KISAH RATU KALINYAMAT
Orientasi
Ratu Kalinyamat
(meninggal tahun 1579)
adalah puteri raja Demak Trenggana
yang menjadi bupati di
Jepara.
Ia terkenal di kalangan Portugis
sebagai sosok wanita pemberani.
Asal-Usul Pangeran dan Ratu Kalinyamat
Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono,
raja Demak (1521-1546). Pada usia remaja ia dinikahkan dengan Pangeran
Kalinyamat. Pangeran
Kalinyamat berasal dari luar Jawa.
Terdapat berbagai versi tentang asal-usulnya. Masyarakat Jepara menyebut nama
aslinya adalah Win-tang, seorang saudagar Tiongkok
yang mengalami kecelakaan di laut. Ia terdampar di pantai Jepara, dan kemudian
berguru pada Sunan Kudus.
Versi lain mengatakan, Win-tang berasal dari Aceh. Nama aslinya adalah Pangeran Toyib, putera Sultan Mughayat Syah raja Aceh (1514-1528). Toyib berkelana ke Tiongkok dan
menjadi anak angkat seorang menteri bernama Tjie Hwio Gwan. Nama Win-tang
adalah ejaan Jawa
untuk Tjie Bin Thang, yaitu nama baru Toyib. Win-tang dan ayah angkatnya kemudian pindah ke
Jawa. Di sana Win-tang mendirikan desa Kalinyamat yang saat ini berada di
wilayah Kecamatan Kalinyamatan,
sehingga ia pun dikenal dengan nama Pangeran Kalinyamat. Ia berhasil menikahi
Retna Kencana putri bupati Jepara, sehingga istrinya itu kemudian dijuluki Ratu
Kalinyamat. Sejak itu, Pangeran Kalinyamat menjadi anggota keluarga Kerajaan
Demak dan memperoleh gelar Pangeran Hadiri.
Pangeran dan Ratu Kalinyamat memerintah
bersama di Jepara. Tjie Hwio Gwan, sang ayah angkat, dijadikan patih bergelar
Sungging Badar Duwung, yang juga mengajarkan seni ukir pada penduduk Jepara.
Kematian
Pangeran Kalinyamat
Pada tahun 1549 Sunan Prawata
raja keempat Demak mati dibunuh utusan Arya Penangsang,
sepupunya yang menjadi adipati Jipang. Ratu Kalinyamat menemukan keris Kyai
Betok milik Sunan Kudus
menancap pada mayat kakaknya itu. Maka, Pangeran dan Ratu Kalinyamat pun
berangkat ke Kudus
minta penjelasan.
Sunan Kudus
adalah pendukung Arya Penangsang dalam konflik perebutan takhta sepeninggal
raja Trenggana (1546). Ratu Kalinyamat datang menuntut keadilan atas kematian
kakaknya. Sunan Kudus menjelaskan semasa muda Sunan Prawata
pernah membunuh Pangeran Surowiyoto alias Sekar Seda Lepen ayah Arya Penangsang,
jadi wajar kalau ia sekarang mendapat balasan setimpal.
Ratu Kalinyamat kecewa atas sikap Sunan
Kudus. Ia dan suaminya memilih pulang ke Jepara. Di tengah jalan, mereka dikeroyok
anak buah Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat tewas. Konon, ia sempat merambat
di tanah dengan sisa-sisa tenaga, sehingga oleh penduduk sekitar, daerah tempat
meninggalnya Pangeran Kalinyamat disebut desa Prambatan.
Menurut cerita. Selanjutnya dengan membawa
jenazah Pangeran Kalinyamat, Ratu Kalinyamat meneruskan perjalanan sampai pada
sebuah sungai dan darah yang berasal dari jenazah Pangeran Kalinyamat
menjadikan air sungai berwarna ungu, dan kemudian dikenal daerah tersebut
dengan nama Kaliwungu. Semakin ke barat, dan dalam kondisi lelah, kemudia
melewati Pringtulis.
Dan karena selahnya dengan berjalan sempoyongan (moyang-moyong) di tempat yang
sekarang dikenal dengan nama Mayong.
Sesampainya di Purwogondo,
disebut demikian karena di tempat inilah awal keluarnya bau dari jenazah yang
dibawa Ratu Kalinyamat, dan kemudia melewati Pecangaan
dan sampai di Mantingan.
Ratu
Kalinyamat Bertapa
Ratu Kalinyamat berhasil meloloskan diri dari
peristiwa pembunuhan itu. Ia kemudian bertapa telanjang di Gunung Danaraja,
dengan sumpah tidak akan berpakaian sebelum berkeset kepala Arya Penangsang.
Harapan terbesarnya adalah adik iparnya, yaitu Hadiwijaya
alias Jaka
Tingkir, bupati Pajang,
karena hanya ia yang setara kesaktiannya dengan bupati Jipang. Hadiwijaya segan menghadapi Arya Penangsang
secara langsung karena sama-sama anggota keluarga Demak. Ia pun mengadakan
sayembara yang berhadiah tanah Mataram
dan Pati.
Sayembara itu dimenangi oleh Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi. Arya Penangsang tewas di
tangan Sutawijaya
putra Ki
Ageng Pemanahan, berkat siasat cerdik Ki Juru Martani.
Serangan
Pertama Ratu Kalinyamat pada Portugis
Ratu Kalinyamat kembali menjadi bupati
Jepara. Setelah kematian Arya Penangsang tahun 1549, wilayah Demak, Jepara, dan
Jipang menjadi bawahan Pajang
yang dipimpin raja Hadiwijaya.
Meskipun demikian, Hadiwijaya tetap memperlakukan Ratu Kalinyamat sebagai tokoh
senior yang dihormati. Ratu Kalinyamat sebagaimana bupati Jepara sebelumnya (Pati Unus),
bersikap anti terhadap Portugis. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara
dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan sultan Johor untuk membebaskan Malaka
dari kekuasaan bangsa Eropa itu.
Pasukan Jepara itu kemudian bergabung dengan
pasukan Persekutuan Melayu hingga mencapai 200 kapal perang. Pasukan gabungan
tersebut menyerang dari utara dan berhasil merebut sebagian Malaka. Namun
Portugis berhasil membalasnya. Pasukan Persekutuan Melayu dapat dipukul mundur,
sementara pasukan Jepara masih bertahan.
Baru setelah pemimpinnya gugur, pasukan
Jepara ditarik mundur. Pertempuran selanjutnya masih terjadi di pantai dan laut
yang menewaskan 2.000 prajurit Jepara. Badai datang menerjang sehingga dua buah
kapal Jepara terdampar kembali ke pantai Malaka,
dan menjadi mangsa bangsa Portugis. Prajurit Jepara yang berhasil kembali ke
Jawa tidak lebih dari setengah dari yang berhasil meninggalkan Malaka. Ratu
Kalinyamat tidak pernah jera. Pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis
dan kaum Hative.
Serangan
Kedua Ratu Kalinyamat pada Portugis
Pada tahun 1564, Sultan
Ali Riayat Syah dari Kesultanan Aceh
meminta bantuan Demak untuk menyerang Portugis di Malaka. Saat itu Demak
dipimpin seorang bupati yang mudah curiga, bernama Arya Pangiri,
putra Sunan Prawata. Utusan Aceh dibunuhnya. Akhirnya, Aceh tetap menyerang
Malaka tahun 1567
meskipun tanpa bantuan Jawa. Serangan itu gagal. Pada tahun 1573, sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat
untuk menyerang Malaka kembali. Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000
prajurit Jepara. Pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Laksamana itu baru tiba
di Malaka bulan Oktober 1574. Padahal saat itu pasukan Aceh sudah dipukul
mundur oleh Portugis.
Pasukan Jepara yang terlambat datang itu
langsung menembaki Malaka dari Selat Malaka.
Esoknya, mereka mendarat dan membangun pertahanan. Tapi akhirnya, pertahanan
itu dapat ditembus pihak Portugis. Sebanyak 30 buah kapal Jepara terbakar.
Pihak Jepara mulai terdesak, namun tetap menolak perundingan damai karena
terlalu menguntungkan Portugis. Sementara itu, sebanyak enam kapal perbekalan
yang dikirim Ratu Kalinyamat direbut Portugis. Pihak Jepara semakin lemah dan
memutuskan pulang. Dari jumlah awal yang dikirim Ratu Kalinyamat, hanya sekitar
sepertiga saja yang tiba di Jawa.
Meskipun dua kali mengalami kekalahan, namun
Ratu Kalinyamat telah menunjukkan bahwa dirinya seorang wanita yang gagah
berani. Bahkan Portugis mencatatnya sebagai rainha de Japara, senhora
poderosa e rica, de kranige Dame, yang berarti "Ratu Jepara seorang
wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani".
Anak
Angkat
Ratu Kalinyamat tidak
memiliki anak kandung, tetapi Ratu kalinyamat di beri kepercayaan untuk merawat
keponakannya sebagai anak angkat, yaitu: Pangeran Timur Rangga Jumena Merupakan
putra bungsu Sultan Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun.
Arya Pangiri
Merupakan putra dari Sunan Prawata yang kemudian menjadi penguasa Demak, Namun sebelum
itu ia sempat menjadi Raja Pajang dengan gelar Sultan Ngawantipura. Saat itu
dengan bantuan Panembahan Kudus pada tahun 1583 ia berhasil naik takhta atas
kerajaan Pajang menggantikan Sultan Hadiwijaya yang meninggal dunia akibat
sakit sepulang dari perang dengan Mataram melawan anak angkatnya sendiri,
Sutawijaya. Sepeninggal Hadiwijaya, terjadi perebutan takhta antara Pangeran
Benawa yang merupakan putra dari Sultan Hadiwijaya sendiri dengan Arya Pangiri,
menantunya yang dimenangkan oleh Arya Pangiri. Namun pemerintahan Arya Pangiri
hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram sehingga kehidupan
rakyat Pajang terabaikan. Hal ini kemudian membuat Pangeran Benawa yang
tersingkir ke Jipang prihatin. Pada 1586 ia lalu bersekutu dengan Sutawijaya
menyerbu Pajang. Arya Pangiri kalah. Ia lalu dikembalikan ke negeri asalnya
yaitu Demak.
Adalah sepupu ratu kalinyamat
yang merupakan putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan Trenggana). Ayah Pangeran
Arya Jepara adalah Maulana Hasanuddin, raja pertama Banten. Ketika Maulana
Yusuf, raja ke-2 Banten meninggal pada tahun 1580, putra mahkotanya masih
kecil. Pangeran Arya Jepara berniat merebut takhta. Pertempuran pun terjadi di
Banten. Namun Pangeran Jepara terpaksa mundur setelah Ki Demang Laksamana,
panglimanya gugur di tangan Patih Mangkubumi Kesultanan Banten. Kemudian
Pangeran Arya Jepara pulang ke Kerajaan Kalinyamat, ternyata Keraton Kalinyamat
telah diserang oleh Panembahan Senopati,
pasukan Panembahan Senopati dari Mataram datang menyerbu Jepara diduduki dan kota Kalinyamat dihancurkan.
Pengganti
Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat meninggal dunia sekitar tahun
1579. Ia dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan.
Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda. Yang pertama
adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena putera bungsu Trenggana yang
kemudian menjadi bupati Madiun.
Yang kedua adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang
kemudian menjadi bupati Demak.
Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran Arya Jepara putra Ratu
Ayu Kirana (adik Trenggana).
Ayah Pangeran Arya Jepara adalah Maulana
Hasanuddin raja pertama Banten.
Ketika Maulana
Yusuf raja kedua Banten
meninggal dunia tahun 1580, putra mahkotanya masih kecil. Pangeran Arya Jepara
berniat merebut takhta. Pertempuran terjadi di Banten.
Pangeran Jepara terpaksa mundur setelah ki Demang Laksamana, panglimanya, gugur
di tangan patih Mangkubumi Kesultanan Banten.
Kepustakaan
Ø De Graaf HJ, Pigeaud ThGT. 2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ø Hayati dkk. 2000. Peranan Ratu Kalinyamat di jepara
pada Abad XVI. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional
Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan Nasional.
Kisah Ratu Kalinyamat, Sang Penguasa Jepara
yang Melampaui Zamannya
Zaman ini Indonesia mengenal beberapa
perempuan dengan prestasi luar biasa yang diakui dunia. Beberapa yang paling
familiar ialah Sri Mulyani yang menjabat sebagai Menteri Keuangan pada masa
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Susi Pudjiastuti yang saat
ini masih menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang dikenal
nyentrik, cerdas, dan berani.
Bergeser lebih jauh ke abad 19, sejarah
mengantarkan kita pada RA Kartini. Seorang perempuan Jepara yang mengusung
kesetaraan gender lewat aktivitas korespondensinya dengan wanita Eropa modern.
Lewat surat-suratnya ia menentang konstruk budaya Jawa yang menempatkan wanita
hanya pada tiga kawasan: sumur (mencuci dan bersih-bersih), dapur (memasak) dan
kasur (melayani suami). Atau dalam Bahasa Jawa berarti macak, masak, dan manak.
Sadar bahwa pendidikan merupakan jalan utama untuk maju, Kartini mengajukan
permohonan kepada ayahnya untuk melanjutkan sekolah HBS (sekolah menengah umum
pada zaman Hindia Belanda yang diperuntukkan bagi orang Belanda, Eropa atau
elite pribumi) namun ditolak mentah-mentah.
Meninggal pada usia muda, meski belum sempat mencapai cita-citanya untuk melanjutkan pendidikan, Kartini diperingati sebagai satu dari sedikit pahlawan Indonesia yang memiliki perspektif jauh pada masanya. Pendapatnya mengenai pendidikan adalah kunci kemerdekaan wanita, membawa namanya menjadi aikon feminisme Indonesia dasawarsa awal abad ke-20.
Namun tidak banyak yang tahu, bahwa terdapat
sosok perempuan lain—juga berasal dari Jepara—yang membuktikan bahwa
kredibilitas memimpin tidak hanya milik laki-laki tetapi juga perempuan. Di
masa jauh sebelum Kartini menyuarakan gelisahnya lewat carik-carik kertas, ia
telah menyentuh bidang politik, ekonomi dan militer—tiga hal yang sama sekali
jauh dari gambaran perempua Jawa saat itu.
Perempuan itu bernama Ratu Kalinyamat.
‘Menyusui’
Demak, Mengasuh Anak
Ia lahir jauh kira-kira lima abad sebelum
Kartini. Belum ditemukan sumber sejarah yang menyebut angka kelahirannya secara
pasti, namun dalam Babad Tanah Jawi disebutkan bahwa ia merupakan putri
Pangeran Trenggana dan cucu Raden Patah, sultan Demak pertama. Bernama asli
Ratna Kencana, sumber tradisional Jawa menyebutkan bahwa ia menggantikan
suaminya Pangeran Hadiri, menjabat sebagai raja di Jepara. Ia tidak pernah
menyangka bahwa kematian suaminya membawa ia pada babak yang sama sekali baru
dalam hidupnya. Dari sinilah semuanya di mulai.
Sepeninggal mendiang suaminya, internal kerajaan Demak diwarnai konflik kekuasaan. Karakternya yang kuat membuat ia dipercaya menjadi tokoh sentral dalam penyelesaian konflik keluarga tersebut. Peran yang dilakukan ini menunjukkan kemampuannya yang melebihi tokoh lain dalam menghadapi disintegrasi Kerajaan Demak. Namanya semakin populer di seantero Jepara.
Mendiang suaminya tidak meninggalkan anak
ketika ia pergi. Untuk mengisi kekosongan tersebut ia mengasuh anak dari
adiknya, Pangeran Timur yang nantinya menjadi adipati di Madiun. Selain itu
sejarah Banten juga mencatat bahwa Kalinyamat mengasuh Pangeran Arya, putera
dari Maulana Hasanuddin, Raja Banten tahun 1500-an yang nantinya akan menjadi
pengganti Ratu Kalinyamat memerintah Jepara. Ia juga memiliki putri angkat
bernama Dewi Wuryan, putri Sultan Cirebon. Selain menjadi tumpuan bagi keluarga
besar Kerajaan Demak, Ratu Kalinyamat juga digambarkan sebagai single-parent yang bertanggung
jawab atas kehidupan anak asuh dan kemenakannya. Dua peran sekaligus dalam
sekali dayung.
Jayanya Jepara
di Tangan Seorang Ibu
Sejak tahun 1500-an, Jepara sudah
diperkirakan menjadi kota dagang penting. Aktivitas kelautan dan perdagangan
padat, khususnya yang mengarah ke Maluku atau Malaka. Di bawah Ratu Kalinyamat,
strategi pengembangan Jepara diarahkan pada penguatan sektor perdagangan dan angkatan
laut. Untuk pertahanan, Jepara menjalin kerja sama dengan Johor, Aceh, Banten,
dan Maluku. Satu aktivitas yang pada masanya jarang dilakukan kaum perempuan.
Tidak hanya sampai di sana, selama 30 tahun
kekuasaannya (1549-1579) Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara pada
puncak kejayaan dengan amannya wilayah Kalinyamat dan Prawata yang bebas dari
ancaman manapun. Sumber Portugis menyebutkan bahwa Jepara saat itu sudah
menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut
yang besar dan kuat pada abad ke-16. Bahkan ia mampu menampung kapal besar
bermuatan 200 ton lebih.
Sepak terjang Ratu Kalinyamat jauh melampaui zamannya. Sesuai jabatannya, ia mempunyai pengaruh kuat di bidang politik dan militer. Ia diminta banyak kerja sama militer, salah satunya oleh Raja Johor dalam mengusir Portugis pada tahun 1550. Menyetujui hal tersebut, ia mengirimkan 40 armada kapal yang berisi empat sampai lima ribu prajurit.
Semangat membela tanah air dan melawan
Portugis terus berkobar di hati perempuan ini. Lewat lautan, ia terus
menggempur Portugis yang berada di Malaka, salah satunya pada tahun 1574.
Dibandingkan ekspedisi pertama yang bekerja sama dengan Raja Johor, kali ini ia
mengirim armada yang jauh lebih besar yaitu terdiri dari 300 buah kapal layar
dengan 15.000 prajurit pilihan, sekaligus dilengkapi dengan banyak perbekalan,
meriam dan mesiu.
Tidak ada motivasi politik macam-macam dari
Ratu Kalinyamat saat itu. Kegigihannya membantu melawan Portugis, menurut
catatan sejarah adalah untuk melindungi kepentingan perdagangan suku-suku
bangsa dari berbagai daerah di Nusantara yang sudah lebih dahulu beraktivitas
di sana. Popularitasnya sebagai kepala pemerintahan tidak hanya dikenal di
kawasan Nusantara bagian barat saja, tetapi juga Nusantara bagian Timur. Ratu
Kalinyamat merupakan sosok pengecualian yang berhasil keluar dari citra
perempuan Jawa pada masanya. Ia bicara lewat karakternya yang kuat. Jika hidup
pada masa ini, kualitas pribadi, karakter dan pencapaian Ratu Kalinyamat tentu dapat
disejajarkan dengan perempuan berprestasi Indonesia yang kita kenal. Berkaca
dari keberhasilannya, sudah sepatutnya perempuan Indonesia saat ini juga bangun
dari tiga kawasan yang terlanjur melekat. Kita sudah hampir lewat abad 21.
Dunia terlalu keras untuk hanya dihadapi dengan modal masak, macak, manak.
Aura Magis Pertapaan Telanjang Ratu
Kalinyamat
Ratu Kalinyamat adalah seorang perempuan yang
mendirikan kerajaan kecil di Mantingan, dekat Jepara. Istri Sultan Hadirin ini
terpaksa menjadi janda pada tahun 1549 setelah suaminya dibunuh oleh Aryo
Penangsang. Karena sangat berduka kehilangan suaminya, Ratu Kalinyamat
dikisahkan bertapa agar dapat membalas kematian suaminya.
Situs tempat pertapaan Ratu Kalinyamat ini
berada di Desa Tulakan, Kecamatan Keling, sekitar 40 kilometer arah timur laut
Kota Jepara, atau 78 kilometer dari Kota Kudus, Jawa Tengah. Di sana, ada salah
satu sudut bukit yang kini menjadi Desa Tulakan, tempat Ratu Kalinyamat bertapa
selama bertahun-tahun tanpa busana dan hanya berbalutkan rambutnya yang
panjang. Ia memohon pertolongan dari Tuhan agar dapat melampiaskan dendam
kesumatnya terhadap Aryo Penangsang, salah seorang murid kesayangan Sunan
Kudus. Kalinyamat pun sempat bersumpah, “Ora
pisan-pisan ingsun jengkar saka tapa ingsun yen durung bisa kramas getihe lan
kesed jambule Aryo Penangsang.”Sumpah itu maknanya bahwa ia tidak
akan menghentikan laku tapanya jika belum bisa keramas rambut dengan darah Aryo
Penangsang, serta membasuh kakinya dengan rambut Aryo Penangsang.
Aryo Penangsang akhirnya tewas dalam sebuah
duel dengan Danang Sutowijoyo, yang di kemudian hari mendirikan Kerajaan
Mataram. Duel antara Danang Sutowijoyo dan Aryo Penangsang yang legendaris
ini berlangsung di dekat Sungai Kedung
Srengenge. Dalam pertarungan yang sengit, Aryo Penangsang tewas secara tragis,
ususnya terburai oleh kerisnya sendiri. Pertapaan Ratu Kalinyamat dengan
sumpahnya itu ditafsirkan oleh masyarakat sebagai wujud kesetiaan, kecintaan
dan pengabdian Sang Ratu kepada suaminya. Ia dengan kesadaran dan keikhlasan
yang tinggi bersedia meninggalkan gemerlapnya kehidupan istana.
Kini, tempat pertapaan Ratu Kalinyamat yang
semula hanya berupa bangunan sederhana berukuran 3 x 4 meter di tepian sebuah
sungai kecil di Tulakan, oleh Pemerintah Kabupaten Jepara dibangun pintu gerbang.
Tempat pemandian untuk berendam (tapa kungkum) di sungai kecil dekat pertapaan
kini dibangun pula pagar pemisah untuk peziarah pria dan wanita. Jalanan dan
halaman situs pun telah diperkeras dengan paving
block. Situs pertapaan Ratu Kalinyamat ini setiap malam Jumat Wage
dipenuhi peziarah yang datang dari berbagai daerah di sekitar Jepara.
”Para peziarah kebanyakan kaum perempuan yang ingin cantik alami seperti Ratu Kalinyamat. Syaratnya, mereka terlebih dahulu harus mandi di sungai kecil yang ada di dekat situs bekas pertapaan. Kemudian disusul dengan laku tapa atau meditasi selama 40 hari,” ujar Suparni, juru kunci pertapaan Ratu Kalinyamat.
Menurut Suparni, setiap Jumat Wage banyak
orang yang berziarah. Di tempat itu, mereka berdoa pada Allah Swt. “Doanya ada
yang terkabul. Lewat berdoa di situ kemudian dia dengan sukarela memberi
bantuan sampai jutaan rupiah untuk membangun tempat ini,” ujar Suparni. Kegiatan
yang dilakukan di pertapaan itu tidak ada pantangannya. Tidak ada larangan.
Tetapi untuk menjaga kelestariannya dilarang menebang pohon. Larangan menebang
pohon sudah berlaku sejak 1989 silam. Sebab, sebelumnya pohon-pohon di area
makan banyak ditebangi untuk keperluan bangunan.
“Berziarah harus bersuci terlebih dahulu
seperti berwudhu.”
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar