KISAH RAJA AIRLANGGA
Orientasi
Airlangga
(Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan
gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu
Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang
raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya
dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua
menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini
masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai
tempat di Indonesia.
Asal Usul
Nama
Airlangga berarti "Air yang
melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya
bernama Udayana,
raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat,
bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat,
serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.
Airlangga
memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali
sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu
(naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang
dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok
dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di
Jawa Tengah.
Masa Pelarian
Airlangga
menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta
pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang
berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang
merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam
prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut,
yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut
terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.
Dalam
serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke
hutan pegunungan (wanagiri)
ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama.
Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah
satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang
Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.
Setelah
tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya
supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun
membangun ibu kota baru bernama Watan
Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun
1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo
dan Pasuruan
saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang
melepaskan diri. Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal
ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.
Masa Peperangan
Sejak
tahun 1025,
Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya
Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa.
Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032),
Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa
Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah
ke Kahuripan
(daerah Sidoarjo
sekarang).
Airlangga
pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan
Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja
Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat
dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032
seorang raja wanita dari daerah Tulungagung
sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya.
Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala,
dan membangun ibu kota baru di Kahuripan.
Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula
Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari,
membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga
menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu.
Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya
sendiri.
Masa Pembangunan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan,
Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat.
Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang
penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah
kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke
Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan
pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat
dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain :
Ø
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Ø
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk
mencegah banjir musiman.
Ø
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah
pesisir ke pusat kerajaan.
Ø
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi
beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga
juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna
Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab
tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai
kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan Kerajaan
Pada
tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan
menurut Babad Tanah Jawi
ia bergelar Resi Gentayu. Namun
yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut
gelar kependetaan Airlangga adalah Resi
Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Berdasarkan
cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup
sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021)
sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya
Tunggadewi. Menurut
Serat Calon Arang,
Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia
pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada
berangkat ke Bali
mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana
digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain
yaitu Anak Wungsu.
Airlangga
lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada
ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa
pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka
terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri
berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala
berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan,
diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20
November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti
Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan
kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Akhir Hayat
Tidak
diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059)
peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka
Mpungku dimakamkan di tirtha
atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti
Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca
Wisnu
disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga
adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung
tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya,
yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan
pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun
pembangunan candi pemandian tersebut.
Kahuripan, Daha atau Panjalu
Nama
kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan
hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga.
Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai
raja Daha.
Bahkan, Nagarakretagama
juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu
yang berpusat di Daha.
Pemakaian Nama
Airlangga
Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi
beberapa nama, antara lain:
Ø
Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di
Indonesia.
Ø
Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai
nama jalan.
Kepustakaan
Ø
Babad Tanah Jawi. 2007.
(terj.). Yogyakarta: Narasi
Ø
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka.
Siapakah Raja Airlangga ?
Riwayat
hidup Airlangga, dapat diketahui dari sebuah prasasti (batu bertulis) yang
disebut “Batu Calcutta”. Disebut demikian, karena batu itu dibawa oleh Raffles
dari Jawa dan kini disimpan di museum Calcutta. Airlangga dilahirkan di Bali
pada tahun 1000 Masehi. Ia dikenal sebagai putera dari Pangeran Udayana dan
Ratit Mahendradatta yang memegang pemerintahan di pulau itu. Mahendradatta
adalah keturunan ketiga dari Raja Sindok yang memerintah di Jawa Timur dari
tahun 929 sampai tahun 949.
Bagan,
silsilah Airlangga sebagai berikut :
Ø Sindok I
Ø Isanatunggawijaya x Lokapala I
Ø Makutawangsawardana I
Ø Mahendradatta x Udayana I
Ø Airlangga
Airlangga
adalah keturunan Sindok melalui dua orang ratu. Sejak kecil ia mendapat
pelbagai pendidikan. Sebagai anak ksatria ia diasuhan kaum Brahmana memperoleh
pelajaran agama, dari kaum cerdik pandai dipelajarinya ilmu-ilmu pengetahuan.
Menjelang dewasa, ia dikenal sebagai pemuda yang ta’at beragama, tangkas
menggunakan senjata dan berbudi luhur, tubuhnya kokoh perkasa, ia disegani
kawan- kawan sebaya atau seperguruannya.
Namun
ia tetap rendah hati, tidak sombong atau angkuh, terhadap orang tuanya ia
sangat hormat dan kepada guru-gurunya ia sangat patuh. Sifat-sifatnya terpuji
pemuda Airlangga yang gagah berani, tetapi rendah hati dan berbudi bahasa baik.
Hal itu terdengar pula oleh Raja Dharmawangsa, yang bertakhta di Jawa Timur.
Dharmawangsa
berkenan mengambil Airlangga sebagai menantunya. Raja Dharmawangsa bahkan
mengharapkan Airlangga kelak menjadi penggantinya menduduki takhta di Jawa
Timur. Maksud Dharmawangsa untuk mempertemukan puterinya dengan Airlangga
disambut dengan gembira oleh Pangeran Udayana. Lebih-lebih setelah dijelas-
kan, bahwa Airlangga akan diangkat sebagai putera mahkota di Jawa Timur. Hal
itu berarti akan lanjutnya keturunan Sindok dari wangsa Isana sebagai penguasa
kerajaan?Sebagaimana telah dikatakan, dari fihak ibunya, Airlangga adalah
keturunan Sindok. Dengan demikian hubungan kekeluargaan antara raja Jawa dan
Bali tetap akan terpelihara baik.
Saat
pernikahan antara Airlangga dengan puteri Dharmawangsa berlangsung, tiba-tiba
datanglah beberapa pengawal istana dengan terengah-engah menghampiri raja.
Mereka memberitahukan tentang adanya serbuan musuh. Dan sekonyong-konyong
berloncatanlah sejumlah pasukan musuh melewati perbentengan istana mereka
menyerbu lawan yang tiada bersenjata. Perlawanan dapat dikatakan tidak ada,
kecuali dari sejumlah kecil pasukan pengawal raja, tetapi inipun semua menemui
ajalnya. Mereka memang tak mampu meng- hadapi pasukan musuh yang demikian
besarnya. Maka serangan musuh itu berakibat penghancuran keraton dan seluruh
pusat kerajaan Jawa Timur. Di tengah-tengah kegaduhan itu Raja Dharmawangsa
mati terbunuh bersama-sama dengan sejumlah besar pembesar keraton lainnya.
Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1017 dikenal dengan nama “pralaya” atau
pemusnahan.
Tentara
musuh yang telah mendatangkan kehancuran keraton Jawa Timur, adalah tentara
yang dipimpin oleh Raja Wurawari. Raja Wurawari adalah sekutu dari Raja
Sriwijaya, sedangkan Kerajaan Sriwijaya merupakan musuh bebuyutan Dharmawangsa,
serangan terhadap pusat kerajaan Dharmawangsa merupakan pembalasan dendam oleh
Sriwijaya. Dharmawangsa maupun Sriwijaya berusaha merebut kedudukan utama di
Nusantara. Peperangan telah berlangsung beberapa tahun lamanya. Beberapa saat
tentara Dharmawangsa telah berhasil menduduki wilayah kekuasaan Sriwijaya di
sebelah selatan Sumatera. Bahkan kekuasaan lautpun selama beberapa tahun
beralih pula ke pemerintahan kerajaan Jawa Timur. Oleh sebab itu perhubungan
Sriwijaya dengan negeri luar terputus sama sekali.
Raja
Sriwijaya cukup cerdik ia tidak tinggal diam, dalam keadaan yang serba lemah,
berbagai siasat direncanakan untuk dapat mengadakan pembalasan. Karena
pembalasan langsung tidak memungkinkan, maka ia mengambil jalan lain. Dengan
menjalin persekutuan dengan kerajaan Wurawari dari Jawa. Maka pembalasan itu
baru menjadi kenyataan. Serangan pembalasan itu bahkan mendatangkan malapetaka
bagi kerajaan Jawa Timur. Keraton habis terbakar, ribuan orang meaemui ajalnya
termasuk di antaranya Raja Dharmawangsa. Oleh karena itu kerajaan Jawa Timur
runtuhlah seluruhnya. Dengan lenyapnya kekuasaan pusat, raja-raja hulu yang
semula tunduk kepada Dharmawangsa sekarang memerdekakan diri. Mereka lebih
senang berdiri sendiri dari pada terikat pada suatu kekuasaan lain. Maka
muncullah kini sejumlah kerajaan kecil di wilayah bekas kerajaan Dharmawangsa
dahulu. Itulah keadaan negara peninggalan Raja Dharmawangsa yang diwaris oleh
Airlangga.
Tatkala
terjadi penyerbuan, Airlangga bersama beberapa orang lainnya berhasil
meloloskan diri. Pada waktu itu ia baru saja berusia 16 tahun. Dalam usia
semuda itu belumlah ia berniat untuk melakukan Puputan (pertempuran
habis-habisan). Airlangga bertekad untuk menyusun kekuatan dan merebut kembali
kekuasaan. Bukankah ia adalah putera mahkota yang harus menggantikan
Dharmawangsa? Sementara itu Airlangga menantikan saat yang baik untuk memulai
menjalankan rangkaian peperangan, bercita-cita hendak mempersatukan kembali
seluruh kerajaannya?
Dengan
ditemani sahabatnya yang paling setia, Narottama namanya, Airlangga melanjutkan
perjalanan jauh ke pedalaman. Apakah daya seorang pengungsi meskipun ia seorang
putera mahkota? Beberapa tahun lamanya ia harus mengembara di hutan Wonogiri.
Di sana ia hidup sebagai seorang pertapa dengan berpakaian, makan, minum
sebagai pertapa pula. Dilatihnya pula berpuasa dan cara menahan hawa napsu.
Dalam kesengsaraan yang serupa itulah, ia semakin meneguhkan hati dan
menguatkan tekadnya “merebut kembali kerajaan Dharmawangsa”.
Kisah Raja Airlangga
Reorientasi
Raja Airlangga pada mulanya adalah menantu Darmawangsa
Raja terakhir dinasti Ishayana yang memerintah Jawa Timur. Pada saat perkawinan
antara Airlangga dan Putri Darmawangsa digelar terjadi serangan mendadak dari
Kerajaan Wara-Wuri. Darmawangsa dan kerajaannya direbut dan dihancurkan musuh
sementara Airlangga berhasil melarikan diri. Bersama pengikut setianya
Norattama Airlangga yang dalam pelarian itu kemudian menjadi seorang pertapa,
ia menjadi pertapa selama 3 tahun yaitu dari 1016-1019 Masehi.
Selanjutnya ketika Airlangga bangkit dari pertapannya,
ia kemudian mengumpulkan kembali para pejabat dan rakyat kerajaan mertuanya
yang sempat tercerai berai, ia pun kemudian dinobatkan menjadi Raja Pengganti Darmawangsa
oleh para pendeta Budha dan Hindu. Penobatan tersebut digelar pada tahun 1019
Masehi. Tidak lama setelah Airlangga berhasil menyelesaikan pertapaannya.
Adapun gelar yang disandang oleh Airlangga adalah "Rakai Halu Sri
Lokaswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa".
Pada mulanya wilayah kekuasaan Airlangga terbilang
kecil, hanya meliputi daerah Surabaya dan Pasuruan sekarang. Akan tetapi dengan
modal daerah sekecil itu, Airlangga dapat menegakan kembali kerajaan mertuanya.
Sebab berbarengan dengan usahanya untuk membangkitkan kerajaannya itu terjadi
peristiwa menghebohkan di Sriwijaya karena pada tahun 1023 dan 1030 Sriwijaya
diserang Kerajaan dari Colomandala India. Sehingga kontrol Sriwijaya dan
Wora-Wari di Jawa mengendor. Mendapati Sriwijaya dalam kondisi terpuruk,
Airlangga kemudian menikahi Putri Sriwijaya yaitu putri Sanggrama Wijaya. Atas
perkawinan politik ini Airlangga kemudian mendapatkan kepastian keamanan dalam
membangun kerajaannya.
Dari mulai tahun 1028-1035, Airlangga kemudian
melakukan ekspansi militer dibekas wilayah kerajaan mertuanya yang sudah
memerdekakan diri. Ia menaklukan Raja Bhismaprabawa pada tahun 1029, ia juga
mebaklukan Raja Wijaya dari Wengker pada tahun 1031, ia juga kemudian
menaklukan Raja Wora-Wari pada tahun 1032. Pasca kekalahan Wora-Wari tuntas
sudah dendam lama Airlangga. Sebab ia berhasil menaklukan kerajaan yang dahulu
memporak porandakan kerajaan mertuanya.
Setelah dirasa tidak ada lagi yang menghalangi
Airlangga dalam membangun negara, ia kemudian menyatukan kembali kerajaan
mertuanya. Ia pun kemudian dikisahkan sukses besar dalam membangun negara.
Sukses pembangunan negara yang dilakukan Airlangga itu terbukti dari kabar
pembangunan tanggul sungai Brantas di Waringin Sapta sehingga rakyat kembali
sejahtera. Ia pun secara besar-besaran membangun Pelabuhan untuk perdagangan
dan maritim di berbagai wilayah Kerajaannya, diantaranya pelabuhan Kembang
Putih di Tuban.
Selain melakukan pembangunan besar-besaran Airlangga
juga rupanya tidak lupa pada orang-orang yang setia membangun negara dari nol
bersamanya, ia kemudian mengangkat Norattama menjadi Rakyan atau raja bawahan
di Kanuruhan, sementara Nitti diangkat menjadi Rakyan Kuningan. Adapun sebagai
kenang-kenangan waktu Airlangga menjadi pertapa, ia membangun pertapaan di di
Pucangan yaitu suatu daerah yang terletak di Penanggungan. Atas jasanya dalam
membangun tempat pertapaan ini, kelak Airlangga digelari Resi Gentayu.
Dimasa sepuhnya, Airlangga kemudian memilih kembali
menjadi pertapa, akan tetapi sebelum ia memutuskan menjadi pertapa ia, membelah
kerajaannya menjadi dua, tujuannya agar kedua putranya kelak tidak berebut
kekuasaan. Pembagian kerajaan itu dilakukan dengan bantuan Mpu Bharada.
Kerajaan yang dibelah itu kemudian dinamai Jenggala (Singhasari) dengan
Ibukotanya Kahuripan, dan Panjalu (Kediri) dengan Ibukotanya Daha.
Setelah
berhasil membagi kerajaannya menjadi dua barulah kemudian Airlangga mengundurkan
diri dari pemerintahan. Ia menjadi pertapa dengan menyandang gelarnya Resi
Gentayu. Airlangga wafat pada 1049 dan kemudian ia dicandikan, kini candi itu
dikenal dengan nama candi Belahan, ia digambarkan sebagai Wisnu yang sedang
naik garuda mukha.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar