KISAH
RAJA HAYAM WURUK
Orientasi
Hayam Wuruk
adalah raja keempat Kerajaan Majapahit yang memerintah tahun 1350-1389,
bergelar Maharaja Sri Rajasanagara.
Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya.
Silsilah
Nama
Hayam Wuruk artinya "ayam
yang terpelajar". Ia adalah putra pasangan Tribhuwana
Tunggadewi dan Sri
Kertawardhana alias Cakradhara. Ibunya adalah putri Raden Wijaya
pendiri Majapahit, sedangkan ayahnya adalah raja
bawahan di Singhasari bergelar Bhre Tumapel. Hayam Wuruk dilahirkan tahun 1334.
Peristiwa kelahirannya diawali dengan gempa bumi di Pabanyu Pindah dan
meletusnya Gunung Kelud. Pada tahun itu pula Gajah Mada
mengucapkan Sumpah Palapa.
Hayam
Wuruk memiliki adik perempuan bernama Dyah
Nertaja alias Bhre Pajang,
dan adik angkat bernama Indudewi
alias Bhre Lasem, yaitu putri Rajadewi,
adik ibunya. Permaisuri Hayam Wuruk bernama Sri Sudewi bergelar Paduka Sori putri Wijayarajasa Bhre Wengker.
Paduka Sori adalah saudara kandung tiri Hayam Wuruk, Hayam Wuruk dan Paduka
Sori punya 1 ayah, beda ibu. Dari perkawinan itu lahir Kusumawardhani yang menikah dengan Wikramawardhana putra Bhre Pajang. Hayam Wuruk juga memiliki putra
dari selir yang menjabat sebagai Bhre Wirabhumi, yang menikah dengan Nagarawardhani putri Bhre Lasem.
Masa Pemerintahan
Di
bawah kekuasaan Hayam Wuruk, Majapahit menaklukkan Kerajaan Pasai dan Aru
(kemudian bernama Deli, di era pemerintahan Hayam Wuruk
menyimpan polemik dalam pengangkatannya sebagai Raja. Hal itu dikarenakan Hayam
Wuruk menjadi Raja Majapahit untuk menggantikan ibunya (Tribhuwana Tunggadewi) yang menjadi Wali Kerajaan/Makamanggalya,
dikarenakan status ibunya sebagai Ratu Majapahit telah habis. Habisnya status
tersebut dikarenakan Gayatri
(sebagai pemegang status kekuasaan yang sah) telah meninggal)
Versi Pertama
Tahun
1351,
Hayam Wuruk hendak menikahi puteri Raja Galuh/Pajajaran
(di Jawa Barat), Dyah Pitaloka Citraresmi.
Pajajaran setuju asal bukan maksud Majapahit untuk mencaplok kerajaan Galuh.
Ketika dalam perjalanan menuju upacara pernikahan, Gajah Mada mendesak kerajaan
Galuh untuk menyerahkan puteri sebagai upeti dan tunduk kepada Majapahit.
Kerajaan Galuh menolak, akhirnya pecah pertempuran, Perang Bubat.
Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan kerajaan Galuh tewas, dan
dalam beberapa tahun Galuh menjadi wilayah Majapahit."Kecelakaan sejarah" ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.
Versi Kedua
Dyah Pitaloka itu sebenarnya masih saudara sedarah
dengan Hayam Wuruk, karena Raden Wijaya (penerus tahta
kerajaan Sunda ke-26) adalah putra Rakyan Jayadarma yang menikah dengan Dyah
Lembu Tal yang merupakan keturunan Ken Arok. Rakyan
Jayadarma adalah putra mahkota kerajaan Pakuan dari Prabu Guru Dharmasiksaai. Rakeyan
Jayadarma mati diracun oleh saudara kandungnya sendiri untuk merebut tampuk
kekuasaan. Kemudian Dyah Lembu Tal membawa Raden Wijaya ke Jawa Timur, Gajah Mada
mengingatkan kepada Hayam Wuruk bahwa Dyah Pitaloka masih satu darah dengan dia
sehingga tidak boleh menikah. Namun, Hayam Wuruk bersikeras untuk menikahi Dyah
Pitaloka. Gajah Mada yang menyampaikan kepada rombongan kerajaan Sunda bahwa
tidak akan ada perkawinan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka. Karena merasa
dipermalukan maka rombongan kerajaan Sunda menyerang Majapahit demi kehormatan.
Pergantian Patih
Pada
tahun 1364,
Mahapatih Gajah Mada meninggal tanpa keterangan jelas mengenai penyebabnya. Tahun 1367 Hayam Wuruk mengangkat Gajah Enggon
sebagai patih.
Akhir Hayat
Tahun
1372, ibundanya meninggal. Ini adalah pukulan berat baginya. Tahun 1377 kembali
menundukkan Swarnabhumi karena pelanggaran yang dilakukan penguasanya. Setelah
ini, Majapahit memasuki era damai dengan menjalin hubungan baik dengan negara
tetangganya. Tahun 1389 Hayam Wuruk
mangkat dan dimakamkan di Tajung. Diganti oleh menantunya Wikramawardhana.
Sastra
Pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk, kitab Kakawin Sutasoma (yang memuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa) digubah oleh Mpu Tantular,
dan kitab Nagarakretagama
digubah oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365.
Suksesor
Tahun
1389,
Hayam Wuruk meninggal dengan dua anak: Kusumawardhani (yang bersuami Wikramawardhana), serta Wirabhumi
yang merupakan anak dari selirnya. Namun yang menjadi pengganti Hayam Wuruk
adalah menantunya, Wikramawardhana.
Kepustakaan
Ø
Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II.
Jakarta: Balai Pustaka
Ø
R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
Pada tahun (1350-1389) Majapahit mencapai masa
keemasannya dibawah pemerintahan Prabu Hayam Wuruk bergelar Rajasanegara
didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada, Adityawarman dan Mpu Nala sehingga pada
masa tersebut Majapahit, karena daerah kekuasaannya hampir meliputi seluruh
Nusantara. Majapahit berkembang sebagai kerajaan maritim sekaligus kerajaan
agraris.
Hayam Wuruk adalah putera Tribhuwana Wijayatunggadewi,
dilahirkan pada tahun 1334, yang konon bertepatan dengan gempa bumi di
Pabanyupindah. Nama Hayam Wuruk berarti “ayam yang masih muda”. Hayam Wuruk
naik takhta ketika berusia 16 tahun. Ia menikah dengan Paduka Sori
(Parameswari). Hayam Wuruk mempunyai dua orang anak yaitu Nagarawardani/ Bhre
Lasem yang lahir dari Paduka Sori dan Bhre Wirabumi yang lahir dari selir.
Perkawinan Hayam Wuruk dengan Paduka Sori yang masih saudara sepupu putri dari
Bhre Prameswara yaitu Raja Wijayarajasa dari Wengker terjadi tahun saka 1279
yaitu setelah kegagalan perkawinannya dengan Dyah Pitaloka yaitu Putri Raja Linggabuana
dari kerajaan Pasundan.
Pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk, keraton Majapahit diperkirakan telah dipindahkan ke trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto). Trowulan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Kecamatan ini terletak di bagian barat Kabupaten Mojokerto, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Jombang. Trowulan terletak di jalan negara yang menghubungkan Surabaya – Surakarta-.Di kecamatan ini terdapat puluhan situs bangunan, arca, gerabah, dan pemakaman peninggalan Kerajaan Majapahit . Diduga kuat, pusat kerajaan berada di wilayah ini yang ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitab Kakawin Nagarakretagama dan dalam sebuah sumber Tionghoa dari abad ke-15.
Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
Tahun 1360 Gayatri wafat, maka Tribhuwanottunggadewi
pun turun tahta, dan menyerahkan kepada anaknya yaitu Hayam Wuruk, yang
dilahirkan di tahun 1334 atas perkawinannya dengan Kertawardddhana.Hayam Wuruk
memerintah dengan gelar Rajasanagara (1360-1369), dengan Gajah Mada sebagai
patihnya
Nama nama pejabat pemerintahan Majapahit pada Jaman
pemerintahan Raja Kertarajasa sesuai piagam Bendasari.
1. Mahamentri Katrini
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing
· Rakyan Menteri Hino : Dyah Iswara
· Rakyan Menteri Halu : Dyah Ipo
· Rakyan Menteri Sirikan : Dyah Kancing
2. Sang Panca
Wilwatika
· Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada
· Rakyan Demung : Pu Alus
· Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil
· Rakyan Rangga : Pu Roda
· Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata
· Rakyan Patih Majapahit : Pu Gajah Mada
· Rakyan Demung : Pu Alus
· Rakyan Kanuruhan : Pu Bajil
· Rakyan Rangga : Pu Roda
· Rakyan Tumenggung : Pu Lembi Nata
Dalam Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang
pejabat yang terpenting yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat
ini dapat dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula semacam
dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara raja, yang
disebut Bhattara Saptaprabhu. Majapahit memiliki struktur pemerintahan dan
susunan birokrasi yang teratur pada masa pemerintahan
Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi
tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya. Raja dianggap
sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas politik tertinggi.
Sebagai kepala pemerintahan, raja atau ratu Majapahit bergelar Bhatara Prabhu
(Bhre Prabhu) atau Sri Maharaja. Para anggota keluarga kerajaan diberi gelar
Bhatara (Bhre) dari mandala tertentu, misalnya Bhre Kahuripan, Bhre Daha, Bhre
Tumapel, dan sebagainya. Sesuai dengan keseimbangan gender, gelar Bhre Tumapel,
Bhre Paguhan dan Bhre Wengker dijabat oleh pria, sedangkan gelar Bhre Lasem,
Bhre Pajang dan Bhre Kabalan jatah untuk wanita. Adapun gelar Bhre Kahuripan
dan Bhre Daha, sebagai daerah poros (axis region), boleh disandang pria atau
wanita asalkan hubungan kerabatnya dekat dengan sang prabhu.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Bertram Johannes Otto Schrieke, “Kahuripan and Daha were the regions assigned to the most highly placed members of the royal family” (Ruler and Realm in Early Java, 1957). Jika anggota keluarga kerajaan cukup banyak, mandala diperluas menurut kebutuhan, misalnya Bhre Mataram, Bhre Matahun, Bhre Wirabhumi, dan sebagainya.
Pejabat pemerintahan dibawah Raja yaitu Patih
Amangkubumi (Patih Seluruh Negara) bertugas memberi perintah dan arahan tentang
jalannya pemerintahan di Negara bawahan atau daerah. Dalam Nagarakretagama
disebutkan bahwa para patih Negara bawahan dan para pembesar lainnya berkumpul
di Kepatihan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada. Di bawah raja
Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut Paduka Bhattara.
Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat raja dan bertugas dalam
mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan upeti, dan pertahanan kerajaan di
wilayahnya masing-masing. Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa
pemerintahan Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh
seseorang yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
Daha oleh Bhre Daha yaitu Dyah Wijat Sri Rajadewi yang
merupakan adik kandung dari Tribhuwana Tunggadewi ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Wengher oleh Raja Wijayarajasa
Matahun oleh Raja Rajasawardhana
Lasem oleh Bhre Lasem
Pajang oleh Bhre Pajang
Paguhan oleh Raja Singawardhana
Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
Jagaraga
Kabalan
Singhapura
Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan.
Wengher oleh Raja Wijayarajasa
Matahun oleh Raja Rajasawardhana
Lasem oleh Bhre Lasem
Pajang oleh Bhre Pajang
Paguhan oleh Raja Singawardhana
Kahuripan oleh Tribhuwana Tunggadewi yaitu ibu dari Raja Hayam Wuruk.
Singasari oleh Raja Kertawardhana yaitu ayah dari Raja Hayam Wuruk.
Mataram oleh Bhre Mataram yaitu Wikramawardhana yaitu keponakan dari Raja Hayam Wuruk.
Wirabhumi oleh bhre Wirabhumi yaitu anak Raja Hayam Wuruk dari selir.
Pawanuhan oleh puteri Surawardhani.
Jagaraga
Kabalan
Singhapura
Lima daerah atau Propinsi menurut kiblat yaitu Utara, Timur, Selatan , Barat dan Pusat yang disebut Mancanegara masing masing diperintah oleh juru Pangalasan atau Adipati yang bergelar Rakyan.
Raja dan Juru Pengalasan adalah pembesar yang
bertanggung jawab namun dalam pemerintahanya dikuasakan kepada Patih..
Dalam pemerintahan dipusat segala urusan pemerintahan
menjadi tanggung jawab Patih Amangkubumi yaitu Gajah Mada, Demung, Kanuruhan,
Rangga dan Tumenggung. Lain halnya dengan pemerintahan di seberang lautan yang
merupakan wilayah Majapahit, Raja- Raja dan pembesar daerah bawahan berdaulat
penuh, kewajiban utama daerah bawahan kepada Majapahit yaitu menyerahkan upeti
tahunan dan menghadap Raja pada waktu yang ditetapkan sebagai tanda kesetiaan
dan pengakuan terhadap kekuasaan Majapahit.
Untuk mengawasi wilayah Majapahit yang begitu luas
maka Majapahit memiliki Armada lautan yang sangat besar dan ditakuti oleh
negara Negara lainnya. Armada ini ditempatkan di Lautan Teduh (Pasifik) dan
dipantai utara pulau Jawa. Dan juga berusaha menjalin persahabatan dengan
negara-negara tentangga yang diistilahkan Mitrekasatata yang berarti sahabat
atau sahabat sehaluan atau hidup berdampingan secara damai.
Dalam Bilang Ekonomi & Perdagangan
Dalam kehidupan ekonomi, kerajaan Majapahi masih
mencerminkan sebagai negara agraris, karena aspek agraria lebih menonjol
dibandingkan perdagangan antar pulau. Pemerintahan Majapahit selalu berusaha
meningkatkan pertaniannya dengan memperbaiki atau memelihara tanggul sepanjang
sungai untuk mencegah banjir dan di samping itu juga memperbaiki jalan-jalan
jembatan untuk mempelancar lalu lintas perdagangan.
Komoditi perdagangan Majapahit adalah beras dan
rempah-rempah. Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya, Gresik,
Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang dagangan
berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Menurut catatan Wang Ta-yuan, pedagang
Tiongkok, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan
burung kakak tua, sedangkan komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak,
sutra, barang keramik, dan barang dari besi. Mata uangnya dibuat dari campuran
perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan Odorico da Pordenone,
biarawan Katolik Roma dari Italia yang mengunjungi Jawa pada tahun 1321,
menyebutkan bahwa istana raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan
permata.
Daerah-daerah pelabuhan seperti Canggu, Surabaya,
Gresik, Sedayu, dan Tuban menjadi pusat perdagangan karena menumpang barang
dagangan berupa hasil bumi dari daerah pedalaman. Di bidang perdagangan
walaupun tidak semenonjol kerajaan Sriwijaya, banyak pedagang Majapahit
berperan sebagai pedagang perantara. Menurut berita dari Cina, Majapahit telah
memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala, kayu cendana dan
gading. Banyak pedagang Cina yang membeli barang-barang tersebut dari pedagang
Majapahit.
Majapahit selalu menjalankan politik bertetangga yang
baik dengan kerajaan asing, seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan
Kamboja. Hal itu terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali
mengirim utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina
dari Dinasti Ming.Hubungan persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu
sangat penting artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang
perekonomian (pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan
Majapahit terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang dagangan
yang sangat laku di pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang dipasarkan
antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkeh, pala, kapas
dan kayu cendana. Dalam dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua
peranan yang sangat penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai
kerajaan perantara.
Dalam Bidang Keagamaan
Sebagai kerajaan Hindu terbesar di Nusantara keamanan
rakyat terjamin, dimana hukum serta keadilan ditegakkan dengan tidak pandang
bulu. Dalam kehidupan beragama raja membentuk dewan khusus yaitu Dharmadhyaksa
kasaiwan yang mengurus agama Syiwa Budha dan Dharmadhyaksa Kasogatan yang
mengurus agama Budha keduanya dibantu oleh pejabat keagamaan yang disebut
Dharma Upapatti yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. Banyaknya pejabat
tersebut menunjukan keompleksnya permasalahan agama yang harus diatur. Dengan
adanya pejabat keagamaan tersebut, kehidupan keagamaan Majapahit berjalan
dengan baik, bahkan tercipta toleransi.
Hal ini seperti apa yang diceritakan oleh Ma-Huan
tahun 1413, bahwa masyarakat Majapahit di samping beragama Hindu, Budha juga
ada yang beragama Islam, semuanya hidup dengan rukun. Dari berita Ma-Huan
tersebut dapat diketahui bahwa pengaruh Islam sudah ada di kerajaan Majapahit.
Kehidupan sosial yang penuh dengan toleransi juga dibuktikan melalui kitab
Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular yang di dalamnya ditemukan kalimat
“Bhinneka Tunggal Ika, TanHana Dharma mangrua”.
Dalam Nagarakretagama pupuh 85 diuraikan bahwa tiap
bulan Caitra (Maret-April) atau bulan pertama setiap tahun Raja Hayam Wuruk
mengadakan pertemuan dengan para Menteri, perwira, pembantu baginda, kepala
daerah, kepala desa dari luar kota untuk membahas tanggung jawab pemerintahan
didaerahnya masing-masing.
Beberapa hasil karya semasa Hayam Wuruk lainnya antara
lain:
Ø Pemeliharaan
tempat-tempat penyeberangan melintasi sungai-sungan Solo dan Brantas
Ø Perbaikan
bendungan Kali Konto (sebelah timur Kadiri)
Ø Memperindah
Candi untuk Tribhuwanottunggadewi di Panggih
Ø Perbaikan dan
perluasan tempat suci Palah (Panataran)
Ø Penyempurnaan
Candi Jabung dekat Kraksaan (1354)
Ø Membuat Candi
Surawana dan Candi Tigawangi di dekat Kadiri (1365)
Ø Membuat Candi
Pari (dekat Porong) bercorak dari Campa di tahun 1371
Wilayah Kekuasaan Majapahit Jaman Pemerintahan Hayam Wuruk
Di zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389)
yang menggantikan Tribhuwanatunggadewi, Patih Gajah Mada terus mengembangkan
penaklukan ke wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi,
Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton,
Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan
(Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk
daerah-daerah Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian
Papua (Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara. Namun demikian, batasan alam
dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya
tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja. Majapahit
juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan
Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke China.
Daerah-daerah diluar jawa yang dikuasai Majapahit pada
jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk seperti diuraikan dalam Nagarakretagama
pupuh 13 dan 14 antara lain :
Ø
Di Sumatra : Jambi, Palembang, Dharmasraya, Kandis,
Kahwas, Siak, Rokan, Mandailing, Panai, Kampe, Haru, Temiang, Parlak, Samudra,
Lamuri, Barus, Batan dan Lampung.
Ø
Di Kalimantan : Kapuas, Katingan, Sampit, Kota Lingga,
Kota waringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Singkawang, Tirem, Landa, Sedu,
Barune, Sukadana, Seludung, Solot, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjung
Kutei dan malano.
Ø
Di Semenanjung Tanah Melayu : Pahang, Langkasuka,
Kalantan, Saiwang, Nagir, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang, Kedah dan Jerai.
Ø
Sebelah Timur Jawa : Bali, Badahulu, Lo Gajah, Gurun,
Sukun, Taliwung, Dompo, Sapi, Gunung api, Seram, Hutan kadali, Sasak, Bantayan,
Luwuk, makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian, Salayar, Sumba, Muar (Saparua),
Solor, Bima, Wandan (Banda) Amabon, Wanin, Seram dan Timor.
Ø
Setelah menyimak data tersebut, Gajah Mada berhasil
mewujudkan sumpahnya. Wilayah kekuasaan Majapahit hampir meliputi seluruh
wilayah nusantara, bahkan Semenanjung Malaya juga berhasil dikuasai Majapahit
kecuali kerajaan Pajajaran (Sunda) yang belum dikuasainya.
Gajah Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari
1331 ke 1364, memperluas kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun
1377, yaitu beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit
menduduki Palembang, menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya. Beberapa
Peristiwa Penting dalam Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
§ Perang Bubat (1357) Sumber yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang tersebut justru terdapat dalam Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab Pararaton dikisahkan peristiwa Bubat terjadi pada Tahun Saka 1257 atau 1357 tahun Masehi di masa pemerintahan Hayam Wuruk.
§ Perang Bubat (1357) Sumber yang bisa dijadikan rujukan mengenai adanya perang tersebut justru terdapat dalam Kidung Sunda dan Kidung Sundayana yang berasal dari Bali. Dalam Kitab Pararaton dikisahkan peristiwa Bubat terjadi pada Tahun Saka 1257 atau 1357 tahun Masehi di masa pemerintahan Hayam Wuruk.
Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan Nusantara mencapai
hasilnya di masa ini dari mulai Tumasek (Singapura), Tanjungpura, Bali, Dompo,
hingga Seram seluruh penguasanya menyatakan tunduk di bawah kekuasaan
Majapahit. Tetapi di kala semua kerajaan yang letaknya relatif jauh sudah
menyatakan tunduk, ada dua kerajaan yang sangat dekat bahkan seperti di halaman
rumah sendiri, belum menyatakan tunduk. Dua kerajaan tersebut adalah Sunda
Galuh yang berpusat di Galuh (sekarang berada di sekitar Ciamis), dan Sunda
Pakuan yang terletak lebih ke arah barat.
Kerajaan Sunda Galuh saat itu dipimpin oleh seorang
raja yang bernama prabu Lingga Buana. Di sebelah timur, wilayah Sunda Galuh
berbatasan langsung dengan wilayah Majapahit di sepanjang sungai Pamali.
Sedangkan di sebelah barat, wilayah Sunda Galuh berbatasan langsung dengan
wilayah Sunda Pakuan di sepanjang sungai Citarum.
Pandangan Gajah Mada untuk sesegera mungkin menyatukan
kedua kerajaan Sunda tersebut ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit,
bertentangan dengan pandangan kalangan istana. Baik ibu suri Tribhuana
Tunggadewi maupun Dyah Wyjat berpendapat bahwa kerajaan Sunda adalah kerabat
sendiri, karena apabila dilihat dari silsilah keluarganya, salah satu
leluhurnya berasal dari bangsawan Sunda. Sementara sikap prabu Hayam Wuruk
sendiri terlihat lebih mendukung kedua ibu suri tersebut daripada Gajah Mada.
Pada suatu waktu tibalah saatnya bagi prabu Hayam
Wuruk untuk mencari seorang permaisuri yang akan mendampingi dirinya. Maka
dikirimlah beberapa juru gambar untuk melukis putri-putri yang cantik dari
kalangan kerajaan bawahan maupun kerajaan tetangga untuk kemudian diperlihatkan
kepada sang prabu.
Dengan harapan apabila ada salah satu gambar yang berkenan di hati sang prabu, maka tibalah saatnya bagi sang prabu untuk menjatuhkan pilihannya kepada putri yang beruntung tersebut.
Sudah sekian banyak juru gambar yang kembali membawa
lukisannya, namun sang prabu Hayam Wuruk masih belum berkenan menjatuhkan
pilihannya. Sampai tibalah saatnya dikirim juru gambar ke kerajaan Sunda Galuh
untuk menggambar putri Dyah Pitaloka Citraresmi yang kabar kecantikannya sudah
terkenal ke mana-mana. Sementara itu, Gajah Mada melihat adanya kesempatan
untuk membawa kepentingannya sendiri ke dalam utusan juru gambar Majapahit ke
Sunda Galuh. Kemudian Gajah Mada menyusupkan beberapa orang bawahannya yaitu
Ø Gajah Enggon
menjabat pinpinan utusan Khusus
Ø Ma Panji Elam
menjabat sebagai Sang Arya Rajapakrama
Ø Pu Kapasa menjabat
sebagai Arya Suradhiraja
Ø Pu Menur
menjabat sebagai Sang Arya Wangsaprana
Ø dan Pu Kapat
menjabat sebagai Sang Arya Patipati
Untuk pergi bersama-sama ke kerajaan Sunda Galuh
menyampaikan maksud Gajah Mada agar kerajaan Sunda Galuh segera menyatakan
tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Sekembalinya utusan tersebut, prabu Hayam
Wuruk ternyata berkenan dengan kecantikan putri Dyah Pitaloka Citrasemi dan
berniat menjadikannya sebagai permaisuri. Konon ketertarikan Hayam Wuruk
terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit; yang
dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging
Prabangkara.
Atas restu dari keluarga kerajaan, Hayam Wuruk
mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk meminang putri
Sunda tersebut melalui perantara yang bernama tuan Anepaken, utusan sang raja
tiba di kerajaan Sunda. Rombongan utusan kedua dipimpin oleh Patih Madu yang
membawa berbagai macam keperluan untuk meminang putri tersebut sekaligus
membicarakan kapan dan di mana pesta perkawinan antara raja dan putri akan
dilangsungkan.
Setelah pinangan dari prabu Hayam Wuruk diterima
akhirnya disepakati bersama bahwa raja Lingga Buana, permaisuri, dan beberapa
bangsawan istana akan berangkat ke Majapahit untuk mengantarkan putri Dyah
Pitaloka sekaligus melangsungkan acara pesta perkawinan di ibu kota Majapahit.
Maka pada hari yang telah ditentukan, berangkatlah prabu Lingga Buana beserta
rombongan ke Majapahit. Tidak terlalu banyak pasukan yang mengiringi mereka
mengingat maksud dan tujuan sang prabu ke Majapahit adalah untuk menikahkan
putrinya, Dyah Pitaloka. Perjalanan jauh mereka tempuh dari Galuh (Ciamis)
menuju ke ibu kota Majapahit (Trowulan).
Ratusan rakyat menghantar sang putri beserta raja dan
punggawa menuju pantai, tapi tiba-tiba dilihatnya laut berwarna merah bagaikan
darah. Ini diartikan tanda-tanda buruk bahwa diperkirakan putri raja ini tidak
akan kembali lagi ke tanah airnya. Tanda ini tidak dihiraukan, dengan tetap
berprasangka baik kepada raja tanah Jawa yang akan menjadi menantunya.
Catatan sejarah Pajajaran yang ditulis Saleh
Danasasmita dan Naskah Perang Bubat yang ditulis Yoseph Iskandar menyebutkan
bahwa niat pernikahan itu adalah untuk mempererat tali persaudaraan yang telah
lama putus antara Majapahi dan Sunda. Raden Wijaya yang menjadi pendiri
kerajaan Majapahit, dianggap keturunan Sunda dari Dyah Lembu Tal dan suaminya
yaitu Rakeyan Jayadarma, Raja kerajaan Sunda. Hal ini juga tercatat dalam
Pustaka Rajyatajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 3. Dalam Babad tanah Jawi,
Raden Wijaya disebut pula dengan nama Jaka Susuruh dari Pajajaran.
Upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit.
Pihak dewan kerajaan Negeri Sunda sendiri sebenarnya keberatan, terutama
Mangkubuminya yaitu Hyang Bunisora Suradipati. Ini karena menurut adat yang
berlaku di Nusantara pada saat itu, tidak lazim pihak pengantin perempuan
datang kepada pihak pengantin lelaki. Selain itu ada dugaan bahwa hal tersebut
adalah jebakan diplomatik Majapahit yang saat itu sedang melebarkan
kekuasaannya, diantaranya dengan cara menguasai Kerajaan Dompu di Nusa
Tenggara.
Prabu Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke
Majapahit, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua
negara tersebut. Berangkatlah Prabu Linggabuana bersama rombongan Sunda ke
Majapahit. Sepuluh hari telah berlalu akhirnya sampailan rombongan di Majapahit
dan diterima oleh para pembesar Majapahit serta ditempatkan di Pesanggrahan
Bubat.
Kesalah-pahaman
Kesalah-pahaman
Setelah rombongan sampai di pesanggrahan Bubat
datanglah utusan Gajah Mada yang menyampaikan maksud Gajah Mada agar putri Dyah
Pitaloka diserahkan ke kerajaan Majapahit sebagai persembahan, tanda bahwa Sunda
Galuh tunduk dibawah kekuasaan Majapahit. Prabu Lingga Buana merasa harga
dirinya terinjak-injak dengan perlakuan Gajah Mada tersebut, namun sebagai
seorang pemimpim yang arif sang prabu tidak bertindak gegabah untuk dengan
serta merta mengadakan perlawanan di tempat. Namun kearifan hati sang prabu
tidak diikuti oleh segenap anak buahnya. Dalam situasi demikian, setiap orang
yang berada dalam rombongan tersebut merasa marah dan dilecehkan.
Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka
bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan mengakui
superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri menurut
Kidung Sundayana disebutkan bimbang atas permasalah tersebut, karena Gajah Mada
adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.
Gugurnya rombongan Sunda
Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan
Linggabuana dengan Gajah Mada. Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya
Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya
untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena
undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.
Para Pemimpin Sunda naik darah ketika mengetahui niat
Gajah Mada tersebut, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong,
orang Pangulu, orang saya, Rangga Kaweni, Orang Siring, Sutrajali dan Jagatsaya
melakukan perlawanan terhadap pasukan dari Majapahit. Belum lagi Hayam Wuruk
memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukannya (Bhayangkara) ke
Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas
Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana
menolak tekanan itu. Satu lesatan anak panah, entah terlepas dari busur siapa
melaju menerjang utusan Gajah Mada tersebut hingga ambruk. Suasana pun menjadi
tidak terkendali. Perang pun tidak terlelakkan lagi terjadi di lapangan bubat.
Rombongan pasukan Sunda Galuh yang tidak siap berperang terpaksa harus
menghunus pedang dan merentangkan gendewa menghadapi pasukan Majapahit yang
juga sebenarnya tidak siap untuk berperang.
Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar di sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut ,melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Dalam pertempuran tersebut Maharaja Linggabuana dan tuan Usus gugur terlebih dahulu. Pasukan Sunda kemudian menyerang kearah selatan , pasukan Majapahit dibuat kocar kacir oleh serangan tersebut.
Serangan pasukan Sunda kemudian dapat dipatahkan oleh
pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewis,
Patih Teteg dan Jaran Baya. Para Menteri Arraman dan pasukan berkuda ganti
menyerang tentara Pasundan, serangan tersebut berhasil meluluh lantakan
pertahanan sehingga pasukan pasundan menyingkir kearah barat daya. Pasukan
Pasundan akhirnya terkepung sehingga langsung berhadapan dengan pasukan
pimpinan Gajah Mada. Setiap pasukan Pasundan yang menghadang kereta Gajah Mada
berhasil disingkirkan satu persatu sehingga peristiwa itu berakhir dengan
gugurnya Prabu Linggabuana, para menteri dan pejabat kerajaan Sunda. Dyah Pitaloka
bunuh diri setelah ayahanda dan seluruh rombongannya gugur dalam pertempuran.
Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan
utusan (Darmadyaksa) dari Bali – yang saat itu berada di Majapahit untuk
menyaksikan pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka untuk menyampaikan
permohonan maaf kepada Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi
pejabat sementara raja Negeri Sunda, serta menyampaikan bahwa semua peristiwa
ini akan dimuat dalam Kidung Sunda atau Kidung Sundayana (di Bali dikenal
sebagai Geguritan Sunda agar diambil hikmahnya. Dalam kitab Pararaton
disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara
besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut.
Akibat peristiwa Bubat ini, dikatakan dalam catatan
tersebut bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah
Mada sendiri tetap menjabat Mahapatih sampai wafatnya (1364). Akibat peristiwa
ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan esti larangan
ti kaluaran, yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan
kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak
timur negeri Sunda (Majapahit).
Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala. Dalam peristiwa menyedihkan ini seluruh rombongan Pajajaran tewas, dan dalam beberapa tahun Pajajaran menjadi wilayah Majapahit.“Kecelakaan sejarah” ini hingga sekarang masih dikenang terus oleh masyarakat Jawa Barat dalam bentuk penolakan nama Hayam Wuruk dan Gajah Mada bagi pemberian nama jalan di wilayah ini.
Peristiwa Bubat dalam Kidung Sunda
Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa
Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan kemungkinan besar berasal dari
Bali. Dalam kidung ini dikisahkan prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin
mencari seorang permaisuri, kemudian beliau menginginkan putri Sunda yang dalam
cerita ini tak memiliki nama.
Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit hayang nyiar pibojoeun.
Lajeng anjeunna ngirimkeun utusan ka sakuliah Nusantara pikeun néangan putri nu
cocog. Para utusan mulang bari marawa lukisan para putri ti rupa-rupa nagara,
ngan taya nu bisa ngirut atina. Lajeng Hayam Wuruk ngadéngé béja kegeulisan
putri Sunda, geuwat baé anjeunna ngirim juru lukis ka Sunda. Nalika juru lukis
balik deui bari mawa lukisan putri Sunda, kabeneran harita keur aya pamanna
raja Kahuripan jeung Daha nu miharep sangkan Hayam Wuruk geura meunang jodo.
Hayam Wuruk nu kataji ku lukisan putri Sunda, lajeng anjeunna ngutus mantri
Madhu pikeun ngalamar ka karajaan Sunda.
Madhu nepi ka tatar Sunda sanggeus lalayaran salila
genep poé, terus baé nepungan raja Sunda. Raja Sunda gumbira nampa lamaran ti
raja Majapahit nu kawentar ieu, sedengkeun Putri Sundana pribadi teu loba
catur.
Madhu mulang ka Majapahit bari mawa surat balesan ti
raja Sunda sarta ngibérkeun rék datangna rombongan ti Sunda. Teu lila ti harita
rombongan karajaan Sunda angkat diiring ku rombongan nu loba pisan: dua réwu
kapal (kaasup kapal laleutik). Kapal nu dianggo ku kulawarga raja Sunda nyaéta
“kapal jung Tatar (Mongol/Cina) nu ilahar dipaké satutasna perang Wijaya” (bait
1. 43a.). Ngan nalika naraék kapal, aranjeunna ningal kila-kila nu teu
pihadéeun.
Majapahit sorangan sibuk nyiapkeun sambutan pikeun
para tamu. Sapuluh poé ti harita, kapala désa Bubat ngalaporkeun geus datangna
rombongan Sunda. Prabu Hayam Wuruk jeung paman-pamanna geus saged rék
ngabagéakeun nu datang, tapi patih Gajah Mada teu panuju. Anjeunna keukeuh
nyebutkeun yén Maharaja Majapahit teu pantes ngabagéakeun/nyambut raja nu
statusna raja lokal (vazal) kawas raja Sunda, malah saha nu nyaho yén anjeunna
téh musuh nu nyamar.
Mangka, nurutkeun pamanggih Gajah Mada, Prabu Hayam
Wuruk teu jadi indit ka Bubat. Para abdi dalem karaton jeung pangagung séjénna
kagét ngadéngé hal ieu, tapi maranéhna teu wani ngabantah.
Di Bubat, rombongan Sunda hawar-hawar geus ngadéngé
iber ngeunaan kaayaan di Majapahit. Lajeng raja Sunda ngirimkeun utusan, patih
Anepakén, indit ka Majapahit. Anjeunna angkat dibarengan ku tilu pangagung
séjénna sarta tilu ratus prajurit, langsung ka palinggihan Gajah Mada. Di dinya
patih Anepakén sasanggeman yén Raja Sunda rék mulang sarta nyangka yén Hayam
Wuruk ingkar jangji. Aranjeunna paséa rongkah sabab Gajah Mada keukeuh
mikahayang urang Sunda lumaku sakumaha patalukan Nusantara Majapahit. Di
kapatihan éta ampir bantrok, ngan kaburu dipisah ku Smaranata, pandita karajaan
Majapahit. Mangka utusan Sunda marulang deui kalawan ngémbarkeun yén kaputusan
ahir raja Sunda bakal ditepikeun dina jangka dua poé.
Ngadangu émbaran ieu, raja Sunda teu sudi lumaku
salaku patalukan. Lajeng anjeunna sasanggeman mutuskeun yén leuwih hadé gugur
salaku satria. Demi méla kahormatan, leuwih hadé gugur batan hirup bari dihina
urang Majapahit. Sadaya pangagung katut rombongan Sunda tumut kana kaputusan
ieu sarta milu béla ka rajana. Lajeng raja Sunda nepungan istri katut putrana,
anjeunna nyaritakeun niatna lajeng miwarang kulawargana mulang, tapi aranjeunna
nolak kalawan keukeuh rék ngabaturan rajana.
Terjemahannya Pupuh I
Hayam Wuruk, raja Majapahit ingin mencari seorang
permaisuri untuk dinikahi. Maka beliau mengirim utusan-utusan ke seluruh
penjuru Nusantara untuk mencarikan seorang putri yang sesuai. Mereka membawa
lukisan-lukisan kembali, namun tak ada yang menarik hatinya. Maka prabu Hayam
Wuruk mendengar bahwa putri Sunda cantik dan beliau mengirim seorang juru lukis
ke sana. Setelah ia kembali maka diserahkan lukisannya. Saat itu kebetulan dua
orang paman prabu Hayam Wuruk, raja Kahuripan dan raja Daha berada di sana
hendak menyatakan rasa keprihatinan mereka bahwa keponakan mereka belum
menikah.
Maka Sri Baginda Hayam Wuruk tertarik dengan lukisan
putri Sunda. Kemudian prabu Hayam Wuruk menyuruh Madhu, seorang mantri ke tanah
Sunda untuk melamarnya. Madhu tiba di tanah Sunda setelah berlayar selama enam
hari kemudian menghadap raja Sunda. Sang raja senang, putrinya dipilih raja
Majapahit yang ternama tersebut. Tetapi putri Sunda sendiri tidak banyak
berkomentar. Maka Madhu kembali ke Majapahit membawa surat balasan raja Sunda
dan memberi tahu kedatangan mereka. Tak lama kemudian mereka bertolak disertai
banyak sekali iringan. Ada dua ratus kapal kecil dan jumlah totalnya adalah
2.000 kapal, berikut kapal-kapal kecil. Namun ketika mereka naik kapal,
terlihatlah pratanda buruk. Kapal yang dinaiki Raja, Ratu dan Putri Sunda
adalah sebuah “jung Tatar (Mongolia/China) seperti banyak dipakai semenjak
perang Wijaya.” (bait 1. 43a.)
Sementara di Majapahit sendiri mereka sibuk
mempersiapkan kedatangan para tamu. Maka sepuluh hari kemudian kepala desa
Bubat datang melapor bahwa rombongan orang Sunda telah datang. Prabu Hayam
Wuruk beserta kedua pamannya siap menyongsong mereka. Tetapi patih Gajah Mada
tidak setuju. Beliau berkata bahwa tidaklah seyogyanya seorang maharaja
Majapahit menyongsong seorang raja berstatus raja vazal seperti Raja Sunda.
Siapa tahu dia seorang musuh yang menyamar. Maka prabu Hayam Wuruk tidak jadi
pergi ke Bubat menuruti saran patih Gajah Mada. Para abdi dalem keraton dan
para pejabat lainnya, terperanjat mendengar hal ini, namun mereka tidak berani
melawan.
Sedangkan di Bubat sendiri, mereka sudah mendengar
kabar burung tentang perkembangan terkini di Majapahit. Maka raja Sunda pun
mengirimkan utusannya, patih Anepakan untuk pergi ke Majapahit. Beliau disertai
tiga pejabat lainnya dan 300 serdadu. Mereka langsung datang ke rumah patih
Gajah Mada. Di sana beliau menyatakan bahwa Raja Sunda akan bertolak pulang dan
mengira prabu Hayam Wuruk ingkar janji. Mereka bertengkar hebat karena Gajah
Mada menginginkan supaya orang-orang Sunda bersikap seperti layaknya
vazal-vazal Nusantara Majapahit. Hampir saja terjadi pertempuran di kepatihan
kalau tidak ditengahi oleh Smaranata, seorang pandita kerajaan. Maka
berpulanglah utusan raja Sunda setelah diberi tahu bahwa keputusan terakhir
raja Sunda akan disampaikan dalam tempo dua hari.
Sementara raja Sunda setelah mendengar kabar ini tidak
bersedia berlaku seperti layaknya seorang vazal. Maka beliau berkata memberi
tahukan keputusannya untuk gugur seperti seorang ksatria. Demi membela
kehormatan, lebih baik gugur daripada hidup tetapi dihina orang Majapahit. Para
bawahannya berseru mereka akan mengikutinya dan membelanya. Kemudian raja Sunda
menemui istri dan anaknya dan menyatakan niatnya dan menyuruh mereka pulang.
Tetapi mereka menolak dan bersikeras ingin tetap menemani sang raja.
Pupuh II (Durma)
Dua pihak geus sariaga. Utusan Majapahit dikirim ka
pakémahan Sunda kalawan mawa surat nu eusina pasaratan ti Majapahit. Pihak
Sunda nolak kalawan ambek sahingga perang moal bisa dicegah deui. Pasukan
Majapahit disusun ku barisan prajurit biasa di hareup, terus tukangeunana para
pangagung karaton, Gajah Mada, sarta Hayam Wuruk jeung dua pamanna
pangtukangna.
Perang campuh lumangsung, ngabalukarkeun loba pisan
prajurit Majapahit nu tiwas, tapi tungtungna ampir sadaya pasukan Sunda tiwas
digempur bébéakan ku pasukan Majapahit. Anepakén tiwas ku Gajah Mada, sedengkeun
raja Sunda tiwas ditelasan ku bésanna sorangan, raja Kahuripan jeung Daha.
Hiji-hijina nu salamet nyaéta Pitar, perwira Sunda nu pura-pura tiwas di antara
pasoléngkrahna mayit prajurit Sunda. Lajeng anjeunna nepungan ratu jeung putri
Sunda. Aranjeunna kalintang ngarasa sedih, lajeng nelasan manéh, sedengkeun
para istri perwira Sunda arangkat ka médan perang lajeng narelasan manéh
hareupeun mayit para salakina.
Terjemahannya Pupuh II (Durma)
Maka semua sudah siap siaga. Utusan dikirim ke
perkemahan orang Sunda dengan membawa surat yang berisikan syarat-syarat
Majapahit. Orang Sunda pun menolaknya dengan marah dan perang tidak dapat
dihindarkan. Tentara Majapahit terdiri dari prajurit-prajurit biasa di depan,
kemudian para pejabat keraton, Gajah Mada dan akhirnya prabu Hayam Wuruk dan
kedua pamannya. Pertempuran dahsyat berkecamuk, pasukan Majapahit banyak yang
gugur. Tetapi akhirnya hampir semua orang Sunda dibantai habisan-habisan oleh
orang Majapahit. Anepakan dikalahkan oleh Gajah Mada sedangkan raja Sunda
ditewaskan oleh besannya sendiri, raja Kahuripan dan Daha. Pitar adalah
satu-satunya perwira Sunda yang masih hidup karena pura-pura mati di antara
mayat-mayat serdadu Sunda. Kemudian ia lolos dan melaporkan keadaan kepada ratu
dan putri Sunda. Mereka bersedih hati dan kemudian bunuh diri. Semua istri para
perwira Sunda pergi ke medan perang dan melakukan bunuh diri massal di atas
jenazah-jenazah suami mereka.
Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk ngarasa hariwang nempo perang ieu.
Anjeunna lajeng angkat ka pakémahan putri Sunda, sarta mendakan putri Sunda
geus tiwas. Prabu Hayam Wuruk kacida nalangsa ku hayangna ngahiji jeung putri
Sunda ieu. Satutasna ti éta, dilaksanakeun upacara pikeun ngadungakeun para
arwah. Teu lila ti kajadian ieu, Hayam Wuruk mangkat ku rasa nalangsa nu
kacida. Sanggeus anjeunna dilebukeun sarta sadaya upacara geus réngsé,
paman-pamanna ngayakeun sawala. Aranjeunna nyalahkeun Gajah Mada kana kajadian
ieu, sarta mutuskeun rék néwak sarta nelasan Gajah Mada. Nalika aranjeunna
datang ka kapatihan, Gajah Mada geus sadar yén wancina geus datang. Gajah Mada
maké sagala upakara (kalengkepan) upacara lajeng milampah yoga samadi, sahingga
anjeunna ngaleungit (moksa) ka (niskala). Raja Kahuripan jeung Daha, nu sarupa
jeung “Siwa jeung Buda”, mulang ka nagarana séwang-séwangan, sabab mun cicing
di Majapahit teu weléh kasuat-suat ku kajadian ieu.
Terjemahannya Pupuh III (Sinom)
Prabu Hayam Wuruk merasa cemas setelah menyaksikan
peperangan ini. Beliau kemudian menuju ke pesanggaran putri Sunda. Tetapi putri
Sunda sudah tewas. Maka prabu Hayam Wurukpun meratapinya ingin dipersatukan
dengan wanita idamannya ini. Setelah itu, upacara untuk menyembahyangkan dan
mendoakan para arwah dilaksanakan. Tidak selang lama, maka mangkatlah pula
prabu Hayam Wuruk yang merana. Setelah beliau diperabukan dan semua upacara
keagamaan selesai, maka berundinglah kedua pamannya. Mereka menyalahkan Gajah
Mada atas malapetaka ini. Maka mereka ingin menangkapnya dan membunuhnya.
Kemudian bergegaslah mereka datang ke kepatihan. Saat itu patih Gajah Mada
sadar bahwa waktunya telah tiba. Maka beliau mengenakan segala upakara
(perlengkapan) upacara dan melakukan yoga samadi. Setelah itu beliau menghilang
(moksa) tak terlihat menuju ketiadaan (niskala). Maka raja Kahuripan dan raja
Daha, yang mirip “Siwa dan Buddha” berpulang ke negara mereka karena Majapahit
mengingatkan mereka akan peristiwa memilukan yang terjadi. Gajah Mada yang
dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.) Ih angapa, Gajah Mada,
agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri,
adulurana bakti, mangkana rakwa karapmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki,
durung-durung ngong iki andap ring yuda. Abasa lali po kita nguni duk kita
anakani jurit, amrang pradesa ring gunung, anti ramening yuda, wong Sunda
kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Las Beleteng ang?masi, bubar wadwamu malayu,
anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating
burangik, padâmalakw ing urip.Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting
gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharapta, tan pracura juti, ndi
sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng
niraya atmamu tambe yen antu.
Terjemahannya
Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar
terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau
menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain,
kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang. Seakan-akan lupa engkau
dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan.
Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang
kembali dan bala tentaramu mundur.Kedua mantrimu yang bernama Las dan Beleteng
diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang
dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di
mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup. Sekarang, besar juga
kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang
maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau
ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi
syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!” Raja Sunda yang menolak
syarat-syarat Majapahit (bait 2.69 – 2.71) yan kitâwadîng pati, lah age maraka,
i jang sri naranata, aturana jiwa bakti, wangining sambah, sira sang nataputri.
Wahu karungu denira sri narendra, bangun runtik ing ati, ah kita potusan,
warahan tuhanira, nora ngong mar?ka malih, angatarana, iki sang rajaputri. Mong
kari sasisih bahune wong Sunda, r?mpak kang kanan keri, norengsun ahulap,
rinabateng paprangan, srangan si rakryan apatih, kaya siniwak, karnasula
angapi.
Terjemahannya
jika engkau takut mati, datanglah segera menghadap Sri
Baginda (Hayam Wuruk) dan haturkan bukti kesetianmu, keharuman sembahmu dengan
menghaturkan beliau sang Tuan Putri. Maka ini terdengar oleh Sri Raja Sunda dan
beliau menjadi murka: “Wahai kalian para duta! Laporkan kepada tuanmu bahwa
kami tidak akan menghadap lagi menghantarkan Tuan Putri!” Meskipun orang-orang
Sunda tinggal satu tangannya, atau hancur sebelah kanan dan kiri, tiada akan
‘silau’ beta!”. Sang Tuan Patih juga marah, seakan-akan robek telinganya
mendengarkan (kata-kata pedas orang Majapahit). Prabu Hayam Wuruk yang meratapi
Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)
Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakan
aneng made sira wontan aguling, mara sri narapati, katamu sira akukub, peramas
natar ijo, ingungkabakan tumuli, kagyat sang nata dadi atamah laywan. Wanasning
muka angraras, netra dumaling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning
waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marka,
tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa. Sang tan sah
aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parang prapta kongang mangkw atamah
kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari ag?sang,
kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa. Palar-palaran
ing jamah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing
duskrati, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana
panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama langlang amrati cita. Sangsaya
lara kagagat, patang rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis
mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag panadang ing santun, awor
swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, ararab-rarab pawraning galung
lukar.
Terjemahannya
Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan
tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah
Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas
tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat. Pucat
mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat,
gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri
gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah
kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang
sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya
malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin hamba masih
hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan! Mari kita
harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa
dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan
begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung
dan merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya.
Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras,
bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar,
bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita,
rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut. Bulan Ketiga kurang lebih
jatuh pada bulan September, yang masih merupakan musim kemarau. Jadi suara
guruh pada bulan ini merupakan suatu hal yang tidak lazim.
Analisis Kidung Sunda
Kidung Sunda harus dianggap sebagai karya sastra, dan
bukan sebuah kronik sejarah yang akurat, meski kemungkinan besar tentunya bisa
berdasarkan kejadian faktual. Secara garis besar bisa dikatakan bahwa cerita
yang dikisahkan di sini, gaya bahasanya lugas dan lancar. Tidak berbelit-belit
seperti karya sastra sejenis. Kisahnya memadukan unsur-unsur romantis dan
dramatis yang memikat. Dengan penggunaan gaya bahasa yang hidup, para
protagonis cerita ini bisa hidup. Misalkan adegan orang-orang Sunda yang
memaki-maki patih Gajah Mada bisa dilukiskan secara hidup, meski kasar. Lalu
Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda bisa dilukiskan secara indah yang
membuat para pembaca terharu.Kemudian cerita yang dikisahkan dalam Kidung Sunda
juga bisa dikatakan logis dan masuk akal. Semuanya bisa saja terjadi, kecuali
mungkin moksanya patih Gajah Mada. Hal ini juga bertentangan dengan
sumber-sumber lainnya, seperti kakawin Nagarakretagama, lihat pula bawah ini.
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita ini lebih berpihak pada orang Sunda
dan seperti sudah dikemukakan, sering kali bertentangan dengan sumber-sumber
lainnya. Seperti tentang wafat prabu Hayam Wuruk dan patih Gajah Mada,
penulisannya berbeda dengan kakawin Nagarakretagama.
Kemudian ada sebuah hal yang menarik, nampaknya dalam
kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda tidak disebut. Putri Sunda dalam
sumber lain sering disebut bernamakan Dyah Pitaloka. Satu hal yang menarik lagi
ialah bahwa dalam teks dibedakan pengertian antara Nusantara dan tanah Sunda.
Orang-orang Sunda dianggap bukan orang Nusantara, kecuali oleh patih Gajah
Mada. Sedangkan yang disebut sebagai orang-orang Nusantara adalah: orang
Palembang, orang Tumasik (Singapura), Madura, Bali, Koci , Wandan (Maluku),
Tanjungpura (Banjarmasin) dan Sawakung (contoh bait 1. 54 b.) . Hal ini juga
sesuai dengan kakawin Nagarakretagama di mana tanah Sunda tak disebut sebagai
wilayah Majapahit di mana mereka harus membayar upeti. Tapi di Nagarakretagama,
Madura juga tak disebut. Semua naskah kidung Sunda yang dibicarakan di artikel
ini, berasal dari Bali. Tetapi tidak jelas apakah teks ini ditulis di Jawa atau
di Bali.
Kemudian nama penulis tidaklah diketahui pula. Masa
penulisan juga tidak diketahui dengan pasti. Di dalam teks disebut-sebut
tentang senjata api, tetapi ini tidak bisa digunakan untuk menetapkan usia
teks. Sebab orang Indonesia sudah mengenal senjata api minimal sejak datangnya
bangsa Portugis di Nusantara, yaitu pada tahun 1511. Kemungkinan besar orang
Indonesia sudah mengenalnya lebih awal, dari bangsa Tionghoa. Sebab sewaktu
orang Portugis mendarat di Maluku, mereka disambut dengan tembakan kehormatan.
Kunjungan Prabu Hayam Wuruk ke Daerah Daerah
Dalam Negara Kertagama dikisahkan Hayam Wuruk sebagai
Raja Majapahit melakukan ziarah ke makam leluhurnya (yang berada disekitar
daerah Malang), salah satunya di dekat makam Ken Arok. Ini menunjukkan bahwa
walaupun bukan pusat pemerintahan namun Malang adalah kawasan yang disucikan
karena merupakan tanah makam para leluhur yang dipuja sebagai Dewa.
Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo – Tengger – Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Beberapa prasasti dan arca peninggalan Majapahit dikawasan puncak Gunung Semeru (Telaga Ranu Gumbolo) dan juga di Gunung Arjuna menunjukkan bahwa kawasan Gunung Bromo – Tengger – Semeru serta Gunung Arjuna adalah tempat bersemayam para Dewa dan hanya keturunan Raja yang boleh menginjakkan kaki di wilayah tersebut. Bisa disimpulkan bahwa berbagai peninggalan tersebut merupakan rangkaian yang saling berhubungan walaupun terpisah oleh masa yang berbeda sepanjang 7 abad.
Wafatnya Patih Gajah ada
Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M, Raja Hayam Wuruk
kehilangan pegangan dan orang yang sangat diandalkan di dalam memerintah
kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai detik-detik awal dari
keruntuhan Kerajaan Majapahit Prabu Hayam Wuruk kemudian memanggil para anggota
Dewan Pertimbangan Agung yang terdiri dari keluarga raja, Bhre Kuripan, Bhre
Daha, Bhre Lasem, Raja Wengker, Raja Metahun dan Bhre Pajang. Dalam rapat
tersebut tidak dapat dikemukakan seseorang yang pantas untuk menggantikan
kedudukan Gajah Mada sebagai patih Amangku Bumi. Rapat akhirnya memutuskan
bahwa Gajah Mada tidak akan diganti.
Untuk mengisi lowongnya posisi patih Amangku bumi
Prabu Hayam Wuruk kemudian memilih enam Mahamantri Agung, untuk selanjutnya
membantunya dalam menyelenggarakan segala urusan negara.
Ø Empu Tandi terpilih
sebagai Wreddhamantri
Ø Empu Nala
dipilih sebagai tumenggung Mancanegara
Ø Srti nata
Krertawardana dan Wikramawardhana dipilih sebagai Dharmadyaksa atau Ketua
Mahkamah Agung
Ø Patih Dami
dipilih sebagai Yuwamantri atau menteri muda yaitu sebagai kepala rumah tangga
keraton.
Ø Empu Singa
terpilih sebagai sekretaris Negara bertugas sebagai penyalur segala perintah Baginda
Pekerjaan ini semua dilaksanakan oleh patih Gajah Mada
seorang diri sebagai pejabat dibawah Prabu Hayam Wuruk, dengan demikian betapa
pentingnya kedudukan patih Gajah Mada dalam Pemerintahan Majapahit. Jabatan
patih Hamangkubhumi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah
Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak
informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa
Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya. Demikianlah setelah patih
Amangku Bumi Gajah Mada meninggal pada tahun saka 1286 atau Tahun Masehi 1364
Majapahit mengalami kemunduran, Kegemilangan kerajaan Majapahit yang gilang
gemilang adalah sejarah kehidupan patih Gajah Mada.
Keadaan Kerajaan Majapahit seakan-akan semakin bertambah
suram, sehubungan dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam
Wuruk) tahun 1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu
yang cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja
Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan Majapahit.
Upacara Srada
Upacara srada dilaksanakan oleh Prabu hayam Wuruk pada
tahun saka 1254 untuk memperingati wafatnya Sri Rajapatni (Gayatri ) atas
perintah Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi, dalam Nagarakretagama diuraikan
dalam pupuh 63 sampai dengan 67. Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan
dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh
hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai
sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan
yang pada akhirnya disebut Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang
mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya
sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan
Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar
agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan
nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat
sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi
pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris-
pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran
agama dengan Panca Sradhanya.
Sebagai patih Amangku Bumi Gajah Mada menyampaikan pesan kepada para Menteri dan Punggawa untuk turut menyumbang dalam upacara srada tersebut. Pada hari pertama upacara tersebut dimulai dengan pemujaan Budha. Upacara ini dipimpin oleh pendeta Stapaka dengan dibantu Empu dari paruh. Semua pendeta berdiri dalam lingkaran untuk menyaksikan pemujaan Budha oleh Sang Prabu. Kemudian menyusul doa untuk memanggil jiwa Rajapatni dari Budhaloka yang ditampung dalam arca bunga. Pada malam berikutnya dilanjutkan pemujaan terhadap arca bunga yang telah terisi jiwa Rajapatni, pemujaan dipimpin oleh pendeta dengan samadi dan puji pujian. Paginya arca bunga dibawa keluar disambut dengan bunyi tambur dan genderang. Arca bunga kemudian didudukkan di Singgasana setinggi orang berdiri. Pemujaan dimulai dengan semua pendeta Budha kemudian dilanjutkan dengan Raja , permaisurinya dan putra putranya serta anggota keluarga lainnya.
Pada hari ketujuh dipentaskan tari tarian dan kesenian
lainnya dari berbagai wilayah Majapahit. Upacara srada akhirnya ditutup pada
Hari Kedelapan, Pagi pagi pendeta Budha berkumpul untuk melakukan pemujaan
dengan lagu lagu pujaan yang diciptakan khusus untuk Rajapatni yang telah
berpulang ke Budhaloka. Arca bunga kemudian diturunkan dari singgasana dengan
upacara, semua sajian kemudian di bagikan habis ke semua undangan. Demikianlah
upacara srada telah selesai dan dilanjutkan dengan perbaikan makam Rajapatni di
Kamal Pandak.
Akhir Pemerintahan Hayam Wuruk
Hayam Wuruk wafat tahun 1369, yang diperkirakan
dimuliakan di Tayung (daerah Brebek Kediri), yang digantikan oleh keponakannya,
Wikramawardhana, suami dari anak perempuannya, Kusumawarddhani. Sedangkan anak
Hayam Wuruk dari isteri bukan permaisuri, Bhre Wirabhumi, diberi pemerintahan
di ujung Jawa Timur. Sepeninggal Mahapatih Gajah Mada (1364 Masehi/M) dan Raja
Hayam Wuruk (1389 M), kerajaan pemersatu Nusantara, Kerajaan Majapahit, pecah
menjadi Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon akibat sengketa keluarga yang saling
berebut kekuasaan. Pertengkaran keluarga terjadi. Kelompok-kelompok pendukung
dibentuk untuk saling menggalang kekuatan, bersengketa untuk merebut posisi
kunci kekuasaan. Bau permusuhan dan saling curiga-mencurigai menebar di
mana-mana di seluruh wilayah Majapahit, negeri tak terurus.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar