Kamis, 06 September 2018

KISAH AJI SAKA


KISAH AJI SAKA


Orientasi
Aji Saka adalah legenda Jawa yang mengisahkan tentang kedatangan peradaban ke tanah Jawa, dibawa oleh seorang raja bernama Aji Saka. Kisah ini juga menceritakan mengenai mitos asal usul Aksara Jawa.

Asal Usul
Disebutkan Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Bumi Majeti sendiri adalah negeri antah-berantah mitologis, akan tetapi ada yang menafsirkan bahwa Aji Saka berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Aji Saka (Raja Shaka). Legenda ini melambangkan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa. Akan tetapi penafsiran lain beranggapan bahwa kata Saka adalah berasal dari istilah dalam Bahasa Jawa saka atau soko yang berarti penting, pangkal, atau asal-mula, maka namanya bermakna "raja asal-mula" atau "raja pertama". Mitos ini mengisahkan mengenai kedatangan seorang pahlawan yang membawa peradaban, tata tertib dan keteraturan ke Jawa dengan mengalahkan raja raksasa jahat yang menguasai pulau ini. Legenda ini juga menyebutkan bahwa Aji Saka adalah pencipta tarikh Tahun Saka, atau setidak-tidaknya raja pertama yang menerapkan sistem kalender Hindu di Jawa. Kerajaan Medang Kamulan mungkin merupakan kerajaan pendahulu atau dikaitkan dengan Kerajaan Medang dalam catatan sejarah.

Ringkasan
Membawa peradaban ke Jawa
Segera setelah pulau Jawa dipakukan ke tempatnya, pulau ini menjadi dapat dihuni. Akan tetapi bangsa pertama yang menghuni pulau ini adalah bangsa denawa (raksasa) yang biadab, penindas, dan gemar memangsa manusia. Kerajaan yang pertama berdiri di pulau ini adalah Medang Kamulan, dipimpin oleh raja raksasa bernama Prabu Dewata Cengkar, raja raksasa yang lalim yang punya kebiasaan memakan manusia dan rakyatnya.

Pada suatu hari datanglah seorang pemuda bijaksana bernama Aji Saka yang berniat melawan kelaliman Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berasal dari Bumi Majeti. Suatu hari menjelang keberangkatannya ia memberi amanat kepada kedua abdinya yang bernama Dora dan Sembodo, bahwa ia akan berangkat ke Jawa. Ia berpesan bahwa saat ia pergi mereka berdua harus menjaga pusaka milik Aji Saka. Tidak ada seorangpun yang boleh mengambil pusaka itu selain Aji Saka sendiri. Setelah tiba di Jawa, Aji Saka menuju ke pedalaman tempat ibu kota Kerajaan Medang Kamulan. Ia kemudian menantang Dewata Cengkar bertarung. Setelah pertarungan yang sengit, Aji Saka akhirnya berhasil mendorong Prabu Dewata Cengkar ke laut Selatan (Samudra Hindia). Akan tetapi Dewata Cengkar belum mati, ia berubah wujud menjadi Bajul Putih (Buaya Putih). Maka Aji Saka naik takhta sebagai raja Medang Kamulan.

Kisah Ular Raksasa
Sementara itu seorang perempuan tua di desa Dadapan, menemukan sebutir telur. Ia meletakkan telur itu di lumbung padi. Setelah beberapa waktu telur itu hilang dan sebagai gantinya terdapat seekor ular besar di dalam lumbung itu. Orang-orang desa berusaha membunuh ular itu, akan tetapi secara ajaib ular itu dapat berbicara: "Aku anak dari Aji Saka, bawalah aku kepadanya!" Maka diantarkanlah ia ke istana. Aji Saka mau mengakui ular itu sebagai putranya dengan syarat bahwa ular itu dapat mengalahkan dan membunuh Bajul Putih di Laut Selatan. Ular itu menyanggupi, setelah berkelahi dengan sangat sengit dengan kedua pihak memperlihatkan kekuatan yang luar biasa, ular itu akhirnya dapat membunuh Bajul Putih.  Sesuai janjinya ular itu diangkat anak oleh Aji Saka dan diberi nama Jaka Linglung (anak lelaki yang bodoh). Di istana Jaka Linglung dengan rakus memangsa semua hewan peliharaan istana. Sebagai hukumannya sang raja mengusir dia ke hutan Pesanga. Ia diikat erat hingga tak dapat bergerak, lalu Aji Saka bersabda bahwa ia hanya boleh memakan benda apa saja yang masuk ke mulutnya.

Suatu hari ada sembilan orang bocah lelaki bermain di hutan. Tiba-tiba turun hujan, mereka pun berlarian mencari tempat berteduh. Untungnya mereka menemukan sebuah gua. Hanya delapan anak yang masuk berteduh ke gua itu. Seorang anak yang menderita penyakit kulit dilarang ikut masuk ke dalam gua. Tiba-tiba gua runtuh dan menutup pintu keluarnya. Delapan orang bocah itu hilang terkurung di gua. Sesungguhnya gua itu adalah mulut Jaka Linglung.

Asal Mula Aksara Jawa
Sementara setelah Aji Saka memerintah di Medang Kamulan, Aji Saka mengirim utusan pulang ke rumahnya di Bumi Majeti untuk mengabarkan kepada abdinya yang setia Dora and Sembodo, untuk mengantarkan pusakanya ke Jawa. Utusan itu bertemu Dora dan mengabarkan pesan Aji Saka. Maka Dora pun mendatangi Sembodo untuk memberitahukan perintah Aji Saka. Sembodo menolak memberikan pusaka itu karena ia ingat pesan Aji Saka: tidak ada seorangpun kecuali Aji Saka sendiri yang boleh mengambil pusaka itu. Dora dan Sembodo saling mencurigai bahwa masing-masing pihak ingin mencuri pusaka tersebut. Akhirnya mereka bertarung, dan karena kedigjayaan keduanya sama maka mereka sama-sama mati. Aji Saka heran mengapa pusaka itu setelah sekian lama belum datang juga, maka ia pun pulang ke Bumi Majeti. Aji saka terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya dan akhirnya menyadari kesalahpahaman antara keduanya berujung kepada tragedi ini. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka menciptakan sebuah puisi yang jika dibaca menjadi Aksara Jawa hanacaraka. Susunan alfabet aksara Jawa menjadi puisi sekaligus pangram sempurna, yang diterjemahkan sebagai berikut.

Hana caraka Ada dua utusan
data sawala Yang saling berselisih
padha jayanya (Mereka) sama jayanya (dalam perkelahian)
maga bathanga Inilah mayat (mereka).
secara rinci:
hana / ana = ada
caraka = utusan (arti sesungguhnya, 'orang kepercayaan')
data = punya
sawala = perbedaan (perselisihan)
padha = sama
jayanya = 'kekuatannya' atau 'kedigjayaannya', 'jaya' dapat berarti 'kejayaan'
maga = 'inilah'
bathanga = mayatnya

Reorientasi
Legenda AJISAKA, mengungkap zuriat NABI ISHAQ di NUSANTARA
Dalam prasasti Kui (840M) disebutkan bahwa di Jawa terdapat banyak pedagang asing dari mancanagara untuk berdagang misal Cempa (Champa), Kmir (Khmer-Kamboja), Reman (Mon), Gola (Bengali), Haryya (Arya) dan Keling. Untuk kebutuhan administrasi, terdapat para pejabat lokal yang mengurusi para pedagang asing tersebut, misal Juru China yang mengurusi para pedagang dari China dan Juru Barata yang mengurusi para pedagang dari India. Mereka seperti Konsul yang bertanggung jawab atas kaum pedagang asing.

Di dalam catatan sejarah, kita mengenal gelar “Sang Haji (Sangaji)” merupakan gelar dibawah “Sang Ratu”, seperti contoh Haji Sunda pada Suryawarman (536M) dari Taruma, Haji Dharmasetu pada Maharaja Dharanindra (782M) dari Medang. Haji Patapan pada Maharaja Samaratunggadewa (824M) dari Medang. Sumber : History of Java Nusantara

Legenda Ajisaka
Dalam legenda tanah Jawa, kita mengenal nama tokoh Ajisaka. Ajisaka sangat mungkin, berasal dari kata Haji Saka, bermakna Perwakilan Negara (Duta) atau Konsul yang bertanggung jawab atas para pedagang asing, yang berasal dari negeri Saka (Sakas).

Lalu dimanakah Negeri Sakas itu?
Di dalam sejarah India, dikenal negara Sakas atau Western Satrap (Sumber : Western Satrap, Wikipedia). Pada tahun 78M Western Satrap (Sakas) mengalahkan Wikramaditya dari Dinasti Wikrama India. Kemenangan pada tahun 78M dijadikan sebagai tahun dasar dari penanggalan (kalender) Saka. Wilayah Western Satrap mencakup Rajastan, Madya Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra. Para raja dari Western Satrap biasanya memakai dua bahasa yaitu Sankrit (Sansekerta) dan Prakit serta dua aksara yaitu Brahmi dan Yunani dalam proses pembuatan prasasti dan mata uang logam kerajaan. Sejak pemerintahan Rudrasimha (160M-197M), pembuatan mata uang logam kerajaan selalu mencantumkan tahun pembuatannya berdasarkan pada Kalender Saka. Keberadaan Sakas dengan Kalender Saka-nya, nampaknya bersesuaian dengan Legenda Jawa, yang menceritakan Ajisaka (Haji Saka), sebagai pelopor Penanggalan Saka di pulau Jawa.

Para raja dari Western Satrap biasanya memakai dua bahasa yaitu Sankrit (Sansekerta) dan Prakit serta dua aksara yaitu Brahmi dan Yunani dalam proses pembuatan prasasti dan mata uang logam kerajaan. Sejak pemerintahan Rudrasimha (160M-197M), pembuatan mata uang logam kerajaan selalu mencantumkan tahun pembuatannya berdasarkan pada Kalender Saka.
Keberadaan Sakas dengan Kalender Saka-nya, nampaknya bersesuaian dengan Legenda Jawa, yang menceritakan Ajisaka (Haji Saka), sebagai pelopor Penanggalan Saka di pulau Jawa.

Dewawarman I, bukan Ajisaka
Di dalam Naskah Wangsakerta, kita mengenal seorang pedagang dari tanah India, yang bernama Dewawarman I. Beliau dikenal sebagai pendiri Kerajaan Salakanagara. Ada sejarawan berpendapat, bahwa Dewawarman I adalah indentik dengan Haji Saka (Ajisaka). Akan tetapi apabila kita selusuri lebih mendalam, sepertinya keduanya adalah dua orang yang berbeda.
Ajisaka (Haji Saka), tidak dikenal sebagai pendiri sebuah Kerajaan, melainkan dikenal membawa pengetahuan penanggalan, bagi penduduk Jawa. Sebaliknya Dewawarman I adalah pendiri Kerajaan Salakanagara, dan tidak ada riwayat yang menceritakan, bahwa beliau pelopor Kalender Saka.

Dewawarman I di-indentifikasikan berasal dari Dinasti Pallawa (Pahlavas), beliau berkebangsaan Indo-Parthian, yang berkemungkinan salah satu leluhurnya adalah Arsaces I (King) of PARTHIA. Dan jika diselusuri silsilahnya akan terus menyambung kepada Artaxerxes II of Persia bin Darius II of Persia bin Artaxerxes I of Persia bin Xerxes I “The Great” of Persia bin Atossa of Persia binti Cyrus II “The Great” of Persia (Zulqarnain). Sumber : The PEDIGREE of Arsaces I (King) of PARTHIA dan Menemukan Zul-Qarnain, dalam Sejarah

Sementara Ajisaka (Haji Saka), di-identifikasikan berasal dari Sakas (Western Satrap), beliau berkebangsaan Indo-Scythian, dimana susur galurnya besar kemungkinan, menyambung kepada keluarga kerajaan di India Utara (King Moga/Maues). Sumber : Indo-Scythians  dan Maues, Wikipedia

Namun ternyata, kedua Leluhur masyarakat Sunda dan Jawa ini, memiliki satu persamaan, yakni : Dewawarman I (Indo-Parthian) dan Ajisaka (Indo-Scythian), sesungguhnya merupakan Zuriat (Keturunan) dari Nabi Ishaq bin Nabi Ibrahim (Bani Ishaq), yaitu melalui dua anaknya Nabi Yakub (Jacob) dan Al Aish (Esau). Sumber : THE TWO HOUSES OF ISRAEL, Who were the Saxons/Saka/Sacae/Scythians? Sons of IsaacKomunitas Muslim, dari Bani Israil dan (Connection) Majapahit, Pallawa dan Nabi Ibrahim ?

Kisah Aji Saka dan Asal Muasal Aksara Jawa
Kisah sejarah ini menarik banget untuk diketahui. Karena menyimpan banyak hal unik yang kalau dimengerti, sangat terkait dengan apa yang kita alami sekarang, khususnya bagi mereka yang tinggal di Pulau Jawa. Pertama-tama, kita kupas dulu latar belakang sang tokoh, Aji Saka.

Kisah Aji Saka
Dahulu kala, ada sebuah kerajaan bernama Medang Kamulan yang diperintah oleh raja bernama Prabu Dewata Cengkar yang buas dan suka makan manusia. Setiap hari sang raja memakan seorang manusia yang dibawa oleh Patih Jugul Muda. Sebagian kecil dari rakyat yang resah dan ketakutan mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.

Di dusun Medang Kawit ada seorang pemuda bernama Aji Saka yang sakti, rajin dan baik hati. Suatu hari, Aji Saka berhasil menolong seorang bapak tua yang sedang dipukuli oleh dua orang penyamun. Bapak tua yang akhirnya diangkat ayah oleh Aji Saka itu ternyata pengungsi dari Medang Kamulan. Mendengar cerita tentang kebuasan Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka berniat menolong rakyat Medang Kamulan. Dengan mengenakan serban di kepala Aji Saka berangkat ke Medang Kamulan.

Perjalanan menuju Medang Kamulan tidaklah mulus, Aji Saka sempat bertempur selama tujuh hari tujuh malam dengan setan penunggu hutan, karena Aji Saka menolak dijadikan budak oleh setan penunggu selama sepuluh tahun sebelum diperbolehkan melewati hutan itu.
Tapi berkat kesaktiannya, Aji Saka berhasil mengelak dari semburan api si setan. Sesaat setelah Aji Saka berdoa, seberkas sinar kuning menyorot dari langit menghantam setan penghuni hutan sekaligus melenyapkannya.

Aji Saka tiba di Medang Kamulan yang sepi. Di istana, Prabu Dewata Cengkar sedang murka karena Patih Jugul Muda tidak membawa korban untuk sang Prabu. Dengan berani, Aji Saka menghadap Prabu Dewata Cengkar dan menyerahkan diri untuk disantap oleh sang Prabu dengan imbalan tanah seluas serban yang digunakannya. Saat mereka sedang mengukur tanah sesuai permintaan Aji Saka, serban terus memanjang sehingga luasnya melebihi luas kerajaan Prabu Dewata Cengkar. Prabu marah setelah mengetahui niat Aji Saka sesungguhnya adalah untuk mengakhiri kelalimannya.

Ketika Prabu Dewata Cengkar sedang marah, serban Aji Saka melilit kuat di tubuh sang Prabu. Tubuh Prabu Dewata Cengkar dilempar Aji Saka dan jatuh ke laut selatan kemudian hilang ditelan ombak. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Ia memboyong ayahnya ke istana. Berkat pemerintahan yang adil dan bijaksana, Aji Saka menghantarkan Kerajaan Medang Kamulan ke jaman keemasan, jaman dimana rakyat hidup tenang, damai, makmur dan sejahtera.

Terciptanya Aksara Jawa
Huruf (aksara) Jawa terdiri dari duapuluh yaitu ; ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga (dalam ucapan/sebutan: ho-no-ro-ko-do-to-so-wo-lo-po-dho-jo-yo-nyo-mo-go-bo-tho-ngo), yang didalamnya ternyata mengandung arti menceritakan sebuah legenda, yaitu tentang seorang pahlawan dalam mitologi yang datang dari Makkah sedang berkelana ke berbagai negara, yang kemudian diketahui bernama Ajisaka.

Ajisaka datang di Srilangka pantai India Selatan kemudian di Sokadana (mungkin yang dimaksud adalah Sumatera) dan akhirnya tiba suatu tempat di Pulau Jawa yang waktu itu masih dihuni oleh raksasa-raksasa. Pertamakali, Ajisaka menemukan sejenis gandum yang dinamakan “jawawut” sebagai makanan pokok penduduk di tempat itu, yang kemudian ia memberi nama pulau itu menjadi “Nusa Jawa”.

Tentang Aji Saka sendiri, terdapat berbagai literatur yang mengkisahkan sejarah Ajisaka dalam versi yang berbeda. Menurut Dr. Purwadi, M.Hum dan Hari Jumanto, S.S dalam buku Asal Mula Tanah Jawa (Gelombang Ilmu: Sleman-Yogyakarta: 2006), yang disusun berdasarkan Kitab-kitab Jawa Juno dari Serat Pustaka Raja Purwa karya Raden Ngabehi Ranggawarsita, juga diambil dari kisah-kisah Babad Tanah Jawi. Dr. Purwadi,M.Hum dan Hari Jumanto, S.S menyebutkan, Ajisaka adalah orang yang pertama menginjakkan kaki di tanah Jawa dengan nama Prabu Isaka atau Prabu Ajisaka.

Prabu Ajisaka diperintahkan untuk berangkat melakukan tapa brata (meditasi) ke sebuah pulau yang sangat panjang. Kata “panjang” dalam bahasa Jawa artinya “dawa”, yang oleh Sang Hyang Guru disebut “jawa” atau “pulau jawa”.

Di dalam perjalannya ke Pulau dawa (Pulau Jawa) yang cukup panjang dari Aceh sampai Bali masih bersatu. Prabu Ajisaka untuk pertama menginjakkan kaki dan bermukim di Gunung Hyang atau sekarang bernama Gunung Kendeng di daerah antara Probolinggo dan Besuki (Daerah Jawa Timur) dengan nama Empu Sangkala. Aji Saka kemudian menemukan dua Raksasa yang terbujur kaku (mati). Ketika Ajisaka melihat tangan mereka masing-masing menggenggam “daun lontar yang berisi tulisan”, di tangan raksasa yang satu bertuliskan huruf “purwa” (kuno) dan satunya lagi huruf Thai. Setelah dua tulisan tersebut disatukannya, Ajisaka menciptakan Abjad (Aksara) Jawa yang terdiri dari duapuluh huruf, sebagaimana telah disebutkan di awal.

Tidak sekedar menciptakan aksara, akan tetapi Ajisaka juga memberikan arti dalam setiap lajur aksara Jawa tersebut, yaitu: Ha-na-ca-ra-ka (ho-no-co-ro-ko) = ada dua utusan (dua raksasa), Da-ta-sa-wa-la (do-to-so-wo-lo) = saling bertengkar/berkelahi, Pa-dha-ja-ya-nya (po-dho-jo-yo-nyo) = sama-sama kuat dan sakti, Ma-ga-ba-tha-nga (mo-go-bo-tho-ngo) = akhirnya mereka “sampyuh” (mati bersama).

Dalam versi yang berbeda, di dalam buku “Nawang Sari” (Fajar Pustaka Baru:Yogyakarta:2002) DR. Damardjati Supadjar mengatakan mengatakan terjadi salah kaprah pemahaman kandungan makna dari honocoroko seperti tersebut diatas. Damardjati Supadjar mengutip ungkapan Ki Sarodjo “bagi perasaan saya rangkaian huruf di dalam carakan jawa itu bukannya menambatkan suatu kisah, melainkan suatu ungkapan filosofis yang berlaku universal dan sangat dalam artinya dan membawa kita tunduk dan taqwa kepada Allah”.

Menurut Ki Sarodjo, yang benar adalah: honocoroko, (hono= ada) (coroko= Cipto-Roso-Karso) sehingga honocoroko = ada cipta-rasa dan karsa, dotosowolo,(doto = datan atau tanpa) (sowolo= suwolo atau menentang) sehingga dotosowolo = tidak menentang atau tidak keberatan atau pasrah kemudian podhojoyonyo (podho = sama sama), (joyonyo = sukses/berjaya) sehingga podhojoyonyo = sama sama sukses) dan mogobothongo ( mogo = meletakkan sesuatu di tempat yang tinggi, (bothongo = bathiniyah = spiritualitas) sehingga mogobhotongo = meletakkan potensi taqwa dan amal di dalam hati sanubari serta disimpan pada tempat yang tinggi.

Artinya, derajat seseorang muslim/muslimat bukan terletak pada kekuasaannya, kepandaiannya, kekayaannya, kegagahannya, kekuatannya, akan tetapi terketak pada “ketaqwaannya”. Pada dekade berikutnya, oleh para ahli kejawen dan kebatinan Jawa, aksara Jawa hanacaraka ini diberi energi magic yang diyakini mereka dapat dijadikan “daya penolak” berbagai hal-hal yang buruk dan membahayakan manusia, bernama ajian “carakabalik”, yaitu dengan cara dibalik (membaca dari huruf terakhir) “nga-tha-ba-ga-ma, nya-ya-ja-dha-pa, la-wa-sa-ta-da, ka-ra-ca-na-ha”.

Sumber : Google Wikipedia

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...