
Utsman, mengapa? Karena, pada akhirnya berkesimpulan sama seperti Ali. Ketika
itu Ali melihat realita. Sementara Mu’awiyah berkesimpulan berdasarkan analisanya
saja. Tapi setelah memegang tampuk kepemimpinan, Mu’awiyah melihat kondisi
secara riil (di lapangan). Benar, Mu’awiyah telah mengirimkan orang untuk
mengqishash sebagian di antara pembunuh Utsman, tetapi sebagiannya masih hidup
sampai jaman Alhajjaj. Barulah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan mereka
diqishash semuanya.
Intinya, Ali belum bisa membunuh mereka
bukan karena lemah, tetapi karena mengkhawatirkan keadaan umat ketika itu. Dinukil
dari buku terjemahan yang berjudul “inilah faktanya” Meluruskan sejarah umat
islam sejak wafat nabi hingga terbunuhnya husein.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar