Kamis, 11 Oktober 2018

KISAH RA-KUTI


KISAH RA-KUTI
DHARMAPUTRA (JABATAN)

Orientasi
Dharmaputra adalah sebuah jabatan yang dibentuk oleh Raden Wijaya raja pertama Kerajaan Majapahit, yang beranggotakan tujuh orang, antara lain, Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa. Ketujuh orang ini semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan raja kedua, yaitu Jayanagara.

Jabatan Dharmaputra
Adanya jabatan Dharmaputra diketahui dari naskah Pararaton. Jabatan ini tidak pernah dijumpai dalam sumber-sumber sejarah lainnya, baik itu Nagarakretagama ataupun prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja-raja Majapahit. Tidak diketahui dengan pasti apa tugas dan wewenang Dharmaputra. Pararaton hanya menyebutkan bahwa para Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya "pegawai istimewa yang disayangi raja". Mereka dikisahkan diangkat oleh Raden Wijaya dan tidak diketahui lagi keberadaannya setelah tahun 1328.

Pemberontakan Ra Semi
Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Tokoh Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Kemudian terjadi peristiwa tragis di mana Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh seorang tokoh licik bernama Mahapati. Raja Majapahit saat itu adalah Jayanagara putra Raden Wijaya. Karena terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi. Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi masih berada di Lumajang bersama anggota rombongan lainnya. Mau tidak mau ia pun bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.

Pararaton menyebutkan pada tahun 1318 Ra Semi melakukan pemberontakan terhadap Majapahit. Berita ini cukup berbeda dengan naskah Kidung Sorandaka yang menyebutkan Ra Semi tewas membela Nambi tahun 1316.

Pararaton mengisahkan secara singkat pemberontakan Ra Semi terhadap pemerintahan Jayanagara. Pemberontakannya itu ia lakukan di daerah Lasem. Akhirnya pemberontakan kecil ini dapat ditumpas oleh pihak Majapahit di mana Ra Semi akhirnya tewas dibunuh di bawah pohon kapuk.

Pemberontakan Ra Kuti
Pararaton selanjutnya mengisahkan adanya pemberontakan para Dharmaputra yang dipimpin Ra Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini terjadi langsung di ibu kota Majapahit dan jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan pemberontakan Ra Semi. Meskipun demikian, Jayanagara sekeluarga berhasil melarikan diri dengan dikawal para prajurit bhayangkari yang dipimpin seorang bekel bernama Gajah Mada. Setelah mengamankan rajanya di desa Badander, Gajah Mada kembali ke ibu kota untuk mencari dukungan. Ia mengumpulkan para pejabat di rumah tumenggung amancanegara (semacam wali kota) dan mengabarkan kalau Jayanagara telah meninggal di pengungsian. Para pejabat tampak menangis sedih. Setelah meyakini kalau pemberontakan Ra Kuti ternyata tidak mendapat dukungan rakyat, maka Gajah Mada pun memberi tahu keadaan yang sesungguhnya, bahwa raja masih hidup.

Akhirnya, dengan kerja sama yang baik antara Gajah Mada, para pejabat, dan segenap rakyat ibu kota, Ra Kuti dan komplotannya berhasil dimusnahkan. Ra Kuti merupakan perwira Majapahit yang berasal dari daerah Pajarakan sekarang Kabupaten Probolinggo.

Peristiwa Ra Tanca
Ra Tanca adalah satu-satunya Dharmaputra yang masih hidup setelah peristiwa pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Dikisahkan pada tahun 1328 Ra Tanca menemui Gajah Mada untuk menyampaikan keluhan istrinya. Istri Ra Tanca mendengar berita bahwa Jayanagara melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat untuk menikah. Konon Jayanagara sendiri berniat mengawini kedua adiknya itu. Tanca meminta agar Gajah Mada, yang saat itu menjadi abdi kesayangan Jayanagara, supaya mengambil tindakan pencegahan. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan Ra Tanca. Hal ini membuat Ra Tanca merasa tersinggung.

Ra Tanca merupakan ahli pengobatan istana. Suatu hari ia dipanggil untuk mengobati sakit bisul yang diderita Jayanagara. Di dalam kamar raja hanya ada ia, Jayanagara, dan Gajah Mada. Usai melakukan terapi pembedahan, tiba-tiba Tanca menusuk Jayanagara sampai tewas. Seketika itu pula Gajah Mada ganti membunuh Tanca. Perbuatan Gajah Mada membunuh Tanca tanpa pengadilan menimbulkan kecurigaan. Sejarawan Slamet Muljana menyimpulkan kalau dalang pembunuhan Jayanagara sesungguhnya adalah Gajah Mada sendiri.

Menurut Pararaton saat itu Gajah Mada sedang menjabat sebagai patih Daha, di mana rajanya adalah Dyah Wiyat. Meskipun ia dekat dengan Jayanagara, pastinya ia pun lebih dekat dengan Dyah Wiyat. Tampaknya Gajah Mada sengaja memancing amarah Tanca dengan pura-pura tidak peduli supaya Tanca sendiri yang mengambil tindakan. Siasat Gajah Mada ini berjalan baik. Tanca pun membunuh raja, dan kemudian langsung dibunuh oleh Gajah Mada seolah untuk menghilangkan jejak.  Dengan demikian, Gajah Mada telah berhasil menyelamatkan Dyah Wiyat dari nafsu buruk Jayanagara tanpa harus mengotori tangannya dengan darah raja tersebut.

Kepustakaan
Ø Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan. Jakarta: LKIS
Ø Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Ø Poesponegoro, M.D. dkk. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka.

Kisah Pemberontakan Ra Kuti
Tertulis dalam suatu pra­sasti bahwa Shri Prabu di Majalengka mempunyai tujuh orang Darmaputra yang amat  disayanginya. Mereka yang terpilih yaitu : Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedang, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Banyak. Diantara Darmaputra tersebut, Ra Kuti-lah yang terlihat paling unggul. Keunggulan Ra Kuti menim­bulkan tekad baginya untuk berupaya menggantikan kedudukan Raja di Ma­japahit. Demikianlah Ra Kuti selalu ber­usaha untuk mendapatkan kepercayaan Raja serta selalu berusaha untuk dekat dengan Raja. Sebetulnya Ra Kuti sudah amat  ingin untuk memangkatkan   Sang Prabu, karena telah menjadi penyebab meninggalnya sang istri dan telah merusak rumah tangganya. Untuk bisa berdekatan dengan Raja, Ra Kuti mengatakan dengan terus terang membeberkan kelicinan Mahapati yang selalu membuat lapor­an palsu dan menyebar fitnah untuk menanamkan permusuhan di dalam istana Majapahit.
Shri Raja amat  marah, Ra Kuti ditugaskan untuk menangkap Sang Mahapati. Mahapati yang waspada akan datangnya bahaya segera keluar dari kepatihan untuk lari mengungsi, masuk ke hutan dan mati dalam kenisthaan. Alkisah yang ada di padhepokan Pandanwangi, Pendeta Damarjati sedang berbincang-bincang dengan ibunda Ra Kuti, yaitu Nyai Sureng-rono. Yang menjadi topik perbin­cangan adalah mengenai kedua putra yang berlawanan keinginan. Ra Kuti putra pertama amat  tinggi cita-citanya, ingin menjabat sebagai Raja. Sedangkan Kanaka si bungsu amat  setia pada Raja dan Majapahit seisinya.

Ditengah-tengah mereka berbin­cang datanglah Ra Kuti yang sedang memulai niatnya untuk memberontak. Niatan Ra Kuti yang seperti itu tidak disetujui oleh Sang Paman Empu Damarjati. Sehingga terjadilah silang pendapat antara Ra Kuti dan Empu Damarjati.  Ra Kuti yang mendapat dukungan dari ibunya, dengan berani menyerang Empu Damarjati. Empu Damarjati ditendangnya hingga ter­lempar keluar dari Padhepokan. Dengan serta merta berkatalah Empu Damarjati yang pendiam itu, bahwa Ra Kuti akan mati ditangan Gajah yang lepas dari tali ikatan.

Belum reda amarah Ra Kuti, namun terhenti oleh datangnya Kanaka yang tidak dapat menerima tindakan Ra Kuti terhadap Empu Damarjati. Terjadilah perselisihan antara kedua saudara keturunan darah Surengrono tersebut dan perkelahian tak dapat dihindarkan. Belum ada yang menang dan kalah dalam perkelahian itu, segera Nyai Surengrono melerai mereka. Ra Kuti dan   Kanaka berpisah saling memper­tahankan pendapat masing-masing. Ra Kuti merasa tak ada pengha­lang lagi, dia mengira bahwa para Darmaputra sudah tidak ada yang patuh pada Shri Raja. Sehingga Ra Kuti membentuk barisan bawah tanah guna memangkatkan   Sang Prabu.

Di suatu malam yang dingin, Ra Kuti dan teman-temanya memaksa masuk ke istana. Seketika gempar yang ada didalamnya. Para Senopati perang yang sedang tidur pulas banyak yang menjadi korban keganas­an pedang Ra Kuti dan teman-temannya. Alkisah ada seorang pemimpin pasukan pengawal Raja, muda belia, gagah perkasa. Satria utama. Rahangnya kuat, bahu kekar, dada lebar mengkilap, kulit yang merah bak tembaga seakan bersinar dan tak mempan senjata. Dialah Gajah Mada.

Waspada akan adanya keributan diluar, pimpinan pengawal Raja sang “Gajah” laksanaa lepas dari ikatan, segera masuk ke dalam kamar tidur Sang Prabu. Prabu Jayanegara yang masih tidur pulas segera diangkat dan dibawa lari mengungsi, diikuti oleh para prajurit pengawal Raja yang masih setia. Ra Kuti Sang Pendendam takkan lega hatinya sebelum bisa memangkatkan   Shri Jayanegara. Akhirnya dia berusaha sekuat tenaga untuk menge­jar dan menemukan Shri Jayanegara.

Kisah ini mengambil latar belakang di daerah Pajarakan, atau sekarang lebih dikenal sebagai Kabupaten Probolinggo. Pajarakan adalah daerah asal  Ra Kuti, salah satu dari tujuh Dharmaputra bentukan Raden Wijaya. Dharmaputra sendiri adalah jabatan yang diberikan kepada Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit dan berisi pegawai-pegawai istimewa yang disayangi raja. Adapun ketujuh Dharmaputra tersebut adalah Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak dan Ra Pangsa. Dan kesemuanya tewas dalam pemberontakan pada masa pemerintahan Jayanegara, raja kedua Majapahit setelah Raden Wijaya.

Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Patih Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh Mahapati yang licik. Karena sang raja, Jayanegara, terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi. Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi yang masih berada di Lumajang bersama anggota rombongan lainnya mau tidak mau bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.

Kitab Pararaton selanjutnya mengisahkan adanya pemberontakan selanjutnya yang dipimpin Ra Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini terjadi langsung di ibu kota Majapahit dan jauh lebih berbahaya dibandingkan pemberontakan Ra Semi. Meskipun demikian, Jayanagara sekeluarga berhasil melarikan diri dengan dikawal para prajurit bhayangkari yang dipimpin seorang bekel bernama Gajah Mada. Setelah mengamankan rajanya di desa Badander, Gajah Mada kembali ke ibu kota untuk mencari dukungan dari para pejabat dan juga rakyat di ibukota. Setelah meyakini kalau pemberontakan Ra Kuti ternyata tidak mendapat dukungan rakyat, maka Gajah Mada pun berhasil memusnahkan gerombolan Ra Kuti.

Setidaknya itulah yang diyakini oleh Gadjah Mada dan Mahapati. Bahwa Ra Kuti dan Ra semi sudah mati. Namun mereka memang tidak pernah menemukan mayat mereka berdua. Dan baru-baru ini mereka terlihat di lautan pasir Pegunungan Bromo, keluar dari persembunyian mereka setelah beratus-ratus tahun lamanya.

Ra Kuti sang pendendam
Tertulis dalam suatu pra­sasti bahwa Shri Prabu di Majalengka mempunyai tujuh orang Darmaputra yang sangat disayanginya. Mereka yang terpilih yaitu : Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedang, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Banyak. Diantara Darmaputra tersebut, Ra Kuti-lah yang terlihat paling unggul. Keunggulan Ra Kuti menim­bulkan tekad baginya untuk berupaya menggantikan kedudukan Raja di Ma­japahit. Demikianlah Ra Kuti selalu ber­usaha untuk mendapatkan kepercayaan Raja serta selalu berusaha untuk dekat dengan Raja. Sebetulnya Ra Kuti sudah sangat ingin untuk membunuh Sang Prabu, karena telah menjadi penyebab meninggalnya sang istri dan telah merusak rumah tangganya. Untuk bisa berdekatan dengan Raja, Ra Kuti mengatakan dengan terus terang membeberkan kelicinan Mahapati yang selalu membuat lapor­an palsu dan menyebar fitnah untuk menanamkan permusuhan di dalam istana Majapahit.

Shri Raja sangat marah, Ra Kuti ditugaskan untuk menangkap Sang Mahapati. Mahapati yang waspada akan datangnya bahaya segera keluar dari kepatihan untuk lari mengungsi, masuk ke hutan dan mati dalam kenisthaan. Alkisah yang ada di padhepokan Pandanwangi, Pendeta Damarjati sedang berbincang-bincang dengan ibunda Ra Kuti, yaitu Nyai Sureng-rono. Yang menjadi topik perbin­cangan adalah mengenai kedua putra yang berlawanan keinginan. Ra Kuti putra pertama sangat tinggi cita-citanya, ingin menjabat sebagai Raja. Sedangkan Kanaka si bungsu sangat setia pada Raja dan Majapahit seisinya.

Ditengah-tengah mereka berbin­cang datanglah Ra Kuti yang sedang memulai niatnya untuk memberontak. Niatan Ra Kuti yang seperti itu tidak disetujui oleh Sang Paman Empu Damarjati. Sehingga terjadilah silang pendapat antara Ra Kuti dan Empu Damarjati.  Ra Kuti yang mendapat dukungan dari ibunya, dengan berani menyerang Empu Damarjati. Empu Damarjati ditendangnya hingga ter­lempar keluar dari Padhepokan. Dengan serta merta berkatalah Empu Damarjati yang pendiam itu, bahwa Ra Kuti akan mati ditangan Gajah yang lepas dari tali ikatan.

Belum reda amarah Ra Kuti, namun terhenti oleh datangnya Kanaka yang tidak dapat menerima tindakan Ra Kuti terhadap Empu Damarjati. Terjadilah perselisihan antara kedua saudara keturunan darah Surengrono tersebut dan perkelahian tak dapat dihindarkan. Belum ada yang menang dan kalah dalam perkelahian itu, segera Nyai Surengrono melerai mereka. Ra Kuti dan   Kanaka berpisah saling memper­tahankan pendapat masing-masing. Ra Kuti merasa tak ada pengha­lang lagi, dia mengira bahwa para Darmaputra sudah tidak ada yang patuh pada Shri Raja. Sehingga Ra Kuti membentuk barisan bawah tanah guna membunuh Sang Prabu.

Di suatu malam yang dingin, Ra Kuti dan teman-temanya memaksa masuk ke istana. Seketika gempar yang ada didalamnya. Para Senopati perang yang sedang tidur pulas banyak yang menjadi korban keganas­an pedang Ra Kuti dan teman-temannya. Alkisah ada seorang pemimpin pasukan pengawal Raja, muda belia, gagah perkasa. Satria utama. Rahangnya kuat, bahu kekar, dada lebar mengkilap, kulit yang merah bak tembaga seakan bersinar dan tak mempan senjata. Dialah Gajah Mada.

Waspada akan adanya keributan diluar, pimpinan pengawal Raja sang “Gajah” laksanaa lepas dari ikatan, segera masuk kedalam kamar tidur Sang Prabu. Prabu Jayanegara yang masih tidur pulas segera diangkat dan dibawa lari mengungsi, diikuti oleh para prajurit pengawal Raja yang masih setia. Ra Kuti Sang Pendendam takkan lega hatinya sebelum bisa membunuh Shri Jayanegara. Akhirnya dia berusaha sekuat tenaga untuk menge­jar dan menemukan Shri Jayanegara.

Sumber : Google Wikipedia
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...