KISAH
KERAJAAN KENDAN
Orientasi
Resi
Maha Guru Manikmaya, Raja Pertama Kendan Sang
Resiguru Manikmaya datang dari Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga
Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia telah mengembara, mengunjungi
beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala), Mahasin (Singapura),
Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali, Syangka, Yawana,
Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan Tirtakancana, putri
Maharaja Suryawarman, penguasa ke-7 Tarumanagara
(535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah Kendan (suatu wilayah
perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan rakyat dan tentaranya.
Resiguru
Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang Maharaja Suryawarman,
menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota Raja dan mahkota Permaisuri.
Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang Maharaja Suryawarman, diberi
tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi Manikmaya di Kendan, harus
diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang Maharaja, dan mesti dijadikan
sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu, seorang Brahmana ulung, yang telah
banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun yang berani menolak Rajaresiguru
Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan.
Penerus tahta Kerajaan
Kendan
Dari perkawinannya dengan Tirtakancana, Sang Resiguru
Manikmaya Raja Kendan, memperoleh keturunan beberapa orang putra dan putri.
Salah seorang di antaranya bernama Rajaputera Suraliman. Dalam usia 20 tahun, Sang
Suraliman dikenal tampan dan mahir ilmu perang. Sehingga, ia diangkat menjadi
Senapati Kendan, kemudian diangkat pula menjadi Panglima Balatentara (Baladika)
Tarumanagara.
Resiguru Manikmaya memerintah di Kerajaan Kendan
selama 32 tahun (536-568 Masehi). Setelah resiguru wafat, Sang Baladika
Suraliman menjadi raja menggantikan ayahnya di Kendan. Penobatan Rajaputra
Suraliman, berlangsung pada tanggal 12 bagian gelap bulan Asuji tahun 490 Saka
(tanggal 5 Oktober 568 M.). Sang Suraliman terkenal selalu unggul dalam perang.
Dalam perkawinannya dengan putri Bakulapura (Kutai, Kalimantan), yaitu
keturunan Kudungga yang bernama Dewi Mutyasari, Sang Suraliman mempunyai
seorang putra dan seorang putri. Anak sulungnya yang laki-laki diberi nama Sang
Kandiawan. Adiknya diberi nama Sang Kandiawati.
Sang Kandiawan, disebut juga Rajaresi Dewaraja atau
Sang Layuwatang. Sedangkan Sang Kandiawati, bersuamikan seorang saudagar dari
Pulau Sumatra, tinggal bersama suaminya. Sang Suraliman, menjadi raja Kendan
selama 29 tahun (tahun 568-597 M). Kemudian ia digantikan oleh Sang Kandiawan
yang ketika itu telah menjadi raja daerah di Medang Jati atau Medang Gana. Oleh
karena itu, Sang Kandiawan diberi gelar Rahiyangta ri Medang Jati.
Setelah Sang Kandiawan menggantikan ayahnya menjadi
penguasa Kendan, ia tidak berkedudukan di Kendan, melainkan di Medang Jati
(Kemungkinan di Cangkuang, Bandung).
Penyebabnya adalah karena Sang Kandiawan pemeluk agama Hindu Wisnu. Sedangkan
wilayah Kendan, pemeluk agama Hindu Siwa. Boleh jadi, temuan fondasi candi Bojong
Menje oleh Balai Arkeologi Bandung, terkait dengan keagamaan masa
silam Kendan.
Sebagai penguasa Kendan ketiga, Sang Kandiawan
bergelar Rajaresi Dewaraja. Ia punya lima putra, masing-masing bernama Mangukuhan,
Karungkalah, Katungmaralah, Sandanggreba, dan Wretikandayun.
Kelima putranya, masing-masing menjadi raja daerah di Kulikuli, Surawulan,
Peles Awi, Rawung Langit, dan Menir. Kemungkinan, lokasi kerajaan bawahan
Kendan tersebut berada di sekitar Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Pendahulu Kerajaan Galuh
Sang Kandiawan menjadi raja hanya 15 tahun (597-612
M). Tahun 612 Masehi, ia mengundurkan diri dari tahta kerajaan, lalu menjadi
pertapa di Layuwatang Kuningan. Sebagai penggantinya, ia menunjuk putra bungsunya,
Sang Wretikandayun,
yang waktu itu sudah menjadi rajaresi di daerah Menir.
Sang Wretikandayun dinobatkan sebagai penguasa
Kerajaan Kendan pada tanggal 23 Maret 612 Masehi, dalam usia 21 tahun. Malam
itu, bulan sedang purnama. Esok harinya, matahari terbit, tepat di titik timur
garis ekuator. Sang Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan ataupun di
Medang Jati, tidak juga di Menir. Ia mendirikan pusat pemerintahan baru,
kemudian diberi nama Galuh (harfiah : permata, Kerajaan
Galuh). Lahan pusat pemerintahan yang dipilihnya diapit oleh dua
batang sungai yang bertemu, yaitu Citanduy dan Cimuntur. Lokasinya yang
sekarang, di desa Karang Kamulyan, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis.
Sebagai Rajaresi, Sang Wretikandayun memilih istri,
seorang putri pendeta bernama Manawati, putri Resi Makandria. Manawati
dinobatkan sebagai permaisuri dengan nama Candraresmi. Dari perkawinan ini,
Sang Wretikandayun memperoleh tiga orang putra, yaitu Sempakwaja (lahir tahun
620 M), Jantaka, (lahir tahun 622 M), dan Amara (lahir tahun 624 M).
Ketika Sang Wretikandayun
dinobatkan sebagai Raja Kendan di Galuh, penguasa di Tarumanagara
saat itu, adalah Sri Maharaja Kertawarman (561-628 M). Sebagai Raja di Galuh,
status Sang Wretikendayun adalah sebagai raja bawahan Tarumanagara.
Berturut-turut, Sang Wretikandayun menjadi raja daerah, di bawah kekuasaan
Sudawarman (628-639 M), Dewamurti (639-640 M), Nagajayawarman (640-666 M), dan Linggawarman
(666-669 M).
Ketika Linggawarman digantikan oleh Sang Tarusbawa,
umur Sang Wretikandayun sudah mencapai 78 tahun. Ia mengetahui persis tentang
Tarumanagara yang sudah pudar pamornya. Apalagi Sang Tarusbawa yang lahir di
Sunda Sembawa dan mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ini
merupakan peluang bagi Sang Wretikandayun untuk membebaskan diri (mahardika)
dari kekuasaan Sang Tarusbawa.
Sang Wretikendayun segera mengirimkan duta ke Pakuan
(Bogor) sebagai ibu kota Kerajaan Sunda (lanjutan Tarumanagara) yang baru,
menyampaikan surat kepada Sang Maharaja Tarusbawa. Isi surat tersebut
menyatakan bahwa Galuh memisahkan diri dari Kerajaan Sunda, menjadi kerajaan
yang mahardika.
Sang Maharaja Tarusbawa adalah raja yang cinta damai
dan adil bijaksana. Ia berpikir, lebih baik membina separuh wilayah bekas
Tarumanagara daripada menguasai keseluruhan, tetapi dalam keadaan lemah. Tahun
670 Masehi, merupakan tanda berakhirnya Tarumanagara. Kemudian muncul dua kerajaan
penerusnya, Kerajaan Sunda di belahan barat dan Kerajaan Galuh di belahan
timur, dengan batas wilayah kerajaan Sungai Citarum. Pada tahun 1482, kedua
kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi), menjadi Kerajaan
Sunda Pajajaran.
Kisah lengkap Kerajaan Kendan bersumber pada naskah
Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa II sarga 4 (naskah wangsakerta)
Ringkasan Kerajaan Kendan
Candrawarman (515-535 M) Pada saat
kekuasaanya / pemerintahannya tahun 535 M terjadinya Meletus Gunung Krakatau
yang sangat dasyat yang menyebabkan tsunami
yang sangat besar dan berdampak pada seluruh dunia.
Suryawarman (535 - 561 M) Suryawarman
tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan kepercayaan
lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan sendiri, melainkan
juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam tahun 536 M,
misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di
Kendan, daerah Nagreg antara Bandung
dan Limbangan, Garut.
Sedangkan putera Manikmaya, tinggal bersama kakeknya
di ibukota Tarumanagara dan kemudian menjadi Panglima
Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi
lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan
Galuh dalam tahun 612M. Selanjutnya pada tahun 561 untuk Kerajaan Tarumanegara dilanjutkan
kekuasaannya oleh putranya Kertawarman (maut 628) ialah raja Kerajaan Tarumanagara yang kelapan yang
mewarisi bapaknya, Suryawarman yang mangkat pada tahun 561 dan
memerintah selama 67 tahun antara tahun-tahun 561 - 628.
Raja-Raja Kerajaan Kendan
ini adalah
Raja Maha Guru Manikmaya Th.536 M -
Th.568 M, berasal dari keluarga Calankayana di India Selatan adalah seorang
Pemuka Agama Hindu, karena Jasa-jasanya dalam menyebarkan Agama Hindu ditanah
Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu adalah Suryawarman
menikahkan Putrinya yang bernama Tirta Kancana kepada Maha Guru Manikmaya ini
sebagai Istri dan memperkenankan sang Menantu mendirikan Kerajaan Kendan ditambah sebagian dari
Prajurit Taruma Nagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan, dan Maha Guru
Manikmaya ini mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra Suraliman, hal
ini berdasarkan Naskah Pustaka Rajyarajya / Pustaka Bumi
Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602 Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton
Kasepuhan Jawa Barat.
Raja Putra Suraliman Th.568 M -
Th.597 M, menikah dengan Dewi Mutyasari Putri dari Kerajaan Kutai Bakula Putra
bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang Rahiyang Tari Medang Jati,
mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan dan 1 orang anak Perempuan
bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai Medang Jati Garut Jawa
Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang Tapak.
Raja Kandiawan Th.597 M - Th.
612 M, memindahkan Pusat Kerajaan Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang
Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat. Hal ini terbukti
dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong Mente Cicalengka
kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang Putra yaitu ;
Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah dan Wretikandayun, yang masing-masing
memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas Awi, Rawung
Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra bungsu
Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja Kandiawan bertapa di
Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat bersamaan di
pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / Hutan Sancang
dan Gunung Nagara) secara perlahan Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang putra Kertawarman
Raja Wretikandayun Th.612 M - Th.
702 M, memindahkan lagi Pusat Kerajaan Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang
Kamulyaan , kecamatan Cijeungjing, Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan
Permaisuri Dewi Minawati anak dari Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan
menurunkan 3 orang Putra yaitu ; Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa,
Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan
Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi
Kerajaan Galuh. Sedangkan
Pada tahun 670 Masehi Kerajaan Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Taruma
Nagara saat itu diperintah oleh Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan
Sunda dan menyetujui Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang
menjadi Kerajaan Galuh, sehingga Kerajaan menjadi 2 bagian yaitu ;
Kerajaan
Sunda bekas Kerajaan Tarumanagara dengan Rajanya Sri Maharaja Tarusbawa, menguasai
wilayah pada bagian Barat, Ibu kota Bogor, Jawa Barat, berkuasa sampai
tahun 723 M, hal terbut berdasarkan carita Parahiyangan, sedangkan
menurut Prasasti Jaya Bupati yang ditemukan di Cibadak Sukabumi tidak menyebutkan
Ibu kota kerajaan di Bogor.
Kerajaan
Galuh bekas Kerajaan Kendan / Kelang dengan Rajanya Wretikandayun,
menguasai wilayah bagian Timur,
ibu kota Kawali di Ciamis, Jawa Barat. sehingga Raja Wretakandayun berani
melepaskan diri dari Tarumanagara. Menurut Carita Parahiyangan, Putra Mahkota Galuh Mandiminyak menikah dengan Parwati
putri Maharani
Shima Putri dari Kerajaan
Kalingga di Jawa Tengah,
pernikahan melahirkan Rahyang Sena atau Bratasena yang berputra Sanjaya, Sanjaya adalah raja pertama Kerajaan
Medang periode Jawa Tengah
(atau lazim disebut Kerajaan Mataram Kuno), yang memerintah sekitar tahun
730-an. Namanya dikenal melalui prasasti Canggal ataupun naskah Carita Parahyangan. Sebagian para
sejarawan menganggap Sanjaya sebagai pendiri Wangsa
Sanjaya,
Sri Baduga Maharaja yang dikenal sebagai Prabu
Siliwangi Kedua Kerajaan ini lalu disatukan menjadi Kerajaan
Sunda Pajajaran pada
tahun 1482 Masehi. hal ini berdasarkan carita
Parahiayangan.
Mandala Kendan
“Ti Inya carek
Bagawat Resi Makandria : Ai(ng)
dek leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kendan. Datang Siya ka Kendan.
Carek Sang Resi Guru : Na naha beja siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?
Pun sampun, aya beja kami
pun. Kami me(n)ta pirabieun pun, kena kami kapupudihan ku paksi Si Uwur-uwur,
paksi Si Naragati, papa baruk urang heunteu dianak.
Carek Sang Resi Guru: Leumpang siya ti heula ka batur siya deui. Anakaing, Pwah Aksari
Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, pideungeuneun satapi satapa,
anaking.
(Carita Parahyangan, Drs. Atja dan Saleh Danasasmita,
1981).
Mandala mengandung pengertian “Kabuyutan” atau “Tanah
suci”, segala hal, benda atau perbuatan yang dapat menodai kesuciannya harus
dilarang atau dianggap “buyut”. Mandala kendan sekarang terletak di kecamatan
Nagreg, di atas ketinggian 1200dpl, dengan luas wilayah (± 4.930,29 Ha),yang
terbagi atas : hutan rakyat (± 907,37 ha) dan tanaman tahunan/perkebunan
(± 1.727,54 ha). Status ke-mandala-an kendan sudah dipangku jauh sejak kerajaan
karesian kendan didirikan, daerah ini sangat dilindungi sebagai tempatnya para
resi luhung ilmu (diterangkan dalam naskah carita parahyangan).
Barulah kemudian tahun ±512 M, yaitu pada masa raja
Tarumanagara ke-9 ; Suryawarman, mandala kendan diberikan kepada seorang
Resi yang bernama Manik Maya seorang penganut hindu shiwa yang taat, atas
penikahannya dengan seorang putri dari Maharaja yang bernama Tirta Kencana.
Daerah ini dianugerahkan sebagai sebuah hadiah pernikahan, diberikan lengkap
dengan para prajuritnya. Sejak masa itu Mandala kendan menjadi sebuah kerajaan
karesian di bawah perlindungan Maharaja Suryawarman, bukan sebagai sebuah
kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara tetapi satu mandala yang
sangat dihormati bahkan dilindungi oleh raja-raja pada masa itu :
“ Hawya Ta Sira Tinenget: janganlah ia ditolak, karena
dia itu menantu maharaja, mesti dijadikan sahabat, lebih-lebih karena sang
resiguru Kendan itu, seorang Brahmana yang ulung dan telah banyak berjasa
terhadap agama. Siapapun yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi
hukuman mati dan kerajaannya akan dihapuskan” (carita parahyangan;Danasasmita,
1983:41)
Selanjutnya Kendan menjadi tempatnya para prajurit
Tarumanegara untuk ditempa penyucian dan penggemblengan. Salah satu kitab yang
terkenal yang disusun oleh Resiguru Manik Maya adalah Pustaka Ratuning Bala
Sarewu, yaitu sebuah kitab yang berisi bagaimana caranya membangun sebuah
negara dengan para prajuritnya yang sangat kuat. Dari mandala ini dilahirkan
para Yudhapena atau panglima perang laut di Tarumanagara, salah satunya yaitu
Raja Putra, Sang Baladhika Suraliman, putra pertama Resiguru Manik Maya.
Kemudian kitab ini pula yang memandu Sanjaya keturunan
ke-6 dari Kendan, dalam menyatukan kembali Sunda dan Galuh atas bimbingan
Rabuyut Sawal ( Masa Sanjaya adalah masa puncak kejayaan bersatunya kembali raja-raja
di Jawa ). Berikut keterangan dalam naskah carita parahyangan terkait raja-raja
di Kendan :
“ Ndeh Nihen carita
parahyangan. Sang Resiguru mangyuga Rajaputra. Miseuweukeun Sang Kandiawan
lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan maneh Rahyangta
Dewaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan maneh Rahyangta Ri Medangjati,
inya sang Layuwatang. Nya nu nyieun Sanghyang Watang Ageung ”
“ ya, inilah kisah para leluhur. Sang Resiguru beranak
Rajaputra. Rajaputra beranak Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati, sepasang kakak
beradik. Sang Kandiawan menamakan dirinya Rahyangta Dewaraja. Waktu ia menjadi
Rajaresi menamakan dirinya Rahyangta di Medangjati. Yaitu Sang Layungwatang.
Dialah yang membangun balairung besar”. ( Carita parahyangan, Atja,Danasasmita,
1983:37-38 )
Raja Kendan berstatus Rajaresi atau Raja sekaligus
Resi. Raja pertamanya adalah Resiguru Manik Maya, atas pernikahanya dengan
Tirta Kencana mempunyai anak bernama Suraliman, kemudian oleh kakeknya Maharaja
Tarumanagara ia dianugerahi sebagai Yudhapena atau Panglima laut kerajaan
Tarumanegara, ia kemudian menikah dengan Mutyasari seorang putri dari Kudungga,
dari pernikahannya ia dianugerahi putra yang bernama Kandiawan yang kemudian di
Rajaresikan di Kendan dan putri dengan nama Kandiawati. Kandiawan mempunyai
beberapa orang anak yaitu Sang Mangukuhan, Sang Kangkalah, Sang Katungmaralah,
Sang Sandanggreba dan Sang Wretikendayun, yang kemudian di Rajaresikan di
Kendan.
Pada masa Wretikendayun terjadi perubahan berarti
dalam perkembangan sejarah Kendan, yang diakibatkan adanya pewarisan tahta
Tarumanagara kepada bukan wangsa warman. Pada tahun 669 di Tarumanagara
dirajakan seorang muda Tarusbawa, putra daerah dari sundapura, ibu kota
Tarumanagara saat itu. Diangkatnya Tarusbawa menimbulkan pergolakan dari
kerajaan-kerajaan bawahan Tarumanagara, Tarusbawa yang kemudian mendapat gelar
Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya, karena keputusannya mengubah
nama Tarumanagara menjadi kerajaan Sunda, semakin menimbulkan pergolakan. Yang
pada akhirnya akibat dari perubahan tersebut, Wretikendayun sebagai Rajaresi
Kendan memutuskan untuk me-Mahardika-kan diri, dengan mendirikan Kerajaan Galuh
di ibu kota barunya, sebelah timur Kendan, yaitu di antara sungai Cimuntur dan
Citanduy.
Sebuah surat dikirimkan kepada Tarusbawa yang berisi
peringatan dan keputusan pemisahan daerah “Karunya Ning Caritra”, yang isinya
“Mulai hari ini Galuh berdiri sebagai sebuah kerajaan yang Mahardika, tidak
berada di bawah kerajaan pakanira lagi, janganlah pasukan tuan menyerang Galuh,
karena pasukan Galuh jauh lebih kuat dari pasukan Sunda, ditambah Galuh di
dukung oleh kerajaan-kerajaan disebelah timur Citarum...hendaknya kita rukun
hidup berdampingan”
Atas keputusan tersebut maka pada tahun 670 M,
berdirilah dua buah kerajaan besar di Jawa, dengan Citarum sebagai pembatasnya.
Dari Citarum ke arah barat menjadi kerajaan Sunda sedang dari Citarum ke arah
timur menjadi kerajaan Galuh. Sementara Mandala Kendan, tetap menjadi sebuah
daerah yang dilindungi oleh kedua kerajaan tersebut. Kemudian hari Sunda dan
Galuh pada masa Sanjaya dapat dipersatukan kembali, setelah terjadi
pemberontakan dan perang saudara antar keturunan Galuh.
Perebutan, perubahan kerajaan tindak lantas mengubah
keadaan, Kendan tetap sebagai sebuah Mandala yang sepakat dilindungi. Namun
kemudia sejak Pajajaran runtuh tahun 1579, status ke-mandala-an, mengalami
perubahan, bahkan beberapa tempat seperti hal nya di Kanekes, tidak lagi diakui
oleh para penguasa selanjutnya. Sejak saat itu berbagai kepentingan “penguasa”
tidak lagi sejalan dalam melindungi “kesucian” Mandala.
Dalam Kropak - kropak
“Nuras” sesungguhnya erat dan tumbuh sebagai bagian
dari kehidupan masyarakat sunda, yang hidup menggantungkan diri terhadap ladang
dan sawah, karena dua hal tersebut merupakan satu penghormatan kepada Nyi
Pohaci Sang Hyang Asri dan Batara Patanjala. Artinya bagi masyarakat ladang,
padi dan hujan atau air merupakan dua sejoli yang tak terpisahkan. Untuk mereka
dalam “Gaib” pelindung hujan atau air, sama pentingnya dengan “Gaib” pelindung
padi. Kedua hal ini menjadi dua substansi penting dalam “Nuras”.
Dalam kropak 406 dan kropak 630, tercatat Patanjala
adalah nama seorang Resi murid Siwa yang berjumlah 5 orang, namun tidak
tercatat dalam Practical Sanskrit Dictionary Macdonell. Kata “Patanjala”
berarti air jatuh atau air hujan (pata=jatuh:jala=air), sementara di dalam
sejarah Jawa Barat ada dua orang raja yang dianggap penjelmaan dari Patanjala,
yaitu Wretikendayun raja ke-4 Kendan (pendiri Galuh) dan Darmasiksa atau
Maharaja Tarusbawa Sunda Sembada Manumanggalajaya (Pendiri Sunda).
Penulis kropak 632 bahkan menganggap Patanjala sebagai
daya-hidup sehingga tokoh ini dalam kepercayaan orang sunda silam menggeser
posisi Siwa dan Wisnu.Dalam lakon Lutung Kasarung versi pantun Kanekes, tokoh
Guru Minda di sebut Guru Minda Patanjala. Khusus di daerah Tangtu lakon itu
tergolong sakral karena isinya berkaitan dengan perawatan tanaman padi dan
pengurusannya setelah panen. Tersirat disini hubungan antara Patanjala, yang turun ke dunia untuk
mengajarkan tata cara penanaman padi dan pemeliharaannya agar sesuai dengan
kehendak Nyi Pohaci Sang Hyang Asri.
Dalam pantun Bogor, Batara Kuwera
yang dianggap sebagai Dewa Hujan atau Dewa air dan kemakmuran di kisahkan
sebagai “suami” Nyi Pohaci Hyang Asri. Dalam hal ini pun kita melihat bagaimana “gaib”, pelindung padi
dijodohkan dengan “gaib” pelindung hujan atau air, pelindung hujan atau air
hanya berbeda nama.Upacara “seren taun”, dalam versi pantun Bogor dinamakan
“Guru Bumi” yang berlangsung selama 9 hari dan ditutup dengan upacara “Kuwera”
bakti pada bulan purnama. Upacara ini meliputi “syukuran” atas keberhasilan
panen yang dipandang sebagai anugerah dari Dewa Kuwera. Begitu pula pada
upacara Nuras sesungguhnya
adalah satu bentuk upacara syukuran bagaimana seharusnya merawat Patanjala (
air ) sebutan lain bagi Wretikendayun dan Nyi Pohaci Sang Hyang Asri (Padi).
Bukti-bukti Kerajaan Kendan
/ Kelang yang ada sekarang
Ø
Kampung Pasir Dayeuh kolot / disebut Kampung
Kendan dikenal dengan Kampung Kelang di Bukit yang letaknya 15 km sebelah
tenggara Cicalengka Jawa Barat.
Ø
Ditemukannya Arca Manik, Arca Durga, Pusaka Naga
Sastra, Naskah berbahasa Sansekerta yang disimpan di Museum Nasional Pusat
Jakarta.
Ø
Candi Cangkuang di desa Bojong Mente, Cicalengka,
Garut, Jawa Barat.
Ø
Situs Makam Keramat Sanghyang Anjungan, Situs Makam
Keramat Embah Singa, Situs Makam Keramat Eyang Cakra, Situs Makam Keramat Kiara
Jenggot.
Batu Cadas Pangeran di Nagreg Jawa Barat.
Ø
Sedangkan Komplek Keraton Baleeh Gedeh untuk Pertemuan
dan Baleeh Bubut untuk kediaman Raja sudah tidak ditemukan lagi karena
Rumah Panggung tersebut terbuat dari Kayu dan sudah lapuk termakan usia jaman,
hanya tersisa batu-batu besar di Perbukitan Citaman Nagreg.
Ø
Carita Parahyangan.
Ø
Kabuyutan Sanghiyang Tapak.
Ø
Baru Bertuliskan Purnawarman di Pasir Muara dan Pasir
Koleangkak yang tidak menyebutkan Ibu Kota Kerajaan Taruma Nagara.
Sumber
: Google Wikipedia
Situs
Kerajaan Kendan
Kerajaan
Kendan merupakan sebuah kerajaan kecil yang bersifat keagamaan. Nama Kendan
diambil dari nama sebuah bukit berjarak sekitar 500 meter dari stasiun Nagreg, sebelah tenggara
Cicalengka sekarang. Pada kaki bukit tersebut, terdapat sebuah kampung
bernama Kendan (wilayah Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka sekarang). Di daerah
itulah lokasi kerajaan ini berdiri. Kerajaan kendan berdiri sekitar tahun ke
546 Masehi dan berakhir pada tahun 612 Masehi. Kerajaan Kendan merupakan sebuah
kerajaan yang memerdekakan dirinya dari Kerajaan Tarumanagara, kerajaan tertua
di Nusantara, di abad ke-6 M. Kerajaan Kendan dipimpin oleh seorang raja,
Resiguru Manikmaya, yang berasal dari keluarga Calankayana di India Selatan.
Resiguru Manikmaya membawa dan menyebarkan ajaran Hindu di Jawa, dan atas
pengabdiannya di Kerajaan Tarumanagara. Resiguru Manikmaya dinikahkan dengan
Tirta Kancana (anak dari Raja Tarumanagara pada saat itu) dan diberikan
kekuasaan di daerah yang menjadi wilayah Kerajaan Kendan.
Resiguru
Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang
Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota
Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang
Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi
Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang
Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu,
seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun
yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan
kerajaannya akan dihapuskan.
Kerajaan Kendan
Nama
Kerajaan Kendan diambil dari nama sebuah bukit (500 meter dari stasiun Nagreg,
sebelah tenggara Cicalengka sekarang. Pada kaki bukit tersebut, terdapat sebuah
kampung bernama Kendan (wilayah Desa Citaman, Kecamatan Cicalengka sekarang).
Di daerah itulah lokasi kerajaan ini berdiri.
Sejarah Kerajaan
Kendan (536–612)
Resi Maha
Guru Manikmaya, Raja Pertama Kendan Sang Resiguru Manikmaya datang dari Jawa
Timur. Ia berasal dari keluarga Calankayana, India Selatan. Sebelumnya, ia
telah mengembara, mengunjungi beberapa negara, seperti: Gaudi (Benggala),
Mahasin (Singapura), Sumatra, Nusa Sapi (Ghohnusa) atau Pulau Bali,
Syangka, Yawana, Cina, dan lain-lain. Resiguru Manikmaya menikah dengan
Tirtakancana, putri Maharaja Suryawarman, penguasa
ke-7 Tarumanagara (535-561 M). Oleh karena itu, ia dihadiahi daerah
Kendan (suatu wilayah perbukitan Nagreg di Kabupaten Bandung), lengkap dengan
rakyat dan tentaranya.
Resiguru
Manikmaya, dinobatkan menjadi seorang Rajaresi di daerah Kendan. Sang
Maharaja Suryawarman, menganugerahkan perlengkapan kerajaan berupa mahkota
Raja dan mahkota Permaisuri. Semua raja daerah Tarumanagara, oleh Sang
Maharaja Suryawarman, diberi tahu dengan surat. Isinya, keberadaan Rajaresi
Manikmaya di Kendan, harus diterima dengan baik. Sebab, ia menantu Sang
Maharaja, dan mesti dijadikan sahabat. Terlebih, Sang Resiguru Kendan itu,
seorang Brahmana ulung, yang telah banyak berjasa terhadap agama. Siapa pun
yang berani menolak Rajaresiguru Kendan, akan dijatuhi hukuman mati dan
kerajaannya akan dihapuskan.
Ø Candrawarman (515-535 M) Pada saat
kekuasaanya / pemerintahannya tahun 535 M terjadinya Meletus Gunung Krakatau yang
sangat dasyat yang menyebabkan tsunami yang sangat besar dan
berdampak pada seluruh dunia.
Ø Suryawarman (535 – 561 M)
Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik ayahnya yang memberikan
kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk mengurus pemerintahan
sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke daerah bagian timur. Dalam
tahun 536 M, misalnya, Manikmaya, menantu Suryawarman, mendirikan kerajaan
baru di Kendan, daerah Nagreg antara Bandung dan
Limbangan, Garut.
Ø Sedangkan putera Manikmaya, tinggal
bersama kakeknya di ibukota Tarumanagara dan kemudian menjadi
Panglima Angkatan Perang Tarumanagara. Perkembangan daerah timur menjadi
lebih berkembang ketika cicit Manikmaya mendirikan Kerajaan Galuh dalam
tahun 612M. Selanjutnya pada tahun 561 untuk Kerajaan
Tarumanegara dilanjutkan kekuasaannya oleh
putranya Kertawarman (maut 628) ialah raja Kerajaan
Tarumanagara yang kelapan yang mewarisi bapaknya, Suryawarman yang
mangkat pada tahun 561 dan memerintah selama 67 tahun antara tahun-tahun 561 –
628.
Raja-Raja Kerajaan Kendan
1.
Raja Maha Guru Manikmaya Th.536 M – Th.568 M
Berasal dari keluarga Calankayana di
India Selatan adalah seorang Pemuka Agama Hindu, karena Jasa-jasanya dalam
menyebarkan Agama Hindu ditanah Jawa, Raja Tarumanagara pada waktu itu
adalah Suryawarman menikahkan Putrinya yang bernama Tirta Kancana
kepada Maha Guru Manikmaya ini sebagai Istri dan memperkenankan sang Menantu
mendirikan Kerajaan Kendan ditambah
sebagian dari Prajurit Taruma Nagara sebagai Pelindung Kerajaan Kendan, dan
Maha Guru Manikmaya ini mempunyai Putra Mahkota yang bernama Raja Putra
Suraliman, hal ini berdasarkan Naskah Pustaka
Rajyarajya / Pustaka Bumi Nusantara Parwa II Sarga IV tahun 1602
Masehi yang tersimpan di Keraton Keraton Kasepuhan di Jawa Barat.
2.
Raja
Putra Suraliman Th.568 M – Th.597 M
Menikah dengan Dewi Mutyasari Putri
dari Kerajaan Kutai Bakula Putra bergelar Raja Resi Dewa Raja Sang Luyu Tawang
Rahiyang Tari Medang Jati, mempunyai 1 orang anak laki-laki bernama Kandiawan
dan 1 orang anak Perempuan bernama Kandiawati, menguasai Nagreg dan sampai
Medang Jati Garut Jawa Barat.Hal ini berdasarkan Carita Kabuyudan Sanghyang
Tapak.
3.
Raja Kandiawan Th.597 M – Th. 612 M
Yang memindahkan Pusat Kerajaan
Kendan dari desa Citaman Nagreg ke Medang Jati di Cangkuang Garut Jawa Barat.
Hal ini terbukti dari Situs Candi Cangkuang Garut didesa Bojong
Mente Cicalengka kabupeten Garut Jawa Barat. Raja Kandiawan mempunyai 5 orang
Putra yaitu ; Mangukuhan, Sandang Greba, Karung Kalah, Katung Maralah
dan Wretikandayun, yang
masing-masing memerintah dan terbagi 5 daerah yaitu ; Surawulan, Pelas
Awi, Rawung Langit, Menir dan Kuli-kuli. Pada Akhir tahtanya ditunjuk Putra
bungsu Wretikandayun sebagai Raja Kendan / Kelang dan Sang Raja Kandiawan
bertapa di Bukit Layuwatang, Kabupaten Kuningan Jawa Barat. Namun pada saat
bersamaan di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung /
Hutan Sancang dan Gunung Nagara) secara perlahan
Agama Islam diperkenalkan oleh Rakeyan
Sancang putra Kertawarman
4.
Raja Wretikandayun Th.612 M – Th. 702 M
Memindahkan lagi Pusat Kerajaan
Kendan / Kelang ke Galuh didesa Karang Kamulyaan , kecamatan Cijeungjing,
Ciamis Jawa Barat sekarang ini, dengan Permaisuri Dewi Minawati anak dari
Pendeta Hindu yaitu Resi Mekandria dan menurunkan 3 orang Putra yaitu ;
Sampakwaja menjadi Resi Guru wanayasa, Amara menjadi Resi Guru Deneuh dan
Jantaka/ Mandiminyak. Hal ini berdasarkan Pusaka Naga Sastra, Pada masa itu
Kerajaan Kendan / Kelang berubah nama menjadi Kerajaan Galuh. Sedangkan Pada tahun 670 Masehi Kerajaan
Induk Kendan / Kelang / Galuh ini yaitu Taruma Nagara saat itu diperintah oleh
Tarusbawa telah berubah menjadi Kerajaan Sunda dan menyetujui
Pemisahan Kerajaan bawahannya Kendan / Kelang menjadi Kerajaan
Galuh.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar