KISAH
PRABU KERTANAGARA
Orientasi
Sri Maharaja Kertanagara (meninggal tahun 1292), adalah raja
terakhir yang memerintah kerajaan Singhasari.
Masa pemerintahan Kertanagara dikenal sebagai masa kejayaan Singhasari, dan ia
dipandang sebagai penguasa Jawa pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah
Nusantara.
Menantunya Raden Wijaya, kemudian mendirikan kerajaan Majapahit
sekitar tahun 1293 sebagai penerus dinasti Singhasari.
Silsilah
Kertanagara
adalah putera Wisnuwardhana raja Singhasari
tahun 1248-1268. Ibunya bernama Waning
Hyun yang bergelar Jayawardhani.
Waning Hyun adalah putri dari Mahisa Wunga Teleng (putra sulung Ken Arok,
pendiri Singhasari,
dari Ken Dedes).
Istri Kertanagara bernama Sri Bajradewi.
Dari perkawinan mereka lahir beberapa orang putri, yang dinikahkan antara lain
dengan Raden Wijaya
putra Lembu Tal,
dan Ardharaja putra Jayakatwang. Nama empat orang putri Kertanagara
yang dinikahi Raden Wijaya menurut Nagarakretagama adalah Tribhuwaneswari,
Narendraduhita,
Jayendradewi,
dan Gayatri.
Kekuasaan
Berdasarkan
prasasti Mula Malurung, sebelum menjadi
raja Singhasari,
Kertanagara lebih dulu diangkat sebagai yuwaraja
di Kadiri
tahun 1254. Nama gelar abhiseka yang ia pakai ialah Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wira Asta Basudewadhipa
Aniwariwiryanindita Parakrama Murddhaja Namottunggadewa. Berdasarkan Prasasti Padang Roco yang bertarikh 1286,
Kertanagara bergelar śrī
mahārājādhirāja keŗtanagara wikrama dharmmottunggadewa.
Kertanagara
naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan ayahnya, Wisnuwardhana.
Menurut Pararaton ia adalah satu-satunya raja Singhasari
yang naik takhta secara damai. Kertanagara merupakan sosok raja Jawa pertama yang ingin
memperluas kekuasaannya mencakup wilayah Nusantara.
Namun diakhir hayatnya, Kertanagara terbunuh dalam pemberontakan Jayakatwang.
Untuk
mewujudkan ambisinya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu) yang bertujuan untuk menaklukkan
kerajaan-kerajaan di Sumatra sehingga dapat memperkuat pengaruhnya di selat Malaka
yang merupakan jalur ekonomi dan politik penting. Ekspedisi ini juga bertujuan
untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol
yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia.
Beberapa
catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk
menjalin kekuatan untuk menghadapi orang Mongol
dari Dinasti Yuan
yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). saat itu Dinasti Yuan atau
dikenal sebagai Dinasti Mongol sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan
memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus),
Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur. Dan
pada tahun tahun itu, Dinasti Mongol berusaha mengadakan perluasan diantaranya
ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk menghadang langsung
armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa.
Pengiriman
pasukan ke Sumatera
dilakukan pada tahun 1275
di bawah pimpinan Kebo Anabrang. Pada tahun 1286 Bhumi Malayu dapat ditundukkan.
Kemudian Kertanagara mengirim kembali utusan yang dipimpin oleh rakryān mahā-mantri dyah adwayabrahma membawa
arca Amoghapasa sebagai tanda
persahabatan dan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Dharmasraya yang saat itu rajanya
bernama śrī mahārāja śrīmat
tribhuwanarāja mauliwarmmadewa. Pada tahun 1284 Kertanagara juga
berhasil menaklukkan Bali,
dan membawa rajanya sebagai tawanan menghadap ke Singhasari.
Pada
tahun 1289
datang utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi, meminta agar Kertanagara
tunduk kepada kekuasaan Mongol dan menyerahkan upeti setiap tahunnya. Kertanagara
menolak permintaan itu, bahkan melukai wajah Meng Khi. Dalam suatu riwayat
diceritakan bahwa Kertanegara bahkan sampai memotong salah-satu telinga Meng
Khi. Untuk membalas hal itu, beberapa tahun kemudian Kubilai Khan
mengirim pasukan yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Singhasari.
Pasukan tersebut mendarat di Jawa tahun 1293 di mana saat
itu Kertanagara telah lebih dulu meninggal akibat pemberontakan Jayakatwang.
Agama
Dalam
bidang agama, Kertanagara memperkenalkan penyatuan agama Hindu aliran Syiwa dengan agama Buddha
aliran Tantrayana.
Oleh karena itu dalam Pararaton. Kertanagara
sering juga disebut Bhatara Shiwa Buda.
Menurut Nagarakretagama, Kertanagara telah menguasai
semua ajaran agama Hindu
dan Buddha,
Itu sebabnya Kertanagara dikisahkan pula dalam naskah-naskah kidung sebagai
seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual agamanya adalah
berpesta minuman keras.
Gelar
keagamaan Kertanagara dalam Nagarakretagama adalah Sri Jnanabajreswara, sedangkan dalam prasasti Tumpang ia bergelar Sri Jnaneswarabajra. Kertanagara
diwujudkan dalam sebuah patung Jina Mahakshobhya (Buddha) yang kini terdapat di
Taman Apsari, Surabaya.
Patung yang merupakan simbol penyatuan Syiwa-Buddha itu sebelumnya berasal dari
situs Kandang Gajak, Trowulan, yang pada tahun 1817 dipindahkan ke Surabaya
oleh Residen Baron A.M. Th. de Salis. Oleh masyarakat patung tersebut dikenal
dengan nama Joko Dolog.
Pemberontakan
Dalam
Pararaton dikisahkan, Kertanagara memecat para
pejabat yang berani menentang cita-citanya. Antara lain Mpu Raganata
diturunkan dari jabatan rakryan patih
menjadi ramadhyaksa. Penggantinya
bernama Kebo Anengah dan Panji Angragani. Sedangkan Arya Wiraraja
dimutasi dari jabatan rakryan demung
menjadi bupati Sumenep.
Menurut
Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama perombakan susunan kabinet tersebut
mengundang ketidakpuasan antara lain dari Kalana Bhayangkara yang memberontak pada tahun 1270 (dalam Nagarakretagama ia disebut dengan nama
Cayaraja). Selain itu Nagarakretagama juga
menyebutkan adanya pemberontakan Mahisa
Rangkah tahun 1280. Disebutkan kalau Mahisa Rangkah adalah tokoh yang
dibenci penduduk Singhasari. Kedua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan.
Namun pemberontak yang paling berbahaya adalah Jayakatwang
bupati Gelang-Gelang yang menewaskan Kertanagara pada tahun 1292.
Kematian
Kertanagara
tewas akibat pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang
merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besannya sendiri. Dikisahkan dalam Pararaton, Kidung Harsawijaya, dan Kidung
Panji Wijayakrama, Jayakatwang dipengaruhi Arya Wiraraja
supaya memberontak. Jayakatwang merupakan keturunan Kertajaya
raja terakhir Kadiri
yang dikalahkan Ken Arok leluhur Kertanagara tahun 1222. Sedangkan Arya Wiraraja
adalah mantan pejabat Singhasari yang sakit hati karena telah dimutasi ke Sumenep.
Pasukan Jayakatwang
dipimpin Jaran Guyang bergerak menyerang Singhasari
dari utara. Kertanagara mengirim kedua menantunya, yaitu Raden Wijaya
putra Lembu Tal
dan Ardharaja putra Jayakatwang untuk melawan. Tetapi Ardharaja
kemudian bergabung ke dalam pasukan ayahnya.
Pasukan
Jaran Guyang hanyalah pancingan supaya pertahanan ibu kota kosong. Pasukan
kedua Jayakatwang
menyerang dari selatan dipimpin Patih Kebo Mundarang. Saat itu Kertanagara
sedang mengadakan pesta minuman keras sebagai salah satu ritual agamanya. Ia
lalu keluar menghadapi serangan musuh. Kertanagara akhirnya tewas dibunuh
tentara pemberontak bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji
Angragani, dan Wirakreti. Menurut Nagarakretagama, Kertanagara dicandikan bersama
istrinya di Sagala sebagai Wairocana dan Locana, dengan lambang arca tunggal
Ardhanareswari. Kertanegara juga disanjung sebagai titisan Budha Agung Mahakshobya
oleh para keturunannya, yaitu dalam prasasti
Wurare yang ditemukan di Trowulan, Mojokerto.
Referensi
Ø
Muljana, Slamet, 1981, Kuntala, Sriwijaya Dan Suwarnabhumi, Jakarta: Yayasan Idayu, hlm.
223.
Ø R., Soekmono (1995). The Javanese Candi: Function and Meaning. BRILL. hlm. 78. ISBN 9789004102156, 9004102159.
Raja
Kertanegara dan Ritual Minum Arak serta Seks
Sri Maharaja Kertanagara atau yang lebih dikenal
sebagai Raja Kertanegara adalah raja terakhir dan terkenal yang memerintah
Kerajaan Singhasari. Kertanagara naik takhta Singhasari tahun 1268 menggantikan
ayahnya, Wisnuwardhana. Prabu Kertanegara dipandang sebagai penguasa Jawa
pertama yang berambisi ingin menyatukan wilayah Nusantara. Untuk mewujudkan
ambisinya, dilaksanakanlah ekspedisi Pamalayu (Pamalayu bermakna perang Malayu)
yang bertujuan untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sumatera sehingga dapat
memperkuat pengaruhnya di Selat Malaka yang merupakan jalur ekonomi dan politik
penting.
Ekspedisi ini juga bertujuan untuk menghadang pengaruh kekuasaan Mongol yang telah menguasai hampir seluruh daratan Asia kala itu. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Ekspedisi Pamalayu ini bertujuan untuk menjalin kekuatan untuk menghadapi bangsa Mongol dari Dinasti Yuan yang berkedudukan di Khanbalik (Beijing sekarang). Saat itu Dinasti Yuan atau dikenal sebagai Kekaisaran Mongolia sedang melakukan ekspansi wilayah bahkan memiliki bentangan yang cukup luas, dari Korea hingga Rusia (Kievan Rus), Timur-Tengah (menghancurkan dinasti Abbasiyah di Baghdad) dan Eropa Timur.
Pada tahun-tahun itu, Emperium Mongol ini berusaha mengadakan perluasan diantaranya ke Jepang dan Jawa. Jadi maksud ekspedisi ini adalah untuk menghadang langsung armada Mongol agar tidak masuk ke perairan Jawa. Saat bersinggungan dengan Mongol inilah Kertanegara yang menganut Buddha ini mengenal aliran Tantrayana kiri. Istilah Tantrayana ini berasal dari akar kata “Tan” yang artinya memaparkan kesaktian atau kekuatan daripada dewa. Di India penganut Tantrisme banyak terdapat di India Selatan dibandingkan dengan India Utara. Tantra adalah suatu kombinasi yang unik antara mantra, upacara dan pemujaan secara total.
Menurut Nagarakretagama, Kertanagara dikisahkan sebagai seorang yang bebas dari segala dosa. Bahkan, salah satu ritual Tantrayana kiri adalah berpesta minuman keras dan seks demi mencapai pencerahan atau nirwana. Namun ritual ini hanya dilakukan Kertanegara untuk mencapai pencerahan demi kemakmuran negara dan rakyat serta dalam menangkal serangan musuh. Jadi bukan untuk kesenangan pribadi atau kenikmatan duniawi semata. Konon ritual ini mulai dilakukan Kertanegara karena dia mendapatkan kabar jika kehebatan Kubilai Khan yang berhasil menaklukan sebagian daratan Eropa dan Asia ternyata berasal dari kekuatan gaib ritual Tantrik yang dipelajari Raja Mongolia ini dari seorang biksu Tibet.
Kemudian Kertanegara mulai mendatangkan para spriritualist ahli Tantra dari Champa (Kamboja) yang berupa gadis-gadis muda yang menawan atau yoginis. Ritual tersebut dilakukan Kertanegara di bangsal perempuan istananya dengan melibatkan para bawahannya dengan berpasang-pasangan baik laki-laki dan perempuan serta minuman keras. Para peserta memakai topeng agar identitas mereka tersamarkan. Dalam praktiknya sejumlah peserta yang terdiri dari menteri dan hulubalang Singhasari ini mengikuti ritual dengan taat untuk menguji kemampuan menahan godaan nafsu duniawi demi meraih jalan menuju nirwana.
Namun beberapa yang lain merasa malu atau malah terangsang oleh kenikmatan alkohol dan seks. Tentunya ini bertolak belakang dengan tujuan spritual dari Prabu Kertanegara. Kertanegara menyakini ritual Tantra kiri yang dilakukannya untuk pencerahan juga dilakukan oleh Kubilai Khan demi mendapatkan bantuan Dewi Kali yang dalam tahapannya menjelma sebagai ibusuri kegelapan. Sehingga pasukan Kubilai Khan dapat dengan mudah menguasai negara yang diserangnya.
Ritual ini lalu rutin dilakukan sang raja, bahkan hingga pada akhir kekuasaannya ketika diserang oleh Jayakatwang penguasa Kediri, sang Prabu juga sedang melaksanakan upacara Tantrayana bersama Mahapatih dan pendeta terkenal. Kertanegara nyatanya tidak memperhitungkan bahaya dari dalam negerinya sendiri karena berkonsentrasi terhadap serangan Bangsa Mongol. Ribuan pasukan Kediri yang melakukan penyerangan ke Ibukota Singhasari akhirnya dapat mencapai bangsal perempuan tempat Kertanegara melakukan ritual Tantra.
Para penyerbu yang beringas ini dikejutkan dengan pemandangan yang menurut mereka memalukan. Karena raja, ratu dan sejumlah warga keraton berada dalam berbagai pose yang ganjil dengan busana yang awut awutan. Mereka menenggak bergelas-gelas tuak berasyik masyuk bersama para yoginis muda dari Champa. Lalu para penyerbu dari Kediri ini mengamuk dan membantai seisi ruangan tersebut termasuk Prabu Kertanegara dan permaisurinya. Wallahualam bissawab
Sumber :
Ø Buku
Gayatri Rajapatni, Earl Drake, Penerbit Ombak, 2012.
Ø Wikipedia
dan diolah dari berbagai sumber.
KISAH
PRABU KERTANEGARA POTONG KUPING UTUSAN CINA "BILANG SAMA RAJAMU, SINGOSARI
TAK SUDI DI JAJAH CINA !
Tahukah
anda, pernah sekali bangsa Mongol saat di perintah oleh Kubilai Khan dalam
usaha menguasai dunianya dipermalukan orang dari Jawa? Tahukah anda mungkin itu
satu-satunya kegagalan Mongol dalam setiap invasinya ke negara negara di
sekitarnya?
Dahulu
kala, Prabu Kertanegara punya cita cita yang persis seperti Gajah Mada,
menyatukan Nusantara. Pada saat niat mulianya tersebut ingin dilaksanakan,
datang utusan dari Mongol yang minta Jawa tahluk pada Chung Kuo (sebutan lain
untuk bangsa Cina / Mongol). Prabu Kertanegara pitam. Utusan Cina itu, si Meng
Qi bahkan dirusak wajahnya (potong kuping) dan disuruh menghadap kaisarnya….
“bilang sama rajamu, Singosari tak sudi dijajah Cina!”
Keberanian
Kertanegara bukan sembarangan. Dia ketakutan sebenarnya. Bayangkan, Mongol yang
sudah menguasai 3/4 dunia. Apalah artinya Jawa yang bisa dikatakan negri selalu
becek ini (karena sering hujan). Oleh karenanya Kertanegara melakukan ekspansi
kekuatan ke seluruh nusantara. Khususnya menggalang kekuatan politik di sebelah
barat nusantara, ke Kerajaan Melayu, menghabiskan sisa sisa Sriwijaya, Campa
dan sebagainya. Gerakan ini dikenal dengan ekspedisi PaMalayu. Saking getolnya
Prabu Kertanegara melakukan ekspedisi Pa Malayu, dia sampai lupa ada penghianat
licik keturunan bangsawan asli dari Kediri, yaitu Jayakatwang. Asal tahu saja,
nenek moyang Kertanegara bukan bangsawan. Tapi preman pasar bernama Ken Arok
yang berhasil merebut kekuasaaan dari nenek moyang Jayakatwang. Dendam lama ini
rupanya tak putus.
Jayakatwang
memberontak saat tentera Singosari banyak dikirim ke Swarnadwipa (sebutan
Sumatera saat itu). Jayakatwang sukses menobatkan Kertanegara menjadi raja
terakhir Singosari. Namun Jayakatwang tidak membabat habis keluarga
Kertanegara. Ada menantu Kertanegara yang asli keturunan Ken Arok yang bernama
Raden Wijaya yang dibuang ke tanah terik gersang yang hanya bisa ditanami buah
Maja. Dia juga membiarkan ke 4 putri Kertanegara masih bernapas. Nah…. diam
diam, Raden Wijaya dendam. Dia menyusun kekuatan tentaranya sendiri. Sialnya…
Jayakatawang lengah akan kekuasaan barunya.
Dari
hanya seorang raja bawahan di Kediri, dia sekarang adalah raja diraja Singosari
yang sudah berdaulat di hampir separuh Nusantara. Tak dinyana…. Tentara Mongol
datang lagi. Tujuannya ingin menggantung raja Jawa. Pokoknya raja Jawa. Mereka
sama sekali tidak tahu sudah terjadi suksesi politik di Jawa. Bukan lagi
Kertanegara yang berkuasa. Tapi Jayakatwang. Mereka tidak tahu bukan
Jayakatwang yang motong kuping si Meng Qi. Pokoknya gantung raja Jawa. Dengan
begitu Jawa tahluk ke Chung Kuo. Tentu saja Jawa bukan tandingan Mongol.
Apalagi kemudian Raden Wijaya yang berani dan cerdik luar biasa merasa ada
peluang untuk menjaga kedaulatan Jawa dari raja lemah seperti Jayakatwang.
Raden Wijaya membonceng tentara Mongol yang mencari raja Jawa. Dalam sekejab,
pertempuran tak bisa dihindari, dengan hasil yang jelas…. Jawa kalah telak dari
Mongol. Mongol membawa Jayakatwang ke Laut Jawa. Disana raja malang itu
digantung. Tentara Mongol kesenangan. Mereka bersuka-cita karena berhasil
mengambil alih tanah Jawa. Memang tak ada istilah gagal dalam invasi Mongol.
Kemanapun mereka masuk, mereka pasti menang. Pokoknya tentara Mongol dimabuk
kemenangan. Mereka berpesta pora, mabuk-mabukan berhari-hari lamanya.
Disaat
Raden Wijaya melihat tentara Mongol ini sudah masuk ke fase mabuk kemenangan
tak tertolongkan. Dia masuk menyerang dengan kekuatan penuh untuk menghancurkan
tentara Mongol yang mau menjajah Jawa ini. Dengan kekuatan yang sebenarnya tak
seberapa. Tapi dimenangkan penguasaan wilayah, otak pemimpin yang tak ada
duanya. Musuh yang sedang terbuai. Maka terbunuhlah tentara-tentara Mongol itu.
Sekali Lagi Nusantara diselamatkan dari kekuasaan asing. Ini kekalahan Mongol
paling memalukan sepanjang sejarah. Raden Wijaya kemudian memproklamasikan
Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan baru yang berasal langsung dari Singosari.
Sebagai upaya pengamanan, Raden Wijaya lantas mengawini ke empat putri
Kertanegara. Kebetulan Kertanegara tidak punya putra. Maka, dialah satu satunya
saat itu yang paling berhak menduduki tahtah Jawa. Panglima Mongol yang sudah
kehilangan sedikitnya 3000 tentara dan dipengaruhi dengan iklim tropis yang
lembab dan panas itu memutuskan untuk berlayar kembali ke tanah Mongolia dengan
berbekal emas, budak dan hasil rampasan perang lainnya dari tanah Jawa. Namun
setelah ia kembali dengan sisa tentaranya, Kubilai Khan menjadi marah besar
setelah mendengar cerita ekspedisinya. Panglima Mongol tersebut diberi hukuman
16 cambukan dan setengah dari kekayaannya disita kerajaan. (icp) Sumber :
Posmetro
Kekalahan
Memalukan Tentara Mongol di Tanah Jawa
Tahukah
anda, pernah sekali bangsa Mongol
saat di perintah oleh Kubilai Khan dalam usaha menguasai dunianya dipermalukan orang
dari Jawa?
Tahukah anda mungkin itu satu-satunya kegagalan Mongol dalam setiap invasinya
ke negara negara di sekitarnya? Dahulu kala, Prabu
Kertanegara punya cita cita yang persis seperti Gajah Mada,
menyatukan Nusantara. Pada saat niat mulianya tersebut ingin dilaksanakan,
datang utusan dari Mongol yang minta Jawa tahluk pada Chung
Kuo (sebutan lain untuk bangsa Cina / Mongol).
Prabu
Kertanegara pitam. Utusan Cina itu, si Meng Qi bahkan
dirusak wajahnya (potong kuping) dan disuruh menghadap kaisarnya…. “bilang
sama rajamu, Singosari
tak sudi dijajah Cina!”
Keberanian
Kertanegara bukan sembarangan. Dia ketakutan sebenarnya. Bayangkan, Mongol yang
sudah menguasai 3/4 dunia. Apalah artinya Jawa yang bisa dikatakan negri selalu
becek ini (karena sering hujan).
Oleh
karenanya Kertanegara melakukan ekspansi kekuatan ke seluruh nusantara.
Khususnya menggalang kekuatan politik di sebelah barat nusantara, ke Kerajaan
Melayu, menghabiskan sisa sisa Sriwijaya,
Campa
dan sebagainya. Gerakan ini dikenal dengan ekspedisi PaMalayu.
Saking getolnya Prabu Kertanegara melakukan ekspedisi Pa Malayu, dia sampai
lupa ada penghianat licik keturunan bangsawan asli dari Kediri,
yaitu Jayakatwang.
Asal tahu saja, nenek moyang Kertanegara bukan
bangsawan. Tapi preman pasar bernama Ken Arok
yang berhasil merebut kekuasaaan dari nenek moyang Jayakatwang.
Dendam lama ini rupanya tak putus. Jayakatwang
memberontak saat tentera Singosari banyak dikirim ke Swarnadwipa
(sebutan Sumatera saat itu).
Jayakatwang sukses menobatkan Kertanegara
menjadi raja terakhir Singosari.
Namun
Jayakatwang
tidak membabat habis keluarga Kertanegara. Ada
menantu Kertanegara yang asli keturunan Ken Arok
yang bernama Raden Wijaya
yang dibuang ke tanah terik gersang yang hanya bisa ditanami buah Maja.
Dia juga membiarkan ke 4 putri Kertanegara masih
bernapas. Nah…. diam diam, Raden Wijaya dendam.
Dia menyusun kekuatan tentaranya sendiri.
Sialnya…
Jayakatawang
lengah akan kekuasaan barunya. Dari hanya seorang raja bawahan di Kediri,
dia sekarang adalah raja diraja Singosari yang sudah
berdaulat di hampir separuh Nusantara. Tak
dinyana…. Tentara Mongol datang lagi.
Tujuannya ingin menggantung raja Jawa. Pokoknya raja Jawa. Mereka sama sekali
tidak tahu sudah terjadi suksesi politik di Jawa. Bukan lagi Kertanegara
yang berkuasa. Tapi Jayakatwang.
Mereka
tidak tahu bukan Jayakatwang yang
motong kuping si Meng Qi. Pokoknya gantung raja Jawa. Dengan begitu Jawa tahluk
ke Chung Kuo. Tentu saja Jawa bukan tandingan Mongol. Apalagi
kemudian Raden Wijaya yang berani dan cerdik luar biasa merasa ada
peluang untuk menjaga kedaulatan Jawa dari raja lemah seperti Jayakatwang.
Raden
Wijaya membonceng tentara Mongol yang mencari raja Jawa. Dalam
sekejab, pertempuran tak bisa dihindari, dengan hasil yang jelas…. Jawa kalah
telak dari Mongol.
Mongol
membawa Jayakatwang ke Laut Jawa. Disana raja malang itu digantung.
Tentara Mongol kesenangan. Mereka bersuka-cita karena berhasil mengambil alih
tanah Jawa. Memang tak ada istilah gagal dalam invasi Mongol. Kemanapun mereka
masuk, mereka pasti menang. Pokoknya tentara Mongol dimabuk kemenangan. Mereka
berpesta pora, mabuk-mabukan berhari-hari lamanya. Disaat Raden
Wijaya melihat tentara Mongol ini sudah masuk ke fase mabuk
kemenangan tak tertolongkan. Dia masuk menyerang dengan kekuatan penuh untuk
menghancurkan tentara Mongol yang mau menjajah Jawa ini.
Dengan kekuatan yang sebenarnya tak seberapa. Tapi
dimenangkan penguasaan wilayah, otak pemimpin yang tak ada duanya. Musuh yang
sedang terbuai. Maka terbunuhlah tentara-tentara Mongol itu. Sekali Lagi
Nusantara diselamatkan dari kekuasaan asing. Ini kekalahan Mongol paling
memalukan sepanjang sejarah. Raden Wijaya kemudian
memproklamasikan Kerajaan Majapahit sebagai kerajaan baru yang berasal langsung
dari Singosari. Sebagai upaya pengamanan, Raden
Wijaya lantas mengawini ke empat putri Kertanegara.
Kebetulan Kertanegara tidak punya putra. Maka, dialah satu satunya saat itu
yang paling berhak menduduki tahtah Jawa.
Panglima
Mongol yang sudah kehilangan sedikitnya 3000 tentara dan dipengaruhi dengan
iklim tropis yang lembab dan panas itu memutuskan untuk berlayar kembali ke
tanah Mongolia dengan berbekal emas, budak dan hasil rampasan perang lainnya
dari tanah Jawa.
Namun
setelah ia kembali dengan sisa tentaranya, Kubilai Khan
menjadi marah besar setelah mendengar cerita ekspedisinya. Panglima Mongol
tersebut diberi hukuman 16 cambukan dan setengah dari kekayaannya disita
kerajaan. (IndoCropCircles.com / insenia@blogspot).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar