Selasa, 16 Oktober 2018

KISAH SULTAN HASANUDIN BANTEN


KISAH SULTAN HASANUDIN BANTEN

Orientasi
Sultan Hasanudin Banten atau yang bernama lengkap Sultan Maulana Hasanuddin memiliki peran penting menyebarkan agama Islam di Banten. Ia pendiri kesultanan Banten, sekaligus menjadi penguasa pertama kerajaan islam di Banten. Sultan Hasanudin adalah putra kedua dari Nyi Kawunganten, putri dari Prabu Surasowan yang saat itu menjabat sebagai bupati Banten dan Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan sebutan sunan gunung jati, salah satu dari walisongo.

Sejak kecil Sultan Hasanudin telah diberi gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin oleh kakeknya, Prabu Surasowan. Begitu sang prabu wafat, kedudukannya diwariskan pada putranya yang bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang kemudian memerintah di wilayah Banten Girang, di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Pada masa itu agama yang diakui secara resmi masihlah Hindu.

Sementara itu, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk menduduki posisi bupati Cirebon menggantikan pangeran Cakrabuana yang wafat, pangeran Hasanudin lebih memilih tetap tinggal di Banten untuk menjadi guru agama Islam, dan mendirikan pesantren. Selanjutnya, ia dikenal memiliki banyak santri sehingga diberi gelar Syekh. Sejak itu, ketenarannya jauh melampaui karisma bupati Banten, yaitu pamannya sendiri Prabu Pucuk Umun. Dan sejak itulah, hubungan keduanya berubah tidak harmonis.

Meskipun berbeda tempat, namun syekh Hasanudin tetap sering bersilaturahmi dan mengunjungi ayahnya. Waktu berlalu, hingga suatu hari Sunan Gunung Jati memberi tugas kepada anaknya untuk melanjutkan tugasnya menyebarkan dakwah di kota Banten karena ilmu agama Syekh Hasanudin yang dianggap telah berkecukupan. Tugas itu pun disanggupi syekh Hasanudin. Bersama para santri didikannya, ia menyebarkan dakwah islam dari gunung ke gunung di sekitar Banten hingga ke Ujung Kulon.

Sultan Hasanudin Banten dalam menyebarkan agama islam bukan takmengalami hambatan, yang terbesar justru datang dari Prabu Pucuk Umun. Ia bersikeras ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu yang dipengaruhi kepercayaan animism) sebagai satu-satunya agama resmi. Hal ini tidak menggentarkan semangat syekh Hasanudin, ia justru terus menyebarkan dakwah islam dengan gencar.

Akibatnya, Prabu Pucuk Umun menantang keponakannya untuk berperang. Bukan duel, melainkan adu ayam jago untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Jika ayam jago Pucuk Umun kalah, maka jabatannya sebagai bupati Banten Girang akan diserahkan pada Sultan Hasanudin, dan sebaliknya, jika ayam jago Sultan Hasanudin yang kalah, maka dakwahnya harus dihentikan. Tantangan itu pun diterima Sultan Hasanudin.

Duel dilakukan di lereng gunung Karang, dan dimenangkan oleh Sultan Hasanudin. Menurut beberapa versi, pertarungan tersebut bisa dimenangkan oleh Sultan Hasanudin karena bantuan pengawalnya yang juga ulama berilmu tinggi murid sunan Ampel, Syekh Muhamad Sholeh yang atas izin Allah lantas menjelma menjadi ayam jago, namun versi lain juga menyebutkan bahwa kemenangan tersebut mutlak didapat karena ayam jago Sultan Hasanudin sangatlah kuat.

Setelah memenangkan duel tersebut, Pucuk Umun menepati janjinya dengan menyerahkan tahta bupati Banten. Selanjutnya, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri ke pedalaman Banten, tepatnya di sekitar Gunung Kendeng. Atas perintah Pucuk Umun, para pengikutnya diminta menjaga serta mengelola kawasan tersebut. Konon inilah yang menjadi awal mula urang Kanekes yang dikenal juga dengan sebutan suku Baduy.

Sementara itu, para pengikut Pucuk Umun lainnya yang sebagian besar terdiri dari punggawa dan pendeta lantas menyatakan masuk Islam. Atas keberhasilannya, Sultan Hasanudin Banten diangkat oleh Sultan Demaj sebagai bupati Banten. Pemerintahan di Banten Girang kemudian dipindah ke Banten Lor di Utara pulau Jawa. Dari sinilah, tangan dingin Sultan Hasanudin terbukti mampu memajukan segala bidang. Ketika akhirnya Banten berubah menjadi kesultanan, Sultan Hasanudin tetap dipertahankan dan resmi menjadi Sultan pertama Banten.

Prabu Pucuk Umun VS  Sultan Maulana Hasanuddin
Cerita Rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap bangsa. Jika digali dengan sungguh-sungguh, negeri kita sebenarnya berlimpah ruah cerita rakyat yang menarik. Bahkan sudah banyak yang menulis ulang dengan cara mereka masing-masing. Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu, cerita rakyat diwariskan secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Saat ini, cerita-cerita rakyat tidak hanya merupakan cerita yang dikisahkan secara lisan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi berikutnya, akan tetapi telah banyak dipublikasikan secara tertulis melalui berbagai media.

Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin. Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’ langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang berarti.

Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing. Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai leher, mengenakan ikat kepala.

Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.

Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun, telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima) Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.

Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut: Sebagaimana yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan. Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang menang. Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung. Demikianlah maklumat kami sampaikan.”

Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter. Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari, dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh, bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.

Kedua jago itu saling terpental kearah belakang masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya, jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah. Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin. Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah gebukan telak.

Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu, jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi, sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton, pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”

Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal, memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Sementara itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin. Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten. Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober 1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.

Cerita-cerita yang dikemukakan di atas tentu saja hanyalah cerita rakyat, bukan data historis. Walaupun demikian, kesimpulan yang dapat ditarik ialah betapa akrabnya Banten dengan Islam sehingga agama ini sudah amat mendalam pengaruhnya terhadap alam pikiran orang Banten. Selain itu, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa agama Islam sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Banten, adalah wajar bila ada anggapan bahwa penyebaran Islam dari Demak melalui Cirebon lalu ke Banten itu merupakan fakta sejarah yang dihubungkan dengan kekuasaan kerajaan, padahal dalam kenyataannya dapat saja melalui tokoh-tokoh di luar itu, walaupun secara kecil-kecilan. Artinya di samping adanya wacana besar yang dibenarkan oleh sejarah, ada pula wacana kecil yang ternyata akhirnya terserap oleh beberapa cerita rakyat.

Kisah Perjalanan Maulana Hasanuddin menuju Banten
Pada Suatu hari Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati berucap kepada putranya “Hai Anakku Hasanuddin, sekarang pergilah engkau dari Cirebon dan carilah negeri yang penduduknya belum memeluk Islam”. Lalu setelah mendengar titah orang tua beliau, maka berangkatlah beliau seorang diri ke arah barat.
Setelah setengah perjalanan beliaupun mendaki gunung Munara yang terletak diantara Bogor dan Jasinga. Dan beliau bermunajat selama 14 hari meminta kepada Allah SWT supaya mendapat petunjuk. Dalam munajatnya datanglah sang ayah Sunan Gunung Jati lalu berucap “Hai anakku Hasanuddin, turunlah engkau dari Gunung Munara dan berjalanlah engkau ke arah barat ke Gunung Pulosari, yaitu negeri Azar. Negeri Azar adalah negerinya Pucuk Umun yang dinamai Ratu Azar Domas. Lalu pergilah ke Gunung Karang yaitu negerinya Azar”. Setelah berbicara ayahanda beliau kembali ke Cirebon.
Setelah mendapat petunjuk, akhirnya beliaupun turun gunung dan akhirnya berhenti di negeri Banten Girang yakni di sungai Dalung. Disana adalah tempat bersemedinya Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju, beliau berdua adalah saudara Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran. Ratu Pakuan dinamai Dewa Ratu dan Ratu Pajajaran dinamai Prabu Siliwangi. Sebelumnya Ki Ajar Ju dan Ki Ajar Jong telah diberi mimpi bertemu dengan Maulana Hasanuddin dan kemudian memeluk Islam dalam mimpi mereka berdua. Maka, sesampainya Maulana Hasanuddin di Banten Girang dan duduk disisi sungai Dalung, keluarlah Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju dari dalam Gua tempat pertapaan beliau berdua, lalu bersalaman dan mencium tangan Maulana Hasanuddin setelah bercerita akhirnya beliau berdua diajari membaca syahadat oleh Maulana Hasanuddin dan keduanya bertekad bulat memeluk Islam.
Akhirnya oleh Maulana Hasanuddin kedua santrinya ini diganti namanya dari Ajar Jong menjadi Mas Jong dan Ajar Ju diganti menjadi Agus Ju dan Maulana Hasanuddinpun memberikan arahan kapada keduanya apabila memiliki keturunan maka diharapkan keduanya memberikan ciri dalam nama keturunan keduanya. Kepada Mas Jong, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila suatu saat kamu mempunyai anak, maka berilah nama anak laki-lakimu yang tertua dengan tambahan Mas dan yang termuda Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Mas”. Dan kepada Agus Ju, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila kelak satu saat kamu mempunyai anak, maka berilah tambahan pada nama anak laki-lakimu yang tertua Ki Agus dan yang termuda Ki Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Ayu”. Demikianlah sejarah keturunan nyi mas, nyi ayu, entul, ki agus dan mas yang berasal dari keturunan santri Maulana Hasanuddin ini.
Selanjutnya Mas Jong dan Agus Ju diperintah oleh Maulana Hasanuddin untuk menaklukkan Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, maka berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju sesuai titah Maulana Hasanuddin.

Penaklukan Pucuk Umun
Ditempat berbeda Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran telah mengetahui akan kedatangan saudara-saudara mereka yang akan menaklukkan mereka, maka sebelum Mas Jong dan Agus Ju datang, Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran kabur dari tempat semedi dan berkumpul ke Gunung Pulosari tempat Pucuk Umun berada. Setibanya ditempat semedinya Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, Mas Jong dan Agus Ju-pun tidak mendapati Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran berada di tempat semedi keduanya, maka Mas Jong dan Agus Ju-pun kembali ke Banten Girang untuk menemui Maulana Hasanuddin dan melaporkan bahwa Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran tidak ada dan telah menghilang dari tempat semedi keduanya. Mendengar laporan dari keduanya tentang keberadaan Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran yang tidak di ketahui. Maulana Hasanuddin pun berkata kepada santri beliau ini “Mari kita datangi saja ke Gunung Pulosari, kalian ikuti langkahku”. Maka keduanyapun mengikuti seperti apa yang disarankan Maulana Hasanuddin kepada mereka bedua.

Maka berangkatlah mereka bertiga menuju Gunung Pulosari, Di Gunung Pulosari ditempat Pucuk Umun berada,  Pucuk Umun telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin dan santrinya berencana mengislamkan Pucuk Umun dan teman-teman. Maka bermusyawarahlah Pucuk Umun bersama rekan-rekannya, setelah bermusyawarah Pucuk Umun pun duduk di atas batu putih tempat bersemedinya di Kandang Kurung yang ditemani oleh Ajar Domas Kurung Dua. Maka tibalah Maulana Hasanuddin ke Kandang Kurung dan menemui Pucuk Umun yang sedang duduk, berkatalah Maulana Hasanuddin “Hai Pucuk Umun, Saya datang kemari mau menaklukan kamu, sekarang kamu semua Islamlah, masuklah kamu ke agama  Nabi (Muhammad SAW), berucaplah kalian semua Dua Kalimat (Syahadat)”. Lalu berkatalah Pucuk Umun “Tuan, Saya belum tunduk ke agama Nabi (Muhammad SAW) dan saya belum takluk kepada tuan apabila belum kalah dalam tarung kesaktian, sehingga apabila saya kalah kesaktian maka saya baru takluk kepada tuan”. Mendengar  tantangan Pucuk Umun tersebut, Mualana Hasanuddin-pun berkata “Silahkan engkau pilih tarung kesaktian apa yang engkau inginkan?”. “baiklah, saya ingin tarung kesaktian dengan tarung ayam” ujar Pucuk Umun. Akhirnya disetujuilah permintaan Pucuk Umun tersebut oleh Maulana Hasanuddin, akhirnya mereka-pun mencari arena yang luas untuk tarung kesaktian, dan didapatilah suatu lahan yang berada di wilayah Waringinkurung yaitu disuatu kebon yang rata yang disebut Tegal Papak.

Selanjutnya Pucuk Umun dan para Ajar istidroj dan membuat ayam jago yang terbuat dari besi, baja, dan pamor yang terbuat dari sari baja dan rosa. Akhirnya jadilah barang-barang tersebut seekor ayam jago yang memiliki raut mirip jalak rawa. Dilain tempat Maulana Hasanuddin bermunajat kepada Allah SWT. Memohon pertolongan untuk mengalahkan dan menaklukkan Pucuk Umun, agar Pucuk Umun dan para Ajarnya memeluk agama Nabi Muhammad SAW. Dengan kekuasaan Allah SWT. Maka datanglah jin dan atas keinginan Maulana Hasanuddin berubahlah jin tersebut menjadi seekor ayam jago dan memiliki raut mirip jalak putih.

siap maka Maulana Hasanuddin yang diikuti kedua muridnya Mas Jong dan Agus Ju serta para jin yang membawa palu yang terbuat dari besi magnet berangkat menuju tempat pertandingan. akhirnya rombongan Maulana Hasanuddin-pun sampai di Tegal Papak pada hari Selasa, disana rombongan dan pengikut Pucuk Umun telah berada ditempat menunggu kedatangan Maulana Hasanuddin. Setelah berjumpa keduanya, maka Pucuk Umun berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, inilah ayam jago saya, apabila kalah kami sanggup takluk kepada tuan”. “Saya pun demikian, apabila kalah dengan ayam jago mu, saya akan menghamba kepadamu” balas Maulana Hasanuddin.

Lalu bertarunglah ayam jago Pucuk Umun dan ayam jago Maulana Hasanuddin, gemuruh senangpun datang dari Pucuk Umun dan Ajarnya. Serangan ayam jago Pucuk Umun seperti suara guntur, tepuk tangan dan rasa riang menyelimuti rombongan Pucuk Umun yang meyakini bahwa ayam jago mereka bakal memenangkan pertarungan. namun meski serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh ayam jago Pucuk Umun kepada ayam jago Maulana Hasanuddin,  ayam jago Maulana Hasanuddin tidak surut dan terus berusaha mengalahkan ayam jago Pucuk Umun. Disatu waktu akhirnya ayam jago Maulana Hasanuddin mampu menghancurkan ayam jago Pucuk Umun menjadi debu. Melihat kekalahan ayam jago Pucuk Umun, gemuruh senang dan tepuk tanganpun berhenti menjadi sepi senyap. Selanjutnya kembali pulanglah Ajar dan juga ayam jago yang hancur tadi mewujud seperti asalnya menjadi besi pamor dan baja. Sementara para Ajar Domas masuk Islam dihadapan Maulana Hasanuddin dan membaca dua kalimat syahadat disaksikan Maulana Hasanuddin.

Sementara itu, Pucuk Umun yang telah dikalahkan berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, saya belum takluk kepada tuan karena masih banyak kesaktian saya, apabila telah habis barulah saya takluk”. mendengar tantangan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddinpun membalas “keluarkan semua kesaktianmu saat ini, saya ingin tahu kemampuanmu”. akhirnya Pucuk Umun pun terbang dan hilang dari penglihatan Maulana Hasanuddin. selanjutnya dari balik mega Pucuk Umun memanggil nama Maulana Hasanuddin. mendengar panggilan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Hai Mas Jong dan Agus Ju, datangilah Pucuk Umun yang berada di balik mega dan pukullah sekalian” lalu berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju ke atas awan, saat akan dipukul oleh Mas Jong dan Agus Ju, Pucuk Umun pun menjerit dan menghilang lagi. Melihat hal demikian, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya  “Dengan ridho Allah SWT. Pucuk Umun jadilah kafir iblis laknaktullah, tidak ingin masuk Islam, kamu berdua pulanglah”. maka turunlah kedua santri tersebut dari langit, setelah berkumpul berangkatlah rombongan Maulana Hasanuddin, Mas Jong dan Agus Ju yang diikuti juga oleh para Ajar Domas dari Tegal Papak menuju Gunung Pulosari.

Penaklukan Ratu Darah Putih
Sesampainya rombongan Maulana Hasanuddin di Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati datang menghampiri Maulana Hasanuddin dan berucap “Hai anakku Hasanuddin, mari kita pergi haji ke Makkah, karena sekarang adalah hari haji”. Selanjutnya Maulana Hasanuddin dibungkus selendang Sunan Gunung Jati. berangkatlah Sunan Gunung Jati dan Maulana Hasanuddin menuju Makkah Al-Mukarromah meninggalkan Mas Jong dan Agus Ju beserta para Ajar Domas di Gunung Pulosari.

Di Makkah Maulana Hasanuddin melaksanakan towaf dan diajarkan thoriqat Syathariyah, lalu berangkat ke Madinah. setelah selesai melaksanakan haji, Maulana Hasanuddin kembali ke Gunung Pulosari beserta ayahanda beliau.  Setelah Maulana Hasanuddin menjalankan ibadah haji, terdengar kabar kematian beberapa penjaga Banten yaitu Pucuk Umun di Jung Kulon, Dewa Ratu di Panahitan, Prabu Langkarang di Tanjung Tua, Prabu Langka Wastu di Gunung Raja Basa, Prabu Langgawana di Gunung Lor, Prabu Mundaeng Kalangon di Puncak Gunung Karang, Brama Kendala di Gunung Pulosari, Sida Sakti di Gunung Tanjung Pujut, Prabu Mundaiti di Gunung Kendeng, Prabu Lengkang Klincang Kangkaring di Gunung Karawang. dari sekian Ajar yang meninggal yang masuk Islam dan kekal dalam Islamnya yaitu berjumlah 486 orang Ajar.

Setelah pulang dari Makkah bersama ayahanda Sunan Gunung Jati, Sunan Gunung Jati memberikan titah kepada Maulana Hasanuddin “Hai anakku, carilah negara setengahnya adalah lautan”. Maka, Maulana Hasanuddin pun mengikuti titah ayah beliau, Maulana Hasanuddin kembali ke Banten Girang diikuti oleh Mas Jong dan Agus Ju beserta para Ajar. Sesampainya di Banten Girang Maulana Hasanuddin mengumpulkan seluruh pengikutnya, lalu Maulana Hasanuddin berkata “Sekarang tunggulah kalian semua disini (Banten Girang), karena saya hendak berkeliling bersama santri dua ini yaitu Mas Jong dan Agus Ju” setelah berkata demikian, Maulana Hasanuddin beserta Mas Jong dan Agus Ju meninggalkan para Ajar di Banten Girang.

Selanjutnya Maulana Hasanuddin berjalan dari Banten Girang ke arah Selatan, lalu mengikuti pesisir selatan ke arah UJung Kulon, lalu ke Penahitan tanpa menggunakan perahu lagi. sesampainya ditengah-tengah dari Jung Kulon, Maulana Hasanuddin berkata kepada kedua santrinya “Menyelamlah kamu ke dalam lautan, ambilah Gong Kaleng” maka menyelamlah kedua dan berhasil mendapatkan Gong Kaleng. setelah mengangkat Gong Kaleng, Maulana Hasanuddin turun dari Panahitan dan melanjutkan ke Pulau Semangka terus ke Sidebu dan melanjutkan ke Bangka Hulu dan dilanjutkan ke Pulau Sulaibar lalu ke Malangkabu. di Malangkabu Maulana Hasanuddin berjumpa dengan Raja Malangkabu, dari sana beliau melanjutkan perjalanan ke arah Utara mengikuti pesisir hingga sampailah di Sirem negerinya Ratu Darah Putih Tanah Liat. Disana Ratu Darah Putih sudah mendapat isyarat dari Allah SWT. agar masuk Islam dan akan datang kepadanya Seorang Waliyullah.

Ratu Darah Putih akhirnya dapat bertemu dengan Maulana Hasanuddin di tengah laut, Ratu Darah Putih-pun Masuk Islam dan diajarkan dua kalimat syahadat oleh Maulana Hasanuddin. setelahnya masuk Islam Ratu Darah Putih diserahi oleh Maulana Hasanuddin untuk mengislamkan seluruh penduduk Lampung dan kepadanya diperintah menanam Merica di tanah Lampung. Akhirnya keduanyapun berpisah Ratu Darah Putih pulang dan mengislamkan penduduk Lampung, sementara Maulana Hasanuddin kembali ke Timur menuju Karawang, dari Karawang Maulana Hasanuddin melanjutkan perjalanannya ke arah Selatan melewati hutan hingga sampai  di Bogor Utara, lalu kembali kearah Barat melewati hutan dan sampai di Ujung Kulon dari Ujung Kulon kembali pulang ke Banten Girang hingga menetaplah Maulana Hasanuddin di Banten Girang.

Pengangkatan Maulana Hasanuddin menjadi Sultan Banten Pertama
Setelah menetap di Banten Girang, Maulana Hasanuddin berucap kepada Mas Jong dan Agus Ju agar menempatkan masyarakatnya dan mendirikan perkampungan Banten. Maka keduanya pun segera melaksanakan titah Maulana Hasanuddin membuka dan membersihkan hutan dan pegunungan untuk didirikan perkampungan-perkampungan dan keduanya mengajak masyarakat untuk menempati hutan dan pegunungan yang sudah dibersihkan tersebut. Setelah selesai dengan tugasnya Mas Jong dan Agus Ju pun akhirnya kembali ke Banten Girang melaporkan tugas yang telah dilaksanakannya kepada Maulana Hasanuddin.

Suatu hari Maulana Hasanuddin berangkat dari Banten Girang menuju ke arah Utara mengikuti jalan pesisir Banten Serang, dan terus berjalan di atas laut diiringi oleh kedua santrinya Mas Jong dan Agus Ju. Ketika sampai di tengah lautan mereka sholat dua rakaat, setelah selesai dari sholatnya maka lautpun kering dan menjadi daratan, maka duduklah Maulana Hasanuddin di atas batu gilang (batu yang berwarna hitam pekat) yang ada di pancaniti (aula), yaitu disifati negri di jajaloka (Jayaloka) negri Surosoan. Disitulah Maulana Hasanuddin mendirikan keraton yang dinamai Kipanggang rupanya seperti tempat panggangan ikan pari.

Setelah keraton selesai didirikan, maka sang ayah Syarif Hidayatullah datang dan memberikan kabar kepada Maulana Hasanuddin bahwa Pangeran Ratu (Ratu Ayu Kirana) ibunda dari Ratu Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Agung atau Ratu Kumadaragi, Pangeran Molana Magrib dan Ratu Ayu Arsanengah ini telah ditetapkan sebagai Sultan di Demak oleh Maulana Syarif Hidayatullah, maka menjadi ketetapan Maulana Syarif Hidayatullah juga kalau Maulana Hasanuddin menjadi Sultan di Banten. Setelah Maulana Syarif Hidayatullah selesai mengutarakan tujuannya tanpa menunggu lama Maulana Syarif Hidayatullah berangkat kembali menuju Cirebon.

Maka jadilah Maulana Hasanuddin Sultan Banten pertama, pertama tugas yang dilaksanakan oleh Maulana Hasanuddin adalah mendirikan masjid Agung, dan dalam titahnya sebagai Sultan Maulana Hasanuddin menugaskan Indra Kumala penjaga Gunung Karang yang bertempat tugas di Sumur Tujuh, Manik Kumala ditugaskan menjaga pemandian sungai Banten, Mas Jong ditugaskan menjaga Pintu Merah (Lawang Abang) di dalam istana sebelah kanan, dan Agus Ju ditugaskan menjaga pintu Utara. Demikian kisah perjalanan Maulana Hasanuddin di negeri Banten semoga bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya oleh kita. Amin

Siluman Banten
Ø Penunggu Muara Sungai Karangantu-Sang Ratu Haya Kulaibar
Ø Penunggu Muara Karangantu-Sang Ratu Qobaihan, Sang Ratu Lingga  Buana
Ø Penunggu Alun-Alun-Sang Ratu Jalalan
Ø Penunggu Qonjaniti-Sang Ratu Lingga Wesi
Ø Penunggu Pusat Kota-Sang Ratu Langka Pakasa
Ø Penjaga Berkeliling Banten-Sang Ratu Langlang Buana
Ø Penunggu Pangkalan Sungai-Ratu Buyut Batu
Ø Penunggu Ujung Sungai-Sang Ratu Langkapara

Sultan-sultan Banten
§  Maulana Hasanudin - Panembahan Surosowan (1552–1570)
§  Maulana Yusuf - Panembahan Pakalangan Gedé (1570–1580)
§  Maulana Muhammad - Pangeran Ratu Ing Banten (1580–1596)
§  Pangeran Ratu - Abdul Kadir Kenari (1596–1651)
§  Ageng Tirtayasa - Abul Fath Abdul Fattah (1651–1683)
§  Abu Nasr Abdul Kahhar - Sultan Haji (1682–1687)
§  Abdul Fadhl (1687–1690)
§  Abul Mahasin Zainul Abidin (1690–1733)
§  Muhammad Wasi Zainifin (1733–1750)
§  Muhammad Syifa (1750–1752)
§  Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752–1753)
§  Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753–1773)
§  Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773–1799)
§  Muhyiddin Zainush Sholihin (1799–1801)
§  Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801–1802)
§  Wakil Pangeran Natawijaya (1802–1803)
§  Aliyuddin II (1803–1808)
§  Wakil Pangeran Suramanggala (1808–1809)
§  Muhammad Syafiuddin (1809–1813)
§  Muhammad Rafiuddin (1813–1820)

Karya KH. Abdul Latif Cibeber
           Disalin oleh Syihabuddin Al-Idris
           Ditulis ulang oleh Imat Rohmatulloh

Sekilas Tentang Sejarah Suku Baduy
Menilik sejarah Suku Baduy tentunya tidak terlepas dari asal-usul masyarakat etnis itu sendiri. Suku Baduy atau Badui, dan biasa juga menyebut masyarakatnya sebagai “urang Kanekes” disinyalir merupakan sebutan yang mengacu pada nama wilayah atau tempat asal mereka, yaitu Kanekes. Menurut pendapat lain, sebutan “Baduy” merupakan sebutan masyarakat luar untuk menyebut etnis tersebut yang diawali dari sebutan para peneliti Belanda untuk menamakan masyarakat nomaden (masyarakat yang hidup berpindah-pindah) di sekitaran gunung dan sungai Baduy yang terletak di bagian utara wilayah Kanekes. Suku Baduy termasuk ke dalam etnis Sunda yang tinggal di Kabupaten Lebak Banten. Hingga saat ini sebagian besar masyarakatnya, terutama yang terdapat di pedalaman Baduy, masih sangat menutup diri dari dunia luar serta memegang kuat nilai adat-istiadat secara turun-temurun.

Asal-usul Suku Baduy
Secara garis besar, ada tiga pendapat berbeda mengenai asal mula sejarah Suku Baduy. Yaitu pendapat para ahli sejarah, kepercayaan turun-temurun penduduk setempat, dan analisis kesehatan yang dilakukan dokter Van Tricht pada tahun 20-an. Menurut pendapat para ahli dengan mengaitkan beberapa bukti sejarah seperti penemuan prasasti, penelusuran catatan para pelaut Tiongkok dan Portugis, serta folklore berupa cerita rakyat tentang tatar Sunda, disimpulkan bahwa masyarakat Baduy memiliki hubungan erat dengan kerajaan Pajajaran di masa lampau.
Versi pertama berdasar bukti sejarah menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan komunitas orang-orang pelarian dari kerajaan Pajajaran yang dulunya berpusat di wilayah Pakuan (sekarang menjadi daerah Bogor) dan mengalami kehacuran sekitar abad ke 16. Versi berikutnya menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan turunan para prajurit khusus yang diutus oleh Pangeran Pucuk dari Pajajaran untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng tanpa boleh membuka identitasnya agar tidak dikenali musuh.

Pendapat para ahli tersebut ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Baduy. Berdasar kepercayaan etnis tersebut, mereka adalah turunan murni Batara Cikal yang diutus ke bumi. Mereka juga menganggap bahwa Nabi Adam merupakan cikal bakal orang Kanekes yang memiliki tugas penting untuk bertapa demi menjaga keseimbangan dunia. Menguatkan kepercayaan masyarakat Baduy tersebut, dr Van Tricht yang mengadakan riset kesehatan pada tahun 20-an juga menyebutkan bahwa masyarakat etnis Baduy memanglah penduduk asli wilayah tersebut dan sudah ada jauh sebelum hancurnya kerajaan Pajajaran. Menurut Van Tricht, raja bernama Rakeyan Darmasiksa yang dahulu berkuasa di wilayah tersebut memerintahkan masyarakat Baduy untuk menempati daerah Baduy dengan kewajiban memelihara kabuyutan (ajaran leluhur) sehingga ditetapkan sebagai daerah suci (mandala). Ajaran leluhur di daerah ini dikenal dengan nama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan (Sunda asli), yang kemudian juga menjadi agama asli masyarakat Baduy.

Terlepas dari keragaman pendapat mengenai asal-usul sejarah Suku Baduy, etnis tersebut hingga saat ini terbukti masih memegang kuat ajaran nenek moyangnya, yaitu mengenai adat “Pikukuh” yang wajib dianut dalam keseharian. Konsep terpenting di dalamnya adalah aturan mengenai kehidupan sederhana yang apa adanya tanpa perlu diubah-ubah. Mulai dari pertanian, pembangunan, hingga pakaian, konsep tersebut terus diterapkan sehingga masyarakat Baduy jarang berhadapan dengan kesulitan hidup. Oleh karena itu, belajar dari sejarah Suku Baduy dan awal mula kemunculannya, baik yang didasarkan pendapat para ahli atau kepercayaan masyarat Baduy sendiri, perkembangan etnis tersebut hingga saat ini pada dasarnya berlandas dari ketetapan masyarakatnya untuk mempertahankan nilai kebenaran dalam suatu budaya yang telah ada dan melestarikannyan secara turun-temurun. Hasilnya, dengan terus menyelaraskan diri dengan alam tanpa bersinkronisasi dengan peradaban terkini pun, masyarakat etnis asli Sunda satu ini terbukti mampu menciptakan sejarah Suku Baduy yang tetap hidup dan bahkan semakin berkembang.

Mari Mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar
Dari sekian banyak suku yang mempertahankan kearifan lokal serta adat istiadatnya di seluruh pelosok Nusantara, tentunya masih terasa kurang jika belum mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar. Hingga saat ini, kedua suku tersebut masih memegang teguh nilai kepercayaan dan adat-istiadat dari para leluhurnya sehingga kebudayaan yang dianutnya sulit terkontaminasi dunia luar. Meskipun dibagi menjadi dua golongan oleh masyarakat luar menjadi Suku Baduy Dalam dan Luar, pada dasarnya masyarakat Baduy sendiri hanya menganggap ada satu Baduy. Masyarakat etnis Sunda ini hidup bersama bersinergi dengan alam di wilayah Banten, tepatnya di pegunugan Kendeng, desa Kanekes, Kabupaten Lebak.

Penggolongan Suku Baduy
Suku Baduy digolongkan menjadi Suku Baduy Dalam dan Luar karena perbedaan mendasar mengenai tataran adat yang diberlakukan keduanya. Hingga saat ini masyarakat Baduy dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan. Hal ini berbeda dengan cara hidup masyarakat Baduy luar yang secara garis besar sudah sedikit terkontaminasi budaya modern.

Dilihat dari jumlah penduduknya, masyarakat baduy luar atau urang penamping memiliki kelompok besar berjumlah ribuan orang yang menempati puluhan kampung di bagian utara Kanekes seperti daerah kaduketuk, cikaju, gajeboh, kadukolot, Cisagu, dsb. Sementara di bagian selatan yang terletak di pedalaman hutan ditempati masyarakat Baduy dalam atau urang Dangka yang hanya berpenduduk ratusan jiwa serta tersebar di tiga daerah, yaitu kampong Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.

Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Luar
Mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar dapat tercirikan dari perbedaan yang cukup kentara, terutama mengenai pantangan yang ditaati masyarakatnya. Dilihat dari penampilan, masyarakat Baduy luar menggunakan pakaian serba hitam atau biru donker untuk menyatakan bahwa mereka tidak lagi suci. Sementara masyarakat Baduy dalam relatif menggunakan pakaian yang didominasi warna putih, meski kadang ditambahkan ikat kepala hitam. Masyarakat baduy luar juga mengenali teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun sesuai pantangan adat yang berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya, dan bahkan menolak penggunaan listrik.

Dalam pembuatan rumah, masyarakat Baduy luar juga menggunakan alat bantu seperti palu, gergaji, dan sebagainya yang masih dilarang keras untuk dipergunakan oleh masyarakat Baduy dalam. Begitu juga dengan penggunaan bahan kimia seperti sabun dan sampo yang diperbolehkan digunakan oleh masyarakat Baduy luar, sementara masih berupa larangan oleh masyarakat Baduy dalam karena dianggap dapat mencemari alam.

Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh masyarakat tertutup dari Baduy dalam. Misalnya saja tidak boleh mengambil foto kawasan Baduy Dalam, mengikuti aturan adat istiadat yang diberlakukan saat berkunjung, dan tidak menerima tamu negara asing keturunan kaukasoid, mongoloid, juga negroid.

Nilai Hidup dalam Budaya Suku Baduy
Walaupun berbeda, nilai luhur dalam adat suku Baduy masih dipegang kuat dan terus diwariskan turun-temurun oleh seluruh masyarakatnya. Hal tersebut telah ditanam sedari kecil melalui tradisi ngolak, yaitu pendidikan orangtua terhadap anaknya untuk mengajarkan hidup yang apa adanya, kesederhanaan, kekeluargaan lewat jiwa gotong royong, juga bermacam kebisaan seperti berladang atau menenun.

Hingga saat ini masyarakat Baduy tidak mempergunakan transportasi apapun dan hanya berjalan kaki untuk berpergian, mereka juga memilih tidak menggunakan alas kaki, tidak bepergian lebih dari 7 hari ke luar Baduy, membangun segala kebutuhan seperti rumah, jembatan, dsb, dengan bantuan alam, memanfaatkan alam, dan untuk alam, serta memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya sendiri dengan menenun atau bercocok tanam. Oleh karena itu, mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar bukan hanya sekadar memberi wawasan penting mengenai budaya murni yang masih hidup di nusantara, tapi juga mengajarkan makna kehidupan soal keselarasan hidup melalui nilai budaya yang diterapkan oleh masyarakatnya.

Keistimewaan Masjid Agung Banten yang Wajib Diketahui
Masjid Agung Banten yang terletak di utara Kota Serang, Provinsi Banten merupakan situs wisata religi yang berdiri kokoh sebagai lambang peradaban budaya Islam yang bertahan hingga saat ini. Masjid ini mudah dikenali karena bentuk menaranya yang menyerupai mercusuar. Sejak dibangun pertama kali pada tahun 1556 semasa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin, masjid ini telah menjadi salah satu bangunan tertua di Indonesia yang kaya akan nilai sejarah karena merupakan pusat penyebaran agama islam di Banten. Masjid Agung Banten terbilang istimewa. Karena selain biasa dijadikan sebagai objek wisata religi dengan berziarah ke makam-makam para sultan Banten beserta keluarga yang terdapat di dalamnya, masjid ini juga menyimpan peninggalan bersejarah kerajaan islam Banten sekitar abad ke-16 masehi.

Selain itu, arsitektur bangunannya terbilang cukup unik karena memadukan ciri khas bangunan Jawa Hindu, Eropa, dan Cina. Hal ini karena masjid dirancang oleh tiga arsitektur berbeda yaitu arsitek Majapahit bernama Raden Sepat, arsitek Cina asal Tiongkok bernama Tjek Ban Tjut (baca: Cek ban su) yang diberi gelar pangeran Adiguna, serta arsitek Belanda beragama islam yang melarikan diri dari Batavia bernama Hendrik Lucaz Cardeel dan diberi gelar pangeran Wiraguna.

Raden Sepat merupakan arsitek berpengalaman yang juga berjasa membangun masjid agung Cirebon dan masjid Demak. Sementara Tjek Ban Tjut menyumbangkan karya uniknya pada atap utama masjid dengan bentuk bangunan bersusun lima menyerupai pagoda, sekaligus serambi masjid di bagian utara dan selatan, juga bagian tangga masjid. Hendrik Lucaz Cardeel sendiri ikut andil menyumbangkan rancangan terpentingnya berupa Tiyamah, yaitu bangunan dua lantai berbentuk persegi panjang bergaya arsitektur Belanda kuno, dan menara unik berbentuk segi delapan setinggi 23 m dengan 83 undakan anak tangga di sebelah timur masjid yang hingga saat ini menjadi semacam penanda berdirinya Masjid Agung Banten.

Pada zaman dahulu, menara masjid agung ini selain digunakan untuk mengumandangkan adzan, digunakan juga untuk menyimpan persenjataan penduduk Banten. Kini, menaranya digunakan juga untuk sekadar menikmati pemandangan di perairan lepas pantai. Sementara Tiyamah sebelum dijadikan museum benda-benda peninggalan kesultanan Banten, dulunya lebih sering digunakan sebagai tempat pertemuan penting untuk membahas kegiatan agama dan sosial. Keunikan lainnya, berbagai bangunan inti serta pelengkapnya yang dirancang di dalam serta di luar masjid seperti ornamen pada pintu, jumlah dan tinggi pintu, jumlah tiang penyangga atap, hingga bentuk mimbar yang antik, dan lain sebagainya kesemuanya diperhitungkan dengan teliti dan memiliki filosofi serta simbol masing-masing.

Misalnya saja 24 tiang penyangga atap dalam bangunan inti masjid merupakan simbol waktu dalam sehari sedangkan masing-masing tiang yang berbentuk segi delapan menandakan tiga pembagian waktu dari 24 jam, yaitu untuk ibadah, untuk bekerja dan mencari penghidupan, serta untuk istirahat. Begitu pula dengan umpak batu andesit berbentuk labu ukuran besar yang terdapat pada tiap dasar tiang masjid dan juga pendopo digambarkan sebagai simbol pertanian untuk mengingatkan serta menunjukkan kemakmuran kesultanan Banten lama pada masanya, Selain itu, di bagian depan masjid juga terdapat istimewa, yaitu alat pengukur waktu sholat tradisional berbentuk kubah yang menggunakan bantuan sinar matahari untuk mengetahui ketepatan waktu sholat. Hingga sekarang, Masjid Agung Banten tidak pernah sepi pengunjung. Selain ramai oleh para peziarah, masjid ini juga menjadi objek multiwisata yang memberikan nilai luhur dari peninggalan kejayaan kesultanan Banten di masa lampau.

Sumber : Google Wikipedia


1 komentar:

  1. Daftar Sabung Ayam Online DiSitus Linkaja88 - Bisa Pakai Linkaja Dan Dapat Bonus Cashback s/d 10% Setiap Minggu lohh...

    Info Lengkap Hubungi Kontak CS kami sekarang juga ! Klik Link : http://bit.ly/cslinkaja88

    #s128 #sv388 #sabungayamonline

    BalasHapus

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...