KISAH
SULTAN HASANUDIN BANTEN
Orientasi
Sultan
Hasanudin Banten atau yang bernama lengkap Sultan Maulana Hasanuddin memiliki
peran penting menyebarkan agama Islam di Banten. Ia pendiri kesultanan Banten,
sekaligus menjadi penguasa pertama kerajaan islam di Banten. Sultan Hasanudin adalah putra
kedua dari Nyi Kawunganten, putri dari Prabu Surasowan yang saat itu menjabat
sebagai bupati Banten dan Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan
sebutan sunan gunung jati, salah satu dari walisongo.
Sejak
kecil Sultan Hasanudin telah diberi gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin
oleh kakeknya, Prabu Surasowan. Begitu sang prabu wafat, kedudukannya
diwariskan pada putranya yang bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang
kemudian memerintah di wilayah Banten Girang, di bawah kekuasaan kerajaan
Pajajaran. Pada masa itu agama yang diakui secara resmi masihlah Hindu.
Sementara
itu, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk menduduki posisi bupati Cirebon
menggantikan pangeran Cakrabuana yang wafat, pangeran Hasanudin lebih memilih
tetap tinggal di Banten untuk menjadi guru agama Islam, dan mendirikan
pesantren. Selanjutnya, ia dikenal memiliki banyak santri sehingga diberi gelar
Syekh. Sejak itu, ketenarannya jauh melampaui karisma bupati Banten, yaitu
pamannya sendiri Prabu Pucuk Umun. Dan sejak itulah, hubungan keduanya berubah
tidak harmonis.
Meskipun
berbeda tempat, namun syekh Hasanudin tetap sering bersilaturahmi dan
mengunjungi ayahnya. Waktu berlalu, hingga suatu hari Sunan Gunung Jati memberi
tugas kepada anaknya untuk melanjutkan tugasnya menyebarkan dakwah di kota
Banten karena ilmu agama Syekh Hasanudin yang dianggap telah berkecukupan.
Tugas itu pun disanggupi syekh Hasanudin. Bersama para santri didikannya, ia
menyebarkan dakwah islam dari gunung ke gunung di sekitar Banten hingga ke
Ujung Kulon.
Sultan
Hasanudin Banten dalam menyebarkan agama islam bukan takmengalami hambatan,
yang terbesar justru datang dari Prabu Pucuk Umun. Ia bersikeras ingin
mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (agama Hindu yang dipengaruhi kepercayaan
animism) sebagai satu-satunya agama resmi. Hal ini tidak menggentarkan semangat
syekh Hasanudin, ia justru terus menyebarkan dakwah islam dengan gencar.
Akibatnya,
Prabu Pucuk Umun menantang keponakannya untuk berperang. Bukan duel, melainkan
adu ayam jago untuk menghindari jatuhnya korban jiwa. Jika ayam jago Pucuk Umun
kalah, maka jabatannya sebagai bupati Banten Girang akan diserahkan pada Sultan
Hasanudin, dan sebaliknya, jika ayam jago Sultan Hasanudin yang kalah, maka
dakwahnya harus dihentikan. Tantangan itu pun diterima Sultan Hasanudin.
Duel
dilakukan di lereng gunung Karang, dan dimenangkan oleh Sultan Hasanudin.
Menurut beberapa versi, pertarungan tersebut bisa dimenangkan oleh Sultan
Hasanudin karena bantuan pengawalnya yang juga ulama berilmu tinggi murid sunan
Ampel, Syekh Muhamad Sholeh yang atas izin Allah lantas menjelma menjadi ayam
jago, namun versi lain juga menyebutkan bahwa kemenangan tersebut mutlak
didapat karena ayam jago Sultan Hasanudin sangatlah kuat.
Setelah
memenangkan duel tersebut, Pucuk Umun menepati janjinya dengan menyerahkan
tahta bupati Banten. Selanjutnya, ia dan para pengikutnya mengasingkan diri ke
pedalaman Banten, tepatnya di sekitar Gunung Kendeng. Atas perintah Pucuk Umun,
para pengikutnya diminta menjaga serta mengelola kawasan tersebut. Konon inilah
yang menjadi awal mula urang Kanekes yang dikenal juga dengan sebutan suku
Baduy.
Sementara
itu, para pengikut Pucuk Umun lainnya yang sebagian besar terdiri dari punggawa
dan pendeta lantas menyatakan masuk Islam. Atas keberhasilannya, Sultan
Hasanudin Banten diangkat oleh Sultan Demaj sebagai bupati Banten. Pemerintahan
di Banten Girang kemudian dipindah ke Banten Lor di Utara pulau Jawa. Dari
sinilah, tangan dingin Sultan Hasanudin terbukti mampu memajukan segala bidang.
Ketika akhirnya Banten berubah menjadi kesultanan, Sultan Hasanudin tetap
dipertahankan dan resmi menjadi Sultan pertama Banten.
Banten Girang, Pangeran
Sabakingking, Prabu Pucuk Umun, Prabu Surasowan, Seda Kikin, Sultan
Hasanudin Banten, Sultan
Maulana Hasanuddin, Sultan
pertama Banten, Syekh Muhamad
Sholeh.
Prabu Pucuk Umun VS Sultan Maulana
Hasanuddin
Cerita
Rakyat adalah bagian dari kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki setiap
bangsa. Jika digali dengan sungguh-sungguh, negeri kita sebenarnya berlimpah
ruah cerita rakyat yang menarik. Bahkan sudah banyak yang menulis ulang dengan
cara mereka masing-masing. Cerita rakyat dapat diartikan sebagai ekspresi
budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan langsung dengan
berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat tersebut. Dahulu,
cerita rakyat diwariskan secara turun-menurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam masyarakat tertentu. Saat ini, cerita-cerita rakyat tidak
hanya merupakan cerita yang dikisahkan secara lisan dari mulut ke mulut dan
dari generasi ke generasi berikutnya, akan tetapi telah banyak dipublikasikan
secara tertulis melalui berbagai media.
Cerita rakyat yang berhubungan dengan Islamisasi di
Banten salah satunya adalah cerita Pucuk Umun. Pucuk Umun menghadapi Sultan Hasanuddin.
Menurut ceritanya, kedua orang itu mengadakan adu ayam dengan ketentuan bila
ayam Pucuk Umun kalah, Sultan Hasanuddin bebas menyebarkan Islam di derah
Banten. Ternyata ayam Pucuk Umun Kalah dan setelah itu ia melepaskan daulatnya
atas Banten dan kemudian bermukin di Ujung Kulon. Tempat pertarungan adu
kesaktian antara Maulana Hasanuddin dengan Pucuk Umun pun telah disepakati oleh
kedua belah pihak, yaitu di lereng Gunung
Karang. Satu tempat yang dianggap netral, karena kedua pihak tentu tidak
ingin disebut jago kandang bila berhasil memenangkan pertandingan, yang tidak
saja mempertaruhkan jabatan tapi juga kedaulatan atas Banten. Perlu dicatat
disini, bahwa pertarungan ini bukanlah pertarungan ‘full-body contact’
langsung antara dua tokoh agama, tapi pertarungan dengan menggunakan perwakilan
berupa ayam jago: satu milik Maulana Hasanuddin dan yang satu lagi milik Pucuk
Umun. Penyelenggaraan pertarungan dahsyat ini adalah prakarsa dari Pucuk Umun
sendiri yang langsung diterima oleh Maulana Hasanuddin. Pendekatan seperti ini
dapat dipandang sebagai jalan tengah menuju penyelesaian damai terhadap konflik
berkepanjangan antara dua pihak yang berbeda kepentingan. Pucuk Umun
berkepentingan mempertahankan eksistensi ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) di bawah
naungan Negeri Pajajaran. Sedangkan Maulana Hasanuddin berkepentingan agar
supaya kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan tanpa hambatan yang
berarti.
Matahari pagi mulai memanasi Gunung Karang yang hijau
ketika kumpulan orang-orang mulai memadati lapangan. Untuk menghadapi berbagai
kemungkinan, masing-masing pihak melengkapi diri dengan senjata masing-masing.
Dari kejauhan tertampak, selain ada golok di pinggangnya, Pucuk Umun juga
memegang tombak. Sedangkan di pinggang Maulana Hasanuddin terselip sebilah
keris pusaka warisan Wali Songo. Di tepi utara lapangan, Maulana Hasanuddin
tampak mengenakan jubah putih dengan sorban di kepala. Sementara disisi
selatan, Pucuk Umun berpakaian hitam-hitam, dengan rambut gondrong sampai
leher, mengenakan ikat kepala.
Dua ekor ayam jago yang masing-masing masih dalam
kandang anyaman bambu sudah berada di tengah lapangan. Ayam milik Pucuk Umun
telah diberi ajian ‘otot kawat tulang besi’ dan dipasang keris berbisa pada
kedua tajinya. Sedangkan pada ayam milik Maulana Hasanuddin tidak dipasang
senjata apapun, tetapi dia telah dimandikan dengan air sumur Masjid Agung
Banten. Pada saat dimandikan, dibacakan ayat-ayat Al-Quran, termasuk Surat
Al-Fatihah, Surat Al-Ikhlas dan kalimat “La haula wala quata illa billahil
aliyyil ‘adzim” masing-masing tiga kali.
Suasana di arena laga tampak menegangkan. Dari pihak
Maulana Hasanuddin, telah hadir ratusan pengikutnya yang terdiri para ustad dan
santri yang juga merangkap sebagai anggota pasukan keamanan. Mereka semua
terbenam dalam doa memohon pertolongan Allah SWT. Adapun di pihak Pucuk Umun,
telah hadir juga 800 ajar (sejenis pendeta) dan beberapa Punggawa (Panglima)
Pajajaran, yang semuanya tampak komat kamit membaca jampi-jampi.
Dalam suasana yang mencekam itu, dua orang Punggawa
yang mewakili kedua pihak maju ke tengah lapangan membacakan maklumat:
“Di hadapan yang mulia Maulana Hasanuddin dan Prabu
Pucuk Umun, perkenanlah kami membacakan maklumat sebagai berikut: Sebagaimana
yang telah disepakati antara yang mulia Maulana Hasanuddin dengan Prabu Pucuk
Umun, bahwa apabila Prabu Pucuk Umun kalah maka pihak Maulana Hasanuddin akan
diberi kebebasan menyebarkan Islam di Banten. Tetapi apabila ternyata Prabu
Pucuk Umun yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya
di Banten Tengah dan Selatan. Pihak yang kalah harus menunjukkan tanda
pengakuan kepada pihak yang menang dengan menyerahkan senjata kepada pihak yang
menang. Kepada semua yang hadir, agar dapat menahan diri dan menjaga ketertiban
dengan tidak memasuki lapangan selama pertandingan berlangsung. Demikianlah
maklumat kami sampaikan.”
Riuh rendah suara penonton mulai membahana tatkala dua
ekor ayam jago mulai dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Kedua jago itu
bergerak saling mendekati, berhadap-hadapan dalam jarak sekitar dua meter.
Bagaikan dua jagoan di atas ring tinju, keduanya terus bergerak, menari-nari,
dengan posisi siap menyerang dan diserang, sambil menatap mata lawan. Belum ada
insiatif menyerang dari masing-masing jago. Karena, tampaknya, kedua jago ini
mengharapkan serangan dimulai oleh lawan. Kemudian, tiba-tiba jago Pucuk Umun
mengambil ancang-ancang, mundur setengah meter, lalu dengan kekuatan penuh,
bergerak maju menyerang, mengarahkan kerisnya ke dada jago Maulana Hasanuddin
yang siap menyambut serangan pertama itu. Gebraaaaak!! Suara keras terdengar
sampai jarak satu kilometer. Benturan fisik pun terjadi antara dua jago yang
sedang bertarung mempertaruhkan harga diri tuannya.
Kedua jago itu saling terpental kearah belakang
masing-masing. Tidak ada tanda-tanda luka pada jago Maulana Hasanuddin, dan
malahan ia kembali berusaha tenang setelah menerima serangan pertama. Mereka
kembali berhadap-hadapan, siap menyerang dan diserang. Jago Pucuk Umum menjadi
beringas, yang terlihat dari gerakan dan matanya yang memerah. Apakah pukulan
jago Maulana Hasanuddin berhasil bersarang di dadanya saat hunjaman kerisnya
gagal menggores dada lawan? Entahlah. Yang tampak ketika itu adalah suasana
hening di pinggir lapangan. Semua mata mengarah kepada kedua jago itu. Rupanya,
jago Pucuk Umun terpancing emosinya. Gerakannya semakin liar dan matanya merah.
Lalu dia menyerang lagi dengan maksud merobek dada jago Maulana Hasanuddin.
Kali ini, jago Maulana Hasanuddin berkelit kearah kiri menghindari keris berbisa
jago Pucuk Umun, dan … Buk!!, tangan kanannya bersarang di rusuk kanan jago
Pucuk Umun. Serangan jago Pucuk Umun gagal total, bahkan dia mendapat sebuah
gebukan telak.
Jago Pucuk Umun tampak semakin kalap dan berniat
melancarkan serangan mematikan kearah lawannya. Melihat gelagat lawannya itu,
jago Maulana Hasanuddin menghindar. Tiba-tiba, dia melompat ke angkasa. Jago
Pucuk Umun pun melompat tinggi menyusulnya. Semua mata terfokus pada kedua jago
yang berada pada ketinggian sekitar 40 meter dari tanah. Tak terhindarkan lagi,
sebuah pertarungan sengit terjadi di udara, disaksikan gunung karang yang tegak
kokoh dengan sinar mentari yang berkilau di atas pepohonan hijau. Lalu
tiba-tiba terdengar suara keras memekakkan telinga. Gebraaaak!!! Tubuh jago Pucuk
Umun hancur berkeping-keping, jatuh ke tanah berlumuran darah. Para penonton,
pendukung jago Maulana Hasanuddin bergemuruh sambil meneriakkan “Allahu Akbar!
Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”
Demikianlah, akhirnya Maulana Hasanuddin memenangkan
adu kesaktian melawan Pucuk Umun. Pucuk Umun mengaku kalah, melangkah mendekati
Maulana Hasanuddin, memberi hormat dan menyerahkan golok dan tombak miliknya
sebagai tanda pengakuan atas kemenangan Sang Maulana. Pucuk Umun undur pamit
setelah mengaku kalah dan menyerahkan daulatnya atas Banten, dan kemudian
bermukim di Ujung Kulon sampai akhir hayatnya. Adapun pengikutnya yang loyal,
memutuskan untuk memisahkan diri dari masyarakat Islam. Mereka menetap di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak
sampai sekarang sebagai satu komunitas yang melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.
Sementara itu, pada hari itu juga, 800 ajar dan dua
orang Punggawa Pajajaran, Mas Jong dan Agus Jo, menyatakan diri masuk Islam
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin.
Dengan masuknya mereka ke dalam masyarakat muslim, maka semakin muluslah jalan
bagi Sultan Maulana Hasanuddin untuk mewujudkan sebuah Negara Islam di Banten.
Pusat Pemerintahan pun dipindahkan, pada tanggal 1 Muharram 933 H atau 8 Oktober
1526, dari Banten Girang (dekat Serang sekarang) ke daerah pesisir yang
kemudian dikenal dengan nama Surosowan, yang sekarang disebut Banten Lama.
Cerita-cerita yang
dikemukakan di atas tentu saja hanyalah cerita rakyat, bukan data historis.
Walaupun demikian, kesimpulan yang dapat ditarik ialah betapa akrabnya Banten
dengan Islam sehingga agama ini sudah amat mendalam pengaruhnya terhadap alam
pikiran orang Banten. Selain itu, tidak tertutup juga kemungkinan bahwa agama
Islam sudah lebih dahulu dikenal oleh masyarakat Banten, adalah wajar bila ada
anggapan bahwa penyebaran Islam dari Demak melalui Cirebon lalu ke Banten itu
merupakan fakta sejarah yang dihubungkan dengan kekuasaan kerajaan, padahal
dalam kenyataannya dapat saja melalui tokoh-tokoh di luar itu, walaupun secara
kecil-kecilan. Artinya di samping adanya wacana besar yang dibenarkan oleh
sejarah, ada pula wacana kecil yang ternyata akhirnya terserap oleh beberapa
cerita rakyat.
Kisah
Perjalanan Maulana Hasanuddin menuju Banten
Pada
Suatu hari Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati
berucap kepada putranya “Hai Anakku Hasanuddin, sekarang pergilah engkau dari
Cirebon dan carilah negeri yang penduduknya belum memeluk Islam”. Lalu setelah
mendengar titah orang tua beliau, maka berangkatlah beliau seorang diri ke arah
barat.
Setelah
setengah perjalanan beliaupun mendaki gunung Munara yang terletak diantara
Bogor dan Jasinga. Dan beliau bermunajat selama 14 hari meminta kepada Allah
SWT supaya mendapat petunjuk. Dalam munajatnya datanglah sang ayah Sunan Gunung
Jati lalu berucap “Hai anakku Hasanuddin, turunlah engkau dari Gunung Munara
dan berjalanlah engkau ke arah barat ke Gunung Pulosari, yaitu negeri Azar.
Negeri Azar adalah negerinya Pucuk Umun yang dinamai Ratu Azar Domas. Lalu
pergilah ke Gunung Karang yaitu negerinya Azar”. Setelah berbicara ayahanda
beliau kembali ke Cirebon.
Setelah
mendapat petunjuk, akhirnya beliaupun turun gunung dan akhirnya berhenti di
negeri Banten Girang yakni di sungai Dalung. Disana adalah tempat bersemedinya
Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju, beliau berdua adalah saudara Ratu Pakuan dan Ratu
Pajajaran. Ratu Pakuan dinamai Dewa Ratu dan Ratu Pajajaran dinamai Prabu
Siliwangi. Sebelumnya Ki Ajar Ju dan Ki Ajar Jong telah diberi mimpi bertemu
dengan Maulana Hasanuddin dan kemudian memeluk Islam dalam mimpi mereka berdua.
Maka, sesampainya Maulana Hasanuddin di Banten Girang dan duduk disisi sungai
Dalung, keluarlah Ki Ajar Jong dan Ki Ajar Ju dari dalam Gua tempat pertapaan
beliau berdua, lalu bersalaman dan mencium tangan Maulana Hasanuddin setelah
bercerita akhirnya beliau berdua diajari membaca syahadat oleh Maulana
Hasanuddin dan keduanya bertekad bulat memeluk Islam.
Akhirnya
oleh Maulana Hasanuddin kedua santrinya ini diganti namanya dari Ajar Jong
menjadi Mas Jong dan Ajar Ju diganti menjadi Agus Ju dan Maulana Hasanuddinpun
memberikan arahan kapada keduanya apabila memiliki keturunan maka diharapkan
keduanya memberikan ciri dalam nama keturunan keduanya. Kepada Mas Jong,
Maulana Hasanuddin berkata “Apabila suatu saat kamu mempunyai anak, maka
berilah nama anak laki-lakimu yang tertua dengan tambahan Mas dan yang
termuda Entul dan apabila memiliki anak perempuan berilah nama Nyi
Mas”. Dan kepada Agus Ju, Maulana Hasanuddin berkata “Apabila kelak satu
saat kamu mempunyai anak, maka berilah tambahan pada nama anak laki-lakimu yang
tertua Ki Agus dan yang termuda Ki Entul dan apabila
memiliki anak perempuan berilah nama Nyi Ayu”. Demikianlah sejarah
keturunan nyi mas, nyi ayu, entul, ki agus dan mas yang berasal dari keturunan
santri Maulana Hasanuddin ini.
Selanjutnya
Mas Jong dan Agus Ju diperintah oleh Maulana Hasanuddin untuk menaklukkan Ratu
Pakuan dan Ratu Pajajaran, maka berangkatlah Mas Jong dan Agus Ju sesuai titah
Maulana Hasanuddin.
Penaklukan Pucuk Umun
Ditempat
berbeda Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran telah mengetahui akan kedatangan
saudara-saudara mereka yang akan menaklukkan mereka, maka sebelum Mas Jong dan
Agus Ju datang, Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran kabur dari tempat semedi dan
berkumpul ke Gunung Pulosari tempat Pucuk Umun berada. Setibanya ditempat
semedinya Ratu Pakuan dan Ratu Pajajaran, Mas Jong dan Agus Ju-pun tidak
mendapati Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran berada di tempat semedi keduanya,
maka Mas Jong dan Agus Ju-pun kembali ke Banten Girang untuk menemui Maulana
Hasanuddin dan melaporkan bahwa Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran tidak ada dan
telah menghilang dari tempat semedi keduanya. Mendengar laporan dari keduanya
tentang keberadaan Ratu Pakuan atau Ratu Pajajaran yang tidak di ketahui.
Maulana Hasanuddin pun berkata kepada santri beliau ini “Mari kita datangi saja
ke Gunung Pulosari, kalian ikuti langkahku”. Maka keduanyapun mengikuti seperti
apa yang disarankan Maulana Hasanuddin kepada mereka bedua.
Maka
berangkatlah mereka bertiga menuju Gunung Pulosari, Di Gunung Pulosari ditempat
Pucuk Umun berada, Pucuk Umun telah mengetahui bahwa Maulana Hasanuddin
dan santrinya berencana mengislamkan Pucuk Umun dan teman-teman. Maka
bermusyawarahlah Pucuk Umun bersama rekan-rekannya, setelah bermusyawarah Pucuk
Umun pun duduk di atas batu putih tempat bersemedinya di Kandang Kurung yang
ditemani oleh Ajar Domas Kurung Dua. Maka tibalah Maulana Hasanuddin ke Kandang
Kurung dan menemui Pucuk Umun yang sedang duduk, berkatalah Maulana Hasanuddin
“Hai Pucuk Umun, Saya datang kemari mau menaklukan kamu, sekarang kamu semua
Islamlah, masuklah kamu ke agama Nabi (Muhammad SAW), berucaplah kalian semua
Dua Kalimat (Syahadat)”. Lalu berkatalah Pucuk Umun “Tuan, Saya belum tunduk ke
agama Nabi (Muhammad SAW) dan saya belum takluk kepada tuan apabila belum kalah
dalam tarung kesaktian, sehingga apabila saya kalah kesaktian maka saya baru
takluk kepada tuan”. Mendengar tantangan Pucuk Umun tersebut, Mualana
Hasanuddin-pun berkata “Silahkan engkau pilih tarung kesaktian apa yang engkau
inginkan?”. “baiklah, saya ingin tarung kesaktian dengan tarung ayam” ujar
Pucuk Umun. Akhirnya disetujuilah permintaan Pucuk Umun tersebut oleh Maulana
Hasanuddin, akhirnya mereka-pun mencari arena yang luas untuk tarung kesaktian,
dan didapatilah suatu lahan yang berada di wilayah Waringinkurung yaitu disuatu
kebon yang rata yang disebut Tegal Papak.
Selanjutnya
Pucuk Umun dan para Ajar istidroj dan membuat ayam jago yang terbuat dari besi,
baja, dan pamor yang terbuat dari sari baja dan rosa. Akhirnya jadilah
barang-barang tersebut seekor ayam jago yang memiliki raut mirip jalak rawa.
Dilain tempat Maulana Hasanuddin bermunajat kepada Allah SWT. Memohon
pertolongan untuk mengalahkan dan menaklukkan Pucuk Umun, agar Pucuk Umun dan
para Ajarnya memeluk agama Nabi Muhammad SAW. Dengan kekuasaan Allah SWT. Maka
datanglah jin dan atas keinginan Maulana Hasanuddin berubahlah jin tersebut
menjadi seekor ayam jago dan memiliki raut mirip jalak putih.
siap
maka Maulana Hasanuddin yang diikuti kedua muridnya Mas Jong dan Agus Ju serta
para jin yang membawa palu yang terbuat dari besi magnet berangkat menuju
tempat pertandingan. akhirnya rombongan Maulana Hasanuddin-pun sampai di Tegal
Papak pada hari Selasa, disana rombongan dan pengikut Pucuk Umun telah berada
ditempat menunggu kedatangan Maulana Hasanuddin. Setelah berjumpa keduanya,
maka Pucuk Umun berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan, inilah ayam jago saya,
apabila kalah kami sanggup takluk kepada tuan”. “Saya pun demikian, apabila
kalah dengan ayam jago mu, saya akan menghamba kepadamu” balas Maulana
Hasanuddin.
Lalu
bertarunglah ayam jago Pucuk Umun dan ayam jago Maulana Hasanuddin, gemuruh
senangpun datang dari Pucuk Umun dan Ajarnya. Serangan ayam jago Pucuk Umun
seperti suara guntur, tepuk tangan dan rasa riang menyelimuti rombongan Pucuk
Umun yang meyakini bahwa ayam jago mereka bakal memenangkan pertarungan. namun
meski serangan bertubi-tubi dilancarkan oleh ayam jago Pucuk Umun kepada ayam
jago Maulana Hasanuddin, ayam jago Maulana Hasanuddin tidak surut dan
terus berusaha mengalahkan ayam jago Pucuk Umun. Disatu waktu akhirnya ayam
jago Maulana Hasanuddin mampu menghancurkan ayam jago Pucuk Umun menjadi debu.
Melihat kekalahan ayam jago Pucuk Umun, gemuruh senang dan tepuk tanganpun
berhenti menjadi sepi senyap. Selanjutnya kembali pulanglah Ajar dan juga ayam
jago yang hancur tadi mewujud seperti asalnya menjadi besi pamor dan baja.
Sementara para Ajar Domas masuk Islam dihadapan Maulana Hasanuddin dan membaca
dua kalimat syahadat disaksikan Maulana Hasanuddin.
Sementara
itu, Pucuk Umun yang telah dikalahkan berkata kepada Maulana Hasanuddin “Tuan,
saya belum takluk kepada tuan karena masih banyak kesaktian saya, apabila telah
habis barulah saya takluk”. mendengar tantangan Pucuk Umun, Maulana
Hasanuddinpun membalas “keluarkan semua kesaktianmu saat ini, saya ingin tahu
kemampuanmu”. akhirnya Pucuk Umun pun terbang dan hilang dari penglihatan
Maulana Hasanuddin. selanjutnya dari balik mega Pucuk Umun memanggil nama
Maulana Hasanuddin. mendengar panggilan Pucuk Umun, Maulana Hasanuddin berkata
kepada kedua santrinya “Hai Mas Jong dan Agus Ju, datangilah Pucuk Umun yang
berada di balik mega dan pukullah sekalian” lalu berangkatlah Mas Jong dan Agus
Ju ke atas awan, saat akan dipukul oleh Mas Jong dan Agus Ju, Pucuk Umun pun
menjerit dan menghilang lagi. Melihat hal demikian, Maulana Hasanuddin berkata
kepada kedua santrinya “Dengan ridho Allah SWT. Pucuk Umun jadilah kafir
iblis laknaktullah, tidak ingin masuk Islam, kamu berdua pulanglah”. maka
turunlah kedua santri tersebut dari langit, setelah berkumpul berangkatlah
rombongan Maulana Hasanuddin, Mas Jong dan Agus Ju yang diikuti juga oleh para
Ajar Domas dari Tegal Papak menuju Gunung Pulosari.
Penaklukan Ratu Darah
Putih
Sesampainya
rombongan Maulana Hasanuddin di Gunung Pulosari, Sunan Gunung Jati datang
menghampiri Maulana Hasanuddin dan berucap “Hai anakku Hasanuddin, mari kita
pergi haji ke Makkah, karena sekarang adalah hari haji”. Selanjutnya Maulana
Hasanuddin dibungkus selendang Sunan Gunung Jati. berangkatlah Sunan Gunung
Jati dan Maulana Hasanuddin menuju Makkah Al-Mukarromah meninggalkan Mas Jong
dan Agus Ju beserta para Ajar Domas di Gunung Pulosari.
Di
Makkah Maulana Hasanuddin melaksanakan towaf dan diajarkan thoriqat
Syathariyah, lalu berangkat ke Madinah. setelah selesai melaksanakan haji,
Maulana Hasanuddin kembali ke Gunung Pulosari beserta ayahanda beliau. Setelah Maulana Hasanuddin menjalankan ibadah
haji, terdengar kabar kematian beberapa penjaga Banten yaitu Pucuk Umun di Jung
Kulon, Dewa Ratu di Panahitan, Prabu Langkarang di Tanjung Tua, Prabu Langka
Wastu di Gunung Raja Basa, Prabu Langgawana di Gunung Lor, Prabu Mundaeng
Kalangon di Puncak Gunung Karang, Brama Kendala di Gunung Pulosari, Sida Sakti
di Gunung Tanjung Pujut, Prabu Mundaiti di Gunung Kendeng, Prabu Lengkang
Klincang Kangkaring di Gunung Karawang. dari sekian Ajar yang meninggal yang
masuk Islam dan kekal dalam Islamnya yaitu berjumlah 486 orang Ajar.
Setelah
pulang dari Makkah bersama ayahanda Sunan Gunung Jati, Sunan Gunung Jati
memberikan titah kepada Maulana Hasanuddin “Hai anakku, carilah negara
setengahnya adalah lautan”. Maka, Maulana Hasanuddin pun mengikuti titah ayah
beliau, Maulana Hasanuddin kembali ke Banten Girang diikuti oleh Mas Jong dan
Agus Ju beserta para Ajar. Sesampainya di Banten Girang Maulana Hasanuddin mengumpulkan
seluruh pengikutnya, lalu Maulana Hasanuddin berkata “Sekarang tunggulah kalian
semua disini (Banten Girang), karena saya hendak berkeliling bersama santri dua
ini yaitu Mas Jong dan Agus Ju” setelah berkata demikian, Maulana Hasanuddin
beserta Mas Jong dan Agus Ju meninggalkan para Ajar di Banten Girang.
Selanjutnya
Maulana Hasanuddin berjalan dari Banten Girang ke arah Selatan, lalu mengikuti
pesisir selatan ke arah UJung Kulon, lalu ke Penahitan tanpa menggunakan perahu
lagi. sesampainya ditengah-tengah dari Jung Kulon, Maulana Hasanuddin berkata
kepada kedua santrinya “Menyelamlah kamu ke dalam lautan, ambilah Gong Kaleng”
maka menyelamlah kedua dan berhasil mendapatkan Gong Kaleng. setelah mengangkat
Gong Kaleng, Maulana Hasanuddin turun dari Panahitan dan melanjutkan ke Pulau
Semangka terus ke Sidebu dan melanjutkan ke Bangka Hulu dan dilanjutkan ke
Pulau Sulaibar lalu ke Malangkabu. di Malangkabu Maulana Hasanuddin berjumpa
dengan Raja Malangkabu, dari sana beliau melanjutkan perjalanan ke arah Utara
mengikuti pesisir hingga sampailah di Sirem negerinya Ratu Darah Putih Tanah
Liat. Disana Ratu Darah Putih sudah mendapat isyarat dari Allah SWT. agar masuk
Islam dan akan datang kepadanya Seorang Waliyullah.
Ratu
Darah Putih akhirnya dapat bertemu dengan Maulana Hasanuddin di tengah laut,
Ratu Darah Putih-pun Masuk Islam dan diajarkan dua kalimat syahadat oleh
Maulana Hasanuddin. setelahnya masuk Islam Ratu Darah Putih diserahi oleh
Maulana Hasanuddin untuk mengislamkan seluruh penduduk Lampung dan kepadanya
diperintah menanam Merica di tanah Lampung. Akhirnya keduanyapun berpisah Ratu
Darah Putih pulang dan mengislamkan penduduk Lampung, sementara Maulana
Hasanuddin kembali ke Timur menuju Karawang, dari Karawang Maulana Hasanuddin
melanjutkan perjalanannya ke arah Selatan melewati hutan hingga sampai di
Bogor Utara, lalu kembali kearah Barat melewati hutan dan sampai di Ujung Kulon
dari Ujung Kulon kembali pulang ke Banten Girang hingga menetaplah Maulana
Hasanuddin di Banten Girang.
Pengangkatan Maulana
Hasanuddin menjadi Sultan Banten Pertama
Setelah
menetap di Banten Girang, Maulana Hasanuddin berucap kepada Mas Jong dan Agus
Ju agar menempatkan masyarakatnya dan mendirikan perkampungan Banten. Maka
keduanya pun segera melaksanakan titah Maulana Hasanuddin membuka dan
membersihkan hutan dan pegunungan untuk didirikan perkampungan-perkampungan dan
keduanya mengajak masyarakat untuk menempati hutan dan pegunungan yang sudah
dibersihkan tersebut. Setelah selesai dengan tugasnya Mas Jong dan Agus Ju pun
akhirnya kembali ke Banten Girang melaporkan tugas yang telah dilaksanakannya
kepada Maulana Hasanuddin.
Suatu
hari Maulana Hasanuddin berangkat dari Banten Girang menuju ke arah Utara
mengikuti jalan pesisir Banten Serang, dan terus berjalan di atas laut diiringi
oleh kedua santrinya Mas Jong dan Agus Ju. Ketika sampai di tengah lautan
mereka sholat dua rakaat, setelah selesai dari sholatnya maka lautpun kering
dan menjadi daratan, maka duduklah Maulana Hasanuddin di atas batu gilang (batu
yang berwarna hitam pekat) yang ada di pancaniti (aula), yaitu disifati negri
di jajaloka (Jayaloka) negri Surosoan. Disitulah Maulana Hasanuddin mendirikan
keraton yang dinamai Kipanggang rupanya seperti tempat panggangan ikan pari.
Setelah
keraton selesai didirikan, maka sang ayah Syarif Hidayatullah datang dan
memberikan kabar kepada Maulana Hasanuddin bahwa Pangeran Ratu (Ratu Ayu
Kirana) ibunda dari Ratu
Pembayun, Pangeran Yusuf, Pangeran Arya, Pangeran Sunyararas, Pangeran
Pajajaran, Pangeran Pringgalaya, Ratu Agung atau Ratu Kumadaragi, Pangeran
Molana Magrib dan Ratu Ayu Arsanengah ini telah ditetapkan sebagai
Sultan di Demak oleh Maulana Syarif Hidayatullah, maka menjadi ketetapan
Maulana Syarif
Hidayatullah juga kalau Maulana Hasanuddin menjadi Sultan di Banten. Setelah Maulana Syarif
Hidayatullah selesai mengutarakan tujuannya tanpa menunggu lama Maulana Syarif
Hidayatullah berangkat kembali menuju Cirebon.
Maka
jadilah Maulana Hasanuddin Sultan Banten pertama, pertama tugas yang
dilaksanakan oleh Maulana Hasanuddin adalah mendirikan masjid Agung, dan dalam
titahnya sebagai Sultan Maulana Hasanuddin menugaskan Indra Kumala penjaga
Gunung Karang yang bertempat tugas di Sumur Tujuh, Manik Kumala ditugaskan
menjaga pemandian sungai Banten, Mas Jong ditugaskan menjaga Pintu Merah
(Lawang Abang) di dalam istana sebelah kanan, dan Agus Ju ditugaskan menjaga
pintu Utara. Demikian kisah perjalanan Maulana Hasanuddin di negeri Banten
semoga bermanfaat dan dapat diambil hikmahnya oleh kita. Amin
Siluman Banten
Ø
Penunggu
Muara Sungai Karangantu-Sang Ratu Haya Kulaibar
Ø
Penunggu
Muara Karangantu-Sang Ratu Qobaihan, Sang Ratu Lingga Buana
Ø
Penunggu
Alun-Alun-Sang Ratu Jalalan
Ø
Penunggu
Qonjaniti-Sang Ratu Lingga Wesi
Ø
Penunggu
Pusat Kota-Sang Ratu Langka Pakasa
Ø
Penjaga
Berkeliling Banten-Sang Ratu Langlang Buana
Ø
Penunggu
Pangkalan Sungai-Ratu Buyut Batu
Ø
Penunggu
Ujung Sungai-Sang Ratu Langkapara
Sultan-sultan Banten
§
Maulana Hasanudin - Panembahan Surosowan
(1552–1570)
§
Maulana Yusuf -
Panembahan Pakalangan Gedé (1570–1580)
§
Maulana Muhammad -
Pangeran Ratu Ing Banten (1580–1596)
§
Pangeran Ratu - Abdul
Kadir Kenari (1596–1651)
§
Ageng
Tirtayasa - Abul Fath Abdul Fattah (1651–1683)
§
Abu Nasr
Abdul Kahhar - Sultan Haji (1682–1687)
§
Abdul Fadhl (1687–1690)
§ Abul Mahasin Zainul Abidin (1690–1733)
§ Muhammad Wasi Zainifin (1733–1750)
§ Muhammad Syifa (1750–1752)
§ Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752–1753)
§ Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753–1773)
§ Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773–1799)
§ Muhyiddin Zainush Sholihin (1799–1801)
§ Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801–1802)
§ Wakil Pangeran Natawijaya (1802–1803)
§ Aliyuddin II (1803–1808)
§ Wakil Pangeran Suramanggala (1808–1809)
§ Muhammad Syafiuddin (1809–1813)
§ Muhammad Rafiuddin (1813–1820)
Karya KH. Abdul Latif Cibeber
Disalin oleh Syihabuddin Al-Idris
Ditulis ulang oleh Imat Rohmatulloh
Karya KH. Abdul Latif Cibeber
Disalin oleh Syihabuddin Al-Idris
Ditulis ulang oleh Imat Rohmatulloh
Sekilas
Tentang Sejarah Suku Baduy
Menilik
sejarah Suku Baduy tentunya tidak terlepas dari asal-usul masyarakat etnis itu
sendiri. Suku Baduy atau Badui, dan biasa juga menyebut masyarakatnya sebagai
“urang Kanekes” disinyalir merupakan sebutan yang mengacu pada nama wilayah
atau tempat asal mereka, yaitu Kanekes. Menurut pendapat lain, sebutan “Baduy”
merupakan sebutan masyarakat luar untuk menyebut etnis tersebut yang diawali
dari sebutan para peneliti Belanda untuk menamakan masyarakat nomaden
(masyarakat yang hidup berpindah-pindah) di sekitaran gunung dan sungai Baduy
yang terletak di bagian utara wilayah Kanekes. Suku Baduy termasuk ke dalam
etnis Sunda yang tinggal di Kabupaten
Lebak Banten. Hingga saat ini sebagian besar masyarakatnya, terutama
yang terdapat di pedalaman Baduy, masih sangat menutup diri dari dunia luar
serta memegang kuat nilai adat-istiadat secara turun-temurun.
Asal-usul
Suku Baduy
Secara
garis besar, ada tiga pendapat berbeda mengenai asal mula sejarah Suku Baduy.
Yaitu pendapat para ahli sejarah, kepercayaan turun-temurun penduduk setempat,
dan analisis kesehatan yang dilakukan dokter Van Tricht pada tahun 20-an. Menurut
pendapat para ahli dengan mengaitkan beberapa bukti sejarah seperti penemuan
prasasti, penelusuran catatan para pelaut Tiongkok dan Portugis, serta folklore
berupa cerita rakyat tentang tatar Sunda, disimpulkan bahwa masyarakat Baduy
memiliki hubungan erat dengan kerajaan Pajajaran di masa lampau.
Versi pertama berdasar bukti sejarah menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan komunitas orang-orang pelarian dari kerajaan Pajajaran yang dulunya berpusat di wilayah Pakuan (sekarang menjadi daerah Bogor) dan mengalami kehacuran sekitar abad ke 16. Versi berikutnya menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan turunan para prajurit khusus yang diutus oleh Pangeran Pucuk dari Pajajaran untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng tanpa boleh membuka identitasnya agar tidak dikenali musuh.
Versi pertama berdasar bukti sejarah menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan komunitas orang-orang pelarian dari kerajaan Pajajaran yang dulunya berpusat di wilayah Pakuan (sekarang menjadi daerah Bogor) dan mengalami kehacuran sekitar abad ke 16. Versi berikutnya menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan turunan para prajurit khusus yang diutus oleh Pangeran Pucuk dari Pajajaran untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng tanpa boleh membuka identitasnya agar tidak dikenali musuh.
Pendapat
para ahli tersebut ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Baduy. Berdasar
kepercayaan etnis tersebut, mereka adalah turunan murni Batara Cikal yang
diutus ke bumi. Mereka juga menganggap bahwa Nabi Adam merupakan cikal bakal
orang Kanekes yang memiliki tugas penting untuk bertapa demi menjaga
keseimbangan dunia. Menguatkan kepercayaan masyarakat Baduy tersebut, dr Van
Tricht yang mengadakan riset kesehatan pada tahun 20-an juga menyebutkan bahwa
masyarakat etnis Baduy memanglah penduduk asli wilayah tersebut dan sudah ada
jauh sebelum hancurnya kerajaan Pajajaran. Menurut Van Tricht, raja bernama
Rakeyan Darmasiksa yang dahulu berkuasa di wilayah tersebut memerintahkan
masyarakat Baduy untuk menempati daerah Baduy dengan kewajiban memelihara
kabuyutan (ajaran leluhur) sehingga ditetapkan sebagai daerah suci (mandala).
Ajaran leluhur di daerah ini dikenal dengan nama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan
(Sunda asli), yang kemudian juga menjadi agama asli masyarakat Baduy.
Terlepas
dari keragaman pendapat mengenai asal-usul sejarah Suku Baduy, etnis tersebut
hingga saat ini terbukti masih memegang kuat ajaran nenek moyangnya, yaitu
mengenai adat “Pikukuh” yang wajib dianut dalam keseharian. Konsep terpenting
di dalamnya adalah aturan mengenai kehidupan sederhana yang apa adanya tanpa
perlu diubah-ubah. Mulai dari pertanian, pembangunan, hingga pakaian, konsep
tersebut terus diterapkan sehingga masyarakat Baduy jarang berhadapan dengan
kesulitan hidup. Oleh karena itu, belajar dari sejarah Suku Baduy dan awal mula
kemunculannya, baik yang didasarkan pendapat para ahli atau kepercayaan
masyarat Baduy sendiri, perkembangan etnis tersebut hingga saat ini pada
dasarnya berlandas dari ketetapan masyarakatnya untuk mempertahankan nilai
kebenaran dalam suatu budaya yang telah ada dan melestarikannyan secara
turun-temurun. Hasilnya, dengan terus menyelaraskan diri dengan alam tanpa
bersinkronisasi dengan peradaban terkini pun, masyarakat etnis asli Sunda satu
ini terbukti mampu menciptakan sejarah Suku Baduy yang tetap hidup dan bahkan semakin
berkembang.
Mari
Mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar
Dari
sekian banyak suku yang mempertahankan kearifan lokal serta adat istiadatnya di
seluruh pelosok Nusantara, tentunya masih terasa kurang jika belum mengenal
Suku Baduy Dalam dan Luar. Hingga saat ini, kedua suku tersebut masih memegang
teguh nilai kepercayaan dan adat-istiadat dari para leluhurnya sehingga
kebudayaan yang dianutnya sulit terkontaminasi dunia luar. Meskipun dibagi
menjadi dua golongan oleh masyarakat luar menjadi Suku Baduy Dalam dan Luar,
pada dasarnya masyarakat Baduy sendiri hanya menganggap ada satu Baduy.
Masyarakat etnis Sunda ini hidup bersama bersinergi dengan alam di wilayah Banten, tepatnya di pegunugan
Kendeng, desa Kanekes, Kabupaten Lebak.
Penggolongan Suku Baduy
Suku
Baduy digolongkan menjadi Suku Baduy Dalam dan Luar karena perbedaan mendasar
mengenai tataran adat yang diberlakukan keduanya. Hingga saat ini masyarakat
Baduy dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan adat yang isi
terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga
banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan. Hal ini berbeda dengan
cara hidup masyarakat Baduy luar yang secara garis besar sudah sedikit
terkontaminasi budaya modern.
Dilihat
dari jumlah penduduknya, masyarakat baduy luar atau urang penamping memiliki
kelompok besar berjumlah ribuan orang yang menempati puluhan kampung di bagian
utara Kanekes seperti daerah kaduketuk, cikaju, gajeboh, kadukolot, Cisagu, dsb.
Sementara di bagian selatan yang terletak di pedalaman hutan ditempati
masyarakat Baduy dalam atau urang Dangka yang hanya berpenduduk ratusan jiwa
serta tersebar di tiga daerah, yaitu kampong Cibeo, Cikeusik, dan Cikartawana.
Perbedaan
Suku Baduy Dalam dan Luar
Mengenal
Suku Baduy Dalam dan Luar dapat tercirikan dari perbedaan yang cukup kentara,
terutama mengenai pantangan yang ditaati masyarakatnya. Dilihat dari
penampilan, masyarakat Baduy luar menggunakan pakaian serba hitam atau biru
donker untuk menyatakan bahwa mereka tidak lagi suci. Sementara masyarakat
Baduy dalam relatif menggunakan pakaian yang didominasi warna putih, meski
kadang ditambahkan ikat kepala hitam. Masyarakat baduy luar juga mengenali
teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun sesuai pantangan adat yang
berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya, dan bahkan menolak
penggunaan listrik.
Dalam
pembuatan rumah, masyarakat Baduy luar juga menggunakan alat bantu seperti
palu, gergaji, dan sebagainya yang masih dilarang keras untuk dipergunakan oleh
masyarakat Baduy dalam. Begitu juga dengan penggunaan bahan kimia seperti sabun
dan sampo yang diperbolehkan digunakan oleh masyarakat Baduy luar, sementara
masih berupa larangan oleh masyarakat Baduy dalam karena dianggap dapat
mencemari alam.
Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh masyarakat tertutup dari Baduy dalam. Misalnya saja tidak boleh mengambil foto kawasan Baduy Dalam, mengikuti aturan adat istiadat yang diberlakukan saat berkunjung, dan tidak menerima tamu negara asing keturunan kaukasoid, mongoloid, juga negroid.
Nilai Hidup dalam Budaya Suku Baduy
Walaupun
berbeda, nilai luhur dalam adat suku Baduy masih dipegang kuat dan terus
diwariskan turun-temurun oleh seluruh masyarakatnya. Hal tersebut telah ditanam
sedari kecil melalui tradisi ngolak, yaitu pendidikan orangtua terhadap anaknya
untuk mengajarkan hidup yang apa adanya, kesederhanaan, kekeluargaan lewat jiwa
gotong royong, juga bermacam kebisaan seperti berladang atau menenun.
Hingga
saat ini masyarakat Baduy tidak mempergunakan transportasi apapun dan hanya
berjalan kaki untuk berpergian, mereka juga memilih tidak menggunakan alas
kaki, tidak bepergian lebih dari 7 hari ke luar Baduy, membangun segala
kebutuhan seperti rumah, jembatan, dsb, dengan bantuan alam, memanfaatkan alam,
dan untuk alam, serta memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya sendiri
dengan menenun atau bercocok tanam. Oleh karena itu, mengenal Suku Baduy Dalam
dan Luar bukan hanya sekadar memberi wawasan penting mengenai budaya murni yang
masih hidup di nusantara, tapi juga mengajarkan makna kehidupan soal
keselarasan hidup melalui nilai budaya yang diterapkan oleh masyarakatnya.
Keistimewaan
Masjid Agung Banten yang Wajib Diketahui
Masjid
Agung Banten
yang terletak di utara Kota Serang, Provinsi
Banten merupakan situs wisata religi yang berdiri kokoh sebagai
lambang peradaban budaya Islam yang bertahan hingga saat ini. Masjid ini mudah
dikenali karena bentuk menaranya yang menyerupai mercusuar. Sejak dibangun
pertama kali pada tahun 1556 semasa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin,
masjid ini telah menjadi salah satu bangunan tertua di Indonesia yang kaya akan
nilai sejarah karena merupakan pusat penyebaran agama islam di Banten. Masjid
Agung Banten terbilang istimewa. Karena selain biasa dijadikan sebagai objek
wisata religi dengan berziarah ke makam-makam para sultan Banten beserta
keluarga yang terdapat di dalamnya, masjid ini juga menyimpan peninggalan
bersejarah kerajaan islam Banten sekitar abad ke-16 masehi.
Selain
itu, arsitektur bangunannya terbilang cukup unik karena memadukan ciri khas
bangunan Jawa Hindu, Eropa, dan Cina. Hal ini karena masjid dirancang oleh tiga
arsitektur berbeda yaitu arsitek Majapahit bernama Raden Sepat, arsitek Cina
asal Tiongkok bernama Tjek Ban Tjut (baca: Cek ban su) yang diberi gelar
pangeran Adiguna, serta arsitek Belanda beragama islam yang melarikan diri dari
Batavia bernama Hendrik Lucaz Cardeel dan diberi gelar pangeran Wiraguna.
Raden
Sepat merupakan arsitek berpengalaman yang juga berjasa membangun masjid agung
Cirebon dan masjid Demak. Sementara Tjek Ban Tjut menyumbangkan karya uniknya
pada atap utama masjid dengan bentuk bangunan bersusun lima menyerupai pagoda,
sekaligus serambi masjid di bagian utara dan selatan, juga bagian tangga
masjid. Hendrik Lucaz Cardeel sendiri ikut andil menyumbangkan rancangan
terpentingnya berupa Tiyamah, yaitu bangunan dua lantai berbentuk persegi panjang
bergaya arsitektur Belanda kuno, dan menara unik berbentuk segi delapan
setinggi 23 m dengan 83 undakan anak tangga di sebelah timur masjid yang hingga
saat ini menjadi semacam penanda berdirinya Masjid Agung Banten.
Pada
zaman dahulu, menara masjid agung ini selain digunakan untuk mengumandangkan
adzan, digunakan juga untuk menyimpan persenjataan penduduk Banten. Kini,
menaranya digunakan juga untuk sekadar menikmati pemandangan di perairan lepas
pantai. Sementara Tiyamah sebelum dijadikan museum benda-benda peninggalan
kesultanan Banten, dulunya lebih sering digunakan sebagai tempat pertemuan
penting untuk membahas kegiatan agama dan sosial. Keunikan lainnya, berbagai
bangunan inti serta pelengkapnya yang dirancang di dalam serta di luar masjid
seperti ornamen pada pintu, jumlah dan tinggi pintu, jumlah tiang penyangga
atap, hingga bentuk mimbar yang antik, dan lain sebagainya kesemuanya diperhitungkan
dengan teliti dan memiliki filosofi serta simbol masing-masing.
Misalnya
saja 24 tiang penyangga atap dalam bangunan inti masjid merupakan simbol waktu
dalam sehari sedangkan masing-masing tiang yang berbentuk segi delapan
menandakan tiga pembagian waktu dari 24 jam, yaitu untuk ibadah, untuk bekerja
dan mencari penghidupan, serta untuk istirahat. Begitu pula dengan umpak batu
andesit berbentuk labu ukuran besar yang terdapat pada tiap dasar tiang masjid
dan juga pendopo digambarkan sebagai simbol pertanian untuk mengingatkan serta
menunjukkan kemakmuran kesultanan Banten lama pada masanya, Selain itu, di
bagian depan masjid juga terdapat istimewa, yaitu alat pengukur waktu sholat
tradisional berbentuk kubah yang menggunakan bantuan sinar matahari untuk
mengetahui ketepatan waktu sholat. Hingga sekarang, Masjid Agung Banten tidak
pernah sepi pengunjung. Selain ramai oleh para peziarah, masjid ini juga
menjadi objek multiwisata yang memberikan nilai luhur dari peninggalan kejayaan
kesultanan Banten di masa lampau.
Sumber
: Google Wikipedia
Daftar Sabung Ayam Online DiSitus Linkaja88 - Bisa Pakai Linkaja Dan Dapat Bonus Cashback s/d 10% Setiap Minggu lohh...
BalasHapusInfo Lengkap Hubungi Kontak CS kami sekarang juga ! Klik Link : http://bit.ly/cslinkaja88
#s128 #sv388 #sabungayamonline