KISAH
EMPU NAMBI
Orientasi
Mpu Nambi
(lahir: ? - wafat: Lamajang, 1316) adalah pemegang jabatan rakryan patih
pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Ia ikut berjuang mendirikan
kerajaan tersebut namun kemudian gugur sebagai korban fitnah pada pemerintahan
raja kedua. Pararaton dan Kidung Harsa Wijaya menceritakan bahwa Nambi adalah
putra Arya Wiraraja. Di lain pihak Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Sorandaka
menceritakan bahwa Nambi adalah putra Pranaraja. Terjadi perdebatan panjang di
mana Slamet Muljana menyatakan bahwa Nambi adalah putra Pranaraja sedang
Ronggolawe adalah putra Arya Wiraraja. Namun dalam analisis terbarunya [[Mansur
Hidayat]] mengemukakan pendapatnya bahwa Nambidan Ronggolawe dimungkinkan
adalah putra Arya Wiraraja.
Peran
Awal
Pararaton
dan Kidung Panji Wijayakrama
menyebut Nambi sebagai salah satu abdi Raden
Wijaya yang ikut mengungsi ke tempat Arya
Wiraraja di Songeneb
(nama lama Sumenep)
ketika Kerajaan Singasari runtuh diserang pasukan Jayakatwang
tahun 1292.
Sedangkan menurut Kidung Harsawijaya,
Nambi adalah putra Arya Wiraraja yang baru kenal Raden Wijaya di Songeneb. Pararaton mengatakan bahwa Nambi adalah
seorang putra Arya Wiraraja yang telah menjadi sahabat Raden Wijaya sejak
menjadi salah salatu panglima di Singhasari. Kidung Harsawijaya mengisahkan pula, Nambi kemudian dikirim
ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di perbatasan
antara kabupaten Sidoarjo dengan kabupaten Mojokerto) menjadi sebuah desa
pemukiman bernama Majapahit. Kisah ini berlawanan dengan Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe yang menyebut nama
putra yang dikirim Arya Wiraraja adalah Ranggalawe,
bukan Nambi.
Pararaton
selanjutnya mengisahkan, pada saat Raden Wijaya menyerang Kadiri pada tahun 1293, Nambi ikut
berjasa membunuh seorang pengikut Jayakatwang yang bernama Kebo Rubuh. Dalam
berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan orang yang mempunai kecerdikan
administrasi dan intelektual sehingga pada masa Majapahit berdiri ia dipercaya
menjadi seorang Maha Patih pertama kerajaan ini.
Jabatan
yang Disandang
Pararaton
mengisahkan setelah kekalahan Jayakatwang
tahun 1293, Raden
Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat diri menjadi raja. Jabatan patih atau semacam perdana
menteri diserahkan kepada Nambi. Berita ini diperkuat oleh prasasti
Sukamerta tahun 1296
yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit, antara lain Rakryan Patih Mpu Tambi. Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe, pengangkatan Nambi
inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Ranggalawe
di Tuban tahun 1295. Ranggalawe
merasa tidak puas atas keputusan tersebut karena Nambi dianggap kurang berjasa
dalam peperangan. Atas izin Raden Wijaya, Nambi berangkat memimpin pasukan
Majapahit menyerang Tuban. Dalam perang itu, Ranggalawe mati di tangan Kebo
Anabrang.
Menurut
[[Mansur Hidayat]], penulis sejarah , Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru
ini, Nambi adalah salah seoarang putra Arya Wiraraja yang tetap ikut berperan
di dalam intern kerajaan Majapahit. Pengangkatannya sebagai Maha Patih tidak
disetujui oleh saudaranya sendiri yaitu Ranggalawe yang menginginkan Sora yang
merupakan paman dari pihak ibu menjadi Patih karena dinilai punya keberanian.
Akibat perang Ranggalawe ini, Ranggalawe yang merupakan seoarang putra
kesayangan Arya Wiraraja gugur , sehingga menjadikan aahnya bersedih dan sangat
marah. Arya Wiraraja kemudian membangun ibu kota berbenteng yang kemudian
dikenal dengan nama Arnon atau Kuto Renon ang dalam bahasa Jawa kuno adalah
"Kuto artinya kota berbenteng" dan "Renon atau Renu artinya
marah". Jadi Kutorenon sendiri berarti sebuah ibu kota berbenteng ang
dibangun karena marah. Akibat kejadian ini Nambi pun tidak diterima oleh Arya
Wiraraja sampai masa sakitnya pada tahun 1314 Masehi.
Di
dalam pemerintahan Majapahit sendiri, Mpu Nambi adalah salah seorang pendukung
setia Wangsa Rajasa, sehingga ketika Prabu Jayanagara naik tahta dan
menyingkirkan Tribuwana Tunggadewi, Mpu Nambilah yang berada di garda depan
untuk menentangnya. Hal inilah yang membuat hubungan kedua petinggi Majapahit
itu menjadi renggang dan kemudian dimanfaatkan oleh seorang tokoh bernama
Mahapati.
Mati
karena Fitnah
Kematian
Nambi terjadi pada tahun 1316. Kisahnya disinggung dalam Nagarakretagama dan Pararaton,
serta diuraikan panjang lebar dalam Kidung
Sorandaka. Dikisahkan pada masa pemerintahan Jayanagara
(1309-1328) putra Raden
Wijaya, Nambi masih menjabat sebagai patih. Saat itu ada
tokoh licik bernama Mahapati yang mengincar jabatannya. Ia selalu berusaha
menciptakan ketegangan di antara Jayanagara dan Nambi.
Suatu
hari terdengar berita bahwa ayah Nambi sakit keras. Nambi pun mengambil cuti
untuk pulang ke Lamajang (nama lama Lumajang).
Sesampai di sana, ayahnya telah meninggal. Mahapati datang melayat menyampaikan
ucapan duka cita dari raja. Ia juga menyarankan agar Nambi memperpanjang
cutinya. Nambi setuju. Mahapati lalu kembali ke ibu kota untuk menyampaikan
permohonan izinnya.
Akan
tetapi dihadapan raja, Mahapati menyampaikan berita bohong bahwa Nambi menolak
untuk kembali ke ibu kota karena sedang mempersiapkan pemberontakan. Jayanagara
termakan hasutan tersebut. Ia pun mengirim pasukan dipimpin Mahapati untuk
menumpas Nambi. Nambi tidak menduga datangnya serangan mendadak. Ia pun
membangun benteng pertahanan di [Gending] dan [Pejarakan]. Namun keduanya dapat
dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga pun tewas pula dalam
peperangan itu. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka
"Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara
Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya
menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.
Pararaton
mengisahkan Nambi mati dalam benteng pertahanannya di desa Rabut Buhayabang,
karena dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang.
Sedangkan menurut Nagarakretagama
yang memimpin penumpasan Nambi bukan Mahapati, melainkan langsung oleh
Jayanagara sendiri. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota
pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal
sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331
masehi.
Tentang
meninggalnya Mpu Nambi sendiri, ada 2 pendapat yang sama kuatnya, di mana
pertama Nambi meninggal di daerah bernama Randu Agung karena ada sebuah situs
bernama Candi Agung yang dipercaya maysarakat sebagai tempat perabuan Nambi.
Kedua adalah di ibu kota Arnon sendiri di mana perang Lamajang ang terakhir
berlangsung di ibu kota dan Mpu Nambi bertahan habis-habisan sampai titik darah
penghabisan. Dalam penelitian J. Mageman diberitakan bahwa di Situs Biting
terdapat komplek percandian raja-raja Lamajang.
Nama
Ayah
Nama
ayah Nambi menurut Pararaton
dan Kidung Harsawijaya adalah Arya
Wiraraja, sedangkan dalam Kidung
Sorandaka adalah Pranaraja. hal ini menimbulkan pendapat bahwa Pranaraja
adalah nama lain Arya Wiraraja. Pendapat tersebut tidak sesuai dengan naskah
prasasti Kudadu tahun 1294
yang menyebut Arya Wiraraja dan Pranaraja sebagai dua orang tokoh yang berbeda.
Keduanya sama-sama menjabat sebagai pasangguhan,
di mana masing-masing bergelar Rakryan
Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Pranaraja Mpu Sina.
Selain
itu, Kidung Panji Wijayakrama
dan Kidung Ranggalawe menyebut
Arya Wiraraja adalah ayah dari Ranggalawe
(alias Arya Adikara), yaitu saingan politik Nambi. Versi ini diperkuat oleh
prasasti Kudadu (1294) yang menyebut adanya nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja
dalam daftar pejabat Majapahit, namun keduanya tidak ditemukan lagi dalam
prasasti Sukamerta (1296), sedangkan nama Pranaraja Mpu Sina masih dijumpai.
Alasan
yang bisa diajukan ialah, setelah kematian Ranggalawe tahun 1295, Arya Wiraraja
merasa sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia kemudian mendapatkan
daerah Lamajang
sesuai janji Raden Wijaya pada masa perjuangan. Adapun Pranaraja
Mpu Sina diperkirakan juga berasal dari Lamajang. Sesudah pensiun, ia kembali
ke daerah itu sampai akhir hayatnya pada tahun 1316.ang di daerah
tempat kekuasaan Arya Wiraraja yang merupakan ayahnya.
Menurut
[[Mansur Hidayat]], seoarang penulis buku Arya wiraraja dan Lamajang Tigang
Juru, Namnbi dan Ronggolawe adalah sama-sama anak Arya Wiraraja karena
sumber-sumber yang diceritakan sama-sama kuat. Contoh, bahwa Nambi adalah putra
Arya Wirarakj karena ketika Arya Wiraraja sakit Nambi menjenguknya dan
mengambil cuti dan kemudian juga berperang mempertahankan kerajaan ayahnya
Lamajang Tigang Kuru.
Referensi
Slamet
Muljana. 1979. Nagarakretagama dan
Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Slamet
Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan
(terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Mansur
hidayat, "Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan
Lamajang Tigang juru". Denpasar: Cakra Press, 2012.
----------------,
Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur.
Denpasar: Pustaka Larasan, 2013.
Empu
Nambi,
Mahapatih
Pertama dan Terhebat Majapahit yang Mati Menderita Karena Difitnah
Kisah-kisah
dalam kerajaan Majapahit selalu saja menarik untuk diceritakan kembali. Di
kerajaan yang memiliki obsesi untuk menyatukan Nusantara, beragam kisah
perjuangan, pemberontakan, pengkhianatan juga kerap terjadi dan mungkin lebih
seru dari Game of Throne yang banyak disaksikan orang-orang di seluruh dunia,
mungkin Anda juga salah satunya. Salah satu kisah menarik di Majapahit adalah
cerita tentang Empu Nambi. Beliau adalah salah satu pentolan Majapahit paling
setia kepada raja. Bahkan, dia mau melakukan apa saja untuk raja meski akhirnya
mati karena terkena fitnah. Berikut kisah tentang seorang Mahapatih Nambi yang
layak untuk kita ketahui bersama-sama.
Berjuang
Untuk Mendirikan Kerajaan Majapahit
Empu
Nambi adalah sosok yang sangat jujur, kalem, dan sangat setia dengan kawannya.
Selama hidup, dia ikut berjuang dan mengabdi kepada Raden Wijaya yang merupakan
keturunan dari Ken Arok dan Ken Dedes. Saat Singosari akhirnya hancur, Empu
Nambi pula lah yang ikut andil dalam pembangunan salah satu kerajaan terbesar
di Nusantara. Karena setia kepada Raden Wijaya, dia pun akhirnya diangkat
sebagai mahapatih. Pengabdian yang dia lakukan selama ini telah terbayar dengan
lunas meski banyak yang menentangnya. Meski sangat berjasa kepada kerajaan, dia
dianggap belum pantas menduduki jabatan mahapatih ini sehingga perseteruan
terjadi dan menyebabkan timbulnya pemberontakan.
Menjadi
Pemimpin Pasukan Anti Pemberontak
Seperti
yang sedikit dicuplik di atas, pengangkat Empu Nambi menjadi mahapatih
mendapatkan protes keras dari Ranggalawe. Dia ingin jabatan besar itu diberikan
kepadanya karena merasa lebih berjasa. Saat sama-sama berjuang dengan Raden Wijaya,
Ranggalawe ikut membantu dalam membabat hutan serta mengusir tentara Mongol
yang datang sehingga Majapahit akhirnya berdiri.
Di samping telah berjasa, Ranggalawe juga terus
dijanjikan menjadi mahapatih oleh Raden Wijaya. Sayangnya, dia justru dianugerahi
menjadi pemimpin Tuban dan jabatan itu dianugerahkan kepada Empu Nambi yang
dikenal memiliki kedekatan dengan Raden Wijaya sejak lama. Akhirnya, Ranggalawe
melakukan pemberontakan besar-besaran.
Mengetahui adanya ancaman pemberontakan yang akan
membahayakan Majapahit, Raden Wijaya akhirnya mengutus Empu Nambi untuk
menumpasnya. Akhirnya terjadilah peperangan yang sengit dan membuat Ronggolawe
meninggal dunia dan wilayah Majapahit dipecah menjadi wilayah barat dan wilayah
timur.
Seorang
Ahli Perang dan Juga Administrasi Majapahit
Salah
satu alasan mengapa Raden Wijaya mengangkat Empu Nambi sebagai mahapatih adalah
kemampuannya yang hebat dalam perang. Dia dikenal sangat pandai memimpin
pasukan dalam peperangan. Selanjutnya, dia juga sangat ahli dalam urusan
administrasi. Kemampuan ini digunakan oleh Raden Wijaya untuk membangun
Majapahit hingga akhirnya terus berkembang.
Dalam
kehidupan sehari-hari, Empu Nambi dikenal sangat baik kepada semua orang.
Bahkan dia sangat setia kawan sehingga tidak akan pernah melakukan
pengkhianatan kepada Majapahit yang dia bangun sendiri. Berkat kesetiaannya
ini, Empu Nambi mampu menduduki jabatan ini sampai raja kedua dari Majapahit
naik tahta.
Difitnah
Lalu Dibantai dalam Peperangan
Memasuki
generasi kedua dari kerajaan Majapahit, posisi dari Empu Nambi mulai ingin
digeser oleh seorang penasehat istana bernama Mahapati. Dia terus memengaruhi
Jayanegara yang saat itu jadi raja untuk mencopot jabatan Empu Nambi.
Bertepatan dengan itu, Arya Wiraraja sakit sehingga Empu Nambi harus menjenguk
dan enggan pulang lagi ke Majapahit.
Mengetahui hal ini Mahapati langsung meluncurkan
fitnah keji dan mengatakan kalau Empu Nambi akan melakukan pemberontakan.
Mengetahui hal ini Jayanegara marah dan akhirnya mengutus banyak pasukan untuk
menyerang Lumajang tempat Arya Wiraraja yang dulunya menjadi penasehat perang
Majapahit ini hancur lebur. Pada kejadian ini Empu Nambi tewas dikeroyok tiga
panglima perang Majapahit.
Inilah kisah tentang Empu Nambi. Dia adalah salah satu
orang hebat di Majapahit yang karena kemampuannya banyak orang iri dan ingin
menumpasnya. Kisah dari Empu Nambi yang sangat miris ini membuktikan bahwa
orang yang pandai selalu dikalahkan oleh mereka yang berkepentingan dan punya
kekuasaan.
Inilah
Hukuman Mati Paling Ganas yang Pernah Terjadi di Zaman Kerajaan Nusantara
Hukuman
mati yang ada di Indonesia sejatinya telah ada sejak ratusan atau bahkan ribuan
tahun yang lalu. Sejak negeri ini masih berupa kumpulan kerajaan, hukuman mati
bagi yang bersalah sudah diterapkan dengan tegas. Para terdakwa yang telah
terbukti melakukan kesalahan akan dibantai dengan mengerikan dan tanpa ampun di
depan masyarakat. Di era modern seperti sekarang, hukuman mati dilakukan dengan
hukum gantung atau tembakan. Di masa lalu, hukuman yang akan diterima oleh
orang yang bersalah lebih mengerikan. Inilah hukuman-hukuman mati yang pernah
dilakukan di masa lalu kerajaan Nusantara.
Ditusuk
dengan Keris
Saat
kawasan Jawa dikuasai oleh kerajaan Hindu dan Buddha, hukuman mati dilakukan
dengan cara yang cukup mengerikan. Siapa saja yang terbukti bersalah melakukan
pencurian, perampokan, hingga pembunuhan akan mendapatkan hukuman pati (hukuman
mati) dari hakim yang kala itu sudah ditunjuk oleh raja. Sekali hukuman pati
diberlakukan maka seseorang tidak akan bisa menghindar kecuali membayar ganti
rugi dengan nilai dua kali lipat dari apa yang mereka curi. Setelah penetapan
hukuman mati ini dilakukan, tersangka akan diiring ke tempat eksekusi. Di sana,
dua orang pengawal akan memegang tangan terpidana mati lalu algojo dengan cepat
menusukkan sebilah keris langsung ke jantung. Hal ini dilakukan berulang-ulang
hingga tepat dan membuat darah dari dada keluar dengan cepat. Setelah darah
mulai deras keluar, dua pengawal akan memegang terpidana ini hingga dia tewas
karena kehabisan darah.
Dicincang
di Depan Banyak Bupati
Barangkali
kisah kematian dari Trunojoyo menjadi kematian paling mengerikan dalam sejarah
kerajaan Nusantara. Bagaimana tidak, Trunojoyo dieksekusi mati depan banyak
bupati atau adipati dengan cara yang mengerikan. Kala itu, Amangkurat II
ditugaskan untuk menusuk dada dan perut Trunojoyo hingga terbuka dengan
sempurna. Setelah melakukan itu, dia mengambil hati dari Trunojoyo dan
mencincangnya hingga halus.
Kejadian
mengerikan dari hukuman mati ini masih berlanjut. Sebelum mayat ini dikubur
atau mungkin dibuang, kepala dari Trunojoyo dipenggal dan diletakkan di depan
balai peristirahatan. Satu per satu selir diperintah untuk menginjak kepala itu
sebelum akhirnya kepala dari Trunojoyo dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk
hingga hancur.
Bertarung
dengan Harimau Jawa
Setelah
Jawa mulai dikuasai oleh kerajaan beraliran Islam, hukuman mati pun berubah
lagi. Meski beberapa kawasan menerapkan hukum syariah, tapi hukuman yang
mengerikan nyatanya tetap dilakukan. Pada masa Mataram Islam, hukuman mati
dilakukan dengan dua cara, pertama adalah dengan bertarung dengan harimau dan
yang kedua adalah hukuman picis. Hukuman
bertarung dengan harimau sudah bisa kita tebak bagaimana akhirnya. Orang yang pertama,
hukuman picis bisa berlangsung cukup lama. Tersangka yang terbukti bersalah
akan disayat-sayat bagian tubuhnya berkali-kali. Setelah darah keluar dan luka
menganga, pasukan akan menyiramkan air garam atau jeruk nipis sehingga membuat
dia mengerang kesakitan sampai ajal menjemput.
Dilempar
Lembing atau Ditumbuk
Di
masa lalu, Kesultanan Aceh menerapkan hukuman yang sangat berat bagi mereka
yang melakukan zina. Wanita yang terbukti melakukan hal mengerikan ini akan
langsung diberi hukuman mati dengan dengan mengerikan. Mereka akan dilempari
lembing berkali-kali hingga ujungnya yang tajam akan menancap di tubuh dan
menyebabkan pendarahan yang hebat. Selain dengan dilempar lembing, konon wanita
yang melakukan perzinaan akan ditumbuk kepalanya dengan keji. Mereka akan
ditidurkan pada sebuah lesung lalu algojo akan bergantian menumbuk kepalanya
berkali-kali hingga hancur dan meninggal dunia.
Hukuman-hukuman
mati di atas adalah bukti bahwa di masa lalu, penegakan hukum dilakukan dengan
cara yang keras. Siapa saja yang melanggar akan langsung dikenai sanksi yang
sangat tegas. Saat Belanda mulai datang ke Indonesia, hukuman mati semacam ini
masih saja dilakukan, bahkan metode menjadi lebih beragam karena terpengaruh
cara-cara kejam dari penjajah.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar