KISAH RAJA ABRAHAH
Orientasi
Abrahah bin ash-Shabah adalah wakil raja Najasyi untuk
wilayah Yaman. Dia membangun sebuah gereja yang diberi nama Al-Qullais yang
bermakna bangunan tinggi, karena bangunan gereja itu memang tinggi, megah dan
indah. Dia membangun gereja tersebut dengan tujuan agar orang-orang ketika
musim haji tidak lagi berbondong-bondong menuju Makkah/Baitullah akan tetapi
berbondong-bondong menuju gereja tersebut. Mendengar rencana buruk ini, seorang
laki-laki dari Kinanah, datang memasuki gereja itu di waktu malam lalu dia
buang hajat dan mengoles-ngoleskannya di dinding gereja.
Melihat perbuatan ini, Abrahah merasa dihina, dia
marah dan bersumpah akan rnenghancurkan Ka’bah/Baitullah. Kemudian dia
menyiapkan bala tentara dan berangkat menuju Makkah dengan membawa seekor gajah
yang diberi nama Mahmud berikut pawangnya yang bernama Unisa Gajah itu milik
raja Najasyi yang sengaja dibawa untuk merobohkan Ka’bah bersama gajah-gajah
yang lain yang semuanya berjumlah 13 ekor. Dalam perjalanan menuju Makkah,
Abrahah dan bala tentaranya dihadang oleh Dzu Nafar seorang pembesar atau
golongan raja asli Yaman bersama baha tentaranya dan relawan dan orang-orang
Arab. Mereka merasa berkewajiban menghalangi dan memerangi Abrahah bersama bala
tentaranya karena tujuan jelek mereka yang hendak merobohkan Baitullah. Namun
Abrahah dan bala tentaranya berhasil memukul mundur bala tentara Dzu Nafar. Dzu
Nafar ditangkap dan diikat untuk dibunuh. Ketika Abrahah hendak membunuhnya,
dia berkata, “Janganhah kamu membunuhku, barangkali hidupku bersamamu lebih
baik daripada aku dibunuh.” Abrahah menerima permintaannya dan tidak jadi
membunuhnya.
Begitu pula ketika sampal di kawasan Khats’am, mereka
dihadang oleh Nufail bin Habib aI-Khats’amiy dibantu oleh orang-orang Syahran
dan Nahisy dua kabilah dari Yaman serta para relawan dan orang-orang Arab.
Pasukan ini juga berhasih dikalahkan oleh bala tentara Abrahah dan Nufail
ditangkap sebagai tawanan. Dia pun tidak dibunuh oleh Abrahah karena bersedia
menjadi penunjuk jalan menuju Makkah.
Selanjutnya, ketika mereka melintasi kawasan Thaif,
Mas’ud bin Mu’attib ats-Tsaqafy bersama beberapa orang dan Tsaqif datang
menjumpal raja Abrahah untuk menyerah, mereka berkata kepadanya, “Wahai baginda
raja, kami adalah hamba-hambamu yang siap mendengarkan dan mentaatimu, kami
tidak mau berselisih/bentengkar denganmu, dan rumah (berhala Lata) yang kami
agungkan bukan rumah (Ka’bah) yang kamu tuju. Kami akan mengutus seseorang yang
menunjukkanmu terhadap rumah (Ka’bah) yang hendak kau hancurkan.”
Kala itu mereka mengutus seorang yang bernama Abu
Righal, akan tetapi di tengah perjalanan menuju Makkah dia mati di kawasan
Mughammis sebuah tempat di kawasan Thaif. Setelah itu kuburannya dilempari batu
oleh orang-orang Arab yang melewatinya karena dia dianggap pengkhianat.
Dari tanah Mughammis, Abrahah mengutus seorang dari
Habasyah yang bernama aI-Aswad bin Maqshud untuk berangkat duluan memimpin
pasukan berkuda memasuki kawasan Makkah. Dalam perjalanan, dia dan bala
tentaranya merampas harta-harta penduduk Tihamah baik dan suku Quraisy atau
yang lainnya, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Mutthalib (kakek Rasulullah
SAW), pemimpin dan pembesar Quraisy saat itu. Setelah itu Abrahah mengutus
Hunathah al-Himyary untuk menjumpai pemimpin Makkah (Abdul Mutthalib)
menyampaikan pesannya yang berisi, “Kami datang tidak untuk memerangi kalian,
akan tetapi untuk merobohkan Ka’bah.
Jika kalian tidak menghalang-halangi, maka kami tidak
akan membunuh kalian.” Mendengar pesan ini, Abdul Mutthalib menjawab, “Demi
Allah, kami pun tidak ingin memeranginya, kami tidak punya kekuatan untuk
melawannya. Rumah ini adalah Baitullah al-Haram dan rumah kekasih-Nya (Ibrahim
AS). Jika Allah melindunginya dari Abrahah, itu semua karena rumah ini
rumah-Nya dan tanah haram-Nya. Jika tidak, semua itu kami pasrahkan kepada
Allah. Kami tidak mempunyai kekuatan untuk melawan Abrahah.” Selanjutnya Abdul
Mutthalib menjumpai Abrahah untuk meminta kembali 200 unta miliknya yang telah
dirampas oleh Aswad bin Maqshud dan bala tentaranya. Abrahah merasa heran
kenapa yang dibicarakan hanya masalah unta, kenapa tidak membicarakan masalah
Ka’bah yang merupakan lambang kemuliaan dan agama Abdul Mutthalib dengan nenek
moyangnya. Abdul Mutthalib menjawab: ‘Saya
ini hanya tuannya unta, sedangkan bagi Bitullah tuhan yang melindunginya dari
kamu.” Abrahah berkata, “Tidak mungkin Dia (Tuhan) bisa mencegah saya.” Abdul
Mutthalib menjawab, “Silahkan teruskan tujuanmu!”
Ketika Abrahah dan bala tentaranya telah siap masuk
Makkah, Nufail bin Habib al-Khats’amiy datang menghampiri gajah yang bernama
Mahmud, dia memegang telinganya dan berkata, “Wahai Mahmud,
bersimpuhlah/robohlah kamu! Karena kamu berada di baladullah al-haram (negara
Allah yang agung).” Maka gajah yang sudah dihadapkan ke arah Ka’bäh tersebut
menderum/mogok tidak mau beranjak dan tempatnya. Berbagai macam usaha mereka
lakukan untuk membangunkannya, akan tetapi gajah tersebut tetap tidak mau
bergerak.
Namun ketika dihadapkan ke arah Yaman atau Syam atau
ke arah timur, gajah tersebut mau berjalan bahkan setengah berlari. Nufail bin
Habib merasa akan tenjadi sesuatu dari Allah, lalu dia naik ke gunung menjauhi
mereka. Tidak lama kemudian datanglah sekumpulan burung (abaabil) Masing-masing
burung membawa 3 buah batu kenikil (satu kerikil dibawa dengan paruhnya,
sedangkan yang dua dibawa dengan dua kakinya). Lalu bunung-bunung itu melempari
mereka dengan kerikil-kerikil tersebut. Setiap yang terkena lemparan, pastilah
dia mati, sedangkan yang tidak terkena lemparan dia juga mati karena lari
tunggang langgang ketakutan dan berjatuhan di mana-mana. Termasuk Abrahah, dia
tidak terkena lemparan akan tetapi Allah mendatangkan penyakit yang membuat
anggota badannya satu demi satu berjatuhan kemudian mati. Berkenaan dengan
kejadian ini, Allah menurunkan surat al-Fill untuk mengingatkan khususnya ahli
Makkah dan umumnya kepada umat manusia supaya selalu bisa bersyukur dan beriman
kepada Allah.
Reorientasi
Kisah raja Abrahah adalah salah satu kisah pembuka
sebelum kelahiran nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam. Pada masa itu,
Aminah sedang mengandung nabi Muhammad SAW, ketika terdengar kabar jika ada
pasukan dari negeri Yaman yang dipimpin oleh raja Abrahah yang hendak
menghancurkan ka'bah, kebanggaan orang arab pada masa itu.
Alasan raja Abrahah ingin menghancurkan Ka'bah bermula
ketika dia menjadi penguasa Yaman setelah menaklukan kerajaan itu. Sebenarnya Abrahah
adalah gubernur perwakilan Abyssina di Habasyah (Sekarang Etiopia, Afrika).
Raja Abrahah heran dengan kepopuleran Ka'bah di Arab, dia merasa iri hati
ketika melihat banyak orang yang berdatangan ke Arab mengunjungi Ka'bah yang
merupakan bangunan yang dibuat oleh nabi Ibrahim AS dan Ismail AS.
Kemudian raja Abrahah yang beragama Nasrani membangun
sebuah katedral bernama Al-Qullais yang ingin dijadikan sebagai pesaing dari
Ka'bah. Pembangunan katedral itu dilakukan dengan sangat cermat dan megah, bahkan
pintunya dilapisi dengan emas dan berbagai ornamen lain yang mengagumkan. Namun
sayangnya bangunan itu masih kalah saing dengan ka'bah, dan bahkan ada salah
seorang yang sengaja membuang hajat di dalamnya sebagai sebuah tindakan
penghinaan.
Raja Abrahah geram dan memutuskan untuk mengerahkan
seluruh pasukannya untuk menuju ke Mekah guna menghancurkan ka'bah. Esoknya
mereka berangkat dengan pasukan gajah di depannya sebagai tameng utama, dan
pasukan lainnya di belakang pasukan gajah itu.
Sebenarnya beberapa pasukan kecil di Arab mencoba
melawan mereka namun karena pasukan raja Abrahah yang banyak dan kuat membuat
mereka mudah ditaklukan. Penduduk Mekah yang dipimpin oleh kakek nabi Muhammad
SAW, Abdul Muthalib, tidak melawan mereka karena mereka sadar bahwa pasukan
raja sombong itu sangat banyak dan kuat. Abdul Muthalib adalah seorang yang
bijaksana, sebelumnya dia mendengar kabar bahwa pasukan raja Abrahah merampas
banyak harta orang Arab, termasuk 200 unta miliknya. Dengan gagah berani, Abdul
Muthalib mendatangi raja Abrahah dan pasukannya yang sedang beristirahat di
sekitar Mekah, kemudian beliau mengutarakan keinginannya,
Raja Abrahah : Apa keperluanmu datang kemari?
Abdul Muthalib : Kembalikan 200 unta milikku
yang telah dirampas oleh pasukanmu
Raja Abrahah : Mengapa kau lebih mengkhawatirkan
untamu, padahal kami datang ke sini untuk menghancurkan Ka’bah? Mengapa kau
tidak mengkhawatirkan Ka’bah itu saja?
Abdul Muthalib : Unta-unta yang kau rampas itu adalah
miliku, sementara Ka’bah merupakan milik Allah. Maka, Allahlah yang akan
melindunginya.
Kemudian raja Abrahah mengembalikan unta milik Abdul
Muthalib, dia senang karena ternyata orang Arab tidak berani menghalanginya
menghancurkan Ka'bah. Kemudian Abdul Muthalib memerintahkan orang di sekitar
Mekah untuk berlindung di gua-gua di atas gunung dan mengosongkan Mekah.
Pada saat hendak melakukan penghancuran Ka'bah,
tiba-tiba saja gajah-gajah tidak mau bergerak mendekati Ka'bah meskipun sudah
dicambuk berkali-kali, hal ini tentu saja karena perintah Allah SWT. Saat itu
pula datang rombongan burung ababil dari atas langit dengan jumlah yang sangat
banyak seakan menutupi matahari yang bersinar pada siang itu, tanpa diduga
ternyata burung-burung itu membawa batu sijjil (salah satu batu dari neraka
yang amat panas) dan menjatuhkannya kepada tentara raja Abrahah. Kemudian
pasukan itu hancur seperti daun yang dimakan ulat dan mereka kalah oleh
kekuatan Allah SWT yang tak tertandingi siapapun.
Kisah raja Abrahah dan pasukan gajahnya yang
dikalahkan oleh burung ababil dengan batu sijjil ini ada dalam Al-Qur'an surat
Al-Fil. Kisah ini adalah salah satu kisah yang menunjukkan betapa Allah SWT
melindungi ka'bah dari perusakan yang dilakukan oleh orang-orang kafir.
Meski telah dicambuk, gajah-gajah itu berbalik arah dan enggan menuju
Ka’bah.
“Buatlah
sebuah bangunan yang sangat indah sehingga orang-orang Arab tertarik ke sini
dan meninggalkan Ka’bah!” titah Raja Abrahah kepada pejabat istana. Sontak,
gemparlah tanah Yaman mencari arsitek terbaik untuk membuat bangunan suci yang
menandingi kesucian Baitullah. Dalam waktu singkat, jadilah bangunan megah nan
indah bernama Al Qullais. Keinginan menandingi Ka’bah bermula ketika Abrahah
al-Asyram al-Habsy, penguasa Yaman kala itu, terheran-heran dengan kebiasaan orang
Arab berkunjung ke Hijaz setiap tahun. Abrahah yang merupakan gubernur
perwakilan Abyssina di Habasyah (Sekarang Etiopia) merupakan seorang warga asli
Afrika beragama Nasrani. Saat tiba di Yaman, ia merasa heran dengan kebiasaan
warganya yang rutin berkunjung ke Hijaz. Mereka memilih pergi ke negara lain,
sementara wilayah Yaman amat sepi dari pelancong.
Maka,
terdengarlah kabar tentang Ka’bah ke telinga Abrahah. Orang-orang Arab rutin
melakukan haji ke bangunan yang didirikan nabi mereka, Nabi Ibrahim dan Ismail.
Kala itu, Rasulullah belum lahir di tengah bangsa Arab. Kisah Abrahah inilah
yang kemudian menjadi pembuka kisah lahirnya Nabiyullah Muhammad SAW. Abrahah
pun makin heran bangunan macam apakah yang mampu menarik kunjungan seluruh
bangsa Arab. Tak mengakui kesucian Ka’bah, Abrahah spontan segera berpikir
untuk menandinginya. Ia pun memutuskan membuat tempat ibadah yang tak kalah
suci, namun jauh lebih megah dari Ka’bah. Jadilah Al-Qullais yang begitu indah.
Pintunya terbuat dari emas, lantainya terbuat dari perak, fondasinya terbuat
dari kayu cendana. Siapa pun yang melihatnya akan takjub dengan kemegahannya.
Namun,
apa yang terjadi? Bangsa Arab tak sedikit pun tertarik dengannya. Semegah apa
pun bangunan itu, tak ada yang mampu menandingi Ka’bah. Keinginan Abrahah untuk
menghancurkan Ka’bah pun makin menjadi-jadi ketika mendapati bangunannya
dihina. Seorang pria telah membuang hajat di dalam Al Qullais dengan sengaja.
Geramlah Abrahah ketika mengetahuinya. Memuncaklah emosi Abrahah. Ia segera
melakasanakan rencananya. Dikumpulkanlah sejumlah prajuritnya yang tangkas. Tak
hanya pasukan, ia mengimpor sepasukan gajah dari Etiopia. “Bawa pasukan gajah
di barisan terdepan, besok kita berangkat ke Makkah untuk menghancurkan
Ka’bah!” seru Abrahah.
Keesokan
hari, ribuan gajah dan bala pasukan pun berangkat dari Yaman menuju Makkah,
tanah suci umat Islam. Abrahah memimpin sendiri pasukan tersebut. Ia
menungganggi gajah yang terbesar di antara pasukan gajah tersebut. Tak lama,
tibalah rombongan Abrahah di dekat Kota Makkah, tepatnya di kawasan Mughammas.
Mereka berhenti sejenak, sementara Abrahah mengutus seorang utusan untuk
menemui penguasa Makkah. Saat itu, pemuka ternama Kota Makkah adalah kakek
Rasulullah, Abdul Muthalib.
Mendengar
kabar pasukan di dekat Makkah, Abdul Muthalib menjawab, “Demi Allah, kami tak
ingin berperang dan kami tak punya kekuatan untuk melawan kalian. Akan tetapi, jika
Abrahah ingin menghancurkan Baitullah, lakukan sesuka hati. Namun, aku yakin,
Allah tak membiarkan rumah-Nya dihancurkan,” ujarnya.
Cukup
lama pasukan Abrahah beristirahat di Mughammas. Meski belum memasuki Kota
Makkah, mereka telah merampas banyak harta benda kaum Quraisy, termasuk harta
milik Abdul Muthalib. Mendengar 200 ekor untanya dirampas pasukan Abrahah,
Abdul Muthalib pun beranjak menemui Abrahah. Mendapat tamu dari pemuka Makkah,
berbangga hatilah Abrahah. Ia menyangka Abdul Muthalib cemas Ka’bah akan
dihancurkan oleh pasukan gajahnya. “Apa keperluan Anda hingga datang ke mari?”
tanya Abrahah kepada kakek Rasulullah dengan congkak.
Namun,
jawaban Abdul Muthalib sangat di luar dugaan Abrahah. “Kembalikan 200 ekor unta
milikku yang telah dirampas oleh pasukanmu,” ujar Abdul Muthalib. Abrahah pun
terheran, “Mengapa kau lebih mengkhawatirkan untamu, padahal kami datang ke
sini untuk menghancurkan Ka’bah? Mengapa kau tidak mengkhawatirkan Ka’bah itu
saja?” ujarnya.
“Unta-unta
yang kau rampas itu adalah miliku, sementara Ka’bah merupakan milik Allah.
Maka, Allahlah yang akan melindunginya,” jawab Abdul Muthalib ringan. Abrahah
terdiam, namun geram.
Dikembalikanlah
unta-unta milik Abdul Muthalib. Saat kembali ke Makkah, Abdul Muthalib pun
memperingatkan warga kota agar berlindung menyelamatkan diri. “Wahai kaumku,
tinggalkanlah Makkah, berlindunglah ke bukit. Sungguh aku melihat pasukan
Abrahah yang besar dan mustahil kita lawan,” seru Abdul Muthalib. Bergegaslah
warga Makkah meninggalkan kota. Sementara, Ka’bah tetap berdiri tak satu pun
warga yang melindungi. “Ya Allah, kami menyelamatkan diri kami maka lindungilah
rumah-Mu ini,” doa Abdul Muthalib di depan Ka’bah sebelum meninggalkan kota.
Sementara
itu, pasukan Abrahah pun bergegas menuju Makkah. Hentakan kaki gajah telah
membuat bulu kuduk warga Makkah merinding. Mereka berpikir, inilah hari akhir
bagi Kota Makkah. Abrahah pun memerintahkan untuk menyerang. Namun, tiba-tiba
gajah-gajah enggan melangkahkan kaki. Mereka hanya terdiam dan enggan untuk
menyerang.
Meski
telah dicambuk sang majikan, gajah-gajah itu berbalik arah dan enggan menuju
Ka’bah. Gajah-gajah itu justru hanya berputar-putar saja di lembah Muhassir,
dekat Ka’bah. Abrahah geram dan terus memerintahkan pasukannya untuk mencambuk
gajah-gajah itu agar menurut. Namun, pasukannya kehabisan akal dan kelelahan
menangani gajah yang menurut mereka telah terlatih tersebut.
Hingga
kemudian, tiba-tiba datang rombongan burung dari angkasa. Jumlahnya amat
banyak. Yang mengerikan, setiap ekor burung membawa batu-batu panas.
Menargetkan pasukan Abrahah, burung-burung itu pun melemparkan batu membara
tersebut. Setiap yang terkena batu itu, ia langsung binasa. Melihatnya, panik
dan bubarlah pasukan. Mereka berlarian mencari tempat berlindung. Namun, tak
ada yang selamat, mereka binasa, bahkan sebelum menyentuhkan sedikit pun jemari
ke Baitullah. Pasukan Abrahah binasa dan selamatlah Ka’bah. Allah selalu
melindungi Ka’bah hingga akhir zaman.
Kisah
Abrahah dan pasukan gajah ini sangat populer di kalangan Muslimin. Mengingat
kisahnya dikabarkan Allah dalam firman-Nya di surah al-Fil.
Sumber
: REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Afriza
Hanifa
Lahirnya
Nabi Muhammad, Tentara Abrahah & Gajah yang Berperang
Hampir
setiap negara kini mengandalkan tank dan panser untuk memenangkan peperangan di
wilayah darat. Sebelum teknologi tersebut ditemukan, manusia memanfaatkan
gajah-gajah.
Salah satu peristiwa yang jamak dikenal, khususnya di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, ialah hari lahir Nabi Muhammad. Laki-laki yang dijuluki Al-Amin (dapat dipercaya) itu lahir di Mekkah, pada 571 M—sekitar 1446 tahun yang lalu.
Salah satu peristiwa yang jamak dikenal, khususnya di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, ialah hari lahir Nabi Muhammad. Laki-laki yang dijuluki Al-Amin (dapat dipercaya) itu lahir di Mekkah, pada 571 M—sekitar 1446 tahun yang lalu.
Dalam
khazanah tarikh (sejarah) Islam, tahun itu disebut "Tahun Gajah".
Sebutan ini bukan tanpa alasan. Kala itu, raja vassal Ethiopia di Yaman,
Abrahah, menyerang Mekkah dengan pasukan gajah. Peristiwa tersebut diabadikan
dalam Al-Quran surah Al-Fil. Disebutkan ketika pasukan gajah Abrahah
memasuki Mekkah, mereka dihujani batu yang dilempar burung ababil. Pasukan
Abrahah luluh lantak. Ia kalah, Mekkah pun selamat.
"Tidak pernah ada batu yang jatuh pada tentara kecuali membubarkan dagingnya dan membuatnya hancur ... Abraha Al-Ashram melarikan diri sementara dagingnya hancur berkeping-keping dan meninggal dalam perjalanan kembali ke Yaman," ujar ahli tafsir Al-Quran, Ibn Katsir. Serangan pasukan gajah ke Mekkah bukan yang pertama. Dalam War Elephants: From Ancient India to Vietnam karya David Ison mencatat gajah telah dimanfaatkan manusia sejak 4000 tahun lalu di India.
Pada mulanya gajah digunakan dalam pertanian. Dengan kekuatannya, gajah mampu mengangkut pepohonan yang berat. Gajah juga dimanfaatkan untuk membersihkan wilayah yang bakal digunakan sebagai lokasi peternakan dan konstruksi bangunan. “Karena mereka menunjukkan sifatnya yang mampu dilatih sebagaimana kekuatannya, hanya tinggal menunggu waktu sebelum hewan besar itu diikutsertakan dalam militer. Menurut beberapa sumber Sanskrit, transisi ini terjadi sekitar 1100 SM,” ujar Ison.
Gajah dan
Aleksander Agung
Ada
dua spesies gajah di dunia, yakni gajah Asia/India (Elephas maximus) dan
gajah Afrika (Loxodonta africanus). Salah satu raja yang tercatat pandai
memanfaatkan sekaligus andal melawan gajah dalam peperangan adalah Aleksander
Agung dari Makedonia. Setelah menaklukkan Mesir, Aleksander mengarahkan
pasukannya ke timur guna meyerang jantung pertahanan Persia. Pada Oktober 331
SM, di sebuah daerah bernama Gaugamela, pasukan Aleksander dihadang pasukan
Raja Persia Darius III.
Pertempuran
sengit pun terjadi. Darius III membawa 200.000 tentara serta 15 gajah perang.
Mulanya tidak ada pemenang. Baik pasukan Aleksander maupun Darius III sama-sama
kehilangan banyak pasukan. Kekalahan Persia terjadi setelah Darius III
melarikan diri dan dibunuh pasukannya sendiri. Aleksander menemukan tubuh
Darius III dan menyelenggarakan pemakaman kehormatan bagi Raja Persia itu.
Setelah menyingkirkan Bessus—yang mengklaim sebagai Raja Persia pengganti Darius
III—Aleksander memproklamasikan diri sebagai Raja Persia.
Setelah
itu, Aleksander bergerak menuju tanah Hindustan. Dalam pasukannya kini ada 15
gajah perang hasil rampasan dari Darius III. Di sebuah sungai bernama Hydaspes,
pada 326 SM, Aleksander berhadapan dengan Raja Porus dari Paurava.
Soal pengalaman berperang, tentara Raja Porus kalah jam terbang dibanding tentara yang dibawa Aleksander. Namun Raja Porus punya senjata rahasia, yakni 130 gajah perang. Meskipun Aleksander mampu mengalahkan Porus serta merampas 80 gajah perang miliknya, peristiwa ini adalah perang yang paling membuat Aleksander kewalahan. War Elephant yang disusun Konstantin Nossov dan Peter Denis menyebutkan sejumlah peran yang dimainkan gajah dalam suatu peperangan. Yang pertama, gajah berperan untuk menakut-nakuti pasukan lawan. Tidak hanya manusianya, bahkan kuda pun takut dengan penampakan dan bau gajah.
Yang kedua, gajah berfungsi untuk menghancurkan formasi perang lawan. “Dalam beberapa kasus, sejumlah pasukan kavaleri yang tidak terlatih melarikan diri saat berhadapan dengan gajah perang,” sebut War Elephant. Dengan kekuatannya, gajah pun mampu menyebabkan kerusakan parah pada musuh. Legiun Romawi yang dikenal dengan keberaniannya, menurut Nossov dan Denis, butuh beberapa tahun untuk dapat mengatasi trauma akibat dibantai gajah perang Raja Chartagonia di pertempuran yang terjadi pada 255 SM.
Gajah Sebagai
Angkatan Perang di India dan Asia Tenggara
Bagi
Aleksander, gajah-gajah Raja Porus adalah senjata rahasia. Tapi bagi orang-orang
India, perang menggunakan gajah bukan rahasia lagi. Dalam Elephantology in Sanskrit, Jacob V.
Cheeran menjelaskan adanya konsep Chathuranga Sena yang berarti empat
angkatan perang: kavaleri, infantri, kereta roda, dan gajah. Cheeran juga
mengungkap setidaknya ada tujuh kitab dalam bahasa Sanskerta yang memuat ragam
bahasan mengenai gajah. Ada kitab Hasthi
Ayurveda yang mengandung 12.000 tentang fisiologi dan penyakit pada
gajah. Keseluruhan isi kitab ini termaktub dalam 12 bab yang dibukukan dalam
kitab Mathangaleela.
Sementara itu, kitab Manasollasa membahas pentas pertarungan gajah. Pentas ini menjadi hiburan utama para raja. Sedangkan empat kitab lainnya antara lain Brihat Samhita, Gaja Sastra (sains hayati gajah), Arthasasthra (politik pragmatis ala India), dan Yasatilaka. Gajah juga lazim digunakan untuk duel dan perang di Asia Tenggara. Lantaran memperebutkan takhta, dua anak tertua Raja Intharaja dari Siam (1409-1424) memilih duel satu sama lain dengan menunggangi gajah. Kemudian pada 1177, pertempuran Khmer melawan Champa melibatkan gajah perang di kedua kubu.
An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of
Sumatra yang
disusun Anthony Reid membeberkan gajah perang yang dimiliki Sultan Iskandar
Muda (1604-1637) dari Aceh. Kisah ini diambil dari Hikayat Aceh. “Semua
gajah-gajah yang sangat kuat dan sangat gagah jumlahnya tidak terhitung. Dan
kota itu tidak berdinding seperti kebiasaan kota lain yang membentengi karena
jumlah gajah perang yang ada di kota itu.”
Pada Perang Dunia II, Jepang menggunakan gajah untuk mengangkut logistik agar mudah masuk ke hutan lebat. Saat Perang Vietnam meletus, pasukan Viet Cong juga menggunakan gajah untuk mengangkut logistik ke Vietnam bagian selatan.
Sumber : Reporter : Husein Abdulsalam, Penulis: Husein
Abdulsalam, Editor: Ivan Aulia Ahsan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar