KISAH
PANGERAN DIPONEGORO
Orientasi
Bendara Pangeran Harya Dipanegara (lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November
1785 – meninggal
di Makassar,
Hindia
Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun)
adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Pangeran Diponegoro
terkenal karena memimpin Perang
Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia
Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban
paling besar dalam sejarah Indonesia.
Asal
Usul
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan
nama Mustahar dari seorang selir
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang
berasal dari Pacitan.
Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir,
Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi
raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.
Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:
Ø
B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe
Dhadhapan;
Ø
R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A.
Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
Ø
R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan
Jogjakarta;
Ø
R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga
Parwirasentika dengan salah satu isteri selir;
Ø
R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III
dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
Ø
R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira,
bupati Jipang Kepadhangan;
Ø
R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
Ø
R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau
Dipawiyana II.
Ø
Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari
Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab
lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin
Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk
Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin
Husain Jamaluddin Akbar.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan
merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I,
Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap
keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana
V (1822).
Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi
Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari
dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
Perang
Diponegoro
Perang
Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo.
Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai
adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati
dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir
dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong.
Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan
menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh
luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu.
Salah
seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan
Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah
Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro
karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam.
Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan
kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara
perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2]
Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak
lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga istana. Jalinan
persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah
dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak
heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski
relasi keduanya adalah saudara sepupu.
Selain
Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan
Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh
dukungan Kyai Mojo terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia
memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang
dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa
dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat
memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh
sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh
agama yang berafiliasi dengan Kyai Mojo.[4]
Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir:
Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112
kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama
perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai
cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa
menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang
Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri,
kavaleri,
dan artileri—yang
sejak perang Napoleon
menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak
berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa
di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila
suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam
harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula
sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain
untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan
dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan
menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi
mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan
menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun
melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan
besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para
senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak
terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan
berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang
deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria,
disentri,
dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi
fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi,
Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator
mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan
anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di
bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar
dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada
puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu
hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak
terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu
serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan
semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun
metode perang gerilya
(guerilla warfare) yang
dilaksanakan melalui taktik hit and
run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu
perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah
dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan
tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang
terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase)
dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai
kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada
tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan
menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun
1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian
Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah
kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan
Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia
menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka,
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado,
kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang
melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki
Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang
terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra
Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam
peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya
Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini
banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu
berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah
perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi
sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke
Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana
IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan
semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu
Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi
mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Periode-Periode
Penting
Ø
20 Februari 1830 Pangeran Diponegoro
dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo). Cleerens mengusulkan agar
Kangjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh
sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Ø
28 Maret 1830 Dipanegara menemui Jenderal de
Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak
Dipanegara agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Dipanegara. Tetapi
Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Dipanegara
ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan
Semarang,
dan langsung ke Batavia
menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
Ø
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur
Jenderal Van den Bosch.
Ø
30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Dipanegara, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
Ø
3 Mei 1830
Dipanegara dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng
Amsterdam.
Ø
1834 dipindahkan ke benteng
Rotterdam di Makassar, Sulawesi
Selatan.
Ø
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan
dimakamkan di Makassar,
tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat
kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.
Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh
putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan
di wilayah Kulonprogo
dan Bagelen.
Kehidupan
Pribadi
Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya semuanya
kini hidup tersebar di seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura,
Sulawesi,
dan Maluku
bahkan di Australia,
Serbia,
Jerman,
Belanda,
dan Arab Saudi.
Penghargaan
sebagai pahlawan
Sebagai
penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan. Di beberapa kota
besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Kota Semarang sendiri juga
memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. Nama-nama
tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), maupun Kodam IV/Diponegoro. Juga
ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung
Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip Tembalang.
Pemerintah
Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno
pada tanggal 8 Januari
1955 pernah
menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran
Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran
Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.
Penghargaan
tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni
2013, UNESCO
menetapkan Babad
Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Babad Diponegoro merupakan naskah
klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di
Manado, Sulawesi Utara, pada 1832-1833. Babad ini bercerita mengenai kisah
hidup Pangeran Diponegoro yang memiliki nama asli Raden Mas Antawirya. Selain
itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan,
didirikanlah Museum Monumen Pangeran Diponegoro
atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati
bekas kediaman Pangeran Diponegoro.
Kepustakaan
Ø
Carey, P.B.R. (1981). Babad
Dipanagara: an account of the outbreak of the Java War (1825-30): the Surakarta
court version of the Babad Dipanagara. Kuala Lumpur: Printed for the Council of
the M.B.R.A.S. by Art Printing Works. Monograph (Royal Asiatic Society of Great Britain and
Ireland. Malaysian Branch); no.9
Ø
Sagimun, M.D. (1976).
Pangeran Diponegoro: Pahlawan Nasional. Jakarta: Proyek Biografi Pahlawan
Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ø Yamin, M. (1950). Sedjarah Peperangan Diponegoro: Pahlawan Kemerdekaan
Indonesia. Jakarta: Pembangunan.
10 (sepuluh)
Fakta Kehidupan Pangeran Diponegoro yang Mengejutkan
Pangeran Diponegoro memiliki sejumlah sisi aneh. Pangeran
Diponegoro adalah panglima Perang Jawa yang paling mumpuni. Kisah
kepahlawanannya sudah sangat terkenal seantero Tanah Air. Pangeran Diponegoro juga merupakan salah
satu musuh yang paling sulit dikalahkan Belanda.Perang Jawa yang terjadi selama
lima tahun menjadi sejarah besar bukan hanya lantaran biayanya dan korbannya
yang berjumlah fantastis. Ini adalah perang yang membuat Belanda hampir
meruntuhkah kedaulatan Keraton Yogyakarta.Perang selama lima tahun (20 Juli
1825-28 Maret 1830) ini penuh dengan aspek sosial politik, termasuk kebencian
Diponegoro terhadap korupsi dan keinginannya membentuk negara Islam.
Pangeran Diponegoro menampar salah seorang pembantunya
karena masalah korupsi.
Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford, yang telah
meneliti Diponegoro selama 30 tahun mengatakan banyak aspek dari sang pangeran
yang, selain mistis dan misterius, ternyata lebih “aneh dibandingkan khayalan”.
Di bawah ini sepuluh di antaranya:
Ø
Diponegoro bukan nama asli. Sang pangeran memperoleh
namanya dari bahasa Sansekerta, yakni dipa yang berarti ‘cahaya’ dan nagara yang berarti ‘negara’. Secara keseluruhan namanya berarti
'cahaya negara' dan merupakan gelar kebangsawanan di Keraton Jawa Tengah bagian
selatan. Sang pangeran menjelaskannya kepada pendamping perwira Jerman, Justus
Heinrich Knoerle, selama perjalanannya ke Manado (3 Mei-12 Juni 1830).
Ø
Pangeran Diponegoro memiliki tujuh istri resmi selama
hidupnya serta gundik yang tak tercatat banyaknya. Dari seluruh pendampingnya,
berdasarkan catatan sejarah, ia memiliki paling tidak 17 anak. Tujuh dari
anak-anaknya (enam laki-laki dan satu perempuan) lahir selama Diponegoro dalam
pembuangan di Manado (1830-1833) dan Makassar (1833-1855). Semuanya, kecuali
Raden Mas Sarkumo (1834-1849), dimakamkan di pemakaman keluarga Diponegoro di
Kampung Melayu, Makassar. Sekarang ada ribuan keturunan Diponegoro yang
tersebar di seluruh Indonesia dengan konsentrasi utama di Ambon (Maluku),
Makassar, Banyumas, Kulon Progo, Yogyakarta, Bogor, dan Jakarta.
Ø
Diponegoro bukanlah asli keturunan Jawa. Silsilahnya
lebih mencerminkan keanekaragaman Nusantara. Sebab, neneknya yang perkasa, Ratu
Ageng Tegalrejo (1734-1803) yang mengasuhnya selama masa muda di Tegalrejo
(1793-1803) adalah keturunan pertama sultan dari Bima (Sumbawa), Abdulkadir I
(memerintah 1621-1649). Sementara neneknya dari pihak ayah, Ratu Kedaton
(1752-1820) adalah putri Madura dari garis para penguasa Pamekasan. Kakeknya
yang gagah adalah Pangeran Cakradiningrat II, seda Kamal, meninggal 1707.
Ø
Pangeran Diponegoro dikenal memiliki selera yang baik
terhadap anggur. Ia juga sangat menikmati kala meminum anggur manis Constantia
Vin de Constance (Chardonnay) dari perkebunan anggur yang terkenal Groot
Constantia, Provinsi Cape, Afrika Selatan. Anggur ini memiliki sentuhan akhir
seperti madu dan sangat disukai oleh para pemimpin Eropa seperti Napoleon,
Bismarck, dan Raja Belanda yang pertama, Willem I (memerintah 1813-1840).Selain
itu, anggur ini juga disukai oleh para penulis, seperti Jane Austen, Charles
Dickens, dan penyair Jerman Friederich Gottlieb Klopstock (1724-1802), yang
karyanya paling terkenal adalah “The Messiah” (Der Messiah). Klopstock juga
mendedikasikan seluruh odenya untuk anggur. Sufi dan penyebar Islam asal
Makassar yang terkenal, Syeh Yusuf al Makasari (1626-1699), dimakamkan di
perkebunan anggur dan ada sebuah cungkup peringatan di komplek pemakaman
itu. Diponegoro merujuk angggur sebagai obatnya agar bisa mengakali
larangan Nabi Muhammad untuk mengkonsumsi alkohol.
Kekuatan Diponegoro
Ø Diponegoro dilahirkan pada waktu
bulan Ramadan, tepat sebelum waktu sahur, yakni pukul 04.00 dinihari pada 11
November 1785. Ia wafat hampir bertepatan waktunya pada pagi yang sama ketika
ia lahir hampir 70 tahun kemudian (8 Januari 1855) di Benteng Rotterdam,
Makassar.
Ø Diponegoro kecanduan sirih. Ia
bahkan menyampaikan waktu di hari-harinya tergantung pada jumlah sirih yang
sudah dia kunyah. Mulutnya selalu berwarna merah yang disebabkan air sirih. Salah
satu barang pribadi yang ditinggalkannya, yang juga dilihat Peter Carey ketika
mengunjungi keluarga Diponegoro di Makassar pada bulan September 1972, adalah
sebuah syal bermotif Paisley. Syal ini biasa ia pakai untuk mengelap air sirih
dari mulutnya.
Ø Tubuh Diponegoro kecil, tapi
fisiknya sangat liat dan mampu mengelabui tidak kurang dari 500 pasukan
gerak-cepat Belanda yang sangat kuat selama hampir tiga bulan. Selama waktu
itu, sang pangeran, yang kaki kanannya sedang terluka karena melompat memasuki
jurang untuk menghindari tentara Belanda, bertahan dengan cara tidur di dalam
gua, di bawah pohon, dan dalam gubuk yang ditinggalkan. Diponegoro mengikuti
jejak badak Jawa ke dalam hutan dan bersembunyi di curamnya gunung-gunung di
selatan Kadu, timur Bagelen, dan Banyumas. Selama waktu ini dia hanya ditemani
oleh dua punakawannya, Joyosuroto (Roto) dan Bantengwareng, yang merupakan
seorang pemuda kerdil yang cerdik.
Ø Diponegoro sering berziarah. Ketika
dia berangkat ziarah, yang sering dilakukannya secara rutin, dia berjalan ke
mana saja sambil bertelanjang kaki dan berpakaian seperti santri. Hal itu ia
lakukan agar tidak ada seorang pun yang mengenalinya. Selama perjalanan ini ia
kadang bisa menempuh jarak sampai 100 kilometer.
Ø Diponegoro adalah penunggang kuda
yang hebat. Sebelum pecah Perang Jawa, ia memiliki istal yang sangat besar di
Tegalrejo. Ia memiliki lebih dari 60 pengurus kuda hanya untuk memotong
rumput dan merawat kuda-kudanya. Salah satu kuda favoritnya, Kyai Gentayu,
adalah seekor kuda hitam dengan kaki putih. Kyai Gentayu menjadi pusaka hidup
yang dibawanya ke peperangan.
Ø Diponegoro sangat suka berkebun. Sang pangeran mengambil peran
aktif dalam perancangan dan pengembangan tanahnya di Tegalrejo, yang diwariskan
oleh nenek buyutnya ketika meninggal (17 Oktober 1803). Dia mengatakan pada orang
Belanda yang menangkapnya, “Apa saja bisa tumbuh subur di tanah Jawa”.
Kisah
Pertemuan Pangeran Diponegoro
dengan
Sunan Kalijogo dan Ratu Kidul di Pantai Selatan
Pengembaraan Spiritual Pangeran Diponegoro ke Pantai Selatan, adalah sepenggal
kisah dari riwayat hidup Diponegoro yang tertulis dalam Babad Diponegoro.
Pengembaraan bathin yang akhirnya mempertemukan Sang Pangeran dengan Sunan
Kalijaga dan Ratu Laut Selatan ini makin menegaskan bahwa ia adalah sosok
Bangsawan Jawa tulen, namun taat menjalankan syariat agama Islam.
Kisah pertemuan dengan Sunan Kalijogo dan Ratu Kidul juga mengingatkan kita pada kisah serupa yang konon pernah dialami oleh para leluhur Pangeran Diponegoro yakni Sultan Agung dan Panembahan Senopati. Dalam budaya dan persepsi masyarakat Jawa, Ratu Kidul sendiri digambarkan sebagai istri dari para Raja Trah Mataram.
Sejarah. Pangeran Diponegoro, terlahir
dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar pada 11 November 1785 di Kraton
Yogyakarta, siapa yang tak mengenal sosok legendaris dari tanah Jawa ini. Tak
hanya kita bangsa Indonesia, bangsa Amerika-Eropa pun begitu penasaran dengan
kiprah pahlawan terbesar tanah Jawa abad 19 tersebut. Cukup banyak sejarawan
asal Eropa-Amerika yang hingga kini masih terus berusaha menguak misteri hidup
Diponegoro, Peter Carey salah satunya. Peter Carey adalah salah satu sejarawan
dunia yang selama lebih dari 30 tahun melakukan penelitian tentang Pangeran
Diponegoro. Peter Carey yang kini mengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan
Universitas Indonesia ini juga pernah mengajar ilmu sejarah di Universitas
Oxford.
Dalam buku setebal hampir 500 halaman berjudul Takdir, Peter Carey begitu fasih merepresentasikan hikayat atau Babad Diponegoro. Dalam bukunya, Peter Carey memberi dedikasi luar biasa besar dan membuat banyak pembaca sangat mengaggumi karyanya tersebut. Ketertarikan sejarawan-sejarawan dunia termasuk Peter carey terhadap Pangeran Diponegoro adalah hal yang wajar, mengingat perang Jawa II yang pecah sejak 1825-1830 ini begitu menguras sumber daya pemerintahan kolonial Belanda. Banyak kebijakan kerajaan Belanda di Eropa yang terdampak langsung akibat dari perang Diponegoro tersebut.
Sebelum pecah Perang Jawa II, Sultan Agung, leluhur
Diponegoro dari trah Mataram pernah meramalkan bahwa Belanda akan berkuasa di
tanah Jawa selama 300 tahun. Meski ada keturunannya yang kelak akan bangkit
melawan dengan hebat, akan tetapi masih belum bisa menaklukan Hegemoni Belanda
di tanah Jawa. Dalam hikayat Babad Diponegoro, yang sangat mashyur dan disusun
sendiri oleh sang Pangeran semasa pengasingan di Makasar, disebutkan bahwa
dirinya merasa telah menerima takdir sebagai keturunan dari Sultan Agung, yang
bangkit dan melawan bangsa kolonialis Belanda.
Disebutkan pula bahwa Takdir dirinya tersebut sudah
diterima sejak 20 tahun sebelum perang Jawa berkobar. Takdir itu diterima oleh
Diponegoro, dalam perjalanan Spiritual ke pantai selatan. Diponegoro melakukan
Lelana seperti halnya yang pernah dilakukan oleh para leluhurnya, yaitu Sultan
Agung dan Panembahan Senopati. Dalam Babad nya, Diponegoro yang saat itu
berusia 20 tahun, dengan masih menyandang nama Raden Mas Ontowiryo, kemudian
menanggalkan segala gelar kebangsawanannya. Diponegoro kemudian berkeliling
dari Mesjid ke Mesjid dan Pesantren yang ada di sekitar Kota Yogyakarta, pada
tahun 1805.
Diponegoro lalu menyamar menjadi rakyat jelata, dengan
pakaian yang lazim dikenakan oleh para Santri di abad 19, dengan nama
Ngabdulrahim yang kemudian diganti dengan Ngabdulkamit. Setelah berkeliling
Mesjid dan Pesantren, Diponegoro mulai menjauh dari daerah berpenduduk.
Diponegoro kini mulai tenggelam dalam dunia Tapa-Meditasi, dalam upaya
mematangkan laku Spiritual diri. Sejak itu, Diponegoro mulai menziarahi
tempat-tempat suci yang dianggap keramat dan berkaitan dengan Dinasti Mataram.
Dalam perjalanan ziarah inilah Diponegoro sering mendapat kontak gaib atau
penerawangan dengan ruh leluhur dan penjaga Spiritual tanah Jawa. Penglihatan
pertama Diponegoro dalam dunia Spiritual ini terjadi di Goa Song Kamal,
Jejeran, di selatan Yogyakarta.
Diponegoro, yang saat itu sedang laku Tirakat,
kemudian dikunjungi oleh salah satu wali Legendaris tanah Jawa, Sunan Kalijaga.
Dengan wajah yang bersinar bak purnama jeng sunan kemudian berkata;
"Pangeran telah ditentukan Tuhan untuk menjadi raja di masa depan
nanti," setelah berkata demikian penampakan Kanjeng Sunan pun langsung
menghilang. Dari Jejeran, Diponegoro kemudian menelusuri pedalaman menuju
Imogiri dengan berjalan kaki. Imogiri adalah tempat pemakaman raja-raja
Mataram, dimana para leluhur dan kerabatnya disemayamkan. Di Imogiri Diponegoro
melakukan Semedhi selama satu minggu. Sang Pangeran tahu betul, Sultan Agung,
raja terbesar Mataram pun selalu Tirakatan di tempat ini.
Dari Imogiri, Diponegoro melanjutkan perjalanan ke
pantai selatan, Diponegoro kemudian berhenti dan bermalam di Gua Siluman,
tempat bersemayamnya roh halus Dewi Genowati, yang merupakan 'wakil' dari Nyi
Ratu Kidul. Diponegoro juga singgah di Gua Surocolo yang dikenal juga sebagai
Guwa Sigologolo. Namun di kedua tempat tersebut ia tidak mendapati
'penglihatan' spiritualnya. Dalam Babadnya, Diponegoro pun terus mengembara,
melintasi lembah, bukit dan ngarai dalam tujuannya ke Pantai Selatan. Tak
terhitung jumlah tempat angker nan Wingit dalam dunia Spiritual Jawa yang sudah
dilalui oleh sang Pangeran ini.
Diponegoro akhirnya melintasi kaki Gunung Kidul dan
pergi menuju ke Gua Langse, di tepi Samudera Hindia yang bergemuruh dan
menggelegar dengan dahsyat. Sang Pangeran menuruni tebing berkapur yang curam
dan terjal untuk memasuki Gua keramat dan penuh aura mistis tersebut. Di Gua
inilah Diponegoro dalam Babadnya menuliskan bahwa dirinya bertemu langsung
dengan Ratu Pantai Selatan. Sayangnya, kehadiran Ratu Kidul yang diawali oleh
aura sinar ini tidak berlangsung lama karena Diponegoro sendiri sedang larut
dalam Tirakatnya. Ratu pun menghilang sebelum Diponegoro sempat menyapa, namun
Ratu Kidul berjanji suatu saat akan kembali menemuinya.
20 tahun kemudian saat perang Diponegoro sedang
dahsyat-dahsyatnya berkobar, sang Pangeran kembali bertemu dengan Ratu Kidul.
Saat itu Diponegoro sedang berkemah bersama prajuritnya di tepian sungai di
daerah Kulon Progo. Saat itulah Diponegoro kembali dikunjungi dan melakukan
komunikasi dengan Ratu Pantai Selatan tersebut. Dengan lembut, Ratu Kidul
berkata, "Bila hamba boleh membantu Paduka, hamba mohon janji setia begitu
lenyap sirna semua laknat kafir itu (Belanda), mohonlah pada Allah Ingkang
Rabbulngalamin supaya saya kembali lagi menjadi wujud manusia."
Ratu Kidul melanjutkan, "Lebih dari itu, semua
balatentara paduka tidak usah ikut berperang, kawula yang menjanjikannya."
Diponegoro kemudian menjawab, "Aku tidak minta bantuanmu melawan sesamaku
manusia, sebab dalam agama (Islam) pertolongan hanya datang dari Allah Hyang
Agung." Ratu Pantai
Selatan kemudian lenyap dan sirna dari hadapan sang pangeran.
Dalam budaya Jawa, Ratu Laut Kidul merupakan penjaga Spiritual tanah Jawa
sekaligus juga sebagai isteri bathin dari raja-raja Jawa bagian selatan
khususnya raja-raja dari Dinasti Mataram Islam.
Menurut banyak Sejarawan, kisah pertemuan dengan Ratu
Kidul dalam Babad yang ditulis oleh Diponegoro ini adalah sebagai upaya
legitimasi terhadap diri Diponegoro sendiri. Pertemuan dengan Ratu Kidul akan
membuat kedudukan Diponegoro sejajar dengan Sultan Agung dan Panembahan
Senopati. Di sisi lain, penolakan Diponegoro terhadap tawaran Ratu Laut Kidul
menandakan bahwa dirinya masih tetap berpegang teguh pada ajaran Islam yang
sejak kecil ditanamkan oleh nenek buyutnya. Diponegoro merupakan seorang Muslim
yang taat, dalam konteks Sufiiesme Islam Jawa.
Berkobarnya perang Diponegoro yang maha dahsyat namun
singkat antara tahun 1825 hingga 1830, telah menggenapi takdir Diponegoro
sebagai yang terbilang di antara para leluhur. Dalam pertemuan terakhir dengan
Sunan Kalijogo di Parangkusumo sebelum kembali ke Tegal Rejo, Diponegoro masih
sempat mendengar suara gaib dari sang Wali Tanah Jawi tersebut. "Tidak ada
yang lain, Engkau sendiri hanyalah sarana, namun itu tidak akan lama, hanya
agar terbilang di antara para leluhur. Ngabdulkamit, selamat tinggal engkau
harus pulang ke rumah," begitulah suara gaib Jeng Sunan Kalijogo, yang
masih terngiang-ngiang hingga akhir hayatnya pada tahun 1855 di Makasar.
Seperti halnya Ir. Soekarno, Diponegoro juga adalah
sang Putera Fajar, karena lahir tepat menjelang fajar saat kaum muslim
bersantap sahur di bulan Ramadhan. Ketika masih dalam gendongan, Diponegoro
diramalkan akan menjadi pahlawan besar tanah Jawa oleh buyutnya yaitu Sultan
Mangkubumi pendiri keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Itulah
sepenggal kisah dalam Babad Diponegoro, yang begitu mashyur hingga ke
mancanegara. Babad Diponegoro, merupakan salah satu buku biografi yang pertama
di tulis di dunia, tidak mengherankan jika kemudian banyak Sejarawan dunia yang
begitu penasaran dengan salah satu sosok pahlawan terbesar Indonesia ini. mch
Sumber
: Google Wikipedia
Kisah
kesaktian Pangeran diponegoro asal usul Keturunan dan Sejarah Lengkap
PANGERAN DIPONEGORO
Dor…dor…dor…
terdengar letusan senjata tiga kali dari luar tembok. Ya, itu tanda perang
dimulai. Sisi utara, timur dan selatan telah dikepung pasukan Kumpeni Belanda
bersenjata lengkap. Laskar yang tinggal di sisi barat melakukan perlawanan
keras. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Di bawah pimpinan Joyomustopo dan
Joyoprawiro, laskar terdesak mundur. Kekuatan jauh berbeda. Laskar wong Jowo
mengandalkan keahlian bertempur menggunakan senjata tradisional tombak dan
keris, Pasukan Kumpeni Belanda memakai senjata api laras panjang Kareben.
Melihat laskar Jawa terdesak, tiba-tiba seorang pria berjubah dengan sorban putih yang terlilit di kepalanya, dengan tenang matek ajian yang dimilikinya. Blar…..Sebuah pukulan jarak jauh yang dahsyat menjebol tembok barat puri yang tebalnya sekitar satu meter. Mengendarai kuda putih, dia memberi komando agar laskar yang tersisa memilih menjauh ke barat. Sebuah keputusan berat demi keselamatan laskar dan keluarganya. “Perang sesungguhnya baru saja akan dimulai” ujarnya dalam hati.
Itulah situasi pada tanggal 20 Juni 1825 di Yogyakarta saat pasukan Belanda menyerang Puri Tegalrejo. Itu adalah awal perang yang dikenal dengan nama Perang Diponegoro (1825 – 1830). Pada masa itu Kerajaan Mataram Yogyakarta dipegang oleh Patih Danurejo bersama Para Reserse dari Pemerintahan Kolonial Belanda. Penyerangan Puri ini adalah sebagai buntut tuduhan pihak Belanda bahwa Pangeran Diponegoro akan memberontak. Itu setelah Belanda membuat jalan yang menghubungkan Yogyakarta dan Magelang melewati puri halaman rumah Beliau.
Belanda beralasan Pangeran Diponegoro memberontak sehingga mengepung kediaman beliau. Dengan kesaktiannya, Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya mampu menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro akhirnya melampiaskan kemarahannya dengan membakar habis puri Pangeran….
Pangeran Diponegoro, si manusia sakti mandraguna ini memiliki nama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo, lahir di Yogyakarta tanggal 11 Nopember 1785. Berbeda dengan anak kaum bangsawan, masa kecil dihabiskannya di sebuah desa yang asri, di Desa Tegalrejo sebelah barat Keraton Mataram. Sejak kecil dia berkumpul dengan rakyat jelata dan menghayati religiusitasnya bersama para kawulo alit.
Itu sebabnya, dalam hidupnya yang penuh perjuangan Pangeran Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan kesetaraan dengan rakyat, daripada bergelimang harta, tahta dan wanita sebagaimana biasa yang terjadi di kalangan keluarga istana. Meskipun tidak tinggal di Keraton, Sang Ayah mengetahui bahwa Raden Mas Ontowiryo memiliki jiwa kepemimpinan yang kokoh kuat. Apalagi dia gentur bertapa, mengolah batin sehingga hidupya jejeg dan jejer, lurus dengan garis Sangkan Paraning Dumadi.
Sang ayah, Sultan Hamengku Buwono III akhirnya memutuskan mengangkatnya sebagai raja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Tapi apa tanggapan sang pangeran? “Saya menolak. Biarlah yang lain saja bopo” ujarnya dengan mimik tenang. Ya, Diponegoro menolak karena merasa bahwa ibunya bukan permaisuri dan hanya selir Sang Raja. Ibunya bernama Raden Ayu Mangkorowati, seorang puteri Bupati Pacitan.
Situasi penjajahan kolonial Belanda saat itu memang menyebalkan. Sejak tahun 1820-an kompeni Belanda sudah mencampuri urusan kerajaan-kerajaan di nusantara tidak terkecuali Mataram, Yogyakarta. Peraturan tata tertib dibuat oleh pemerintah Belanda yang sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Para bangsawan diadu domba. Tanah-tanah kerajaan banyak yang diambil untuk perkebunan milik pengusaha-pengusaha Belanda. Rakyat yang mempergunakan jalan untuk transportasi perdagangan dibebankan pajak yang tinggi.
Kesabaran Pangeran Diponegoro untuk diam akhirnya berakhir ketika pematokan dilaksanakan Belanda pada sawah-sawah rakyat terlebih lagi melintasi kompleks pemakaman bekas leluhur para Raja Jawa. Saat itu Raja adalah Sri Sultan Hamengkubuwono V yang dinobatkan ketika dia baru berumur 3 tahun.
Pemeritahan Kasultanan saat itu tidak berdaya, karena ternyata kekuasaan yang sebenarnya terselubung dan berkoloberasi dengan Pemerintahan Kolonial. Pangeran Diponegoro akhirnya menyusun rencana untuk melawan penjajahan biadab tersebut. Beliau mengajak Kyai Mojo seorang ulama Islam yang sekaligus guru spiritualnya yang juga pamannya. Kyai Mojo ini mempunyai banyak pengikut dan disegani, di antaranya Tumenggung Zees Pajang Mataram, Tumenggung Reksonegoro dan lain-lain.
Kharisma Diponegoro yang kuat menjadi daya tarik bagi para pemuda. Di antara pemoda yang siap untuk menjadi tameng dada adalah Sentot Prawirodirdjo. Sentot adalah pemuda yang pemberani. Ayahnya bernama Ronggo Prawirodirjo adalah ipar Sultan Hamengku Buwono IV. Sang Ayah Sentot ini pernah mengadakan pemberontakan melawan Belanda tapi berhasil dibunuh oleh Gubernue Jendral Daendles. Dengan kematian ayahnya, Sentot Prawirodirdjo merasa harus balas dendam.
Setelah Tegalrejo jatuh ke pihak musuh pada tanggal 20 Juni 1825 itu, Pangeran Diponegoro membangung pusat pertahanan di Gua Selarong dengan strategi perang gerilya. Belanda kewalahan karena sulit menghancurkan kekuatan kecil-kecil yang hanya sesekali datang menyerang dan setelah itu cepat menghilang. Senjata yang dipakai untuk gerilya sangat beragam mulai dari senjata perang tombak, keris, pedang, panah, “bandil” (semacam martil yang terbuat dari besi), “patrem” (senjata prajurit perempuan), hingga “candrasa” (senjata tajam yang bentuknya mirip tusuk konde) yang biasa digunakan “telik sandi” (mata-mata) perempuan.
Dua senjata keramat semasa Perang Diponegoro adalah sebuah keris dengan lekukan 21 bernama Kyai Omyang, buatan seorang empu yang hidup pada masa Kerajaan Majapahit dan pedang yang berasal dari Kerajaan Demak. Kedua senjata tersebut memiliki energi kesaktian yang hebat. Namun sayangnya, keris milik Pangeran Diponegoro justeru tidak ada di Indonesia dan hingga kini masih disimpan di Belanda. Di kawasan gua, pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah timur.
Di Goa putri ini ditemukan sejumlah alat rumah tangga yang terbuat dari kuningan terdiri dari tempat sirih dan “kecohan”-nya (tempat mebuang ludah), tempat “canting” (alat untuk membatik), teko “bingsing”, bokor hingga berbagai bentuk “kacip” (alat membelah pinang untuk makan sirih). Perang Diponegoro yang oleh kalangan Belanda disebut Java Oorlog (Perang Jawa), berlangsung hingga tahun 1830. Dalam perang ini, kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara serta menghabiskan dana hingga 20 juta gulden. Beberapa tokoh perlawanan dibujuk oleh Belanda sehingga mereka bersedia menghentikan peperangan. Sejak tahun 1829 perlawanan semakin berkurang, tapi masih berlanjut terus. Belanda mengumumkan akan memberi hadiah sebesar 50.000 golden kepada siapa saja yang dapat menangkap Diponegoro.
Pasukan dan kekuatan Diponegoro melemah, tapi ia tidak pantang menyerah. Karena Belanda tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro, lalu Belanda menjalankan cara yang licik yaitu dengan cara mengundang Pangeran Diponegoro untuk berunding di Magelang tanggal 28 Maret 1830. Itulah akhir perjuangan perang Sang Avatar dari tanah Jawa. Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Menado, kemudian dipindahkan ke Ujungpandang/Makasar.
Perang Diponegoro tercatat memakan korban luar biasa besar. Dipihak Belanda sebanyak 8.000 serdadu, 7.000 prajurit pribumi, dan 200.000 orang Jawa, sehingga mengakibatkan penyusutan penduduk Jawa pada waktu itu. Sementara itu Sentot Prawirodirdjo berhasil dibujuk Belanda, dan meletakkan senjata pada tanggal 17 October 1829, dan dia dikirim Belanda ke Sumatra Selatan untuk melawan pembrontakan para ulama dalam perang Paderi, kemudian wafat di Bengkulu pada tanggal 17 April 1855 dalam usia 48 tahun.
Pangeran
Diponegoro meninggal dunia di benteng Rotterdam Ujungpandang, pada tanggal 8
Januari 1855 dan dimakamkan disana. Kini apabila kita berkunjung ke makam di
Jalan Pangeran Diponegoro Kelurahan Melayu, Wajo, Makasar, kita akan mengelus
dada. Makam pahlawan nasional ini tidak terawat dan berada di antara ruko-ruko
yang semakin menjamur. Bangunan ruko-ruko yang berada di jalan tersebut nyaris
menutup makam tersebut. Hanya sebuah bendera merah putih yang bisa menandai
adanya makam tersebut. Perawatan makam juga tidak maksimal. 3 orang pekerja
yang menjaga makam ini hanya digaji Rp 15 ribu per minggu. Pemkot Makassar
mengeluarkan bantuan tiap bulannya Rp 200 ribu per bulan. Bantuan inipun baru
ada sejak tahun 2005.
KRONOLOGI SEJARAH PERANG DIPONEGORO
Ø 16 FEBRUARI 1830, Kolonel Cleerens menemui Pangeran Diponegoro di Remo
Kamal, Bagelan, Purworejo, untuk mengajak berunding di Magelang. Usul ini
disetujui Pangeran.
Ø 28 MARET 1830, bersama laskarnya, Pangeran Diponegoro menemui Letnan
Gubernur Jenderal Markus de Kock. Pada pertemuan tersebut De Kock memaksa
Pangeran untuk menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Pangeran. Tetapi
Belanda, melalui Kolonel Du Perron telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Pangeran dan seluruh laskarnya berhasil dilumpuhkan. Hari itu juga Pangeran
diasingkan ke Ungaran kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang.
Ø 5 APRIL 1830 dibawa ke Batavia menggunakan Kapal Pollux.
Ø 11 APRIL 1830 sesampainya di Batavia, beliau ditahan di Stadhuis (sekarang
Gedung Museum Fatahillah).
Ø 30 APRIL 1830, Gubernur Jenderal Van den Bosch menjatuhkan hukuman
pengasingan atasPangeran Diponegoro, Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan
istri, serta pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng juga Nyai
Sotaruno ke Manado.
Ø 3 MEI 1830, rombongan Pangeran diberangkatkan dengan Kapal Pollux dan
ditawan di Benteng Amsterdam. Belanda yang merasa Pangeran masih menjadi
ancaman, karena di tempat ini masih bisa melakukan komunikasi dengan rakyat.
Ø 1834 diasingkan secara terpisah. Pangeran bersama Retnaningsih diasingkan
ke Makassar, Sulawesi Selatan, dan di tahan di Benteng Roterdam dalam
pengawasan ketat. Di benteng ini, Pangeran tidak lagi bebas bergerak.
Menghabiskan hari-harinya bersama Retnaningsih, Pangeran Diponegoro akhirnya
menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 Januari 1855. Jasad beliau
disemayamkan berdampingan dengan makam Retnaningsih
SILSILAH KETURUNAN DAN ASAL USUL PANGERAN DIPONEGORO
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan
Perang
Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik
Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan
kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat
mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.Sikap Diponegoro yang menentang
Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran
Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan
membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum
kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas
hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta,
Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
Ø 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo
Kamal, Bagelen, Purworejo. Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan
pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur
Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Ø 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan
perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan
penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke
Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke
Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
Ø 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur
Jenderal Van den Bosch.
Ø 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya
seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
Ø 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke
Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
Ø 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
Ø 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
MAKAM PANGERAN DIPONEGORO
Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon
atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan
Bagelen. Ki Sodewo memiliki ibu bernama Citrowati yang meninggal dalam
penyerbuan Belanda. Ki Sodewo kecil atau Bagus Singlon tumbuh dalam asuhan Ki
Tembi, orang kepercayaan Pangeran Diponegoro. Bagus Singlon atau Raden Mas
Singlon atau Ki Sodewo setelah remaja menyusul ayahnya di medan pertempuran.
Sampai saat ini keturunan Ki Sodewo masih tetap eksis dan salah satunya menjadi
wakil Bupati di Kulon Progo bernama Drs. R. H. Mulyono. Setidaknya Pangeran
Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup
tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
NASAB PANGERAN DIPONEGORO
Ø Brawijaya V / R Alit / Angkawijaya
Ø R Bondhan Kejawan / Lembupeteng Tarub
Ø R Depok / Ki Ageng Getas Pandowo
Ø Bagus Sunggam / Ki Ageng Selo
Ø Ki Ageng Anis (Ngenis)
Ø Ki Ageng Pemanahan / Mataram
Ø R Sutowijoyo / Panembahan Senopati
Ø Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati
Ø Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo
Ø Sunan Prabu Amangkurat Agung
Ø Kanjeng Susuhunan Pakubuwono I - Kartasura
Ø Sinuwun Prabu Mangkurat IV - Kartasura
Ø Pangeran Hario Mangkubumi - Hamengku Buwono I
Ø Kanjeng Sultan Hamengku Buwono II
Ø Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III
Ø Pangeran Diponegoro
SUMBER: http://bedahauracenter.blogspot.com/2011/10/pangeran-diponegoro.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar