Rabu, 26 September 2018

KISAH RAJA HAYAM WURUK


KISAH RAJA HAYAM WURUK


Orientasi
Hayam Wuruk adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1350-1389, bergelar Maharaja Sri Rajasanagara. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.

Silsilah
Nama Hayam Wuruk artinya "ayam yang terpelajar". Ia adalah putra pasangan Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel. Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334. Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.

Hayam Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah Nertaja alias Bhre Pajang, dan adik angkat bernama Indudewi alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi, adik ibunya. Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Paduka Sori putri Wijayarajasa Bhre Wengker. Paduka Sori adalah saudara kandung tiri Hayam Wuruk, Hayam Wuruk dan Paduka Sori punya 1 ayah, beda ibu. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.

Masa Pemerintahan
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru (kemudian bernama Deli, di era pemerintahan Hayam Wuruk menyimpan polemik dalam pengangkatannya sebagai Raja. Hal itu dikarenakan Hayam Wuruk menjadi Raja Majapahit untuk menggantikan ibunya (Tribhuwana Tunggadewi) yang menjadi Wali Kerajaan/Makamanggalya, dikarenakan status ibunya sebagai Ratu Majapahit telah habis. Habisnya status tersebut dikarenakan Gayatri (sebagai pemegang status kekuasaan yang sah) telah meninggal)

Versi Pertama
Tahun 1351, Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Galuh/Pajajaran (di Jawa Barat), Dyah Pitaloka Citraresmi. Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok kerajaan Galuh. Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak kerajaan Galuh untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit. Kerajaan Galuh menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan kerajaan Galuh tewas, dan dalam beberapa tahun Galuh menjadi wilayah Majapahit."Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.

Versi Kedua
Dyah Pitaloka itu sebenarnya masih saudara sedarah dengan Hayam Wuruk, karena Raden Wijaya (penerus tahta kerajaan Sunda ke-26) adalah putra Rakyan Jayadarma yang menikah dengan Dyah Lembu Tal yang merupakan keturunan Ken Arok. Rakyan Jayadarma adalah putra mahkota kerajaan Pakuan dari Prabu Guru Dharmasiksaai. Rakeyan Jayadarma mati diracun oleh saudara kandungnya sendiri untuk merebut tampuk kekuasaan. Kemudian Dyah Lembu Tal membawa Raden Wijaya ke Jawa Timur, Gajah Mada mengingatkan kepada Hayam Wuruk bahwa Dyah Pitaloka masih satu darah dengan dia sehingga tidak boleh menikah. Namun, Hayam Wuruk bersikeras untuk menikahi Dyah Pitaloka. Gajah Mada yang menyampaikan kepada rombongan kerajaan Sunda bahwa tidak akan ada perkawinan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Karena merasa dipermalukan maka rombongan kerajaan Sunda menyerang Majapahit demi kehormatan.

Pergantian Patih
Pada tahun 1364, Mahapatih Gajah Mada meninggal tanpa keterangan jelas mengenai penyebabnya.  Tahun 1367 Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih.

Akhir Hayat
Tahun 1372, ibundanya meninggal. Ini adalah pukulan berat baginya. Tahun 1377 kembali menundukkan Swarnabhumi karena pelanggaran yang dilakukan penguasanya. Setelah ini, Majapahit memasuki era damai dengan menjalin hubungan baik dengan negara tetangganya.  Tahun 1389 Hayam Wuruk mangkat dan dimakamkan di Tajung. Diganti oleh menantunya Wikramawardhana.

Sastra
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh Mpu Tantular, dan kitab Nagarakretagama digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365.

Suksesor
Tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya, Wikramawardhana.

Kepustakaan
Ø Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
Ø R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Ø Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Ø Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Hayam Wuruk

Pada tahun (1350-1389) Majapahit mencapai masa keemasannya dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk bergelar Rajasanegara didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Adityawarman dan Mpu Nala sehingga pada masa tersebut Majapahit, karena daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh Nusantara. Majapahit berkembang sebagai kerajaan maritim sekaligus kerajaan agraris.

Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi, dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti “ayam yang masih muda”. Hayam Wuruk naik takhta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan Paduka Sori (Parameswari). Hayam Wuruk mempunyai dua orang anak yaitu Nagarawardani/ Bhre Lasem yang lahir dari Paduka Sori dan Bhre Wirabumi yang lahir dari selir. Perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori yang masih saudara sepupu putri dari Bhre Prameswara yaitu Raja Wijayarajasa dari Wengker terjadi tahun saka 1279 yaitu setelah kegagalan perkawinannya dengan Dyah Pitaloka yaitu Putri Raja Linggabuana dari kerajaan Pasundan.

Pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya – Surakarta-.Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit . Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15.

Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.Hayam Wuruk memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai patihnya

Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Bendasari.
1. Mahamentri Katrini
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing
2. Sang Panca Wilwatika
· Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada
· Rakyan Demung : Pu Alus
· Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil
· Rakyan Rangga : Pu Roda
· Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata

Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu. Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan

Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi. Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu (Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre Tumapel, dan sebagainya. Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel, Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem, Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.

Pejabat pemerintahan dibawah Raja yaitu Patih Amangkubumi (Patih Seluruh Negara) bertugas memberi perintah dan arahan tentang jalannya pemerintahan di Negara bawahan atau daerah. Dalam Nagarakretagama disebutkan bahwa para patih Negara bawahan dan para pembesar lainnya berkumpul di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Di bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Daha oleh Bhre Daha yaitu Dyah Wijat Sri Rajadewi yang merupakan adik kandung dari Tribhuwana Tunggadewi ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Wengher oleh Raja Wijayarajasa
Matahun oleh Raja Rajasawardhana
Lasem oleh Bhre Lasem
Pajang oleh Bhre Pajang
Paguhan oleh Raja Singawardhana
Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
Jagaraga
Kabalan
Singhapura
Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan.
Raja dan Juru Pengalasan adalah pembesar yang bertanggung jawab namun dalam pemerintahanya dikuasakan kepada Patih..

Dalam pemerintahan dipusat segala urusan pemerintahan menjadi tanggung jawab Patih Amangkubumi yaitu Gajah Mada, Demung, Kanuruhan, Rangga dan Tumenggung. Lain halnya dengan pemerintahan di seberang lautan yang merupakan wilayah Majapahit, Raja- Raja dan pembesar daerah bawahan berdaulat penuh, kewajiban utama daerah bawahan kepada Majapahit yaitu menyerahkan upeti tahunan dan menghadap Raja pada waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit.

Untuk mengawasi wilayah Majapahit yang begitu luas maka Majapahit memiliki Armada lautan yang sangat besar dan ditakuti oleh negara Negara lainnya. Armada ini ditempatkan di Lautan Teduh (Pasifik) dan dipantai utara pulau Jawa. Dan juga berusaha menjalin persahabatan dengan negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata yang berarti sahabat atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara damai.

Dalam Bilang Ekonomi & Perdagangan
Dalam kehidupan ekonomi, kerajaan Majapahi masih mencerminkan sebagai negara agraris, karena aspek agraria lebih menonjol dibandingkan perdagangan antar pulau. Pemerintahan Majapahit selalu berusaha meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara tanggul sepanjang sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga memperbaiki jalan-jalan jembatan untuk mempelancar lalu lintas perdagangan.

Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone, biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321, menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.

Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Di bidang perdagangan walaupun tidak semenonjol kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Majapahit berperan sebagai pedagang perantara. Menurut berita dari Cina, Majapahit telah memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala, kayu cendana dan gading. Banyak pedagang Cina yang membeli barang-barang tersebut dari pedagang Majapahit.

Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina dari Dinasti Ming.Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian (pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan yang sangat laku di pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana. Dalam dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.

Dalam Bidang Keagamaan
Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara keamanan rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Dharmadhyaksa kasaiwan yang mengurus agama Syiwa Budha dan Dharmadhyaksa Kasogatan yang mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut Dharma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Banyaknya pejabat tersebut menunjukan keompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan dengan baik, bahkan tercipta toleransi.

Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dari berita Ma-Huan tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit. Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat “Bhinneka Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”.

Dalam Nagarakretagama pupuh 85 diuraikan bahwa tiap bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama setiap tahun Raja Hayam Wuruk mengadakan pertemuan dengan para Menteri, perwira, pembantu baginda, kepala daerah, kepala desa dari luar kota untuk membahas tanggung jawab pemerintahan didaerahnya masing-masing.
Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara lain:
Ø Pemeliharaan tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungan Solo dan Brantas
Ø Perbaikan bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)
Ø Memperindah Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih
Ø Perbaikan dan perluasan tempat suci Palah (Panataran)
Ø Penyempurnaan Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)
Ø Membuat Candi Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)
Ø Membuat Candi Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371

Wilayah Kekuasaan Majapahit Jaman Pemerintahan Hayam Wuruk
Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389) yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.

Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China.

Daerah-daerah diluar jawa yang dikuasai Majapahit pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk seperti diuraikan dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 antara lain :
Ø Di Sumatra : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis, Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra, Lamuri, Barus, Batan dan Lampung.
Ø Di Kalimantan : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu, Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung Kutei dan malano.
Ø Di Semenanjung Tanah Melayu : Pahang, Langkasuka, Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah dan Jerai.
Ø Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda) Amabon, Wanin, Seram dan Timor.
Ø Setelah menyimak data tersebut, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya.

Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit menduduki Palembang, menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya. Beberapa Peristiwa Penting dalam Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
§ Perang Bubat (1357) Sumber yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang tersebut justru terdapat dalam Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab Pararaton dikisahkan peristiwa Bubat terjadi pada Tahun Saka 1257 atau 1357 tahun Masehi di masa pemerintahan Hayam Wuruk.

Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan Nusantara mencapai hasilnya di masa ini dari mulai Tumasek (Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo, hingga Seram seluruh penguasanya menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Tetapi di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman rumah sendiri, belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda Pakuan yang terletak lebih ke arah barat.
Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah timur, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai Pamali. Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum.

Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit, bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Baik ibu suri Tribhuana Tunggadewi maupun Dyah Wyjat berpendapat bahwa kerajaan Sunda adalah kerabat sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya, salah satu leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda. Sementara sikap prabu Hayam Wuruk sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada.

Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya. Maka dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang cantik dari kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk kemudian diperlihatkan kepada sang prabu.

Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang beruntung tersebut.
Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali membawa lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru gambar ke kerajaan Sunda Galuh untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah terkenal ke mana-mana. Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya yaitu
Ø Gajah Enggon menjabat pinpinan utusan Khusus
Ø Ma Panji Elam menjabat sebagai Sang Arya Rajapakrama
Ø Pu Kapasa menjabat sebagai Arya Suradhiraja
Ø Pu Menur menjabat sebagai Sang Arya Wangsaprana
Ø dan Pu Kapat menjabat sebagai Sang Arya Patipati

Untuk pergi bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh menyampaikan maksud Gajah Mada agar kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Sekembalinya utusan tersebut, prabu Hayam Wuruk ternyata berkenan dengan kecantikan putri Dyah Pitaloka Citrasemi dan berniat menjadikannya sebagai permaisuri. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk meminang putri Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja tiba di kerajaan Sunda. Rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan dilangsungkan.
Setelah pinangan dari prabu Hayam Wuruk diterima akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan putri Dyah Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibu kota Majapahit. Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu Lingga Buana beserta rombongan ke Majapahit. Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan putrinya, Dyah Pitaloka. Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis) menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan).
Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.

Catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah lama putus antara Majapahi dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya yaitu Rakeyan Jayadarma, Raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran.

Upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit. Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa Tenggara.

Prabu Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Berangkatlah Prabu Linggabuana bersama rombongan Sunda ke Majapahit. Sepuluh hari telah berlalu akhirnya sampailan rombongan di Majapahit dan diterima oleh para pembesar Majapahit serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Kesalah-pahaman

Setelah rombongan sampai di pesanggrahan Bubat datanglah utusan Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar putri Dyah Pitaloka diserahkan ke kerajaan Majapahit sebagai persembahan, tanda bahwa Sunda Galuh tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Prabu Lingga Buana merasa harga dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada tersebut, namun sebagai seorang pemimpim yang arif sang prabu tidak bertindak gegabah untuk dengan serta merta mengadakan perlawanan di tempat. Namun kearifan hati sang prabu tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang yang berada dalam rombongan tersebut merasa marah dan dilecehkan.

Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Para Pemimpin Sunda naik darah ketika mengetahui niat Gajah Mada tersebut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong, orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya melakukan perlawanan terhadap pasukan dari Majapahit. Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat. Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang juga sebenarnya tidak siap untuk berperang.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar di sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut ,melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Dalam pertempuran tersebut Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur terlebih dahulu. Pasukan Sunda kemudian menyerang kearah selatan , pasukan Majapahit dibuat kocar kacir oleh serangan tersebut.

Serangan pasukan Sunda kemudian dapat dipatahkan oleh pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewis, Patih Teteg dan Jaran Baya. Para Menteri Arraman dan pasukan berkuda ganti menyerang tentara Pasundan, serangan tersebut berhasil meluluh lantakan pertahanan sehingga pasukan pasundan menyingkir kearah barat daya. Pasukan Pasundan akhirnya terkepung sehingga langsung berhadapan dengan pasukan pimpinan Gajah Mada. Setiap pasukan Pasundan yang menghadang kereta Gajah Mada berhasil disingkirkan satu persatu sehingga peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Prabu Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda. Dyah Pitaloka bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran.

Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusan (Darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu berada di Majapahit untuk menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka untuk menyampaikan permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal sebagai Geguritan Sunda agar diambil hikmahnya. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut.

Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak timur negeri Sunda (Majapahit).

Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.

Peristiwa Bubat dalam Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam cerita ini tak memiliki nama.

Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit hayang nyiar pibojoeun. Lajeng anjeunna ngirimkeun utusan ka sakuliah Nusantara pikeun néangan putri nu cocog. Para utusan mulang bari marawa lukisan para putri ti rupa-rupa nagara, ngan taya nu bisa ngirut atina. Lajeng Hayam Wuruk ngadéngé béja kegeulisan putri Sunda, geuwat baé anjeunna ngirim juru lukis ka Sunda. Nalika juru lukis balik deui bari mawa lukisan putri Sunda, kabeneran harita keur aya pamanna raja Kahuripan jeung Daha nu miharep sangkan Hayam Wuruk geura meunang jodo. Hayam Wuruk nu kataji ku lukisan putri Sunda, lajeng anjeunna ngutus mantri Madhu pikeun ngalamar ka karajaan Sunda.
Madhu nepi ka tatar Sunda sanggeus lalayaran salila genep poé, terus baé nepungan raja Sunda. Raja Sunda gumbira nampa lamaran ti raja Majapahit nu kawentar ieu, sedengkeun Putri Sundana pribadi teu loba catur.

Madhu mulang ka Majapahit bari mawa surat balesan ti raja Sunda sarta ngibérkeun rék datangna rombongan ti Sunda. Teu lila ti harita rombongan karajaan Sunda angkat diiring ku rombongan nu loba pisan: dua réwu kapal (kaasup kapal laleutik). Kapal nu dianggo ku kulawarga raja Sunda nyaéta “kapal jung Tatar (Mongol/Cina) nu ilahar dipaké satutasna perang Wijaya” (bait 1. 43a.). Ngan nalika naraék kapal, aranjeunna ningal kila-kila nu teu pihadéeun.

Majapahit sorangan sibuk nyiapkeun sambutan pikeun para tamu. Sapuluh poé ti harita, kapala désa Bubat ngalaporkeun geus datangna rombongan Sunda. Prabu Hayam Wuruk jeung paman-pamanna geus saged rék ngabagéakeun nu datang, tapi patih Gajah Mada teu panuju. Anjeunna keukeuh nyebutkeun yén Maharaja Majapahit teu pantes ngabagéakeun/nyambut raja nu statusna raja lokal (vazal) kawas raja Sunda, malah saha nu nyaho yén anjeunna téh musuh nu nyamar.
Mangka, nurutkeun pamanggih Gajah Mada, Prabu Hayam Wuruk teu jadi indit ka Bubat. Para abdi dalem karaton jeung pangagung séjénna kagét ngadéngé hal ieu, tapi maranéhna teu wani ngabantah.

Di Bubat, rombongan Sunda hawar-hawar geus ngadéngé iber ngeunaan kaayaan di Majapahit. Lajeng raja Sunda ngirimkeun utusan, patih Anepakén, indit ka Majapahit. Anjeunna angkat dibarengan ku tilu pangagung séjénna sarta tilu ratus prajurit, langsung ka palinggihan Gajah Mada. Di dinya patih Anepakén sasanggeman yén Raja Sunda rék mulang sarta nyangka yén Hayam Wuruk ingkar jangji. Aranjeunna paséa rongkah sabab Gajah Mada keukeuh mikahayang urang Sunda lumaku sakumaha patalukan Nusantara Majapahit. Di kapatihan éta ampir bantrok, ngan kaburu dipisah ku Smaranata, pandita karajaan Majapahit. Mangka utusan Sunda marulang deui kalawan ngémbarkeun yén kaputusan ahir raja Sunda bakal ditepikeun dina jangka dua poé.
Ngadangu émbaran ieu, raja Sunda teu sudi lumaku salaku patalukan. Lajeng anjeunna sasanggeman mutuskeun yén leuwih hadé gugur salaku satria. Demi méla kahormatan, leuwih hadé gugur batan hirup bari dihina urang Majapahit. Sadaya pangagung katut rombongan Sunda tumut kana kaputusan ieu sarta milu béla ka rajana. Lajeng raja Sunda nepungan istri katut putrana, anjeunna nyaritakeun niatna lajeng miwarang kulawargana mulang, tapi aranjeunna nolak kalawan keukeuh rék ngabaturan rajana.

Terjemahannya Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum menikah.

Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah Sunda untuk melamarnya. Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah 2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil. Namun ketika mereka naik kapal, terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti banyak dipakai semenjak perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)

Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda. Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar. Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani melawan.

Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun mengirimkan utusannya, patih Anepakan untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.

Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya. Kemudian raja Sunda menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang. Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.

Pupuh II (Durma)
Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui. Pasukan Majapahit disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para pangagung karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna pangtukangna.
Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha. Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh hareupeun mayit para salakina.
                          
Terjemahannya Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat dihindarkan. Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan, kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan kedua pamannya. Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh orang Majapahit. Anepakan dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas jenazah-jenazah suami mereka.

Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu. Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri Sunda ieu. Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para arwah. Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu kacida. Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé, paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga samadi, sahingga anjeunna ngaleungit (moksa) ka (niskala). Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana séwang-séwangan, sabab mun cicing di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.

Terjemahannya Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan dengan wanita idamannya ini. Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula prabu Hayam Wuruk yang merana. Setelah beliau diperabukan dan semua upacara keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya. Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara (perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang (moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala). Maka raja Kahuripan dan raja Daha, yang mirip “Siwa dan Buddha” berpulang ke negara mereka karena Majapahit mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi. Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.) Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karapmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda. Abasa lali po kita nguni duk kita anakani jurit, amrang pradesa ring gunung, anti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir. Mantrimu kalih tinigas anama Las Beleteng ang?masi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burangik, padâmalakw ing urip.Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharapta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu tambe yen antu.

Terjemahannya
Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang. Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.Kedua mantrimu yang bernama Las dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup. Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!” Raja Sunda yang menolak syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71) yan kitâwadîng pati, lah age maraka, i jang sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sambah, sira sang nataputri. Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan, warahan tuhanira, nora ngong mar?ka malih, angatarana, iki sang rajaputri. Mong kari sasisih bahune wong Sunda, r?mpak kang kanan keri, norengsun ahulap, rinabateng paprangan, srangan si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula angapi.

Terjemahannya
jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan menghaturkan beliau sang Tuan Putri. Maka ini terdengar oleh Sri Raja Sunda dan beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!” Meskipun orang-orang Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan ‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit). Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)

Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakan aneng made sira wontan aguling, mara sri narapati, katamu sira akukub, peramas natar ijo, ingungkabakan tumuli, kagyat sang nata dadi atamah laywan. Wanasning muka angraras, netra dumaling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa. Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parang prapta kongang mangkw atamah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari ag?sang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa. Palar-palaran ing jamah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrati, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama langlang amrati cita. Sangsaya lara kagagat, patang rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag panadang ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, ararab-rarab pawraning galung lukar.

Terjemahannya
Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat. Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan! Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut. Bulan Ketiga kurang lebih jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.

Analisis Kidung Sunda
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa berdasarkan kejadian faktual. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang membuat para pembaca terharu.Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini. Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda dan seperti sudah dikemukakan, sering kali bertentangan dengan sumber-sumber lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada, penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.

Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka. Satu hal yang menarik lagi ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda. Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci , Wandan (Maluku), Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama, Madura juga tak disebut. Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.

Kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke Daerah Daerah
Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa.
Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo – Tengger – Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.

Wafatnya Patih Gajah ada
Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang sangat diandalkan di dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit Prabu Hayam Wuruk kemudian memanggil para anggota Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari keluarga raja, Bhre Kuripan, Bhre Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun dan Bhre Pajang. Dalam rapat tersebut tidak dapat dikemukakan seseorang yang pantas untuk menggantikan kedudukan Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi. Rapat akhirnya memutuskan bahwa Gajah Mada tidak akan diganti.
Untuk mengisi lowongnya posisi patih Amangku bumi Prabu Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.
Ø Empu Tandi terpilih sebagai Wreddhamantri
Ø Empu Nala dipilih sebagai tumenggung Mancanegara
Ø Srti nata Krertawardana dan Wikramawardhana dipilih sebagai Dharmadyaksa atau Ketua Mahkamah Agung
Ø Patih Dami dipilih sebagai Yuwamantri atau menteri muda yaitu sebagai kepala rumah tangga keraton.
Ø Empu Singa terpilih sebagai sekretaris Negara bertugas sebagai penyalur segala perintah Baginda

Pekerjaan ini semua dilaksanakan oleh patih Gajah Mada seorang diri sebagai pejabat dibawah Prabu Hayam Wuruk, dengan demikian betapa pentingnya kedudukan patih Gajah Mada dalam Pemerintahan Majapahit. Jabatan patih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya. Demikianlah setelah patih Amangku Bumi Gajah Mada meninggal pada tahun saka 1286 atau Tahun Masehi 1364 Majapahit mengalami kemunduran, Kegemilangan kerajaan Majapahit yang gilang gemilang adalah sejarah kehidupan patih Gajah Mada.

Keadaan Kerajaan Majapahit seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan Majapahit.

Upacara Srada
Upacara srada dilaksanakan oleh Prabu hayam Wuruk pada tahun saka 1254 untuk memperingati wafatnya Sri Rajapatni (Gayatri ) atas perintah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, dalam Nagarakretagama diuraikan dalam pupuh 63 sampai dengan 67. Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya.

Sebagai patih Amangku Bumi Gajah Mada menyampaikan pesan kepada para Menteri dan Punggawa untuk turut menyumbang dalam upacara srada tersebut. Pada hari pertama upacara tersebut dimulai dengan pemujaan Budha. Upacara ini dipimpin oleh pendeta Stapaka dengan dibantu Empu dari paruh. Semua pendeta berdiri dalam lingkaran untuk menyaksikan pemujaan Budha oleh Sang Prabu. Kemudian menyusul doa untuk memanggil jiwa Rajapatni dari Budhaloka yang ditampung dalam arca bunga. Pada malam berikutnya dilanjutkan pemujaan terhadap arca bunga yang telah terisi jiwa Rajapatni, pemujaan dipimpin oleh pendeta dengan samadi dan puji pujian. Paginya arca bunga dibawa keluar disambut dengan bunyi tambur dan genderang. Arca bunga kemudian didudukkan di Singgasana setinggi orang berdiri. Pemujaan dimulai dengan semua pendeta Budha kemudian dilanjutkan dengan Raja , permaisurinya dan putra putranya serta anggota keluarga lainnya.

Pada hari ketujuh dipentaskan tari tarian dan kesenian lainnya dari berbagai wilayah Majapahit. Upacara srada akhirnya ditutup pada Hari Kedelapan, Pagi pagi pendeta Budha berkumpul untuk melakukan pemujaan dengan lagu lagu pujaan yang diciptakan khusus untuk Rajapatni yang telah berpulang ke Budhaloka. Arca bunga kemudian diturunkan dari singgasana dengan upacara, semua sajian kemudian di bagikan habis ke semua undangan. Demikianlah upacara srada telah selesai dan dilanjutkan dengan perbaikan makam Rajapatni di Kamal Pandak.

Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk
Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya, Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan di ujung Jawa Timur. Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.

Sumber : Google Wikipedia


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...