Senin, 08 Oktober 2018

KISAH EMPU NAMBI


KISAH EMPU NAMBI

Orientasi
Mpu Nambi (lahir: ? - wafat: Lamajang, 1316) adalah pemegang jabatan rakryan patih pertama dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Ia ikut berjuang mendirikan kerajaan tersebut namun kemudian gugur sebagai korban fitnah pada pemerintahan raja kedua. Pararaton dan Kidung Harsa Wijaya menceritakan bahwa Nambi adalah putra Arya Wiraraja. Di lain pihak Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Sorandaka menceritakan bahwa Nambi adalah putra Pranaraja. Terjadi perdebatan panjang di mana Slamet Muljana menyatakan bahwa Nambi adalah putra Pranaraja sedang Ronggolawe adalah putra Arya Wiraraja. Namun dalam analisis terbarunya [[Mansur Hidayat]] mengemukakan pendapatnya bahwa Nambidan Ronggolawe dimungkinkan adalah putra Arya Wiraraja.

Peran Awal
Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebut Nambi sebagai salah satu abdi Raden Wijaya yang ikut mengungsi ke tempat Arya Wiraraja di Songeneb (nama lama Sumenep) ketika Kerajaan Singasari runtuh diserang pasukan Jayakatwang tahun 1292. Sedangkan menurut Kidung Harsawijaya, Nambi adalah putra Arya Wiraraja yang baru kenal Raden Wijaya di Songeneb.  Pararaton mengatakan bahwa Nambi adalah seorang putra Arya Wiraraja yang telah menjadi sahabat Raden Wijaya sejak menjadi salah salatu panglima di Singhasari. Kidung Harsawijaya mengisahkan pula, Nambi kemudian dikirim ayahnya untuk membantu Raden Wijaya membuka Hutan Tarik (di perbatasan antara kabupaten Sidoarjo dengan kabupaten Mojokerto) menjadi sebuah desa pemukiman bernama Majapahit. Kisah ini berlawanan dengan Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe yang menyebut nama putra yang dikirim Arya Wiraraja adalah Ranggalawe, bukan Nambi.

Pararaton selanjutnya mengisahkan, pada saat Raden Wijaya menyerang Kadiri pada tahun 1293, Nambi ikut berjasa membunuh seorang pengikut Jayakatwang yang bernama Kebo Rubuh. Dalam berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan orang yang mempunai kecerdikan administrasi dan intelektual sehingga pada masa Majapahit berdiri ia dipercaya menjadi seorang Maha Patih pertama kerajaan ini.

Jabatan yang Disandang
Pararaton mengisahkan setelah kekalahan Jayakatwang tahun 1293, Raden Wijaya mendirikan Kerajaan Majapahit dan mengangkat diri menjadi raja. Jabatan patih atau semacam perdana menteri diserahkan kepada Nambi. Berita ini diperkuat oleh prasasti Sukamerta tahun 1296 yang memuat daftar nama para pejabat Majapahit, antara lain Rakryan Patih Mpu Tambi. Menurut Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe, pengangkatan Nambi inilah yang memicu terjadinya pemberontakan Ranggalawe di Tuban tahun 1295. Ranggalawe merasa tidak puas atas keputusan tersebut karena Nambi dianggap kurang berjasa dalam peperangan. Atas izin Raden Wijaya, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit menyerang Tuban. Dalam perang itu, Ranggalawe mati di tangan Kebo Anabrang.

Menurut [[Mansur Hidayat]], penulis sejarah , Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru ini, Nambi adalah salah seoarang putra Arya Wiraraja yang tetap ikut berperan di dalam intern kerajaan Majapahit. Pengangkatannya sebagai Maha Patih tidak disetujui oleh saudaranya sendiri yaitu Ranggalawe yang menginginkan Sora yang merupakan paman dari pihak ibu menjadi Patih karena dinilai punya keberanian. Akibat perang Ranggalawe ini, Ranggalawe yang merupakan seoarang putra kesayangan Arya Wiraraja gugur , sehingga menjadikan aahnya bersedih dan sangat marah. Arya Wiraraja kemudian membangun ibu kota berbenteng yang kemudian dikenal dengan nama Arnon atau Kuto Renon ang dalam bahasa Jawa kuno adalah "Kuto artinya kota berbenteng" dan "Renon atau Renu artinya marah". Jadi Kutorenon sendiri berarti sebuah ibu kota berbenteng ang dibangun karena marah. Akibat kejadian ini Nambi pun tidak diterima oleh Arya Wiraraja sampai masa sakitnya pada tahun 1314 Masehi.

Di dalam pemerintahan Majapahit sendiri, Mpu Nambi adalah salah seorang pendukung setia Wangsa Rajasa, sehingga ketika Prabu Jayanagara naik tahta dan menyingkirkan Tribuwana Tunggadewi, Mpu Nambilah yang berada di garda depan untuk menentangnya. Hal inilah yang membuat hubungan kedua petinggi Majapahit itu menjadi renggang dan kemudian dimanfaatkan oleh seorang tokoh bernama Mahapati.

Mati karena Fitnah
Kematian Nambi terjadi pada tahun 1316. Kisahnya disinggung dalam Nagarakretagama dan Pararaton, serta diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Dikisahkan pada masa pemerintahan Jayanagara (1309-1328) putra Raden Wijaya, Nambi masih menjabat sebagai patih. Saat itu ada tokoh licik bernama Mahapati yang mengincar jabatannya. Ia selalu berusaha menciptakan ketegangan di antara Jayanagara dan Nambi.

Suatu hari terdengar berita bahwa ayah Nambi sakit keras. Nambi pun mengambil cuti untuk pulang ke Lamajang (nama lama Lumajang). Sesampai di sana, ayahnya telah meninggal. Mahapati datang melayat menyampaikan ucapan duka cita dari raja. Ia juga menyarankan agar Nambi memperpanjang cutinya. Nambi setuju. Mahapati lalu kembali ke ibu kota untuk menyampaikan permohonan izinnya.

Akan tetapi dihadapan raja, Mahapati menyampaikan berita bohong bahwa Nambi menolak untuk kembali ke ibu kota karena sedang mempersiapkan pemberontakan. Jayanagara termakan hasutan tersebut. Ia pun mengirim pasukan dipimpin Mahapati untuk menumpas Nambi. Nambi tidak menduga datangnya serangan mendadak. Ia pun membangun benteng pertahanan di [Gending] dan [Pejarakan]. Namun keduanya dapat dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Akhirnya Nambi sekeluarga pun tewas pula dalam peperangan itu. Babad Pararaton menceritakan kejatuhan Lamajang pada tahun saka "Naganahut-wulan" (Naga mengigit bulan) dan dalam Babad Negara Kertagama disebutkan tahun "Muktigunapaksarupa" yang keduanya menujukkan angka tahun 1238 Saka atau 1316 Masehi.

Pararaton mengisahkan Nambi mati dalam benteng pertahanannya di desa Rabut Buhayabang, karena dikeroyok oleh Jabung Tarewes, Lembu Peteng, dan Ikal-Ikalan Bang. Sedangkan menurut Nagarakretagama yang memimpin penumpasan Nambi bukan Mahapati, melainkan langsung oleh Jayanagara sendiri. Jatuhnya Lamajang ini kemudian membuat kota-kota pelabuhannya seperti Sadeng dan Patukangan melakukan perlawanan yang kemudian dikenal sebagai "Pasadeng" atau perang sadeng dan ketha pada tahun 1331 masehi.

Tentang meninggalnya Mpu Nambi sendiri, ada 2 pendapat yang sama kuatnya, di mana pertama Nambi meninggal di daerah bernama Randu Agung karena ada sebuah situs bernama Candi Agung yang dipercaya maysarakat sebagai tempat perabuan Nambi. Kedua adalah di ibu kota Arnon sendiri di mana perang Lamajang ang terakhir berlangsung di ibu kota dan Mpu Nambi bertahan habis-habisan sampai titik darah penghabisan. Dalam penelitian J. Mageman diberitakan bahwa di Situs Biting terdapat komplek percandian raja-raja Lamajang.

Nama Ayah
Nama ayah Nambi menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya adalah Arya Wiraraja, sedangkan dalam Kidung Sorandaka adalah Pranaraja. hal ini menimbulkan pendapat bahwa Pranaraja adalah nama lain Arya Wiraraja. Pendapat tersebut tidak sesuai dengan naskah prasasti Kudadu tahun 1294 yang menyebut Arya Wiraraja dan Pranaraja sebagai dua orang tokoh yang berbeda. Keduanya sama-sama menjabat sebagai pasangguhan, di mana masing-masing bergelar Rakryan Mantri Arya Wiraraja Makapramuka dan Rakryan Mantri Pranaraja Mpu Sina.

Selain itu, Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menyebut Arya Wiraraja adalah ayah dari Ranggalawe (alias Arya Adikara), yaitu saingan politik Nambi. Versi ini diperkuat oleh prasasti Kudadu (1294) yang menyebut adanya nama Arya Adikara dan Arya Wiraraja dalam daftar pejabat Majapahit, namun keduanya tidak ditemukan lagi dalam prasasti Sukamerta (1296), sedangkan nama Pranaraja Mpu Sina masih dijumpai.

Alasan yang bisa diajukan ialah, setelah kematian Ranggalawe tahun 1295, Arya Wiraraja merasa sakit hati dan mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pasangguhan. Ia kemudian mendapatkan daerah Lamajang sesuai janji Raden Wijaya pada masa perjuangan. Adapun Pranaraja Mpu Sina diperkirakan juga berasal dari Lamajang. Sesudah pensiun, ia kembali ke daerah itu sampai akhir hayatnya pada tahun 1316.ang di daerah tempat kekuasaan Arya Wiraraja yang merupakan ayahnya.

Menurut [[Mansur Hidayat]], seoarang penulis buku Arya wiraraja dan Lamajang Tigang Juru, Namnbi dan Ronggolawe adalah sama-sama anak Arya Wiraraja karena sumber-sumber yang diceritakan sama-sama kuat. Contoh, bahwa Nambi adalah putra Arya Wirarakj karena ketika Arya Wiraraja sakit Nambi menjenguknya dan mengambil cuti dan kemudian juga berperang mempertahankan kerajaan ayahnya Lamajang Tigang Kuru.

Referensi
Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Mansur hidayat, "Sejarah Lumajang: Melacak Ketokohan Arya Wiraraja dan Keemasan Lamajang Tigang juru". Denpasar: Cakra Press, 2012.
----------------, Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru: Menafsir Ulang Sejarah Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan, 2013.

Empu Nambi,
Mahapatih Pertama dan Terhebat Majapahit yang Mati Menderita Karena Difitnah
Kisah-kisah dalam kerajaan Majapahit selalu saja menarik untuk diceritakan kembali. Di kerajaan yang memiliki obsesi untuk menyatukan Nusantara, beragam kisah perjuangan, pemberontakan, pengkhianatan juga kerap terjadi dan mungkin lebih seru dari Game of Throne yang banyak disaksikan orang-orang di seluruh dunia, mungkin Anda juga salah satunya. Salah satu kisah menarik di Majapahit adalah cerita tentang Empu Nambi. Beliau adalah salah satu pentolan Majapahit paling setia kepada raja. Bahkan, dia mau melakukan apa saja untuk raja meski akhirnya mati karena terkena fitnah. Berikut kisah tentang seorang Mahapatih Nambi yang layak untuk kita ketahui bersama-sama.

Berjuang Untuk Mendirikan Kerajaan Majapahit
Empu Nambi adalah sosok yang sangat jujur, kalem, dan sangat setia dengan kawannya. Selama hidup, dia ikut berjuang dan mengabdi kepada Raden Wijaya yang merupakan keturunan dari Ken Arok dan Ken Dedes. Saat Singosari akhirnya hancur, Empu Nambi pula lah yang ikut andil dalam pembangunan salah satu kerajaan terbesar di Nusantara. Karena setia kepada Raden Wijaya, dia pun akhirnya diangkat sebagai mahapatih. Pengabdian yang dia lakukan selama ini telah terbayar dengan lunas meski banyak yang menentangnya. Meski sangat berjasa kepada kerajaan, dia dianggap belum pantas menduduki jabatan mahapatih ini sehingga perseteruan terjadi dan menyebabkan timbulnya pemberontakan.

Menjadi Pemimpin Pasukan Anti Pemberontak
Seperti yang sedikit dicuplik di atas, pengangkat Empu Nambi menjadi mahapatih mendapatkan protes keras dari Ranggalawe. Dia ingin jabatan besar itu diberikan kepadanya karena merasa lebih berjasa. Saat sama-sama berjuang dengan Raden Wijaya, Ranggalawe ikut membantu dalam membabat hutan serta mengusir tentara Mongol yang datang sehingga Majapahit akhirnya berdiri.

Di samping telah berjasa, Ranggalawe juga terus dijanjikan menjadi mahapatih oleh Raden Wijaya. Sayangnya, dia justru dianugerahi menjadi pemimpin Tuban dan jabatan itu dianugerahkan kepada Empu Nambi yang dikenal memiliki kedekatan dengan Raden Wijaya sejak lama. Akhirnya, Ranggalawe melakukan pemberontakan besar-besaran.

Mengetahui adanya ancaman pemberontakan yang akan membahayakan Majapahit, Raden Wijaya akhirnya mengutus Empu Nambi untuk menumpasnya. Akhirnya terjadilah peperangan yang sengit dan membuat Ronggolawe meninggal dunia dan wilayah Majapahit dipecah menjadi wilayah barat dan wilayah timur.

Seorang Ahli Perang dan Juga Administrasi Majapahit
Salah satu alasan mengapa Raden Wijaya mengangkat Empu Nambi sebagai mahapatih adalah kemampuannya yang hebat dalam perang. Dia dikenal sangat pandai memimpin pasukan dalam peperangan. Selanjutnya, dia juga sangat ahli dalam urusan administrasi. Kemampuan ini digunakan oleh Raden Wijaya untuk membangun Majapahit hingga akhirnya terus berkembang.

Dalam kehidupan sehari-hari, Empu Nambi dikenal sangat baik kepada semua orang. Bahkan dia sangat setia kawan sehingga tidak akan pernah melakukan pengkhianatan kepada Majapahit yang dia bangun sendiri. Berkat kesetiaannya ini, Empu Nambi mampu menduduki jabatan ini sampai raja kedua dari Majapahit naik tahta.

Difitnah Lalu Dibantai dalam Peperangan
Memasuki generasi kedua dari kerajaan Majapahit, posisi dari Empu Nambi mulai ingin digeser oleh seorang penasehat istana bernama Mahapati. Dia terus memengaruhi Jayanegara yang saat itu jadi raja untuk mencopot jabatan Empu Nambi. Bertepatan dengan itu, Arya Wiraraja sakit sehingga Empu Nambi harus menjenguk dan enggan pulang lagi ke Majapahit.

Mengetahui hal ini Mahapati langsung meluncurkan fitnah keji dan mengatakan kalau Empu Nambi akan melakukan pemberontakan. Mengetahui hal ini Jayanegara marah dan akhirnya mengutus banyak pasukan untuk menyerang Lumajang tempat Arya Wiraraja yang dulunya menjadi penasehat perang Majapahit ini hancur lebur. Pada kejadian ini Empu Nambi tewas dikeroyok tiga panglima perang Majapahit.

Inilah kisah tentang Empu Nambi. Dia adalah salah satu orang hebat di Majapahit yang karena kemampuannya banyak orang iri dan ingin menumpasnya. Kisah dari Empu Nambi yang sangat miris ini membuktikan bahwa orang yang pandai selalu dikalahkan oleh mereka yang berkepentingan dan punya kekuasaan.

Inilah Hukuman Mati Paling Ganas yang Pernah Terjadi di Zaman Kerajaan Nusantara

Hukuman mati yang ada di Indonesia sejatinya telah ada sejak ratusan atau bahkan ribuan tahun yang lalu. Sejak negeri ini masih berupa kumpulan kerajaan, hukuman mati bagi yang bersalah sudah diterapkan dengan tegas. Para terdakwa yang telah terbukti melakukan kesalahan akan dibantai dengan mengerikan dan tanpa ampun di depan masyarakat. Di era modern seperti sekarang, hukuman mati dilakukan dengan hukum gantung atau tembakan. Di masa lalu, hukuman yang akan diterima oleh orang yang bersalah lebih mengerikan. Inilah hukuman-hukuman mati yang pernah dilakukan di masa lalu kerajaan Nusantara.

Ditusuk dengan Keris
Saat kawasan Jawa dikuasai oleh kerajaan Hindu dan Buddha, hukuman mati dilakukan dengan cara yang cukup mengerikan. Siapa saja yang terbukti bersalah melakukan pencurian, perampokan, hingga pembunuhan akan mendapatkan hukuman pati (hukuman mati) dari hakim yang kala itu sudah ditunjuk oleh raja. Sekali hukuman pati diberlakukan maka seseorang tidak akan bisa menghindar kecuali membayar ganti rugi dengan nilai dua kali lipat dari apa yang mereka curi. Setelah penetapan hukuman mati ini dilakukan, tersangka akan diiring ke tempat eksekusi. Di sana, dua orang pengawal akan memegang tangan terpidana mati lalu algojo dengan cepat menusukkan sebilah keris langsung ke jantung. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga tepat dan membuat darah dari dada keluar dengan cepat. Setelah darah mulai deras keluar, dua pengawal akan memegang terpidana ini hingga dia tewas karena kehabisan darah.

Dicincang di Depan Banyak Bupati
Barangkali kisah kematian dari Trunojoyo menjadi kematian paling mengerikan dalam sejarah kerajaan Nusantara. Bagaimana tidak, Trunojoyo dieksekusi mati depan banyak bupati atau adipati dengan cara yang mengerikan. Kala itu, Amangkurat II ditugaskan untuk menusuk dada dan perut Trunojoyo hingga terbuka dengan sempurna. Setelah melakukan itu, dia mengambil hati dari Trunojoyo dan mencincangnya hingga halus.

Kejadian mengerikan dari hukuman mati ini masih berlanjut. Sebelum mayat ini dikubur atau mungkin dibuang, kepala dari Trunojoyo dipenggal dan diletakkan di depan balai peristirahatan. Satu per satu selir diperintah untuk menginjak kepala itu sebelum akhirnya kepala dari Trunojoyo dimasukkan ke dalam lesung dan ditumbuk hingga hancur.

Bertarung dengan Harimau Jawa
Setelah Jawa mulai dikuasai oleh kerajaan beraliran Islam, hukuman mati pun berubah lagi. Meski beberapa kawasan menerapkan hukum syariah, tapi hukuman yang mengerikan nyatanya tetap dilakukan. Pada masa Mataram Islam, hukuman mati dilakukan dengan dua cara, pertama adalah dengan bertarung dengan harimau dan yang kedua adalah hukuman picis. Hukuman bertarung dengan harimau sudah bisa kita tebak bagaimana akhirnya. Orang yang pertama, hukuman picis bisa berlangsung cukup lama. Tersangka yang terbukti bersalah akan disayat-sayat bagian tubuhnya berkali-kali. Setelah darah keluar dan luka menganga, pasukan akan menyiramkan air garam atau jeruk nipis sehingga membuat dia mengerang kesakitan sampai ajal menjemput.

Dilempar Lembing atau Ditumbuk
Di masa lalu, Kesultanan Aceh menerapkan hukuman yang sangat berat bagi mereka yang melakukan zina. Wanita yang terbukti melakukan hal mengerikan ini akan langsung diberi hukuman mati dengan dengan mengerikan. Mereka akan dilempari lembing berkali-kali hingga ujungnya yang tajam akan menancap di tubuh dan menyebabkan pendarahan yang hebat. Selain dengan dilempar lembing, konon wanita yang melakukan perzinaan akan ditumbuk kepalanya dengan keji. Mereka akan ditidurkan pada sebuah lesung lalu algojo akan bergantian menumbuk kepalanya berkali-kali hingga hancur dan meninggal dunia.

Hukuman-hukuman mati di atas adalah bukti bahwa di masa lalu, penegakan hukum dilakukan dengan cara yang keras. Siapa saja yang melanggar akan langsung dikenai sanksi yang sangat tegas. Saat Belanda mulai datang ke Indonesia, hukuman mati semacam ini masih saja dilakukan, bahkan metode menjadi lebih beragam karena terpengaruh cara-cara kejam dari penjajah.

Sumber : Google Wikipedia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...