Rabu, 26 September 2018

KISAH RAJA AIRLANGGA

KISAH RAJA AIRLANGGA

Orientasi
Airlangga (Bali, 990 - Belahan, 1049) atau sering pula ditulis Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah 1009-1042 dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Janggala bagi kedua putranya. Nama Airlangga sampai saat ini masih terkenal dalam berbagai cerita rakyat, dan sering diabadikan di berbagai tempat di Indonesia.

Asal Usul
Nama Airlangga berarti "Air yang melompat". Ia lahir tahun 990. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari Kerajaan Medang. Waktu itu Medang menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali, mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya.

Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata). Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkannya, Airlangga mengakui sebagai keturunan dari Mpu Sindok dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.

Masa Pelarian
Airlangga menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta) di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (sekarang sekitar Maospati, Magetan, Jawa Timur). Ketika pesta pernikahan sedang berlangsung, tiba-tiba kota Wwatan diserbu Raja Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang desa Ngloram, Cepu, Blora), yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian tersebut tercatat dalam prasasti Pucangan (atau Calcutta Stone). Pembacaan Kern atas prasasti tersebut, yang juga dikuatkan oleh de Casparis, menyebutkan bahwa penyerangan tersebut terjadi tahun 928 Saka, atau sekitar 1006/7.

Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia 16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jawa Timur.

Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Wwatan sudah hancur, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan. Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009 itu, wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023, Kerajaan Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga lebih leluasa mempersiapkan diri untuk menaklukkan Pulau Jawa.

Masa Peperangan
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang).

Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula. Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita pada akhirnya dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.

Masa Pembangunan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri sekarang).

Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain :
Ø Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Ø Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Ø Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.
Ø Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Ø Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Ø Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.

Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha. Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.

Pembelahan Kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.

Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.

Akhir Hayat
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan. Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga, ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut.

Kahuripan, Daha atau Panjalu
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.

Pemakaian Nama Airlangga
Nama Airlangga pada masa sekarang diabadikan menjadi beberapa nama, antara lain:
Ø Nama sebuah kelurahan di Surabaya.
Ø Di Surabaya juga terdapat Universitas Airlangga, sebuah perguruan tinggi negeri tertua dan ternama di Indonesia.
Ø Di Kota Kediri terdapat Museum Erlangga.
Ø Di Jakarta terdapat Penerbit Erlangga.
Ø Selain itu beberapa kota juga menggunakannya sebagai nama jalan.

Kepustakaan
Ø Babad Tanah Jawi. 2007. (terj.). Yogyakarta: Narasi
Ø Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.
Ø Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Siapakah Raja Airlangga ?
Riwayat hidup Airlangga, dapat diketahui dari sebuah prasasti (batu bertulis) yang disebut “Batu Calcutta”. Disebut demikian, karena batu itu dibawa oleh Raffles dari Jawa dan kini disimpan di museum Calcutta. Airlangga dilahirkan di Bali pada tahun 1000 Masehi. Ia dikenal sebagai putera dari Pangeran Udayana dan Ratit Mahendradatta yang memegang pemerintahan di pulau itu. Mahendradatta adalah ketu­runan ketiga dari Raja Sindok yang memerintah di Jawa Timur dari tahun 929 sampai tahun 949.

Bagan, silsilah Airlangga sebagai berikut :
Ø Sindok I
Ø Isanatunggawijaya x Lokapala I
Ø Makutawangsawardana I
Ø Mahendradatta x Udayana I
Ø Airlangga

Air­langga adalah keturunan Sindok melalui dua orang ratu. Sejak kecil ia mendapat pelbagai pendidikan. Sebagai anak ksatria ia diasuhan kaum Brahmana memperoleh pelajaran agama, dari kaum cerdik pandai dipelajarinya ilmu-ilmu pengetahuan. Menjelang dewasa, ia dikenal sebagai pemuda yang ta’at beragama, tangkas menggunakan senjata dan berbudi luhur, tubuhnya kokoh perkasa, ia disegani kawan- kawan sebaya atau seperguruannya.

Namun ia tetap rendah hati, tidak sombong atau angkuh, terhadap orang tuanya ia sangat hormat dan kepada guru-gurunya ia sangat patuh. Sifat-sifatnya terpuji pemuda Airlangga yang gagah berani, tetapi rendah hati dan berbudi bahasa baik. Hal itu terdengar pula oleh Raja Dharmawangsa, yang bertakhta di Jawa Timur.
Dharmawangsa berkenan mengambil Airlangga sebagai menantunya. Raja Dharmawangsa bahkan mengharapkan Airlangga kelak menjadi penggantinya menduduki takhta di Jawa Timur. Maksud Dharma­wangsa untuk mempertemukan puterinya dengan Airlangga disambut dengan gembira oleh Pangeran Udayana. Lebih-lebih setelah dijelas- kan, bahwa Airlangga akan diangkat sebagai putera mahkota di Jawa Timur. Hal itu berarti akan lanjutnya keturunan Sindok dari wangsa Isana sebagai penguasa kerajaan?Sebagaimana telah dikatakan, dari fihak ibunya, Airlangga adalah keturunan Sindok. Dengan demikian hubungan kekeluargaan antara raja Jawa dan Bali tetap akan terpelihara baik.

Saat pernikahan antara Airlangga dengan puteri Dharma­wangsa berlangsung, tiba-tiba datanglah beberapa pengawal istana dengan terengah-engah menghampiri raja. Mereka memberitahukan tentang adanya serbuan musuh. Dan sekonyong-konyong berloncatanlah sejumlah pasukan musuh melewati perbentengan istana mereka menyerbu lawan yang tiada bersenjata. Perlawanan dapat dikatakan tidak ada, kecuali dari sejumlah kecil pasukan pengawal raja, tetapi inipun semua menemui ajalnya. Mereka memang tak mampu meng- hadapi pasukan musuh yang demikian besarnya. Maka serangan musuh itu berakibat penghancuran keraton dan seluruh pusat kerajaan Jawa Timur. Di tengah-tengah kegaduhan itu Raja Dharmawangsa mati terbunuh bersama-sama dengan sejumlah besar pembesar keraton lainnya. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1017 dikenal de­ngan nama “pralaya” atau pemusnahan.

Tentara musuh yang telah mendatangkan kehancuran keraton Jawa Timur, adalah tentara yang dipimpin oleh Raja Wurawari. Raja Wurawari adalah sekutu dari Raja Sriwijaya, sedangkan Kerajaan Sriwijaya merupakan musuh bebuyutan Dhar­mawangsa, serangan terhadap pusat kerajaan Dharmawangsa merupakan pembalasan dendam oleh Sri­wijaya. Dharmawangsa maupun Sriwijaya berusaha merebut kedudukan utama di Nusantara. Peperangan telah berlangsung beberapa tahun lamanya. Beberapa saat tentara Dharmawangsa telah berhasil menduduki wilayah kekuasaan Sriwijaya di sebelah selatan Sumatera. Bahkan kekuasaan lautpun selama beberapa tahun beralih pula ke pemerintahan kerajaan Jawa Timur. Oleh sebab itu perhubungan Sriwijaya dengan negeri luar terputus sama sekali.

Raja Sriwijaya cukup cerdik ia tidak tinggal diam, dalam keadaan yang serba lemah, berbagai siasat direncanakan untuk dapat mengadakan pembalasan. Karena pembalasan langsung tidak memungkinkan, maka ia mengambil jalan lain. Dengan menjalin persekutuan dengan kerajaan Wurawari dari Jawa. Maka pembalasan itu baru menjadi kenyataan. Serangan pembalasan itu bahkan mendatangkan malapetaka bagi kerajaan Jawa Timur. Keraton habis terbakar, ribuan orang meaemui ajalnya termasuk di antaranya Raja Dharmawangsa. Oleh karena itu kerajaan Jawa Timur runtuhlah seluruhnya. Dengan lenyapnya kekuasaan pusat, raja-raja hulu yang semula tunduk kepada Dharmawangsa sekarang memerdekakan diri. Mereka lebih senang berdiri sendiri dari pada terikat pada suatu kekuasaan lain. Maka muncullah kini sejumlah kerajaan kecil di wilayah bekas kerajaan Dharmawangsa dahulu. Itulah keadaan negara peninggalan Raja Dharmawangsa yang diwaris oleh Airlangga.

Tatkala terjadi penyerbuan, Airlangga bersama beberapa orang lainnya berhasil meloloskan diri. Pada waktu itu ia baru saja berusia 16 tahun. Dalam usia semuda itu belumlah ia berniat untuk melakukan Puputan (pertempuran habis-habisan). Airlangga bertekad untuk menyusun kekuatan dan merebut kembali kekuasaan. Bukankah ia adalah putera mahkota yang harus menggantikan Dharmawangsa? Sementara itu Airlangga menantikan saat yang baik untuk memulai menjalankan rangkaian peperangan, bercita-cita hendak mempersatukan kembali seluruh kerajaannya?

Dengan ditemani sahabatnya yang paling setia, Narottama namanya, Airlangga melanjutkan perjalanan jauh ke pedalaman. Apakah daya seorang pengungsi meskipun ia seorang putera mahkota? Bebe­rapa tahun lamanya ia harus mengembara di hutan Wonogiri. Di sana ia hidup sebagai seorang pertapa dengan berpakaian, makan, minum sebagai pertapa pula. Dilatihnya pula berpuasa dan cara menahan hawa napsu. Dalam kesengsaraan yang serupa itulah, ia semakin meneguhkan hati dan menguatkan tekadnya “merebut kembali kerajaan Dharmawangsa”.

Kisah Raja Airlangga
Reorientasi
Raja Airlangga pada mulanya adalah menantu Darmawangsa Raja terakhir dinasti Ishayana yang memerintah Jawa Timur. Pada saat perkawinan antara Airlangga dan Putri Darmawangsa digelar terjadi serangan mendadak dari Kerajaan Wara-Wuri. Darmawangsa dan kerajaannya direbut dan dihancurkan musuh sementara Airlangga berhasil melarikan diri. Bersama pengikut setianya Norattama Airlangga yang dalam pelarian itu kemudian menjadi seorang pertapa, ia menjadi pertapa selama 3 tahun yaitu dari 1016-1019 Masehi.

Selanjutnya ketika Airlangga bangkit dari pertapannya, ia kemudian mengumpulkan kembali para pejabat dan rakyat kerajaan mertuanya yang sempat tercerai berai, ia pun kemudian dinobatkan menjadi Raja Pengganti Darmawangsa oleh para pendeta Budha dan Hindu. Penobatan tersebut digelar pada tahun 1019 Masehi. Tidak lama setelah Airlangga berhasil menyelesaikan pertapaannya. Adapun gelar yang disandang oleh Airlangga adalah "Rakai Halu Sri Lokaswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa".

Pada mulanya wilayah kekuasaan Airlangga terbilang kecil, hanya meliputi daerah Surabaya dan Pasuruan sekarang. Akan tetapi dengan modal daerah sekecil itu, Airlangga dapat menegakan kembali kerajaan mertuanya. Sebab berbarengan dengan usahanya untuk membangkitkan kerajaannya itu terjadi peristiwa menghebohkan di Sriwijaya karena pada tahun 1023 dan 1030 Sriwijaya diserang Kerajaan dari Colomandala India. Sehingga kontrol Sriwijaya dan Wora-Wari di Jawa mengendor. Mendapati Sriwijaya dalam kondisi terpuruk, Airlangga kemudian menikahi Putri Sriwijaya yaitu putri Sanggrama Wijaya. Atas perkawinan politik ini Airlangga kemudian mendapatkan kepastian keamanan dalam membangun kerajaannya.

Dari mulai tahun 1028-1035, Airlangga kemudian melakukan ekspansi militer dibekas wilayah kerajaan mertuanya yang sudah memerdekakan diri. Ia menaklukan Raja Bhismaprabawa pada tahun 1029, ia juga mebaklukan Raja Wijaya dari Wengker pada tahun 1031, ia juga kemudian menaklukan Raja Wora-Wari pada tahun 1032. Pasca kekalahan Wora-Wari tuntas sudah dendam lama Airlangga. Sebab ia berhasil menaklukan kerajaan yang dahulu memporak porandakan kerajaan mertuanya.

Setelah dirasa tidak ada lagi yang menghalangi Airlangga dalam membangun negara, ia kemudian menyatukan kembali kerajaan mertuanya. Ia pun kemudian dikisahkan sukses besar dalam membangun negara. Sukses pembangunan negara yang dilakukan Airlangga itu terbukti dari kabar pembangunan tanggul sungai Brantas di Waringin Sapta sehingga rakyat kembali sejahtera. Ia pun secara besar-besaran membangun Pelabuhan untuk perdagangan dan maritim di berbagai wilayah Kerajaannya, diantaranya pelabuhan Kembang Putih di Tuban.

Selain melakukan pembangunan besar-besaran Airlangga juga rupanya tidak lupa pada orang-orang yang setia membangun negara dari nol bersamanya, ia kemudian mengangkat Norattama menjadi Rakyan atau raja bawahan di Kanuruhan, sementara Nitti diangkat menjadi Rakyan Kuningan. Adapun sebagai kenang-kenangan waktu Airlangga menjadi pertapa, ia membangun pertapaan di di Pucangan yaitu suatu daerah yang terletak di Penanggungan. Atas jasanya dalam membangun tempat pertapaan ini, kelak Airlangga digelari Resi Gentayu.

Dimasa sepuhnya, Airlangga kemudian memilih kembali menjadi pertapa, akan tetapi sebelum ia memutuskan menjadi pertapa ia, membelah kerajaannya menjadi dua, tujuannya agar kedua putranya kelak tidak berebut kekuasaan. Pembagian kerajaan itu dilakukan dengan bantuan Mpu Bharada. Kerajaan yang dibelah itu kemudian dinamai Jenggala (Singhasari) dengan Ibukotanya Kahuripan, dan Panjalu (Kediri) dengan Ibukotanya Daha. 

Setelah berhasil membagi kerajaannya menjadi dua barulah kemudian Airlangga mengundurkan diri dari pemerintahan. Ia menjadi pertapa dengan menyandang gelarnya Resi Gentayu. Airlangga wafat pada 1049 dan kemudian ia dicandikan, kini candi itu dikenal dengan nama candi Belahan, ia digambarkan sebagai Wisnu yang sedang naik garuda mukha.
 

Sumber : Google Wikipedia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...