KISAH
KERAJAAN SUNDA GALUH
Orientasi
Kerajaan Sunda Galuh (disebut juga Kerajaan
Pajajaran) adalah suatu kerajaan yang merupakan penyatuan dua kerajaan
besar di Tanah Sunda yang saling terkait erat, yaitu kerajaan Sunda dan
kerajaan Galuh. Kedua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari kerajaan Tarumanagara. Berdasarkan peninggalan sejarah
seperti prasasti dan naskah kuno, ibu kota Kerajaan Sunda berada di daerah yang sekarang
menjadi kota Bogor, sedangkan ibu kota Kerajaan Galuh adalah kota Kawali di Kabupaten Ciamis.
Nama
Kerajaan
Banyak sumber peninggalan sejarah yang menyebut
perpaduan kedua kerajaan ini dengan nama Kerajaan Sunda saja.
Perjalanan pertama Prabu Jaya Pakuan (Bujangga Manik) mengelilingi
pulau Jawa dilukiskan sebagai berikut:
Menurut Tome Pires (1513) dalam catatan perjalanannya,
“Summa Oriental (1513 – 1515)”, dia menuliskan bahwa:
The Sunda kingdom take up
half of the whole island of Java; others, to whom more authority is attributed,
say that the Sunda kingdom must be a third part of the island and an eight
more. It ends at the river chi Manuk. They say that from the earliest times God
divided the island of Java from that of Sunda and that of Java by the said
river, which has trees from one end to the other, and they say the trees on
each side line over to each country with the branches on the ground.
Keterangan keberadaan kedua kerajaan tersebut juga
terdapat pada beberapa sumber sejarah lainnya. Prasasti di Bogor banyak bercerita tentang Kerajaan Sunda sebagai
pecahan Tarumanagara, sedangkan prasasti di daerah Sukabumi bercerita
tentang keadaan Kerajaan Sunda sampai dengan masa Sri Jayabupati.
Berdirinya kerajaan Sunda dan Galuh
Pembagian Tarumanagara
Tarusbawa
yang berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa, pada tahun 669 M menggantikan
kedudukan mertuanya yaitu Linggawarman raja Tarumanagara yang terakhir. Karena pamor
Tarumanagara pada zamannya sudah sangat menurun, ia ingin mengembalikan
keharuman zaman Purnawarman yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam
tahun 670 M, ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa
ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, pendiri Kerajaan Galuh dan masih
keluarga kerajaan Tarumanegara, untuk memisahkan diri dari kekuasaan Tarusbawa.
Dengan
dukungan Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah, Wretikandayun menuntut kepada
Tarusbawa supaya wilayah Tarumanagara dipecah dua. Dukungan ini dapat terjadi
karena putera mahkota Galuh bernama Mandiminyak, berjodoh dengan Parwati puteri
Maharani Shima dari Kalingga. Dalam posisi lemah
dan ingin menghindari perang saudara, Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Pada
tahun 669 M, wilayah Tarumanagara dipecah menjadi dua kerajaan; yaitu Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Sungai Citarum sebagai batasnya.
Lokasi ibu kota Sunda
Maharaja
Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru di daerah pedalaman
dekat hulu Sungai Cipakancilan. Dalam Carita Parahiyangan,
tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cikal-bakal raja-raja
Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Sunda
sebagai nama kerajaan tercatat dalam dua buah prasasti batu yang ditemukan di Bogor dan Sukabumi. Kehadiran Prasasti Jayabupati di
daerah Cibadak sempat membangkitkan dugaan bahwa Ibukota Kerajaan Sunda
terletak di daerah itu. Namun dugaan itu tidak didukung oleh bukti-bukti
sejarah lainnya. Isi prasasti hanya menyebutkan larangan menangkap ikan pada
bagian Sungai Cicatih
yang termasuk kawasan Kabuyutan Sanghiyang Tapak. Sama halnya dengan kehadiran
batu bertulis Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir Koleangkak yang tidak
menunjukkan letak ibukota Tarumanagara.
Keterlibatan Kalingga
Karena
putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota
(bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan. Suami
puteri ini adalah cicit Wretikandayun bernama Rakeyan Jamri, yang dalam tahun
723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda ke-2. Sebagai penguasa Kerajaan
Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan setelah menguasai Kerajaan
Galuh dikenal dengan nama Sanjaya.
Ibu
dari Sanjaya adalah SANAHA,
cucu Ratu Shima dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah
Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena
adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua
(702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA.
Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah. Sena
dan keluarganya menyelamatkan diri ke Sundapura, pusat Kerajaan Sunda, dan
meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek
Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari
Tarumanegara / Kerajaan Sunda. Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus
Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk
melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh. Sanjaya adalah penguasa Kerajaan Sunda,
Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat).
Sebagai
ahli waris Kerajaan Kalingga, Sanjaya menjadi penguasa Kalingga
Utara yang disebut Bumi Mataram (Mataram Kuno) pada tahun 732 M. Kekuasaan di
Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan
Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, putera Sanjaya dari Sudiwara
puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Prasasti Jayabupati
Isi Prasasti
Telah diungkapkan di awal bahwa nama Sunda sebagai
kerajaan tersurat pula dalam prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi.
Prasasti ini terdiri atas 40 baris sehingga memerlukan empat (4) buah batu
untuk menuliskannya. Keempat batu bertulis itu ditemukan pada aliran Sungai Cicatih di daerah Cibadak, Sukabumi. Tiga
ditemukan di dekat Kampung Bantar Muncang, sebuah ditemukan di dekat Kampung
Pangcalikan. Keunikan prasasti ini adalah disusun dalam huruf dan bahasa Jawa Kuno. Keempat prasasti itu sekarang
disimpan di Museum Pusat dengan nomor kode D 73 (dari Cicatih), D 96, D 97 dan
D 98. Isi ketiga batu pertama (menurut Pleyte):
D 73 : //O// Swasti shakawarsatita 952 karttikamasa tithi dwadashi shuklapa-ksa. ha.
ka. ra. wara tambir. iri- ka diwasha nira prahajyan sunda ma-haraja shri
jayabhupati jayamana- hen wisnumurtti samarawijaya
shaka-labhuwanamandaleswaranindita harogowardhana wikra-mottunggadewa, ma-D
96 : gaway tepek i purwa
sanghyang tapak ginaway denira shri jayabhupati prahajyan sunda. mwang tan
hanani baryya baryya shila. irikang lwah tan pangalapa ikan sesini lwah.
Makahingan sanghyang tapak wates kapujan i hulu, i sor makahingan ia sanghyang
tapak wates kapujan i wungkalagong kalih matangyan pinagawayaken pra-sasti
pagepageh. mangmang sapatha. D 97 : sumpah denira prahajyan sunda. lwirnya nihan.
Terjemahan isi prasasti, adalah
sebagai berikut:
Selamat. Dalam tahun Saka
952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, Ahad, Wuku Tambir.
Inilah saat Raja Sunda Maharaja Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti
Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana
Wikramottunggadewa, membuat tanda di sebelah timur Sanghiyang Tapak. Dibuat
oleh Sri Jayabupati Raja Sunda. Dan jangan ada yang melanggar ketentuan ini. Di
sungai ini jangan (ada yang) menangkap ikan di sebelah sini sungai dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak sebelah hulu. Di sebelah hilir dalam batas
daerah pemujaan Sanghyang Tapak pada dua batang pohon besar. Maka dibuatlah
prasasti (maklumat) yang dikukuhkan dengan Sumpah.
Sumpah yang diucapkan oleh Raja Sunda lengkapnya
tertera pada prasasti keempat (D 98). Terdiri dari 20 baris, intinya menyeru
semua kekuatan gaib di dunia dan disurga agar ikut melindungi keputusan raja.
Siapapun yang menyalahi ketentuan tersebut diserahkan penghukumannya kepada
semua kekuatan itu agar dibinasakan dengan menghisap otaknya, menghirup
darahnya, memberantakkan ususnya dan membelah dadanya. Sumpah itu ditutup
dengan kalimat seruan, I wruhhanta
kamung hyang kabeh (ketahuilah olehmu parahiyang semuanya).
Tanggal Prasasti
Tanggal
pembuatan Prasasti Jayabupati bertepatan dengan 11 Oktober 1030. Menurut
Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama 12 tahun
(952 - 964) saka (1030 -1042 M). Isi prasasti itu dalam segala hal menunjukkan
corak Jawa
Timur. Tidak hanya
huruf, bahasa dan gaya, melainkan juga gelar raja yang mirip dengan gelar raja
di lingkungan Keraton Darmawangsa. Tokoh Sri Jayabupati dalam Carita
Parahiyangan disebut dengan nama Prabu Detya Maharaja. Ia adalah raja Sunda
ke-20 setalah Maharaja Tarusbawa.
Penyebab
Perpecahan
Telah
diungkapkan sebelumnya, bahwa Kerajaan Sunda adalah pecahan Tarumanagara.
Peristiwa itu terjadi tahun 670 M. Hal ini sejalan dengan sumber berita Tiongkok yang menyebutkan bahwa utusan
Tarumanagara yang terakhir mengunjungi negeri itu terjadi tahun 669 M.
Tarusbawa memang mengirimkan utusan yang memberitahukan penobatannya kepada
Kaisar Tiongkok dalam tahun 669 M. Ia sendiri dinobatkan pada tanggal 9
bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka, kira-kira bertepatan dengan tanggal
18 Mei 669 M.
Sanna dan Purbasora
Tarusbawa
adalah sahabat baik Bratasenawa alis Sena (709 - 716 M), Raja Galuh ketiga.
Tokoh ini juga dikenal dengan Sanna, yaitu raja dalam Prasasti Canggal (732 M),
sekaligus paman dari Sanjaya. Persahabatan ini pula yang
mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Bratasenawa alias
Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora dalam tahun 716 M.
Purbasora adalah cucu Wretikandayun dari putera sulungnya, Batara Danghyang
Guru Sempakwaja, pendiri kerajaan Galunggung. Sedangkan Sena adalah cucu
Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M).
Sebenarnya
Purbasora dan Sena adalah saudara satu ibu karena hubungan gelap antara
Mandiminyak dengan istri Sempakwaja. Tokoh Sempakwaja tidak dapat menggantikan
kedudukan ayahnya menjadi Raja Galuh karena ompong. Sementara, seorang raja tak
boleh memiliki cacat jasmani. Karena itulah, adiknya yang bungsu yang mewarisi
tahta Galuh dari Wretikandayun. Tapi, putera Sempakwaja merasa tetap berhak
atas tahta Galuh. Lagipula asal usul Raja Sena yang kurang baik telah menambah
hasrat Purbasora untuk merebut tahta Galuh dari Sena. Dengan bantuan pasukan dari mertuanya, Raja
Indraprahasta, sebuah kerajaan di daerah Cirebon sekarang, Purbasora melancarkan
perebutan tahta Galuh. Sena akhirnya melarikan diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.
Sanjaya dan Balangantrang
Sanjaya,
anak Sannaha saudara perempuan Sena, berniat menuntut balas terhadap keluarga
Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa, sahabat Sena. Hasratnya
dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas nama isterinya.
Sebelum itu ia telah menyiapkan pasukan khusus di daerah Gunung Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal, yang
juga sahabat baik Sena. Pasukan khusus ini langsung dipimpin Sanjaya, sedangkan
pasukan Sunda dipimpin Patih Anggada. Serangan dilakukan malam hari dengan
diam-diam dan mendadak. Seluruh keluarga Purbasora gugur. Yang berhasil
meloloskan diri hanyalah menantu Purbasora, yang menjadi Patih Galuh, bersama
segelintir pasukan.
Patih
itu bernama Bimaraksa yang lebih dikenal dengan Ki Balangantrang karena ia
merangkap sebagai senapati kerajaan. Balangantrang ini juga cucu Wretikandayun
dari putera kedua bernama Resi Guru Jantaka atau Rahyang Kidul, yang tak bisa
menggantikan Wretikandayun karena menderita "kemir" atau hernia.
Balangantrang bersembunyi di kampung Gègèr Sunten dan dengan diam-diam
menghimpun kekuatan anti Sanjaya. Ia mendapat dukungan dari raja-raja di daerah
Kuningan dan juga sisa-sisa laskar Indraprahasta, setelah kerajaan itu juga
dilumatkan oleh Sanjaya sebagai pembalasan karena dulu membantu Purbasora
menjatuhkan Sena.
Sanjaya
mendapat pesan dari Sena, bahwa kecuali Purbasora, anggota keluarga keraton
Galuh lainnya harus tetap dihormati. Sanjaya sendiri tidak berhasrat menjadi
penguasa Galuh. Ia melalukan penyerangan hanya untuk menghapus dendam ayahnya.
Setelah berhasil mengalahkan Purbasora, ia segera menghubungi uwaknya,
Sempakwaja, di Galunggung dan meminta dia agar Demunawan, adik Purbasora,
direstui menjadi penguasa Galuh. Akan tetapi Sempakwaja menolak permohonan itu
karena takut kalau-kalau hal tersebut merupakan muslihat Sanjaya untuk
melenyapkan Demunawan.
Sanjaya
sendiri tidak bisa menghubungi Balangantrang karena ia tak mengetahui
keberadaannya. Akhirnya Sanjaya terpaksa mengambil hak untuk dinobatkan sebagai
Raja Galuh. Ia menyadari bahwa kehadirannya di Galuh kurang disenangi. Selain
itu sebagai Raja Sunda ia sendiri harus berkedudukan di Pakuan. Untuk pimpinan
pemerintahan di Galuh ia mengangkat Premana Dikusuma, cucu Purbasora. Premana
Dikusuma saat itu berkedudukan sebagai raja daerah. Dalam usia 43 tahun (lahir
tahun 683 M), ia telah dikenal sebagai raja resi karena ketekunannya mendalami
agama dan bertapa sejak muda. Ia memiliki julukan Bagawat Sajalajaya.
Premana, Pangrenyep dan Tamperan
Penunjukkan
Preman oleh Sanjaya cukup beralasan karena ia cucu Purbasora. Selain itu,
isterinya, Naganingrum, adalah anak Ki Balangantrang. Jadi suami istri itu
mewakili keturunan Sempakwaja dan Jantaka, putera pertama dan kedua
Wretikandayun. Pasangan Premana dan
Nagandingrum sendiri memiliki putera bernama Surotama alias Manarah (lahir 718
M, jadi ia baru berusia 5 tahun ketika Sanjaya menyerang Galuh). Surotama atau
Manarah dikenal dalam literatur Sunda klasik sebagai Ciung Wanara. Kelak di
kemudian hari, Ki Bimaraksa alias Ki Balangantrang, buyut dari ibunya, yang
akan mengurai kisah sedih yang menimpa keluarga leluhurnya dan sekaligus
menyiapkan Manarah untuk melakukan pembalasan.
Untuk
mengikat kesetiaan Premana Dikusumah terhadap pemerintahan pusat di Pakuan,
Sanjaya menjodohkan Raja Galuh ini dengan Dewi Pangrenyep, puteri Anggada,
Patih Sunda. Selain itu Sanjaya menunjuk puteranya, Tamperan, sebagai Patih
Galuh sekaligus memimpin "garnizun" Sunda di ibukota Galuh. Premana Dikusumah menerima kedudukan Raja
Galuh karena terpaksa keadaan. Ia tidak berani menolak karena Sanjaya memiliki
sifat seperti Purnawarman, baik hati terhadap raja bawahan yang setia kepadanya
dan sekaligus tak mengenal ampun terhadap musuh-musuhnya. Penolakan Sempakwaja
dan Demunawan masih bisa diterima oleh Sanjaya karena mereka tergolong angkatan
tua yang harus dihormatinya.
Kedudukan
Premana serba sulit, ia sebagai Raja Galuh yang menjadi bawahan Raja Sunda yang
berarti harus tunduk kepada Sanjaya yang telah membunuh kakeknya. Karena
kemelut seperti itu, maka ia lebih memilih meninggalkan istana untuk bertapa di
dekat perbatasan Sunda sebelah timur Citarum dan sekaligus juga meninggalkan
istrinya, Pangrenyep. Urusan pemerintahan diserahkannya kepada Tamperan, Patih
Galuh yang sekaligus menjadi "mata dan telinga" Sanjaya. Tamperan
mewarisi watak buyutnya, Mandiminyak yang senang membuat skandal. Ia terlibat
skandal dengan Pangrenyep, istri Premana, dan membuahkan kelahiran Kamarasa
alias Banga (723 M).
Skandal
itu terjadi karena beberapa alasan, pertama Pangrenyep pengantin baru berusia
19 tahun dan kemudian ditinggal suami bertapa; kedua keduanya berusia sebaya
dan telah berkenalan sejak lama di Keraton Pakuan dan sama-sama cicit Maharaja
Tarusbawa; ketiga mereka sama-sama merasakan derita batin karena kehadirannya
sebagai orang Sunda di Galuh kurang disenangi.
Untuk
menghapus jejak Tamperan mengupah seseorang membunuh Premana dan sekaligus
diikuti pasukan lainnya sehingga pembunuh Premana pun dibunuh pula. Semua
kejadian ini rupanya tercium oleh senapati tua Ki Balangantrang.
Tamperan sebagai raja
Dalam
tahun 732 M Sanjaya mewarisi tahta Kerajaan Mataram
dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan kawasan Jawa Barat, ia mengatur
pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan, dan Resi Guru Demunawan. Sunda
dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan
Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Demikianlah
Tamperan menjadi penguasa Sunda-Galuh melanjutkan kedudukan ayahnya dari tahun
732 - 739 M. Sementara itu Manarah alias Ciung Wanara secara diam-diam
menyiapkan rencana perebutan tahta Galuh dengan bimbingan buyutnya, Ki
Balangantrang, di Geger Sunten. Rupanya Tamperan lalai mengawasi anak tirinya
ini yang ia perlakukan seperti anak sendiri.
Sesuai
dengan rencana Balangantrang, penyerbuan ke Galuh dilakukan siang hari
bertepatan dengan pesta sabung ayam. Semua pembesar kerajaan hadir, termasuk
Banga. Manarah bersama anggota pasukannya hadir dalam gelanggang sebagai
penyabung ayam. Balangantrang memimpin pasukan Geger Sunten menyerang keraton.
Kudeta
itu berhasil dalam waktu singkat seperti peristiwa tahun 723 ketika Manarah
berhasil menguasai Galuh dalam tempo satu malam. Raja dan permaisuri Pangrenyep
termasuk Banga dapat ditawan di gelanggang sabung ayam. Banga kemudian
dibiarkan bebas. Pada malam harinya ia berhasil membebaskan Tamperan dan
Pangrenyep dari tahanan.
Akan
tetapi hal itu diketahui oleh pasukan pengawal yang segera memberitahukannya
kepada Manarah. Terjadilah pertarungan antara Banga dan Manarah yang berakhir
dengan kekalahan Banga. Sementara itu pasukan yang mengejar raja dan permaisuri
melepaskan panah-panahnya di dalam kegelapan sehingga menewaskan Tamperan dan
Pangrenyep.
Manarah dan Banga
Berita
kematian Tamperan didengar oleh Sanjaya yang ketika itu memerintah di Mataram (Jawa Tengah), yang kemudian dengan pasukan
besar menyerang purasaba Galuh. Namun Manarah telah menduga itu sehingga ia
telah menyiapkan pasukan yang juga didukung oleh sisa-sisa pasukan
Indraprahasta yang ketika itu sudah berubah nama menjadi Wanagiri, dan
raja-raja di daerah Kuningan yang pernah dipecundangi Sanjaya.
Perang
besar sesama keturunan Wretikandayun itu akhirnya bisa dilerai oleh Raja Resi
Demunawan (lahir 646 M, ketika itu berusia 93 tahun). Dalam perundingan di
keraton Galuh dicapai kesepakatan: Galuh diserahkan kepada Manarah dan Sunda
kepada Banga. Demikianlah lewat perjanjian Galuh tahun 739 ini, Sunda dan Galuh
yang selama periode 723 - 739 berada dalam satu kekuasan terpecah kembali.
Dalam perjanjian itu ditetapkan pula bahwa Banga menjadi raja bawahan. Meski
Banga kurang senang, tetapi ia menerima kedudukan itu. Ia sendiri merasa bahwa
ia bisa tetap hidup atas kebaikan hati Manarah.
Untuk
memperteguh perjanjian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah sebagai penguasa Galuh bergelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana memperistri Kancanawangi. Banga sebagai Raja Sunda
bergelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Aji Mulya dan berjodoh dengan Kancanasari,
adik Kancanawangi.
Keturunan Sunda dan Galuh
selanjutnya
Naskah
tua dari kabuyutan Ciburuy, Bayongbong, Garut, yang ditulis pada abad ke-13 atau
ke-14 memberitakan bahwa Rakeyan Banga pernah membangun parit Pakuan. Hal ini
dilakukannya sebagai persiapan untuk mengukuhkan diri sebagai raja yang
merdeka. Ia berjuang 20 tahun sebelum berhasil menjadi penguasa yang diakui di
sebelah barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. Ia
memerintah 27 tahun lamanya (739-766). Manarah, dengan gelar Prabu Suratama
atau Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuwana, dikaruniai umur panjang dan
memerintah di Galuh antara tahun 739-783.[4] Dalam tahun 783 ia melakukan manurajasuniya, yaitu mengundurkan
diri dari tahta kerajaan untuk melakukan tapa sampai akhir hayat. Ia baru wafat
tahun 798 dalam usia 80 tahun.
Dalam
naskah-naskah babad, posisi Manarah dan Banga ini sering dikacaukan. Tidak saja
dalam hal usia, di mana Banga dianggap lebih tua, tetapi juga dalam penempatan
mereka sebagai raja. Dalam naskah-naskah tua, silsilah raja-raja Pakuan selalu
dimulai dengan tokoh Banga. Kekacauan silsilah dan penempatan posisi itu mulai tampak
dalam naskah Carita Waruga Guru,
yang ditulis pada pertengahan abad ke-18. Kekeliruan paling menyolok dalam
babad ialah kisah Banga yang dianggap sebagai pendiri kerajaan Majapahit. Padahal, Majapahit baru didirikan Raden Wijaya dalam tahun 1293, 527 tahun setelah Banga wafat.
Keturunan
Manarah putus hanya sampai cicitnya yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852).
Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891), cicit Banga yang
menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa).
Sejak tahun 852, kedua kerajaan pecahan Tarumanagara itu diperintah oleh
keturunan Banga; sebagai akibat perkawinan di antara para kerabat keraton Sunda, Galuh, dan Kuningan (Saunggalah).
Hubungan Sunda Galuh dan Sriwijaya
Sri
Jayabupati yang prasastinya telah dibicarakan di muka adalah Raja Sunda yang
ke-20. Ia putra Sanghiyang Ageng (1019 - 1030 M). Ibunya seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja
Wurawuri. Adapun permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga. Karena pernikahan tersebut
Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa. Gelar itulah
yang dicantumkannya dalam prasasti Cibadak.
Raja
Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai
Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus
menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan
mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya menjadi penonton dan
terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus "menyaksikan"
Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya
serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar
bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcutta (disimpan di sana) disebut pralaya
itu terjadi pada tahun 1019 M.
Hubungan dengan berdirinya Majapahit
Prabu
Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu memiliki putra mahkota Rakeyan Jayadarma,
dan berkedudukan di Pakuan. Menurut Pustaka Rajya Rajya i Bhumi
Nusantara parwa II sarga 3,
Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur, karena ia berjodoh
dengan putrinya bernama Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah anak dari Mahisa Wong Ateleng,
yang merupakan anak dari Ken
Angrok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari.
Rakeyan
Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera Sang Nararya Sanggramawijaya, atau lebih
dikenal dengan nama Raden Wijaya
yang dikatakan terlahir di Pakuan. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah
turunan ke-4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia
muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya, Raden
Wijaya dan ibunya kembali ke Jawa Timur.
Dalam
Babad Tanah Jawi
Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh
dari Pasundan. Sebagai keturunan Jayadarma, ia adalah penerus tahta
Kerajaan Sunda-Galuh yang sah, yaitu apabila Prabu Guru Darmasiksa Prabu Sanghyang
Wisnu mangkat. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota, karena
Raden Wijaya berada di Jawa Timur dan kemudian menjadi pendiri sekaligus raja
pertama Kerajaan Majapahit.
Daftar raja-raja Sunda Galuh
Raja-raja Sunda sampai Sri
Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda sampai Sri
Jayabupati, yang berjumlah 20 orang :
Raja-raja
Sunda sampai Sri Jayabupati
|
|||
No
|
Raja
|
Masa
pemerintahan
|
Keterangan
|
1
|
|||
2
|
Sanjaya Harisdarma
|
cucu-menantu no. 1
|
|
3
|
Tamperan Barmawijaya
|
||
4
|
Rakeyan Banga
|
||
5
|
Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
|
||
6
|
Prabu Gilingwesi
|
menantu no. 5
|
|
7
|
Pucukbumi Darmeswara
|
menantu no. 6
|
|
8
|
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
|
||
9
|
Prabu Darmaraksa
|
adik-ipar no. 8
|
|
10
|
Windusakti Prabu Dewageng
|
||
11
|
Rakeyan Kemuning Gading Prabu
Pucukwesi
|
||
12
|
Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa
|
menantu no. 11
|
|
13
|
Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
|
||
14
|
Limbur Kancana
|
anak no. 11
|
|
15
|
Prabu Munding Ganawirya
|
||
16
|
Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung
Gadung
|
||
17
|
Prabu Brajawisesa
|
||
18
|
Prabu Dewa Sanghyang
|
||
19
|
Prabu Sanghyang Ageng
|
||
20
|
Prabu Detya Maharaja Sri
Jayabupati
|
Catatan: Kecuali
Tarusbawa (no. 1), Banga (no. 4), dan Darmeswara (no. 7) yang hanya berkuasa di
kawasan sebelah barat Sungai
Citarum, raja-raja yang lainnya berkuasa di Sunda dan
Galuh.
Raja-raja Galuh sampai Prabu Gajah
Kulon
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Galuh sampai
Prabu Gajah Kulon, yang berjumlah 13 orang :
Raja-raja
Galuh sampai Prabu Gajah Kulon
|
|||
No
|
Raja
|
Masa
pemerintahan
|
Keterangan
|
1
|
|||
2
|
|||
3
|
Rahyang Bratasenawa
|
||
4
|
Rahyang Purbasora
|
sepupu no. 3
|
|
5
|
Sanjaya Harisdarma
|
anak no. 3
|
|
6
|
Adimulya Premana Dikusuma
|
cucu no. 4
|
|
7
|
Tamperan Barmawijaya
|
anak no. 5
|
|
8
|
Manarah
|
anak no. 6
|
|
9
|
Guruminda Sang Minisri
|
menantu no. 8
|
|
10
|
Prabhu Kretayasa Dewakusalesywara
Sang Triwulan
|
||
11
|
Sang Walengan
|
||
12
|
Prabu Linggabumi
|
||
13
|
Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
|
ipar no. 12
|
Catatan: Sanjaya
Harisdarma (no. 5) dan Tamperan Barmawijaya (no. 7) sempat berkuasa di Sunda
dan Galuh. Penyatukan kembali kedua kerajaan Sunda dan Galuh dilakukan kembali
oleh Prabu Gajah Kulon (no. 13).
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri
Jayabupati
Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh
setelah Sri Jayabupati, yang berjumlah 14 orang :
Raja-raja
Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
|
|||
No
|
Raja
|
Masa
pemerintahan
|
Keterangan
|
1
|
Darmaraja
|
||
2
|
Langlangbumi
|
||
3
|
Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur
|
||
4
|
Darmakusuma
|
||
5
|
Darmasiksa Prabu
Sanghyang Wisnu
|
||
6
|
Ragasuci
|
||
7
|
Citraganda
|
||
8
|
Prabu Linggadéwata
|
||
9
|
Prabu Ajiguna Linggawisésa
|
menantu no. 8
|
|
10
|
Prabu Ragamulya Luhurprabawa
|
||
11
|
gugur dalam Perang Bubat
|
||
12
|
Prabu Bunisora
|
paman no. 13
|
|
13
|
anak no. 11
|
||
14
|
Prabu Susuktunggal
|
anak No.13/ Raja Sunda
|
|
14
|
Prabu Dewa Niskala
|
anak No.13/ Raja Galuh
|
Penyatuan kembali Sunda-Galuh
Saat Wastu Kancana wafat,
kerajaan sempat kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-anaknya, yaitu
Susuktunggal yang berkuasa di Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di
Kawali (Galuh). Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang merupakan
anak Dewa Niskala sekaligus menantu Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan
Sunda dan Kerajaan Galuh atau sering
disebut sebagai Kerajaan Padjadjaran.
Silsilah
raja-raja Sunda
Ø Salakanagara
- dengan ibukota di Teluk Lada Pandeglang (Rajatapura)
Ø Tarumanagara
- dengan ibukota di Sundapura (antara Jakarta atau Bekasi)
Ø Sunda Galuh - dengan ibukota di Bogor
(Pakuan); Kuningan (Saunggalah); Ciamis (Kawali)
Pajajaran
dengan ibukota di Bogor (Pakuan)
Salakanagara
Rajatapura atau Salakanagara
(Kota Perak) tercantum dalam Naskah Wangsakerta
sebagai kota tertua di Pulau Jawa.
Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki
Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus
dalam tahun 150
M[butuh rujukan], terletak di
daerah Teluk Lada Pandeglang.
Kota ini sampai tahun 362
M menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Jayasingawarman
pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja
Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang
mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja
Samudragupta dari Kerajaan Magada.
Tarumanagara
Berikut
adalah raja-raja Tarumanagara:
Jayasingawarman (358 - 382) Jayasingawarman pendiri
Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi
dari Salankayana di India yang mengungsi ke Nusantara
karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan
Magada[butuh rujukan]. Setelah
Jayasingawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari
Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan
Daerah. Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati (Bekasi).
Dharmayawarman (382 - 395 M) Dipusarakan di tepi
kali Candrabaga.
Purnawarman (395 - 434 M) Ia membangun ibukota
kerajaan baru dalam tahun 397 yang terletak lebih dekat ke pantai dan
dinamainya "Sundapura". Nama Sunda mulai digunakan
oleh Maharaja Purnawarman dalam tahun 397 M untuk menyebut
ibukota kerajaan yang didirikannya. Pustaka Nusantara, parwa II sarga 3
(halaman 159 - 162) menyebutkan bahwa di bawah kekuasaan Purnawarman terdapat
48 raja daerah yang membentang dari Salakanagara atau Rajatapura (di daerah
Teluk Lada Pandeglang)
sampai ke Purwalingga (sekarang Purbalingga?)
di Jawa Tengah.
Secara tradisional Ci Pamali (Kali Brebes) memang dianggap
batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat
pada masa silam.
Ø Candrawarman (515-535 M) Pada tahun 535 M terjadinya Meletus
Gunung Krakatau
yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami yang sangat besar
dan berdampak pada seluruh dunia
Ø Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman
tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan
lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan
juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman,
mendirikan kerajaan baru di Kendan yang terkenal dengan Kerajaan
Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan Limbangan, Garut. Sedangkan putera
Manikmaya, tinggal bersama kakeknya di ibukota Tarumangara dan kemudian menjadi
Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi lebih
berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan
Galuh dalam tahun 612
M.
Ø Kertawarman (561 - 628) Rakeyan Sancang (lahir
591 M) putra Raja Kertawarman (Kerajaan Tarumanagara 561 – 618 M). Raja
Suraliman Sakti (568 – 597) putra Manikmaya cucu Suryawarman
Raja Kerajaan Kendan adalah saudara sepupu
Rakeyan Sancang
Ø Linggawarman (666-669) Tarumanagara sendiri
hanya mengalami masa pemerintahan 12
orang raja. Dalam tahun 669, Linggawarman, raja Tarumanagara terakhir,
digantikan menantunya, Tarusbawa. Linggawarman sendiri mempunyai dua orang
puteri, yang sulung bernama Manasih
menjadi istri Tarusbawa dan yang kedua bernama Sobakancana menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa pendiri
Kerajaan Sriwijaya.
Ø Tarusbawa (669 – 723 M) Tarusbawa yang
berasal dari Kerajaan Sunda
Sambawa menggantikan mertuanya menjadi penguasa Tarumanagara
yang ke-13. Karena pamor Tarumanagara pada zamannya sudah sangat
menurun, ia ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman
yang berkedudukan di purasaba (ibukota) Sundapura. Dalam tahun 670 ia mengganti nama
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Peristiwa ini dijadikan
alasan oleh Wretikandayun, cicit Manikmaya,
untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari kekuasaan
Tarusbawa. Karena Putera Mahkota Galuh (Sena, Sanna atau Bratasena) berjodoh
dengan Sanaha
puteri Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga, Jepara, Jawa Tengah,
maka dengan dukungan Kalingga,
Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Tarumanagara
dipecah dua. Dalam posisi lemah dan ingin menghindarkan perang saudara,
Tarusbawa menerima tuntutan Galuh. Dalam tahun 670 M Kawasan Tarumanagara
dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu: Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh dengan Citarum sebagai batas.
Kerajaan Sunda Galuh
Berikut
adalah raja-raja Sunda Galuh:
Ø Tarusbawa (670 – 723 M) Maharaja Tarusbawa
kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan,
tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi
cikalbakal raja-raja Sunda
dan memerintah sampai tahun 723
M. Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari
putera mahkota (bernama Tejakancana)
diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan.Suami puteri inilah yang dalam
tahun 723
menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda.
Ø Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama (723 – 732M) Cicit Wretikandayun ini bernama
Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu
Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal
dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Ratu Shima dari Kalingga,
di Jepara.
Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga, teman dekat
Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709
M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora
dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan
keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta
pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena,
sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara
/ Kerajaan Sunda.Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan
Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan
Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh. Sebagai ahli waris
Kalingga, Sanjaya kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi
MATARAM dalam tahun 732 M. Dengan kata
lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan
MataramKuno. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada
puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban.
Ø Tamperan Barmawijaya / Rakeyan
Panaraban (732 - 739 M) Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran,
Raja Kerajaan Mataram (Hindu) ke 2, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara.
Ø Rakeyan Banga (739-766 M).
Ø Rakeyan Medang Prabu Hulukujang
(766-783 M).
Ø Prabu Gilingwesi, menantu no.
5,(783-795 M).
Ø Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6,
(795-819 M).
Ø Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus
(819-891 M).
Ø Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8,
891 - 895 M).
Ø Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913
M).
Ø Rakeyan Kemuning Gading Prabu
Pucukwesi (913-916 M).
Ø Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa,
menantu no. 11, (916-942 M).
Ø Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa
(942-954 M).
Ø Limbur Kancana,putera no.
11,(954-964 M).
Ø Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
Ø Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung
(973 - 989 M).
Ø Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
Ø Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
Ø Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030
M), berkedudukan di Galuh.
Ø Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati
(1030‚ - 1042 M ), berkedudukan di Pakuan. Pada masa itu
Sriwijaya / orang Melayu menjadi momok yang menakutkan. Kerajaan Sunda Galuh
untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya, melakukan hubungan pernikahan
antara raja ke 19, Prabu Sanghyang Ageng (Ayah dari Sri Jayabupati) dengan
putri Sriwijaya.
Jadi ibu Sri Jayabupati adalah seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat
Raja WURAWURI. Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Dharmawangsa
(adik Dewi Laksmi isteri Airlangga). Karena pernikahan tersebut Jayabupati
mendapat anugerah gelar dari mertuanya (Dharmawangsa). Gelar itulah yang
dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak. Raja
Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai
Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus
menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan
mertuanya (Dharmawangsa). Pada puncak krisis ia
hanya menjadi 'penonton' dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena
harus 'menyaksikan' Dharmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri
atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak
Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya 'diancam' agar bersikap netral dalam hal
ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M. Sriwijaya
sendiri musnah pada tahun 1025
karena serangan Kerajaan Chola dari India. Tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, menaklukan Sriwijaya,
dan berkuasa selama dua ratus tahun. Dua abad kemudian, kedua kerajaan tersebut
menjadi taklukan kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara,
dengan mengirimkan Senopati Mahisa / Kebo / Lembu Anabrang, dalam ekspedisi
Pamalayu 1 dan 2, dengan pertimbangan untuk mengamankan jalur pelayaran di
selat Malaka yang sangat rawan Bajak Laut setelah runtuhnya Sriwijaya pada
tahun 1025. Mahisa Anabrang yang menikah dengan Dara Jingga (anak dari Raja Kerajaan Melayu Jambi,
Mauliwarmadhewa), adalah ayah dari Adityawarman,
pendiri Kerajaan Pagaruyung. Dara Jingga
dikenal juga sebagai Bundo Kanduang dalam hikayat Kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau.
Mungkin istilah MINANG-KABAU berasal dari adanya KEBO (KEBO / Mahisa / Lembu
ANABRANG) yang meminang putri Raja Kerajaan Dharmasraya / Kerajaan Melayu Jambi.
Ø Raja Sunda ke 21 berkedudukan di Galuh
Ø Raja Sunda ke 22 berkedudukan di
Pakuan
Ø Raja Sunda ke 23 berkedudukan di
Pakuan
Ø Raja Sunda ke-24 memerintah di Galuh
Ø PRABU GURU
DHARMASIKSA, mula-mula
berkedudukan di Saunggalah, kemudian
pindah ke Pakuan.
Dia mempersiapkan RAKEYAN JAYADARMA,
berkedudukan di Pakuan sebagai PUTRA MAHKOTA. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i
BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3: RAKEYAN JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia
berjodoh dengan putrinya MAHISA CAMPAKA bernama DYAH LEMBU TAL.
Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA
WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari
kerajaan SINGHASARI. Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG
NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di
PAKUAN). Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari
Ken Angrok dan Ken Dedes. Rakeyan Jayadarma mati dalam usia muda sebelum
dilantik menjadi raja. Konon dia diracun oleh saudara kandungnya sendiri.
Akibatnya Dyah Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan, karena
khawatir dengan keselamatan dirinya dan anaknya. Akhirnya Wijaya dan ibunya
diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang
kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT
yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena
Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, RADEN WIJAYA,
Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda yang
ke-26.
Ø Prabu Ragasuci (1297 – 1303M)
berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis. Ragasuci
sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN
JAYADARMA. Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik
DARA KENCANA isteri KERTANEGARA, dari kerajaan SINGHASARI di Jawa Timur.
Ø Prabu Citraganda (1303 – 1311 M),
berkedudukan di Pakuan. Ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
Ø Prabu
Hajiguna Wisesa (1333 -
1340), berkedudukan di Kawali,
adalah menantu Prabu Lingga Dewata. Sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap
berada di sana. Bisa dikatakan bahwa tahun 1333 - 1482 adalah ZAMAN KAWALI
dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan
Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan PRABU
RAJA WASTU yang tersimpan di "ASTANA GEDE" Kawali. Dalam prasasti itu
ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan
keratonnya disebut SURAWISESA yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu
hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
Ø Prabu
Maharaja Lingga Buana
(1340 – 1357).
Ø MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU
BUNISORA, adik Prabu Lingga Buana. Ada yang menyebut PRABU KUDA LALEAN. Dalam BABAD PANJALU (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut PRABU BOROSNGORA. Selain
itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan
resi yang ulung).
Ø Prabu Raja
Wastu atau Niskala Wastu
Kancana(1371-1475). Ia adalah anak Prabu Lingga Buana,
dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang
pertama adalah LARA SARKATI puteri Lampung. Dari perkawinan
ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar PRABU
SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang kedua adalah MAYANGSARI puteri sulung Bunisora
atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir NINGRAT KANCANA (setelah
menjadi penguasa Galuh
bergelar PRABU DEWA NISKALA).
Ø Prabu Dewa
Niskala dan Prabu Susuktunggal (1475-1482).
Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475,
kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan
sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu
Wastu Kencana. JAYADEWATA, putera Dewa Niskala mula-mula memperistri AMBETKASIH
(puteri KI GEDENG SINDANGKASIH). Kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI
GEDENG TAPA yang menjadi Raja Singapura). Subanglarang ini keluaran pesantren
Pondok QURO di PURA, Karawang.
Ia seorang wanita muslim murid SYEKH
HASANUDIN yang menganut MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang
didirikan tahun 1416
dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2
tahun. Ia adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH. Kemudian
memperistri KENTRING MANIK MAYANG SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah
antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan.
Ø Sri Baduga
Maharaja
(1482 - 1521). Pada tahun 1482,
Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula
dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada
menantunya ini (Jayadewata). Dengan
peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada
kembali dalam satu tangan. JAYADEWATA memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan
sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan
pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan. Zaman Pajajaran
diawali oleh pemerintahan Ratu
Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja yang memerintah selama 39
tahun. Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Raja-Raja Sunda
yang menjadi Raja di Mataram dan Majapahit
Jadi
ada dua penerus sah dari tahta
KERAJAAN SUNDA yang menjadi raja besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Ø Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdarma, raja ke 2 Kerajaan
Sunda-Galuh(723 – 732M), menjadi raja di Kerajaan MataramKuno (732 - 760M). Ia
adalah pendiri Kerajaan Mataram Kuno, dan sekaligus
pendiri Wangsa Sanjaya.
Ø Raden Wijaya,
penerus sah Kerajaan Sunda ke – 26, yang lahir di Pakuan, dan dikemudian hari
menjadi Raja Majapahit
pertama (1293 – 1309 M). Memiliki darah Sunda dari kakeknya Prabu Guru Darmasiksa
yang merupakan Raja Galuh
Pajajaran
Berikut
adalah raja-raja Sunda yang memerintah di Pakuan
Pajajaran:
Ø Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521),
bertahta di Pakuan
(Bogor sekarang)
Ø Surawisesa
(1521 – 1535), bertahta di Pakuan
Ø Ratu Dewata
(1535 – 1543), bertahta di Pakuan
Ø Ratu Sakti (1543 – 1551),
bertahta di Pakuan
Ø Ratu
Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan
Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
Ø Raga Mulya
(1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana,
memerintah dari Pandeglang
Palangka Sriman Sriwacana
Berakhirnya
zaman Pajajaran
(1482 - 1579), ditandai dengan diboyongnya PALANGKA SRIMAN SRIWACANA (Tempat
duduk tempat penobatan tahta) dari Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana
Yusuf. Batu berukuran 200 x 160 x 20 cm itu terpaksa di
boyong ke Banten
karena tradisi politik waktu itu "mengharuskan" demikian.
Ø Pertama, dengan dirampasnya Palangka
tersebut, di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Ø Kedua, dengan memiliki Palangka itu,
menjadikan Maulana yusuf sebagai namanya, merupakan penerus kekuasaan Pajajaran
yang "sah" karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja.
Palangka
Sriman Sriwacana sendiri saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten. Karena mengkilap,
orang Banten menyebutnya WATU GIGILANG. Kata Gigilang berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Mahkota Binokasih
Dalam
silsilah keluarga Sumedang Pangeran
Kusumadinata / Pangeran
Santri selain dianggap sebagai raja daerah/ mandala Kerajaan Sumedang Larang juga mendapat
gelar jabatan NALENDRA dari Kerajaan Pakuan
Pajajaran, dia dijadikan titik tolak urutan para keturunan
Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum
dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang
memerintah Sumedang
secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/ kerajaan kepada salah
satu putranya yang bernama Prabu Geusan
Ulun / Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang
memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610
Pada
masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang
dipimpin oleh 4 Kandage Lante (bangsawan/ abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran
yang telah hancur diserang Kesultanan
Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah
bubar juga meminta agar Prabu Geusan
Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan
Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan
Pajajaran yang bernama Bino Kasih
(Mahkota Binokasih)
berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk
pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus
kekuasaan Pakuan Pajajaran, ke 4 Kandaga Lante tersebut adalah : Batara
Sang Hyang Hawu (Sayang Hawu atau lebih dikenal sebagai eyang/ Embah Jaya
Perkasa); Batara Pancar Buana (Terong Peot); Batara Dipati Wiradijaya
(Nganganan); Batara Sang Hyang Kondang Hapa.
Dengan
kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan
Ulun Raja Sumedang Larang menjadi lebih besar
dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran
(seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan
Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/ Suryakancana) menurut kabar menyingkir
ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak
pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia.
Walaupun
telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit
bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit di
antara dua kekuatan besar yaitu Kerajaan/ Kesultanan
Banten dan Kerajaan/ Kesultanan Cirebon yang sama-sama
mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar