KISAH
TUANKU IMAM BONJOL
Orientasi
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol,
Pasaman, Sumatera
Barat, Indonesia
1 Januari
1772 - wafat dalam
pengasingan dan dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6 November
1864), adalah salah
seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam
peperangan yang dikenal dengan nama Perang
Padri pada tahun 1803-1838. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan
SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973.
Nama
asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad
Shahab, yang lahir di Bonjol
pada 1
Januari 1772.
Dia merupakan putra dari pasangan Bayanuddin Shahab (ayah) dan Hamatun (ibu).
Ayahnya, Khatib Bayanuddin Shahab, merupakan seorang alim ulama yang berasal
dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Sebagai
ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Muhammad Shahab memperoleh beberapa
gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku
nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari
Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam
(pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia akhirnya lebih dikenal dengan sebutan
Tuanku Imam Bonjol. Salah satu Naskah aslinya ada di Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan Provinsi Sumatera Barat Jalan Diponegoro No.4 Padang Sumatera
Barat. Naskah tersebut dapat dibaca dan dipelajari di Dinas Kearsipan dan
Perpustakàan Provinsi Sumatera Barat.
Perang
Padri
Tak
dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan kenangan heroik sekaligus
traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu
(1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang
dan Mandailing atau Batak
umumnya. Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan
pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan
menjalankan syariat Islam
sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah
(Sunni) yang
berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian
pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau
nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat
untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).
Dalam
beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri
(penamaan bagi kaum ulama) dengan Kaum
Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai
akhirnya Kaum Padri di bawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815,
dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada
21
Februari 1821,
kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani
di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau).[4]
Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah
berada di Padang waktu itu. Campur tangan Belanda dalam
perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten
Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy
di Padang, Dalam hal ini Kompeni
melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Perlawanan
yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah
dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Hal ini
dimaklumi karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang
Diponegoro. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda
dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Namun,
sejak awal 1833
perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda,
kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau
itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya
kompromi yang dikenal dengan nama Plakat
Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi
Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)).
Rasa
penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Padri atas sesama orang
Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau
dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang
sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan
dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang
dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang
sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura,
Bugis,
dan Ambon.
Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jenderal
Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der
Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat
nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti
Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat
148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara
pribumi, Sumenapsche hulptroepen
hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura). Serangan terhadap
benteng Bonjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam
penyerangan pertahanan Padri.
Dari
Batavia
didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, di mana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal
Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs.
Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda
di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka juga disebut Sepoys
dan berdinas dalam tentara Belanda.
Setelah
datang bantuan dari Batavia, maka Belanda mulai melanjutkan kembali
pengepungan, dan pada masa-masa selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol
bertambah sulit, namun ia masih tak sudi untuk menyerah kepada Belanda.
Sehingga sampai untuk ketiga kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk
merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di
sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus
1837, Benteng
Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Tuanku
Imam Bonjol menyerah kepada Belanda pada Oktober 1837, dengan kesepakatan bahwa
anaknya yang ikut bertempur selama ini, Naali Sutan Chaniago, diangkat sebagai
pejabat kolonial Belanda. Imam Bonjol dibuang ke ke Cianjur, Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotta, Minahasa, dekat Manado. Di tempat
terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November
1864. Tuanku Imam
Bonjol dimakamkan di tempat pengasingannya tersebut. Tuanku Imam Bonjol menulis
autobiografi yang dinamakan Naskah Tuanku Imam Bonjol yang antara lain berisi
penyesalannya atas kekejaman Wahabi Paderi. Tulisan tersebut merupakan karya
sastra autobiografi pertama dalam bahasa Melayu disimpan oleh keturunan Imam
Bonjol dan dipublikasikan tahun 1925 di Berkley, dan 2004 di Padang.
Perjuangan
yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia yang mewakili rakyat Indonesia pada umumnya, Tuanku Imam Bonjol
diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak
tanggal 6
November 1973. Selain
itu nama Tuanku Imam Bonjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama
jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran Rp 5.000 keluaran Bank
Indonesia 6 November 2001.
