KISAH
RATU TRIBHUWANA TUNGGADEWI
Orientasi
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga Majapahit yang memerintah tahun 1328-1351.
Dari prasasti
Singasari (1351)
diketahui gelar abhisekanya ialah Sri
Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Silsilah Tribhuwana
Nama
asli Tribhuwana Wijayatunggadewi (atau disingkat Tribhuwana) adalah Dyah Gitarja. Ia merupakan putri dari Raden Wijaya dan Gayatri. Memiliki adik kandung bernama Dyah Wiyat dan kakak tiri bernama Jayanagara. Pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) ia diangkat sebagai
penguasa bawahan di Jiwana
bergelar Bhre Kahuripan. Menurut
Pararaton, Jayanagara merasa takut takhtanya terancam,
sehingga ia melarang kedua adiknya menikah. Setelah Jayanagara meninggal tahun 1328, para ksatriya pun berdatangan melamar kedua
putri. Akhirnya, setelah melalui suatu sayembara, diperoleh dua orang pria,
yaitu Cakradhara sebagai suami Dyah Gitarja, dan Kudamerta sebagai suami Dyah Wiyat.
Cakradhara
bergelar Kertawardhana Bhre Tumapel.
Dari perkawinan itu lahir Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat sebagai yuwaraja bergelar Bhre Kahuripan atau Bhre
Jiwana, sedangkan Dyah Nertaja sebagai Bhre
Pajang.
Pemerintahan
Tribhuwana
Menurut
Nagarakretagama, Tribhuwana naik takhta atas perintah ibunya (Gayatri) tahun 1329 menggantikan Jayanagara yang meninggal tahun 1328. Ketika Gayatri meninggal dunia tahun 1350,
pemerintahan Tribhuwana pun berakhir pula. Berita tersebut menimbulkan kesan
bahwa Tribhuwana naik takhta mewakili Gayatri. Meskipun Gayatri hanyalah putri bungsu Kertanagara, tetapi mungkin ia satu-satunya
yang masih hidup di antara istri-istri Raden Wijaya sehingga ia dapat mewarisi takhta Jayanagara yang meninggal tanpa keturunan.
Tetapi saat itu Gayatri telah menjadi pendeta Buddha, sehingga pemerintahannya pun
diwakili putrinya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Menurut
Nagarakretagama, Tribhuwana memerintah didampingi suaminya,
Kertawardhana. Pada tahun 1331 ia menumpas pemberontakan daerah Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi persaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng.
Maka, Tribhuwana pun berangkat sendiri sebagai panglima menyerang Sadeng,
didampingi sepupunya, Adityawarman. Peristiwa penting berikutnya dalam
Pararaton adalah Sumpah Palapa yang diucapkan Gajah Mada saat dilantik sebagai rakryan patih Majapahit tahun 1334. Gajah Mada bersumpah tidak akan menikmati
makanan enak (rempah-rempah) sebelum berhasil menaklukkan wilayah kepulauan Nusantara di bawah Majapahit.
Pemerintahan
Tribhuwana terkenal sebagai masa perluasan wilayah Majapahit ke segala arah sebagai pelaksanaan
Sumpah Palapa. Tahun 1343 Majapahit mengalahkan raja Kerajaan Pejeng
(Bali), Dalem Bedahulu, dan kemudian seluruh Bali.
Tahun 1347 Adityawarman yang masih keturunan Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa
Kerajaan
Sriwijaya dan
Kerajaan Malayu. Ia kemudian menjadi uparaja
(raja bawahan) Majapahit di wilayah Sumatera. Perluasan Majapahit dilanjutkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, di mana wilayahnya hingga mencapai
Lamuri di ujung barat sampai Wanin di ujung timur. Nagarakretagama menyebutkan akhir pemerintahan
Tribhuwana adalah tahun 1350, bersamaan dengan meninggalnya Gayatri. Berita ini kurang tepat karena
menurut prasasti
Singasari, pada
tahun 1351 Tribhuwana masih menjadi ratu Majapahit.
Akhir Hayat Tribhuwana
Tribhuwana
Wijayatunggadewi diperkirakan turun takhta tahun 1351 (sesudah mengeluarkan prasasti
Singasari). Ia
kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung dalam Saptaprabhu, yaitu semacam dewan
pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan. Adapun yang menjadi
raja Majapahit selanjutnya adalah putranya, yaitu Hayam Wuruk. Tidak diketahui dengan pasti kapan
tahun kematian Tribhuwana. Pararaton hanya memberitakan Bhre Kahuripan
tersebut meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah Enggon sebagai patih tahun 1371.
Menurut
Pararaton, Tribhuwanotunggadewi didharmakan
dalam Candi Pantarapura yang
terletak di desa Panggih.
Sedangkan suaminya, yaitu Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal tahun 1386, dan
didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa,
yang terletak di desa Japan.
Kepustakaan
Takhta
Majapahit dan Bakti Tribhuwana Tunggadewi Kepada Ibu
Majapahit
terguncang sepeninggal Raja Jayanagara yang tewas ditikam tabibnya sendiri pada
1328 M. Putra Raden Wijaya, pendiri kerajaan yang berpusat di Jawa Timur, itu
belum sempat dikaruniai anak. Tak ayal, kematian Jayanagara menimbulkan polemik
terkait siapa penggantinya. Situasi inilah yang nantinya menaikkan Tribhuwana Tunggadewi
ke tampuk kekuasaan.
Lantaran Jayanegara tidak punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri almarhum Raden Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Volume 1, 2006: 30).
Lantaran Jayanegara tidak punya putra mahkota, yang berhak naik takhta adalah Gayatri, salah satu istri almarhum Raden Wijaya yang juga ibu tiri Jayanegara. Namun, Gayatri enggan menjadi penguasa, ia sudah melepaskan ambisi duniawinya dengan menjadi bhiksuni (Parakitri Simbolon, Menjadi Indonesia, Volume 1, 2006: 30).
Di
lingkaran utama kekuasaan Majapahit saat itu sudah tidak ada laki-laki lagi.
Dari kelima istrinya, Raden Wijaya hanya dikaruniai satu orang putra, yakni
Jayanegara, serta dua orang putri, yaitu Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat. Gayatri
kemudian memberi titah kepada putri pertamanya, Tribhuwana Tunggadewi, untuk
naik takhta, menjadi ratu penguasa Majapahit. Demi baktinya kepada sang ibunda,
Tribhuwana bersedia dan kelak mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan.
Raja Perempuan
Majapahit
Nama
asli Tribhuwana Tunggadewi adalah Dyah Gitarja. Beberapa bulan setelah
Jayanegara tewas, ia dinobatkan sebagai penguasa Kerajaan Majapahit pada 1329,
dengan gelar Sri Tribhuwanattunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani (Slamet
Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir
Sejarahnya, 1979:135). Tribhuwana Tunggadewi dipanggil sebagai
“rajaputri”, untuk membedakan dengan istilah “ratu” yang dalam tradisi kerajaan
di Jawa memiliki makna yang luas. “Ratu” bukan hanya disematkan kepada
perempuan saja, namun bisa juga untuk menyebut wanita terhormat yang punya
pengaruh di istana, ibunda raja misalnya.
Rajaputri Tribhuwana Tunggadewi sebenarnya tidak pernah terpikir naik takhta sebagai pemimpin Kerajaan Majapahit. Ia hanya mematuhi titah sang ibunda, Gayatri, dan memang karena tidak ada keturunan laki-laki lain sepeninggal Jayanegara. Semasa Jayanegara masih hidup, Tribhuwana Tunggadewi dan adiknya, Dyah Wiyat, dilarang menikah. Jayanegara takut takhtanya terancam oleh suami-suami kedua adik tirinya itu. Setelah raja ke-2 Majapahit itu tewas, banyak pangeran dari berbagai negeri yang datang untuk melamar Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat.
Setelah
diadakan sayembara, Tribhuwana Tunggadewi disunting oleh Pangeran Cakradhara
atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan raja-raja Singhasari (Th. Pigeaud,
Java in the 14th Century: A Study in Cultural
History, 2001: 540). Sedangkan Dyah Wiyat kawin dengan pangeran
lainnya bernama Kudamerta. Nantinya perkawinan Tribhuwana dengan Cakradhara
dikaruniai anak laki-laki bernama Hayam Wuruk. Orang inilah yang kelak membawa
Majapahit mencapai puncak keemasannya, berkat rintisan serta bimbingan sang
rajaputri.
Rajaputri Penakluk
Nusantara
Selama
era Jayanegara (1309-1328), Majapahit belum sempat menikmati masa-masa indah.
Ia dianggap lemah, jahat, dan tidak bermoral. Banyak intrik yang muncul karena
kepemimpinannya yang dinilai kurang baik. Setidaknya sudah terjadi lebih dari 8
kali pemberontakan terhadap Jayanegara yang akhirnya tewas dibunuh tabibnya
sendiri. Ihwal pemunuhan itu, banyak
silang pendapat. Salah satu yang kontroversial terbaca dari tulisan Parakitri
Simbolon (1995) yang mengutip J. Krom dalam “De Hindoe-Javaansche Tijd”. Ia
menulis bahwa insiden pembunuhan Jayanegara oleh tabibnya itu justru didalangi
oleh Gajah Mada, salah seorang panglima perang Majapahit (hlm. 396).
Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara yang disebutkan telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh kepada istrinya. Maka itu, Gajah Mada memperalat tabib istana untuk membunuh sang raja, Jayanegara. Versi yang lebih banyak beredar bukan istri Gajah Mada yang diganggu oleh sang raja. Menurut Pararaton, justru istri sang tabib sendiri yang digoda oleh Jayanagara. Itulah yang memicu dendam sang tabib sehingga memutuskan membunuh Jayanagara.
Naik takhtanya Tribhuwana Tunggadewi sebagai pengganti Jayanegara pun sempat memantik keraguan karena belum ada sejarahnya Majapahit dipimpin seorang perempuan. Namun, sang rajaputri berhasil menepis skeptisme itu dan justru menjadi pembuka gerbang Majapahit menuju masa emas. Purwadi (2007) dalam buku Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa menyebut bahwa jasa besar Tribhuwana Tunggadewi adalah meletakkan dasar-dasar politik kenegaraan Majapahit (hlm. 107).
Gajah Mada berperan besar dalam kesuksesan era Tribhuwana. Saat dilantik menjadi mahapatih pada 1334, Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa (Pitono Hardjowardojo, Sedjarah Indonesia Lama, 1961:191). Ia berikrar tidak akan merasakan kenikmatan duniawi sebelum berhasil mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit. Pada era Tribhuwana Tunggadewi inilah ekspansi besar-besaran dimulai. Tahun 1343, Majapahit menaklukkan Bali (Supratikno Raharjo, dkk., Sejarah Kebudayaan Bali, 1998: 78). Tiga tahun berselang, giliran kerajaan-kerajaan di kawasan lain di Nusantara, terutama di Sumatera, yang ditundukkan.
Bakti Mengalahkan
Ambisi
Majapahit
sebenarnya sedang menuju kegemilangan ketika Tribhuwana Tunggadewi memutuskan
turun takhta pada 1350. Keputusan tersebut diambil seiring wafatnya Gayatri.
Bagi Tribhuwana, singgasana Majapahit sebenarnya adalah hak sang ibunda yang
memberinya kuasa untuk menjadi pemimpin. Maka itu, setelah Gayatri tiada,
Tribhuwana Tunggadewi menganggap bahwa amanat sang ibunda telah ditunaikannya,
dan ia merasa tidak berhak lagi menjadi penguasa meskipun saat itu Majapahit
tengah merintis pamor sebagai kerajaan yang digdaya.
Denys Lombard (1996) dalam Nusa Jawa: Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris, menyebut bahwa Rajapatni (nama lain Gayatri) dan putrinya, Tribhuwana Tunggadewi, jelas-jelas memegang peranan penting dalam kehidupan politik Kerajaan Majapahit selama zaman mereka, yakni 1328-1350 (hlm. 93). Takhta Majapahit selanjutnya diserahkan kepada putra mahkota, Hayam Wuruk. Tribhuwana Tunggadewi sendiri kemudian menempati posisi sebagai salah satu anggota Saptaprabhu, semacam dewan pertimbangan agung yang beranggotakan keluarga kerajaan.
Sebagai penghormatan untuk Gayatri, Raja Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yakni Upacara Srada. Seluruh pegawai istana, pemuka kerajaan, rayat, juga para raja dari berbagai negeri datang berbondong-bondong ke Majapahit untuk menghadiri upacara tersebut (Purwadi, Jejak Nasionalisme Gajah Mada, 2004:214). Selanjutnya, Tribhuwana Tunggadewi, juga Gajah Mada, mendampingi Hayam Wuruk mengelola pemerintahan, termasuk meneruskan obsesi penaklukan wilayah-wilayah lain di Nusantara. Pada masa inilah Majapahit mencapai puncak kejayaannya yang dirintis sejak era kepemimpinan sang rajaputri Tribhuwana Tunggadewi.
Sumber : Reporter: Iswara N Raditya, Penulis: Iswara N
Raditya, Editor: Zen RS
Reorientasi
Silsilah dan Biografi Tribhuwana Tunggadewi,
Penguasa Wanita di Majapahit
- Ada beberapa raja yang memerintah Kerajaan Majapahit. Raja pertama sekaligus
yang mendirikan Kerajaan Majapahit adalah Raden Rama Wijaya yang kemudian
disusul oleh anaknya yang bernama Jayanegara sebagai raja ke dua Majapahit.
Setelah Jayanegara, tahta Kerajaan Majapahit dipegang oleh adik Jayanegara
yaitu Tribhuwana Tunggadewi. Tribhuwana Tunggadewi adalah adik Jayanegara namun
beda ibu. Jayanegara tidak memiliki anak laki-laki sehingga yang menjadi
penerusnya adalah adik perempuannya beda ibu. Tribhuwana Tunggadewi termasuk
raja yang berhasil memulai masa kejayaan Kerajaan Majapahit.
Kehidupan politik Kerajaan Majapahit masa Tribhuwanatunggadewi
ini cukup bagus dan stabil. Bahkan Kerajaan Majapahit mulai melakukan perluasan
daerah kekuasaan dengan dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada dengan sumpah
palapanya. Meski pada masa kepemimpinannya masih ada pemberontakan di
Majapahit, namun dengan adanya Mahapatih Gajah Mada, pemberontakan tersebut
berhasil ditumpas dengan gemilang.
Silsilah dan Biografi
Tribhuwanatunggadewi
Nama asli Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah Dyah
Gitarja. Ia adalah raja ke tiga Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun
1328-1351. Dari prasasti Singasari (1351) bisa diketahui bahwa ia memiliki
gelar abhiseka Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani.
Tribhuwanatunggadewi ini memiliki adik perempuan yang bernama Dyah Wiyat dan
kakak tiri yang bernama Jayanegara. Pada masa Jayanegara menjadi raja Majapahit
pada tahun 1309-1328, Tribhuwanatunggadewi diangkat menjadi penguasa bawahan di
Jiwana dengan gelar Bhre Kahuripan.
Dalam kitab Pararaton dijelaskan bahwa pada masa
Jayanegara menjadi raja, ia merasa takut tahtanya terancam, maka ia kemudian
melarang ke dua adiknya menikah, termasuk Tribhuwanatunggadewi. Baru setelah
Jayanegara meninggal para ksatriya berdatangan untuk melamar kedua adik
Jayanegara tersebut. Akhirnya didapatlah kedua ksatriya setelah melalui
sayembara. Cakradhara berhasil mendapatkan Dyah Gitarja yaitu
Tribhuwanatunggadewi, dan Kudamerta mendapatkan Dyah Wiyat.
Cakradhara adalah penguasa Singasari dengan gelar Bhre
Tumapel. Dari perkawinannya dengan Cakradhara, Tribhuwanatunggadewi mendapatkan
dua anak yaitu Dyah Hayam Wuruk dan Dyah Nertaja. Hayam Wuruk kemudian diangkat
menjadi yuwaraja dengan gelar Bhre Kahuripan atau Bhre Jiwana sedangkan Dyah
Nertaja diangkat sebagai Bhre Pajang. Kelak yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi
sebagai raja adalah Hayam Wuruk dan berhasil membawa masa Kejayaan Kerajaan
Majapahit.
Pada masa Tribhuwanatunggadewi menjadi raja ini
terkenal sebagai masa perluasan kekuasaan Majapahit. Ini dikarenakan pada masa
tersebut Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpah palapa di depan para pejabat
Majapahit. Sumpah Palapa tersebut berisikan tekad Gajah untuk menyatukan
Nusantara dibawah kendali Majapahit. Perluasan Majapahit dilakukan ke segala
arah. Pada tahun 1343 Majapahit berhasil mengalahkan Kerajaan Pejeng Bali,
Dalem Bedahulu dan kemudian seluruh Bali berhasil ditaklukkan.
Perluasan kemudian berlanjut ke Melayu, Adityawarman
yang masih memiliki darah Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa-sisa Kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Melayu. Adityawarman berhasil dan kemudian diangkat
menjadi raja bawahan di Sumatera. Kitab Negarakertagama mencatatkan bahwa akhir
dari pemerintahan Tribhuwanatunggadewi adalah tahun 1350 bersamaan dengan
meninggalnya Gayatri. Namun sumber berita sejarah Kerajaan Majapahit ini tidak
akurat, karena menurut prasasti Singasari, Tribhuwana masih menjadi ratu
Majapahit pada tahun 1351.
Perkiraan Tribhuwana turun tahta adalah pada tahun
1351 setelah menyelesaikan prasasti Singhasari. Setelah selesai menjadi ratu
Majapahit, Tribhuwana kemudian kembali menjadi Bhre Kahuripan yang tergabung
dalam Saptaprabhu. Saptaprabhu ini semacam dewan pertimbangan agung yang
anggotanya adalah kalangan keluarga kerajaan. Setelah Tribhuwana turun tahta,
maka penerusnya adalah anakanya yaitu Hayam Wuruk. Sedangkan kapan meninggalnya
Tribhuwana, tidak diketahui dengan pasti kapan tahunnya. Kitab Pararaton hanya
menyebutkan bahwa Bhre Kahuripan meninggal dunia setelah pengangkatan Gajah
Enggon sebagai patih yaitu pada tahun 1371. Masih menurut Pararaton, Tribhuwana
Wijayatunggadewi didharmakan dalam Candi Pantarapura yang letaknya di desa
Panggih. Sedangkan Cakradhara atau Kertawardhana Bhre Tumapel meninggal pada
tahun 1386 dan didharmakan di Candi Sarwa Jayapurwa yang letaknya di desa
Japan.
Sumber : Google Wikipedia
6
(Enam) Fakta Tribhuwanatunggadewi, Raja Wanita Majapahit yang Menjadi Pelopor
Perluasan Nusantara. Ketika membahas tentang Majapahit, sering kali yang
terlintas pertama kali adalah Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya atau Hayam
Wuruk yang menjadi Raja dalam masa keemasan Majapahit. Kedua tokoh ini memang
memiliki peran penting dan berjasa besar dalam perkembangan Kerajaan Majapahit.
Meski begitu, tidak hanya dua tokoh ini saja yang punya peran besar dalam
kerajaan Majapahit. Sosok lainnya adalah Tribhuwana Tunggadewi, seorang wanita
yang bertakhta sebagai Raja di Majapahit dan merupakan pionir dalam usaha
perluasan Nusantara.
Ø Merupakan
Putri Dari Pendiri Majapahit
Raden Wijaya adalah sosok yang
mendirikan kerajaan Majapahit. Dalam naskah Nagarakretagama, ia menikahi 4
orang putri Kertanegara yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi,
dan Gayatri. Namun menurut Pararaton, istrinya dari Kertanegara hanya dua, dan
dua lainnya dari kerajaan Malayu yaitu Dara Petak dan Dara Jingga.
Dari Tribhuwaneswari, Raden Wijaya
memiliki anak yaitu Jayanegara. Namun menurut kitab Pararaton, ia adalah putra
dari Dara Petak. Sedangkan menurut Nagarakretagama, ia adalah putra Raden
Wijaya dari Indeswari. Sedangkan dari Gayatri, Raden Wijaya memiliki dua orang
putri yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat.
Ø Diangkat
Menjadi Raja Bawahan Majapahit dan Dilarang Menikah
Setelah Raden Wijaya meninggal
dunia, Jayanegara naik takhta menggantikan sang ayah. Pada masa kekuasaannya,
saudari tirinya yaitu Dyah Gitarja diangkat sebagai penguasa bawahan di Jiwana
dengan gelar Bhre Kahuripan. Meski diangkat sebagai penguasa bawahan, kitab
Pararaton mengungkapkan bahwa sebenyarnya Jayanegara takut tahtanya terancam
oleh dua orang adik tirinya ini.
Khawatir adiknya merebut kekuasaan,
Jayanegara melarang kedua adik perempuannya menikah. Namun setelah Jayanegara
tewas dibunuh oleh tabibnya sendiri, para ksatria berbondong-bondong datang
berusaha melamar dua putri ini. Setelah diadakan sayembara untuk menentukan
siapa yang layak, maka didapatkanlah Kudamerta yang menikah dengan Dyah Wiyat
dan Cakradhara yang menikah dengan Dyah Gitarja.
Ø Menjadi
Raja Majapahit Menggantikan Ibunya
Sepeninggal Jayanegara, maka
seharusnya Gayatri-lah yang naik tahta. Meskipun ia adalah anak bungsu
Kertanegara, kemungkinan istri Raden Wijaya yang lain telah wafat, sehingga
kekuasaan jatuh ke tangan Gayatri karena Jayanegara tidak memiliki keturunan.
Meski begitu, Gayatri sudah
memutuskan untuk menjadi pendeta Budha sehingga ia tidak bisa menjadi raja.
Maka atas perintah ibunya, Dyah Gitarja naik menggantikan ibunya sebagai Raja
Majapahit. Ia menjadi raja ketiga Majapahit dengan gelar Sri Tribhuwanatunggadewi
Maharajasa Jayawisnuwardhani. Dengan didampingi suaminya, ia memerintah
kerajaan sejak 1328-1351.
Ø Berani
Maju Perang Melawan Pemberontak
Meski ia adalah wanita dan seorang
raja, namun Tribhuwana ternyata juga memiliki keberanian tinggi di medan
perang. Pada tahun 1331, terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta. Karena Gajah
Mada dan Ra Kembar ribut sendiri untuk memperebutkan posisi panglima dalam misi
menumpas Sadeng, ia akhirnya berangkat sendiri sebagai panglima perang.
Dengan didampingi sepupunya,
Adityawarman, Tribhuwana berangkat mengalahkan Sadeng. Tahun 1347, Adityawarman
kemudian dikirim kembali untuk menaklukan sisa kerajaan Sriwijaya dan Malayu.
Selanjutnya, ia diangkat sebagai Uparaja atau raja bawahan di Sumatera yang
masih merupakan kekuasaan Majapahit.
Ø Melakukan
Perluasan Wilayah
Majapahit mulai melakukan perluasan
wilayahnya pada masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi. Ia pula yang mengangkat
Gajah Mada sebagai Mahapatih. Pada masa pemerintahan ini pulalah Gajah Mada
mengucapkan sumpah Palapa yang menyatakan bahwa ia takkan memakan makanan enak
sebelum mempersatukan Nusantara.
Kitab Pararaton menyebutkan bahwa
sumpah tersebut diucapkan saat ia belum menjadi Mahapatih. Namun, beberapa
orang berpendapat bahwa sumpah tersebut diucapkannya dalam upacara penobatan
sebagai Mahapatih Gajah Mada oleh Rajaputri Tribhuwanatunggadewi.
Ø Turun
Tahta Sepeninggal Ibunya
Tahun 1350, Gayatri Rajapatni
meninggal dunia, bersamaan dengan itu, berakhir pula masa pemerintahan
Tribhuwanatunggadewi. Kekuasaan Majapahit kemudian diwariskan ke putranya,
Hayam Wuruk. Setelah turun tahta, ia kembali menjadi Bhre Kahuripan.
Kematian
Tribhuwana sendiri tidak diketahui secara pasti. Namun setelah meninggal dunia,
ia didharmakan dalam candi Pantarapura. Sedangkan suaminya didharmakan di candi
Sarwa Jayapurwa. Meski hanya berperan sebagai raja pengganti untuk menggantikan
posisi ibunya, ia tetap memiliki peran yang sangat besar dalam perkembangan
Majapahit. Ia adalah sosok yang menjadi pionir dalam usaha perluasan Majapahit
dan terus berkembang hingga mencapai masa keemasannya pada pemerintahan Hayam
Wuruk, putranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar