Senin, 08 Oktober 2018

KISAH RAJA JAYANEGARA


KISAH RAJA JAYANEGARA 

Orientasi
Jayanagara (lahir: 1294 - wafat: 1328) adalah raja kedua Kerajaan Majapahit yang memerintah pada tahun 1309-1328, dengan bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adhiswara. Pemerintahan Jayanagara terkenal sebagai masa pergolakan dalam sejarah awal Kerajaan Majapahit. Ia sendiri meninggal akibat dibunuh oleh tabib istananya.

Asal Usul
Menurut Pararaton, nama asli Jayanagara adalah Kalagemet putra Wijaya dan Dara Petak. Ibunya ini berasal dari Kerajaan Dharmasraya di Pulau Sumatra. Ia dibawa Kebo Anabrang ke tanah Jawa sepuluh hari setelah pengusiran pasukan Mongol oleh pihak Majapahit. Wijaya yang sebelumnya telah memiliki dua orang istri putri Kertanagara, kemudian menjadikan Dara Petak sebagai Stri Tinuheng Pura, atau "istri yang dituakan di istana".

Menurut Pararaton, pengusiran pasukan Mongol dan berdirinya Kerajaan Majapahit terjadi pada tahun 1294. Sedangkan menurut kronik Cina dari dinasti Yuan, pasukan yang dipimpin oleh Ike Mese itu meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293. Naskah Nagarakretagama juga menyebut angka tahun 1293. Sehingga, jika berita-berita di atas dipadukan, maka kedatangan Kebo Anabrang dan Dara Petak dapat diperkirakan terjadi pada tanggal 4 Mei 1293, dan kelahiran Jayanagara terjadi dalam tahun 1294.

Nama Dara Petak tidak dijumpai dalam Nagarakretagama dan prasasti-prasasti peninggalan Majapahit. Menurut Nagarakretagama, Wijaya bukan hanya menikahi dua, tetapi empat orang putri Kertanagara, yaitu Tribhuwaneswari, Narendraduhita, Jayendradewi, dan Gayatri. Sedangkan Jayanagara dilahirkan dari istri yang bernama Indreswari. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Indreswari adalah nama lain Dara Petak.

Naik Tahta
Nagarakretagama menyebutkan Jayanagara diangkat sebagai yuwaraja atau raja muda di Kadiri atau Daha pada tahun 1295. Nama Jayanagara juga muncul dalam prasasti Penanggungan tahun 1296 sebagai putra mahkota. Mengingat Raden Wijaya menikahi Dara Petak pada tahun 1293, maka Jayanagara dapat dipastikan masih sangat kecil ketika diangkat sebagai raja muda. Tentu saja pemerintahannya diwakili oleh Lembu Sora yang disebutkan dalam prasasti Pananggungan menjabat sebagai patih Daha.

Dari prasasti tersebut dapat diketahui pula bahwa Jayanagara adalah nama asli sejak kecil atau garbhopati, bukan nama gelar atau abhiseka. Sementara nama Kalagemet yang diperkenalkan Pararaton jelas bernada ejekan, karena nama tersebut bermakna "jahat" dan "lemah", hal itu dikarenakan kepribadian Jayanagara yang dipenuhi prilaku amoral namun lemah sebagai penguasa sehingga banyak pemberontakan yang timbul dalam masa pemerintahannya. Jayanagara naik takhta menjadi raja Majapahit menggantikan ayahnya yang menurut Nagarakretagama meninggal dunia tahun 1309.

Dari Piagam Sidateka yang bertarikh 1323, Jayanagara menetapkan susunan mahamantri katrini dalam membantu pemerintahannya, yaitu sebagai berikut:
Ø Rakryan Mahamantri Hino: Dyah Sri Rangganata
Ø Rakryan Mahamantri Sirikan: Dyah Kameswara
Ø Rakryan Mahamantri Halu: Dyah Wiswanata

Pemberontakan yang terjadi
Menurut Pararaton, pemerintahan Jayanagara diwarnai banyak pemberontakan oleh para pengikut ayahnya. Hal ini disebabkan karena Jayanagara adalah raja berdarah campuran Jawa-Melayu, bukan keturunan Kertanagara murni. Pemberontakan pertama terjadi ketika Jayanagara naik takhta, yaitu dilakukan oleh Ranggalawe pada tahun 1295 dan kemudian Lembu Sora pada tahun 1300. Dalam hal ini pengarang Pararaton kurang teliti karena Jayanagara baru menjadi raja pada tahun 1309. Mungkin yang benar ialah, pemberontakan Ranggalawe terjadi ketika Jayanagara diangkat sebagai raja muda atau putra mahkota.

Pararaton juga memberitakan pemberontakan Juru Demung tahun 1313, Gajah Biru tahun 1314, Mandana dan Pawagal tahun 1316, serta Ra Semi tahun 1318. Akan tetapi, menurut Kidung Sorandaka, Juru Demung dan Gajah Biru mati bersama Lembu Sora tahun 1300, sedangkan Mandana, Pawagal, dan Ra Semi mati bersama Nambi tahun 1316. Berita pemberontakan Nambi tahun 1316 dalam Pararaton juga disebutkan dalam Nagarakretagama, dan diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka. Menurut Nagarakretagama, pemberontakan Nambi tersebut dipadamkan langsung oleh Jayanagara sendiri.

Di antara pemberontakan-pemberontakan yang diberitakan Pararaton, yang paling berbahaya adalah pemberontakan Ra Kuti tahun 1319. Ibu kota Majapahit bahkan berhasil direbut kaum pemberontak, sedangkan Jayanagara sekeluarga terpaksa mengungsi ke desa Badander dikawal para prajurit bhayangkari. Pemimpin prajurit bhayangkari yang bernama Gajah Mada kembali ke ibu kota menyusun kekuatan. Berkat kerja sama antara para pejabat dan rakyat ibu kota, Kelompok Ra Kuti dapat dihancurkan.

Sewaktu menjadi raja, Jayanagara masih berusia muda sehingga dimanfaatkan orang-orang yang merasa tidak puas untuk memberontak. Mereka merasa tidak puas terhadap kebijakan Raja terdahulu, yaitu Raden Wijaya, yang menurut ukuran mereka tidak memberikan kedudukan yang mereka inginkan, dianggap tidak sepadan dengan jasanya sewaktu berjuang bersama Raden Wijaya. Maka, timbullah beberapa pemberontakan pada masa Raja Jayanagara, diantaranya adalah:
Ø Pemberontakan Ranggalawe (1309) => Ranggalawe sangat kecewa karena tidak diberi kedudukan Patih di Istana Majapahit, dia hanya diberikan kedudukan yang lebih rendah sebagai penguasa wilayah. Pemberontakannya dapat segera dihancurkan.
Ø Pemberontakan Lembu Sora (1311) => Lembu Sora memberontak karena mendapat hasutan dari seorang pejabat Majapahit yang bernama Mahapati. Mahapati sebenarnya juga musuh dalam selimut bagi Raja Jayanagara, yang selalu membuat intrik dan konspirasi dalam Istana. Pemberontakan Lembu Sora dapat digagalkan pihak Istana.
Ø Pemberontakan Nambi (1316) => Nambi memberontak karrena ambisi ayahnya Aria Wiraraja agar Nambi menjadi raja. Sehingga meskipun Nambi sudah diberi kedudukan yang tinggi sebagai Patih istana, tetap saja ia memberontak. Dia bersama ayahnya sempat membuat pertahanan di Pajarakan, tetapi akhirnya dapat dihancurkan juga.
Ø Pemberontakan Kuti (1319) => Kuti dapat menduduki istana kerajaan sehingga Raja Jayanagara terpaksa meninggalkan Istana. Oleh para Bhayangkari Kerajaan di bawah pimpinan Gajah Mada, raja disembunyikan di tempat yang sangat dirahasiakan yaitu di desa Badander. Atas inisiatif dan usaha dari Gajah Mada maka akhirnya pihak kerajaan dapat menyusun kekuatan dan merebut kembali istana. Akhirnya raja Jayanagara dapat kembali lagi ke istana.

Hubungan dengan Cina
Daratan Cina saat itu dikuasai oleh Dinasti Yuan atau bangsa Mongol. Pada tahun 1321 seorang pengembara misionaris bernama Odorico da Pordenone mengunjungi Pulau Jawa dan sempat menyaksikan pemerintahan Jayanagara. Ia mencatat pasukan Mongol kembali datang untuk menjajah Jawa, namun berhasil dipukul mundur oleh pihak Majapahit. Hal ini mengulangi kegagalan mereka pada tahun 1293. Namun hubungan antara Majapahit dengan Mongol kemudian membaik. Catatan dinasti Yuan menyebutkan pada tahun 1325 pihak Jawa mengirim duta besar bernama Seng-kia-lie-yulan untuk misi diplomatik. Tokoh ini diterjemahkan sebagai Adityawarman putra Dara Jingga, atau sepupu Jayanagara sendiri.

Kematian Jayanegara
Pada tahun 1328, sembilan tahun setelah pemberontakan Kuti, Jayanagara mati di tangan Tanca, seorang dharmaputera. Cerita pembunuhan itu bermula pada 1328, saat Tanca yang juga seorang tabib diminta mengoperasi bisul yang diderita Jayanagara. Dalam operasi bisul yang ketiga kalinya itu Tanca menikam Jayanagara di tempat tidurnya. Gajah Mada yang menunggu di samping raja segera bangkit menusuk Tanca dan mati seketika itu juga. Namun peristiwa pembunuhan itu masih simpang siur.

Ada beberapa versi sejarah tentang siapa sang pembunuh dan apa motifnya.
Ø Versi pertama dari Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagara Kretagama, menyebutkan bahwa Jayanagara dilanda rasa takut kehilangan takhtanya sehingga ia pun melarang kedua adiknya, yaitu Dyah Gitarja (Tribhuwana Tunggadewi) dan Dyah Wiyat (Rajadewi Maharajasa) menikah karena khawatir iparnya bisa menjadi saingan. Bahkan muncul desas-desus kalau kedua putri yang lahir dari Gayatri itu hendak dinikahi oleh Jayanagara sendiri. Desas-desus itu disampaikan Ra Tanca kepada Gajah Mada yang saat itu sudah menjadi abdi kesayangan Jayanagara. Ra Tanca juga menceritakan tentang istrinya yang diganggu oleh Jayanagara. Namun Gajah Mada seolah tidak peduli pada laporan tersebut dan tidak mengambil tindakan apa-apa. Tanca pun menunggu kesempatan yang baik. Kebetulan Raja Jayanagara yang menderita bisul menghendaki pembedahan kepadanya. Momen mengobati sang raja pun digunakan Tanca sebagai jalan untuk membunuhnya di tempat tidur.
Ø Versi kedua lain menurut arkeolog Belanda N.J. Krom dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis, sebagaimana dikutip Parakitri T. Simbolon dalam Menjadi Indonesia, istri Tanca menyebarkan berita bahwa dirinya dicabuli Jayanagara. Mendengar hal itu Gajah Mada malah balik menuduh dan mengadukan Tanca menebarkan fitnah.
Ø Versi lain yang lebih menyentak, tulis Parakitri T. Simbolon, “menurut N.J. Krom lagi, dalam tradisi Bali disebutkan bahwa justru Gajah Mada yang menjadi otak pembunuhan tersebut. Konon Raja Jayanagara mencabuli istri Gajah Mada. Tanca hanya diperalat oleh Gajah Mada untuk membunuh Jayanagara. Slamet Muljana juga menafsirkan bahwa Gajah Mada yang pada hakikatnya tidak suka pada sikap Jayanagara, menggunakan Tanca sebagai alat untuk memusnahkan sang prabu. Untuk menyelimuti perbuatannya, dia segera membunuh Tanca tanpa proses pengadilan.
Ø Versi terakhir diutarakan oleh Muhammad Yamin dalam Gajah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara, menyebut bahwa Tanca terus-menerus merasa tak senang pada raja atas kejadian yang menimpa Kuti, kawan Tanca sesama dharmaputera. Dia menulis bahwa awal sengketa berasal dari mulut seorang perempuan, yaitu istri Darmaputera Ra Tanca. Istri ini mengeluarkan perkataan bahwa dia mendapat gangguan dari Sang Prabu. Kabar angin menimbulkan kegemparan dalam keraton dan di pusat pemerintahahan.” Gajah Mada kemudian memeriksa Tanca. Namun, waktu pemeriksaan berjalan, Jayanagara sakit dan meminta Tanca membedah bisulnya. Kesempatan itu digunakan Tanca untuk melepaskan dendamnya membunuh raja. Yamin, pengagum dan penemu wajah Gajah Mada, membela Gajah Mada menulis: “Di belakang lakon yang menyedihkan hati ini, terbayang pula suatu tuduhan kepada Gajah Mada bahwa dialah yang mendorong Ra Tanca berlaku demikian, karena kabarnya Sang Prabu salah lihat dan salah raba kepada istri Gajah Mada yang teguh setia itu. Namun, tuduhan ini tak beralasan dan berlawanan dengan kesetian hatinya kepada Seri Mahkota.

Menurut Pararaton, Jayanagara didharmakan dalam candi Srenggapura di Kapopongan dengan arca di Antawulan, gapura paduraksa Bajang Ratu kemungkinan besar adalah gapura yang tersisa dari kompleks Srenggapura. Sedangkan menurut Nagarakretagama ia dimakamkan di dalam pura berlambang arca Wisnuparama. Jayanagara juga dicandikan di Silapetak dan Bubat sebagai Wisnu serta di Sukalila sebagai Buddha jelmaan Amoghasiddhi. Jayanagara meninggal dunia tanpa memiliki keturunan. Oleh karena itu, takhta Majapahit diteruskan oleh Ibusuri Gayatri sampai tahun 1331. Pasca wafatnya Gayatri, kekuasaan Majapahit jatuh pada adik tirinya, yaitu Dyah Gitarja yang bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Kepustakaan
Ø Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
Ø Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara

Goda Istri Orang, Raja Jayanegara Dibunuh Tabib
Saat Gajah Mada masuk menjadi pasukan Bhayangkara, Kerajaan Majapahit diperintah Jayanegara yang masih belia (15). Jayanegara adalah putra sulung Raden Wijaya dengan Dara Petak putri Kerajaan Dharmasraya dari Melayu. Sedangkan dua saudara Jayanegara yakni, Tribhuwanatunggadewi dan Dyah Wiyat Uri Rajadewi adalah anak Raden Wijaya dengan Gayatri Rajapatni. Kedua putri Gayatri tersebut masing-masing menjadi penguasa daerah Kahuripan dan Daha. Saat itu suasana Kerajaan Majapahit masih kacau. Banyak pemberontakan. Bahkan raja harus mengungsi untuk menjaga keselamatan.
Adalah seorang tokoh mahapatih Majapahit yang bermulut culas, suka mengadu domba bahkan menghasut raja. Akibatnya, banyak rekan seperjuangan Raden Wijaya yang memberontak akibat tidak puas dengan kebijakan raja. Bahkan saat pasukan Lembu Sora akan menyerahkan diri, begitu tiba di gerbang halaman kerajaan diserang pasukan Majapahit akibat hasutan mahapatih tadi. Lembu Sora yang merupakan pengikut Raden Wijaya pun tewas. Mahapatih tadi mengincar kedudukan Nambi yang saat itu menjabat patih. Karena kedekatannya dengan Lembu Sora, jabatan Nambi kelak akan digantikan Lembu Sora karena sama-sama pengikut Raden Wijaya.

Namun Mahapatih tadi tidak terima. Dia meminta raja menghukum mati Lembu Sora karena telah membunuh Mahisa Anabrang dan juga menewaskan Ranggalawe. Padahal, raja sudah melupakan peristiwa tersebut. Patih Nambi yang mengendus kelicikan Mahapatih pamit kepada raja menyambangi Raja Madura Arya Wiraraja. Tapi, Nambi tak kembali ke Majapahit. Sebaliknya Nambi dan pasukannya membuat benteng pertahanan di Pejarakan, Lumajang, bersama pasukannya. Akhirnya, Nambi diserang dan dibunuh pasukan kerajaan Majapahit. Pemberontakan terus berlanjut saat raja dipegang Jayanegara. Puncaknya, saat terjadi pemberontakan RA Kuti yang sulit dipadamkan.
 
Di bawah, pimpinan Gajah Mada, Raja Jayanegara bersama 15 pengawal terpaksa mengungsi secara diam-diam pada malam hari ke Desa Badander karena keselamatan raja terancam. Seluruh kerajaan tidak tahu kecuali 15 pasukan Bhayangkara yang mengikuti raja. Ketika seorang pengalasan atau pelayan raja minta pulang ke Majapahit, Gajah Mada tidak mengizinkan. Dikhawatirkan mereka akan membocorkan lokasi persembunyian raja hingga pasukan RA Kuti bisa menyerangnya. Bagi pengalasan yang nekad pulang ke Majapahit tersebut, akhirnya dibunuh Gajah Mada. Setelah lima hari mengungsi, Gajah Mada minta izin raja untuk mengecek situasi Kerajaan.

Saat bertemu amancanagara atau pejabat tinggi kerajaan, mereka bertanya soal keberadaan raja Jayanegara. Oleh Gajah Mada dijawab sudah tewas diserang pasukan RA Kuti. Maka, pecah lah tangis mereka.  "Diam lah, tidakkah tuan-tuan menghendaki RA Kuti sebagai raja? " tanya Gajah Mada seperti dikutip dalam buku 'Biografi Politik Gajah Mada’ karangan Agus Aris Munandar. Tapi, mereka menjawab Kuti bukan lah raja yang mereka sembah. Mendapat jawaban itu, Gajah Mada mengaku bahwa raja masih hidup di Desa Badander dan dia meminta bantuan pejabat tinggi kerajaan untuk mengalahkan RA Kuti. Sayang dalam Pararaton tidak dijelaskan, bagaimana siasat Gajah Mada dalam menewaskan RA Kuti. Setelah itu kerajaan Majapahit berangsur aman.

Setelah itu raja menyadari kelicikan dan hasutan Mahapatih. Menurut Pararaton raja pun memerintahkan menangkap Mahapatih dan dibunuh dengan cara cineleng-celeng, mungkin ditafsirkan seperti memburu celeng atau babi hutan. Sejak itu Kerajaan Majapahit berangsur aman. Hubungan dengan China dan negara lain  dilakukan. Itu terlihat dari berbagai prasasti yang menceritakan hubungan Majapahit dengan negara lain saat itu. Raja Jayanagera diketahui meninggal 1328 yang dibunuh Tanca seorang Dharmaputra yang bertindak sebagai tabib istana. Hal itu dijabarkan secara jelas dalam serat Pararaton.
 
"Istri Tanca menyiarkan berita, bahwa dia diperlakukan tidak baik oleh raja. Tanca pun dituntut Gajah Mada. Kebetulan Raja Jayanegara menderita sakit bengkak, tak dapat pergi keluar.
 Tanca mendapatkan perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Dia pun menghadap raja di tempat tidur.  Raja ditusuk dengan taji Tanca. Satu, dua kali tapi tidak mempan. Raja lalu diminta jimatnya, dan meletakkan di tempat tidur. Baru setelah itu tusukan taji mempan. Tanca menusukan berulang kali hingga raja tewas di tempat tidur. Tanca segera dibunuh Gajah Mada. Maka, mati lah Tanca,’’ (Padmopuspita, 1966,: 82-3).

Menurut kitab Babad Dalem dari Bali, kematian raja Jayanegara atau Kala Gemet sebenarnya sudah dirancang Gajah Mada. Sang Patih sering kali mendapat laporan bahwa raja suka menganggu dan berhubungan dengan perempuan-perempuan yang telah bersuami.  Perbuatan itu merupakan nista. Dalam kitab Kutaramanawadharmasastra Majapahit menyatakan, bahwa hukuman bagi orang yang mengganggu perempuan yang bersuami sangat berat.

Gajah Mada dan Kontroversi Dalang Pembunuhan Raja MajapahitSatu hari di tahun 1328, seisi Istana Majapahit sontak geger. Raja Jayanegara tewas bersimbah darah di peraduannya. Penguasa Majapahit kedua ini mati di tangan tabibnya sendiri, Ra Tanca. Jayanegara, yang meminta Ra Tanca mengobati sakit bisulnya, ditikam dari belakang dan tewas seketika. Selain sebagai tabib istana, Ra Tanca juga seorang pengawal raja atau bhayangkara, sama seperti Gajah Mada.

Meskipun tudingan pelaku pembunuhan mengarah kepada Ra Tanca, tapi insiden berdarah ini belum terkuak sepenuhnya. Ada beberapa versi terkait siapa sebenarnya dalang yang menghendaki kematian Jayanegara. Selain Ra Tanca, Gajah Mada masuk dalam daftar tersangka.

Raja yang Tidak Disukai
Jayanegara naik takhta pada 1309. Ia adalah anak dari pendiri Majapahit, Raden Wijaya, dengan seorang putri Kerajaan Dharmasraya dari Sumatera, Dara Petak atau Indreswari. Kitab Pararaton menyebut Jayanegara dengan nama Kalagemet yang ditafsirkan sebagai olok-olok karena nama tersebut memiliki arti “lemah” atau “jahat”. Memang, banyak orang di Majapahit yang tidak senang dengan naiknya Jayanegara menjadi raja. Salah satu penyebabnya adalah karena Jayanegara berdarah campuran, Jawa dan Melayu, bukan turunan murni dari Kertanagara, raja terakhir Singhasari sebelum Majapahit berdiri.

Selain itu, Jayanegara juga bukan lahir dari permaisuri, melainkan dari istri selir. Padahal, sebelum menikahi Dara Petak, Raden Wijaya sudah punya empat istri yang semuanya adalah putri Kertanagara, seperti ditulis Pitono Hardjowardojo, dkk., Pararaton (1965:46). Namun, Dara Petak berhasil membujuk Raden Wijaya untuk menjadikan putranya, Jayanegara, sebagai putra mahkota. Merujuk Nagarakertagama, Haris Daryono Ali Haji (2012:42) dalam buku Menggali Pemerintahan Negeri Doho menyebut, kebiasaan raja-raja di Jawa zaman dulu bahwa yang berhak menggantikan takhta kerajaan adalah anak yang lahir dari permaisuri, entah itu anak laki-laki maupun anak perempuan.

Setelah Jayanegara dinobatkan, banyak terjadi guncangan internal, termasuk timbulnya serangkaian pemberontakan. Para pemimpin pemberontakan ini justru orang-orang yang dulu sangat loyal terhadap Raden Wijaya. Setelah Raden Wijaya wafat, mereka menganggap takhta Majapahit jatuh di tangan orang yang salah. Dari sekian banyak pemberontakan yang muncul pada era Jayanegara, ada beberapa yang paling membahayakan, antara lain pemberontakan yang dimotori oleh Ranggalawe pada 1309, Lembu Sora pada 1311, Nambi pada 1316, hingga Kuti pada 1319. Namun, Jayanegara selalu lolos dari maut dalam berbagai aksi pemberontakan itu. Nyawanya melayang justru ketika situasi kerajaan sudah agak tenang, di tangan orang dalam istana yang tidak lain adalah tabib sekaligus pengawal kepercayaannya sendiri, Ra Tanca.

Gajah Mada Sebagai Dalang?
Banyak referensi yang menyebut Gajah Mada punya andil dalam peristiwa matinya Jayanegara pada 1328, secara langsung atau tidak. Seorang peneliti sejarah asal Belanda, N.J. Krom, dalam Hindoe-Javaansche Geschiedenis, misalnya, meyakini bahwa Gajah Mada adalah otak pembunuhan itu. Dikutip dari Parakitri Simbolon (2006) dalam Menjadi Indonesia, Krom meyakini bahwa Gajah Mada menyimpan dendam terhadap Jayanegara lantaran telah berbuat tidak senonoh terhadap istrinya. Gajah Mada memperalat Ra Tanca yang juga tabib istana untuk membunuh sang raja.

Buku Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Muljana (1979) mendukung versi ini, meskipun Muljana juga memaparkan versi lainnya. Dituliskan, Gajah Mada pada hakikatnya tidak suka pada terhadap Jayanegara dan menggunakan Ra Tanca sebagai alat untuk mengakhiri nyawa raja yang bertabiat buruk itu. Pararaton seperti dikutip Muljana juga mengungkapkan, Gajah Mada sudah bersiap di kamar raja tanpa diketahui Ra Tanca. Sesaat setelah Jayanegara ditikam, Gajah Mada mendadak muncul dan segera membunuh Ra Tanca.

Meskipun ada di tempat kejadian perkara, nama Gajah Mada tetap bersih, bahkan ia disebut sebagai pahlawan. “Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk Tanca sampai mati,” tulis Muljana dalam bukunya. Gajah Mada diduga memang tidak menyukai Jayanegara yang memiliki tabiat buruk dan kurang piawai dalam mengelola pemerintahan. Gajah Mada juga tidak terlalu cocok dengan Ra Tanca yang menjadi salah satu pesaing dalam kariernya sesama pengawal raja.
Versi ini dilengkapi oleh Purwadi dalam Jejak Nasionalisme Gajah Mada (2004:84) yang menulis, setelah Jayanegara terbunuh, Gajah Mada segera menangkap Ra Tanca dan mengeksekusinya. Yang menjadi persoalan, eksekusi itu dilakukan tanpa melalui pengadilan terlebih dulu. Tindakan inilah yang lantas memunculkan asumsi bahwa Gajah Mada memang sengaja menggunakan Ra Tanca untuk menghabisi nyawa sang raja.

Konspirasi Menghabisi Jayanegara
Dalam buku yang sama, Slamet Muljana juga mengungkap versi lain ihwal misteri matinya Jayanegara. Disebutkan bahwa pembunuhan itu memang murni dilakukan oleh Ra Tanca dan telah direncanakan sebelumnya. Ra Tanca kesal terhadap Jayanegara setelah menerima laporan dari istrinya bahwa sang raja telah berbuat tidak sopan terhadap dua saudara tirinya yang juga putri Raden Wijaya, yakni Dyah Gitarja atau Tribhuwana Tunggadewi dan Dyah Wiyat atau Sri Rajadewi.

Mengetahui hal ini, Ra Tanca lantas melapor kepada Gajah Mada, tapi sang patih tidak segera bertindak. Ra Tanca, yang merupakan abdi setia mendiang Raden Wijaya, lantas mengambil tindakan sendiri saat mendapatkan kesempatan mengobati Jayanegara. Purwadi dalam Sejarah Raja-raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa (2007:97) menyebutkan bahwa Jayanegara memang tidak memperbolehkan dua adik perempuan tirinya itu menikah dan selalu menghalangi jika ada lelaki yang hendak meminang.

Setelah Jayanegara tewas, dua putri Majapahit itu akhirnya menikah. Tribhuwana disunting oleh Pangeran Cakradhara atau Kertawardhana, bangsawan muda keturunan Singhasari (Th. Pigeaud, Java in the 14th Century: A Study in Cultural History (2001: 540). Sedangkan Sri Rajadewi kawin dengan pangeran lainnya bernama Kudamerta. Krom, seperti halnya Muljana, juga merilis versi lain ihwal pembunuhan Jayanegara. Menurut versi ini, Ra Tanca sudah berencana membunuh raja, bermula laporan istrinya yang mengaku telah dicabuli Jayanegara. Kebetulan, Ra Tanca mendapat kesempatan membalas ketika dipanggil Jayanegara yang memerlukan bantuannya.

Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni: Perempuan Di Balik Kejayaan Majapahit (2012:96-97) punya kesimpulan yang lebih mengejutkan. Ia menyebut, pembunuhan Jayanegara merupakan konspirasi Gayatri bersama Gajah Mada. Gayatri adalah ibu Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi atau salah satu istri Raden Wijaya sebelum menikahi Dara Petak, ibu Jayanegara. Purwadi dalam Sejarah Raja-raja Jawa:  Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa (2007:97) menyebutkan bahwa Jayanegara memang tidak memperbolehkan dua adik perempuan tirinya itu menikah dan selalu menghalangi jika ada lelaki yang hendak meminang.

Menurut Drake, Gayatri dan Gajah Mada ingin menghabisi nyawa Jayanegara karena kepemimpinan sang raja yang sewenang-wenang, serta niat Jayanegara yang ingin menikahi Tribhuwana Tunggadewi dan Sri Rajadewi yang tidak lain saudari tirinya sendiri.

Terlepas dari semua versi itu, karier Gajah Mada memang kian mantap setelah Jayanegara tiada. Tribhuwana Tunggadewi yang naik takhta menggantikan kakak tirinya, mengangkat Gajah Mada sebagai mahapatih atau panglima tertinggi Majapahit pada 1334, jabatan yang belum tentu didapatnya jika Jayanegara atau Ra Tanca masih hidup.

Sumber :  Google Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...