Perjuangan
Tuanku Imam Bonjol
Muhammad Shahab atau lebih dikenal
dengan nama Tuanku Imam Bonjol adalah seorang ulama, pemimpin, sekaligus
pejuang yang tercatat dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Ia memiliki peran
penting dalam melawan Belanda ketika Perang Padri yang terjadi pada 1803 hingga
1838. Imam
Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, pada 1772. Ia merupakan anak
dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari
Sungai Rimbang, Suliki. Sebagai anak seorang anak alim ulama, Imam Bonjol tentu
dididik dan dibesarkan dengan napas Islami.
Sejak
1800 hingga 1802, Imam Bonjol menimba dan mendalami ilmu-ilmu agama Islam di
Aceh. Usai menuntaskan masa pendidikannya, ia pun mendapat gelar Malin Basa,
yakni gelar untuk tokoh yang dianggap besar atau mulia. Sebelum berperang
melawan pasukan Hindia-Belanda, Imam Bonjol terlebih berseteru dengan kaum
adat. Ketika itu, kaum Padri yang di
dalamnya juga termasuk Imam Bonjol hendak membersihkan dan memurnikan ajaran
Islam yang cukup banyak diselewengkan. Kala itu, kalangan ulama di Kerajaan
Pagaruyung menghendaki Islam yang sesuai dengan ahlus sunnah wal jamaah dan
berpegang teguh pada Alquran serta sunah-sunah Rasulullah SAW.
Dalam
proses perundingan dengan kaum adat, tidak didapatkan sebuah kesepakatan yang
dirasa adil untuk kedua belah pihak. Seiring dengan macetnya perundingan,
kondisi pun kian bergejolak. Hingga akhirnya, kaum Padri di bawah pimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada 1815. Pertempuran pun pecah di Koto
Tangah, dekat Batu Sangkar. Pada Februari 1821, kaum adat yang tengah digempur
menjalin kerja sama dengan Hindia-Belanda untuk membantunya melawan kaum Padri.
Sebagai imbalannya, Hindia-Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas
wilayah Darek (pedalaman Minangkabau). Salah satu tokoh yang menghadiri
perjanjian dengan Hindia-Belanda kala itu adalah Sultan Tangkal Alam Bagagar,
anggota keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung.
Kendati
disokong oleh kekuatan dan pasukan kolonial, dalam peperangan, kaum Padri tetap
sulit ditaklukkan. Oleh karena itu, Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderal
Johannes van den Bosch mengajak pemimpin kaum Padri yang kala itu telah
diamanahkan kepada Imam Bonjol untuk berdamai. Tanda dari perjanjian damai
tersebut adalah dengan menerbitkan maklumat Perjanjian Masang pada 1824. Namun,
pemerintah Hindia-Belanda memang tidak sungguh-sungguh memiliki iktikad baik
dan ingin berdamai dengan kaum Padri. Hindia-Belanda melanggar kesepakatan
damai yang telah mereka buat dengan kaum Padri dengan menyerang Nagari Pandai
Sikek.
Pada
1833 kondisi peperangan pun berubah. Kaum adat akhirnya bergabung dan bahu
membahu dengan kaum Padri melawan pasukan kolonial. Bersatunya kaum adat dan
Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak
Pato di Tabek Patah. Dari sana lahirlah sebuah konsenus adat basandi syarak,
yakni adat berdasarkan agama. Bergabungnya kaum adat dan kaum Padri tentu
semakin menyulitkan pasukan Hindia-Belanda. Kendati sempat melakukan
penyerangan bertubi-tubi dan mengepung benteng kaum padri di Bonjol pada Maret
hingga Agustus 1837, hal tersebut tak mampu menundukkan perlawanan kaum Padri.
Hindia-Belanda bahkan tiga kali mengganti komandan perangnya untuk menaklukkan
benteng kaum Padri tersebut.
Sadar
bahwa taktik dan strategi perangnya kalah oleh kaum Padri, pemerintah Hindia-Belanda
pun mengambil jalan pintas. Pada 1837 mereka mengundang Imam Bonjol sebagai
pemimpin kaum Padri ke Palupuh untuk kembali merundingkan perdamaian. Berbeda
dengan sebelumnya, kali ini Hindia-Belanda memanfaatkan momen perundingan untuk
menjerat Imam Bonjol. Sesampainya di Palupuh, Imam Bonjol ditangkap. Tak hanya
ditangkap, pemimpin kaum Padri itu pun diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Perjalanan
pengasingan Imam Bonjol tak berhenti di sana. Dia sempat dibuang ke Ambon.
Pengasingannya terhenti di Lotak, Minahasa, dekat Manado, Sulawesi Selatan. Di
tempat pengasingannya yang terakhir itu Imam Bonjol menghembuskan napas
terakhirnya pada 8 November 1864.
Sosok
Imam Bonjol memang sangat patut menjadi seorang pemimpin yang dimuliakan. Ia
tidak hanya berjuang memurnikan ajaran dan nilai-nilai Islam, tapi ia pun rela
mempertaruhkan hidupnya untuk melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Reorientasi
Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra
Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng,
Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Muhammad Shahab atau Petto Syarif,
adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan
Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK
Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973.
Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman,
Indonesia pada tahun 1772.Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado,
Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus
Lotak, Minahasa. Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia
berasal dari Sumatera Barat. “Tuanku Imam Bonjol” adalah sebuah gelaran yang
diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto
Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.
Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan
dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam,
penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan
penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki semboyan Gold, Glory,
Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837). Mula-mula ia belajar agama
dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti
Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum
agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan
ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada
ajaran agama islam yang murni. Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya,
mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup
tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa
mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824.
Perjanjian itu disebut “Perjanjian Masang”. Tetapi perjanjian itu dilanggar
sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak
bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro.
Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan
secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat. Imam Bonjol dan pasukanya
tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan
Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut
Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada
tahun 1832.
Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang
besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke
atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat
“Palakat Panjang”, Tapi Tuanku Imam curiga. Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku
Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan
Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol,
sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun
dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.
Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih
oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan
di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai
pahlawan nasional. Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam
Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri
menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat
Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya
Riwayat Perjuangan
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan
kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20
tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama
orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya. Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai
dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan
Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang.
Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat. Riwayat hidup dan profil imam bonjol.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan
wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang
diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu
melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan
oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu
Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup
tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab
itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada
tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam
Bonjol berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang”, karena disaat bersamaan
Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa
seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda
dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang
antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu
melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan
Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik
justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat
dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama
Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak
basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah
(Al-Qur’an)).
Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam
Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing.
Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama.
“Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek
kalian?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita.
Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam
MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol
bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi
apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3]. — seperti rinci
dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan
Perampasan Bonjol 1834-1837.
Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan
tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang
sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan
Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Mayor Jendral
Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der
Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche
(pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo,
Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103
tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder
begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan
terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan
Paderi.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan
tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang,
Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals
dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang
direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut
Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.
Sumber : Google Wikipedia
Kisah
Tuanku Imam Bonjol dan Pengawal Setianya di Minahasa
Tuanku Imam Bonjol terus melawan kolonial
Belanda meski harus diasingkan ke berbagai pelosok nusantara. Ulama besar dari
Minangkabau itu menghembuskan napas terakhirnya pada 6 Nopember 1864, di sebuah
desa kecil bernama Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Provinsi
Sulawesi Utara. "Tuanku Imam Bonjol tidak mau menyerah pada Belanda. Dia
rela diasingkan, daripada harus berhianat pada bangsanya. Hingga akhirnya dia
wafat di Lotta ini," tutur Abdul Mutalib, Sabtu, 28 Mei 2016 (28/05/2016).
Perjalanan yang ditempuh dari Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara ke lokasi makam Imam Bonjol memakan waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan bermotor. Makamnya kini dijaga oleh keturunan pengawal setia Imam Bonjol bernama Apolos Minggu. Abdul Mutalib adalah generasi kelima Apolos Minggu. "Ibu saya Ainun Minggu (80) adalah keturunan keempat dari Apolos Minggu. Apolos ketika itu menikahi gadis Minahasa bernama Mency Parengkuan. Dari situ kemudian lahirlah keturunan-keturunan berikutnya," ujar Abdul.
Mency yang bernama lahir Wilhelmina Parengkuan adalah gadis cantik putri Mayoor Kakaskasen di Lota, Paul Frederik Parengkuan. Mendengar informasi putrinya bakal diculik para pekerja tambang, Paul memilih untuk menikahkan Menci dengan Apolos Minggu. "Menci masuk Islam dan bernama Yunansi, yang lantas menurunkan generasi hingga sekarang ini, sudah tujuh generasi," tutur Abdul. Dia mengatakan, dalam pengasingan itu Imam Bonjol tidak menikah. "Sehingga yang ada saat ini adalah keturunan dari pengawal yang bernama Apolos tadi," ujar Abdul.
Dari sejumlah cerita yang berkembang serta beberapa literatur, Apolos disebutkan seorang kopral yang setia terhadap Imam Bonjol. Dia sebenarnya berasal dari Maluku yang bertemu saat Imam Bonjol diasingkan ke Ambon, sebelum akhirnya dibuang dan wafat di Minahasa. Makam Imam Bonjol berada di lahan seluas 75 meter x 20 meter. Suasana di makam ini sejuk sebab terlindung pepohonan rimbun. Pusara Imam Bonjol berada dalam bangunan berbentuk rumah adat Minangkabau, berukuran 15 meter x 7 meter. "Ini satu-satunya bangunan di Minahasa dengan model rumah adat Minangkabau.
Ditambah
tulisan-tulisan huruf Arab yang menghiasi bangunan ini," ujar Abdul, yang
kesehariannya dipanggil Popa ini. Pada bagian belakang bangunan makam mengalir
Sungai Malalayang. Dengan menuruni sedikitnya 74 anak tangga dan jalan yang
berkelok-kelok di tepian sungai, terdapat sebuah bangunan yang dulunya dipakai
Imam Bonjol sebagai tempat melaksanakan salat. "Kini tempat itu dijadikan
musala bagi para peziarah yang melakukan salat. Meski memang di seberang jalan,
berhadapan dengan kompleks makam juga berdiri sebuah mesjid yang dinamakan Imam Bonjol," ujar Papo.
Komunitas
Muslim
Kini
di kompleks sekitar makam Tuanku Imam Bonjol, terdapat sedikitnya 20 kepala
keluarga. Merekalah yang setiap hari mengurus keberadaan makam Imam Bonjol. "Kami semua punya garis keturunan yang
sama dari Apolos Minggu. Keluarga-keluarga ini yang membentuk komunitas Islam
di Lotta, dan kemudian menyebar ke Pineleng sebagai pusat kecamatan,"
tutur dia. Atas jasa-jasanya, Tuanku Imam Bonjol diberikan penghargaan sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973.
Meski demikian, kepedulian pemerintah terhadap keberadaan makam itu sangat
kurang.
"Kami keluarga yang berusaha tetap merawat dan menjaganya. Tidak ada perhatian dari Pemerintah Sulawesi utara, padahal makam ini banyak dikunjungi warga dari luar Sulawesi Utara," ujar Papo. Untuk biaya perawatan, terdapat dua kotak amal di bagian depan makam. Meski tidak semua pengunjung yang datang memberikan sumbangan, hal itu tidak menyurutkan semangat Papo dan keluarganya untuk menjaga makam itu. Pada era pemerintahan Gubernur Sinyo Sarundajang periode 2010-2015, sempat muncul rencana dari keluarga Imam Bonjol untuk memindahkan makam itu ke tanah kelahirannya di Sumatera Barat. Wacana itu ditentang warga, begitu pun dengan Sinyo.
Sinyo berpendapat, Imam Bonjol sudah menjadi ”orang Minahasa” karena sempat hidup di Lota, Pineleng, selama sekitar 20 tahun sebelum wafat pada 6 November 1864. "Tuanku Imam Bonjol juga pahlawan kami. Pemerintah Provinsi Sulut sudah menganggarkan dana untuk renovasi makamnya," kata Sinyo ketika itu. Pria pensiunan salah satu BUMN ini itu mengatakan Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, pada 1772. Dia seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda.
Tuanku Imam Bonjol juga berperang melawan kaum adat untuk menegakkan nilai-nilai Islam, dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada 1803-1838.
"Ada nilai sejarah, cinta tanah air dan nilai agama yang bisa kita pelajari dan teladani dari Imam Bonjol. Melalui makam ini, nilai itu bisa selalu kita jaga," ujar Papo yang hari itu menggantikan peran ibunya yang sakit.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar