KISAH
KERAJAAN SALAKANAGARA
Orientasi
Salakanagara,
berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
(yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan
merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Salakanagara diyakini
sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban
Salakanagara sama persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama
berabad-abad. Dan yang memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda
dan Salakanagara. Disamping itu ditemukan bukti lain berupa Jam Sunda atau Jam
Salakanagara, suatu cara penyebutan Waktu/Jam yang juga berbahasa Sunda.
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar
Pasundan memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tubagus H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan
lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan,
ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh
Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi,
Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi
tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa
Indonesia maupun bahasa Inggris. Tokoh
awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota
inilah yang disebut Argyrè
oleh Ptolemeus
dalam tahun 150,
dikarenakan Salakanagara diartikan sebagai "Negara Perak" dalam
bahasa Sansakerta.
Kota ini terletak di daerah Teluk Lada,
Pandeglang, Banten. Adalah Aki Tirem, penghulu atau
penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua duta dari Pallawa Dewawarman ketika puteri
Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pohaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini
membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan
wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya. Ketika Aki Tirem meninggal,
Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan
sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara beribukota di Rajatapura. Ia menjadi
raja pertama dengan gelar Prabu
Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan
kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agninusa (Negeri
Api) yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota
Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara
berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362
Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan
anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat
sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363
karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah
kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi
oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman.
Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik,
makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.
Pendahulu Kerajaan
Tarumanagara
Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara
adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia
sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja
Samudragupta dari Kerajaan Maurya.
Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara,
pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara
kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.
Memang banyak para ahli yang masih memperdebatkan
masalah institusi kerajaan sebelum Tarumanegara
melalui berbagai sumber sejarah seperti berita Cina dan bangsa Eropa atau
naskah-naskah Kuna. Claudius Ptolemaeus, seorang ahli bumi masa
Yunani Kuno menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang
terletak di wilayah Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat Pulau Iabodio yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang
kemudian diasumsikan sebagai Jawa. Argyrè
sendiri berarti perak yang kemudian ”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai Merak.
Kemudian sebuah berita Cina yang berasal dari tahun
132 M menyebutkan wilayah Ye-tiao
yang sering diartikan sebagai Yawadwipa
dengan rajanya Pien yang
merupakan lafal Cina dari bahasa Sansakerta
Dewawarman. Namun tidak ada bukti lain yang dapat mengungkap kebenaran dari dua
berita asing tersebut.
Raja-raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan
Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa
|
Nama raja
|
Julukan
|
Keterangan
|
130-168 M
|
Dewawarman I
|
Prabu Darmalokapala Aji Raksa
Gapura Sagara
|
Pedagang asal Bharata (India)
|
168-195 M
|
Dewawarman II
|
Prabu Digwijayakasa
Dewawarmanputra
|
Putera tertua Dewawarman I
|
195-238 M
|
Dewawarman III
|
Prabu Singasagara Bimayasawirya
|
Putera Dewawarman II
|
238-252 M
|
Dewawarman IV
|
Menantu Dewawarman II, Raja Ujung
Kulon
|
|
252-276 M
|
Dewawarman V
|
Menantu Dewawarman IV
|
|
276-289 M
|
Mahisa Suramardini Warmandewi
|
Puteri tertua Dewawarman IV & isteri
Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut
|
|
289-308 M
|
Dewawarman VI
|
Sang Mokteng Samudera
|
Putera tertua Dewawarman V
|
308-340 M
|
Dewawarman VII
|
Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati
|
Putera tertua Dewawarman VI
|
340-348 M
|
Sphatikarnawa Warmandewi
|
Puteri sulung Dewawarman VII
|
|
348-362 M
|
Dewawarman VIII
|
Prabu Darmawirya Dewawarman
|
Cucu Dewawarman VI yang menikahi
Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
|
Mulai
362 M
|
Dewawarman IX
|
Salakanagara telah menjadi
kerajaan bawahan Tarumanagara
|
Kerajaan Bawahan
Salakanagara
Salakanagara membawahi kerajaan-kerajaan kecil, yang
didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dinasti Dewawarman (raja-raja yang
memerintah Salakanagara). Kerajaan yang menjadi bawahan Salakanagara antara
lain :
1.
Kerajaan Ujung Kulon
Kerajaan Ujung Kulon berlokasi di wilayah Ujung Kulon
dan didirikan oleh Senapati Bahadura Harigana Jayasakti (adik kandung
Dewawarman I). Saat kerajaan ini dipimpin oleh Darma Satyanagara, sang
raja menikah dengan putri dari Dewawarman III dan kemudian menjadi raja ke-4 di
Kerajaan Salakanagara. Ketika Tarumanagara
tumbuh menjadi kerajaan yang besar, Purnawarman
(raja Tarumanagara ke-3) menaklukan Kerajaan Ujung Kulon. Akhirnya Kerajaan
Ujung Kulon menjadi Kerajaan bawahan dari Tarumanagara.
Lebih dari itu, pasukan Kerajaan Ujung Kulon juga ikut membantu pasukan Wisnuwarman (raja
Tarumanagara ke-4) untuk menumpas pemberontakan Cakrawarman.
2.
Kerajaan Tanjung Kidul
Kerajaan Tanjung Kidul beribukota Aghrabintapura
(Sekarang termasuk wilayah Cianjur Selatan). Kerajaan ini dipimpin
oleh Sweta Liman Sakti (adik ke-2 Dewawarman I).
Pengaruh dari India
Pendiri
Salakanagara, Dewawarman, merupakan seorang duta keliling, pedagang sekaligus
perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah
dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara
adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah
Salankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai an Magada. Sementara Kerajaan
Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah
daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.
Salakanagara,
Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara
Kerajaan
Paling Awal di Nusantara?
Riwayat
Kerajaan Salakanagara memang berselimut misteri yang cukup pekat. Tak hanya
soal mitos Argyre, hal-hal lain terkait kerajaan yang didirikan pada 130 M
–tepat 20 tahun sebelum Ptolemaeus menerbitkan Geographia– ini masih menjadi perdebatan di kalangan
peneliti dan pakar sejarah. Perdebatan yang paling mendasar adalah keyakinan
bahwa Salakanagara merupakan kerajaan tertua di Nusantara (Halwany Michrob,
dkk., Catatan Masa Lalu Banten,
1993:33). Sementara yang lebih umum diketahui tentang kerajaan paling awal di
kepulauan ini adalah Kutai Martadipura di Kalimantan Timur.
Jika
dilihat dari waktu berdirinya, Salakanagara yang sudah eksis sejak abad ke-2
jelas lebih tua ketimbang Kutai yang baru muncul pada abad ke-4 M. Namun, yang
melemahkan klaim Salakanagara adalah bukti fisik terkait asal-muasal kerajaan
ini sangat minim. Berbeda dengan riwayat Kutai yang dilacak melalui penemuan
sejumlah prasasti. Modal untuk mempertahankan argumen bahwa Salakanagara adalah
kerajaan pertama di Nusantara hanya berupa catatan perjalanan dari Cina.
Kerajaan Salakanagara memang telah menjalin hubungan dagang dengan Dinasti Han.
Bahkan, kerajaan Sunda ini pernah mengirimkan utusan ke Cina pada abad ke-3.
Selain itu, penelusuran sejarah Salakanagara juga
diperoleh dari naskah Wangsakerta,
tepatnya pada bagian Pustaka Rajya
Rajya i Bhumi Nusantara (Ayatrohaedi, Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia
Wangsakerta Cirebon, 2005:61). Disebutkan pula, wilayah kekuasaan
Salakanagara mencakup Jawa bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di
sebelah barat Pulau Jawa.
Yang menjadi persoalan, naskah Wangsakerta sendiri
masih menjadi kontroversi. Naskah yang digarap oleh semacam panitia riset dari
Kesultanan Cirebon ini konon disusun selama 21 tahun dan selesai pada 1698.
Meskipun penemuan naskah ini sempat sangat disyukuri karena terbilang lengkap,
tetapi tidak sedikit kalangan sejarawan yang meragukan keasliannya. Perdebatan
terkait kerajaan tertua di Nusantara pun sebenarnya tidak hanya melibatkan
Salakanagara dan Kutai Martadipura saja. Jauh sebelum itu, tersebutlah Kerajaan
Kandis di Riau yang diperkirakan telah berdiri sedari tahun 1 Sebelum Masehi (Sejarah Daerah Riau, 1987:40).
Hanya saja, apakah pemerintahan Kandis pada saat itu
sudah “memenuhi syarat” untuk disebut sebagai kerajaan, juga belum dapat
dipertanggungjawabkan secara pasti. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan lain
di tanah Melayu sekitarnya yang bermunculan kemudian, macam Kerajaan Kancil
Putih dan Kerajaan Koto Alang. Terlepas berbagai kontroversi dan perdebatan
itu, jejak-rekam Kerajaan Salakanagara sudah bisa sedikit diungkap. Meskipun
label kerajaan pertama di Nusantara masih belum mampu meyakinkan semua
kalangan, tapi setidaknya Salakanagara boleh dibilang adalah kerajaan tertua di
Pulau Jawa.
Melacak
Ibukota Salakanagara
Lokasi
yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Salakanagara juga masih belum pasti.
Sedikitnya ada tiga versi terkait perkiraan di mana pemerintahan Salakanagara
dijalankan, yakni di Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng
Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat. Versi pertama, ibukota Salakanagara berada
di Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Versi yang diambil dari naskah Wangsakerta ini menyebut pusat
Kerajaan Salakanagara bernama Rajatapura yang diyakini merupakan kota paling
tua di Pulau Jawa (Abdur Rahman, dkk., Carita
Parahiyangan Karya Pangeran Wangsakerta, 1991:57). Rajatapura
menjadi pusat pemerintahan Raja Dewawarman I (130-168 M) hingga era Raja
Dewawarman VIII (348-362 M). Di era raja selanjutnya, Dewawarman IX,
Salakanagara tamat setelah dikuasai oleh Tarumanegara. Menariknya, Salakanagara
pernah dua kali dipimpin oleh ratu, yakni Mahisa Suramardini Warmandewi
(276-289 M) dan Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M).
Dalam Wangsakerta
juga disebutkan bahwa Dewawarman adalah seorang pedagang dari India yang
tiba di barat Pulau Jawa dan akhirnya menikah dengan putri tokoh masyarakat
setempat, yakni Aki Tirem, yang bernama Dewi Pwahaci Larasati. Dari sinilah
riwayat Kerajaan Salakanagara bermula. Yang menjadi keraguan atas kebenaran
versi pertama ini, Pandeglang tidak memiliki pelabuhan besar yang menjadi
bandar dagang, melainkan hanya pelabuhan nelayan biasa. Sedangkan salah satu
simbol kejayaan Salakanagara adalah dari sektor ekonomi dengan bukti, misalnya,
kerajaan ini telah menjalin relasi dagang dengan Dinasti Han di Cina.
Moyang Orang Sunda dan
Betawi
Dari situlah kemudian muncul versi kedua yang meyakini
bahwa ibukota Salakanagara bukan berada di Pandeglang, melainkan di suatu
tempat bernama Ciondet (Condet) yang kini terletak di wilayah Jakarta Timur (Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage,
Volume 3, 2005:71). Ciondet
alias Condet berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa,
hanya sekira 30 kilometer ke arah utara. Pelabuhan ini pada masanya dikenal
sebagai pusat perdagangan paling ramai di Nusantara dan salah satu yang
terpenting di Asia karena merupakan segitiga emas bersama Malaka dan Maluku.
Di kawasan ini juga mengalir Sungai Tiram. Inilah yang
kemudian menjadi salah satu dasar untuk meyakinkan bahwa Salakanagara bukan
berada di Banten, melainkan di Jakarta. “Tiram” dipercaya berasal dari nama Aki
Tirem yang tidak lain adalah mertua Dewawarman I, pendiri Kerajaan Salakanagara
(Abdurrahman Misno & Bambang Prawiro,
Reception Through Selection-Modification, 2016:327). Adapun menurut
versi ketiga, Salakanagara dibangun di lereng Gunung Salak, Bogor. Disebutkan,
di suatu bagian di kaki Gunung Salak sering terlihat keperak-perakan ketika
diterpa sinar matahari (Ensiklopedi
Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, 2005:71). Dari situlah lalu
dikait-kaitkan dengan arti Salakanagara, yakni “Negara Perak”. Ditambah lagi,
penyebutan “Salaka” dengan “Salak” hampir mirip.
Selain itu, pada perkembangannya nanti, lereng Gunung
Salak juga menjadi tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Sunda lainnya yang jika
dirunut masih turunan dari Salakanagara, termasuk Kerajaan Pajajaran. Dengan
cakupan wilayahnya itu, penduduk mayoritas Salakanagara adalah mereka yang
kemudian dikenal sebagai orang-orang Sunda. Lebih dari itu, jika mengikuti
versi kedua, orang-orang dari berbagai suku bangsa dan negara yang tumpah-ruah
di pelabuhan Sunda Kelapa, lalu membaur dan beranak-pinak, juga merupakan warga
Salakanagara. Mereka inilah yang nantinya menurunkan kaum Betawi. Salakanagara runtuh pada pertengahan
abad ke-4 M, seiring kemunculan dan semakin kuatnya kerajaan baru bernama
Tarumanegara. Kendati hanya bertahan dua abad saja, namun garis turunan
penguasa Salakanagara dipercaya melahirkan raja-raja di banyak kerajaan besar
di Nusantara, termasuk Pajajaran, Sriwijaya, juga Majapahit.
Kerajaan
Salakanagara dan Keturunannya
Wahai
saudaraku. Dalam setiap pembahasan tentang kerajaan-kerajaan yang muncul di era
tarikh Masehi, khususnya di tanah Jawa, Sumatera dan Kalimantan, maka tidaklah
bijak jika kita tidak mengaitkannya dengan kerajaan Salakanagara. Kerajaan kuno ini bisa dikatakan sebagai
asal-usul dari banyak kerajaan besar yang pernah ada di kawasan barat
Nusantara. Memang ada banyak distorsi sejarah disini, bahkan ada yang
menganggapnya sebagai mitos belaka. Namun begitu kami akan tetap mencoba untuk
menjelaskannya sebisa mungkin, yang disarikan dari berbagai sumber dan diskusi.
Tujuannya hanya untuk membuka cakrawala pikiran kita tentang jati diri bangsa
ini.
Untuk
lebih jelasnya mari ikuti penelusuran berikut ini:
1.
Asal usul kerajaan
Berdasarkan naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa
I sarga 1, yang di
tulis oleh Pangeran Wangsakerta, maka diriwayatkanlah sebagai berikut:
/jwah tambaya ping prathama sa kawarsa riking
wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa mwang nusantara i bhumi
nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi prethiwi// pantara ning
sinarung teka n jawadwipa/ hana nupakriya wikriya/ hansing mawarah marahaken
sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya kaparajaya/ ya thabhuten
nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit ring nusa nusa i bhumi
nusantara//
Terjemahannya:
“Kelak, mulai awal pertama tahun Saka disini telah banyak orang orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan pulau pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara”
“Kelak, mulai awal pertama tahun Saka disini telah banyak orang orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan pulau pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara”
Jadi,
karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya,
terutama para pedagang dan pendatang, banyak yang berasal dari wangsa Calankayana, wangsa Saka dan wangsa Pallawa di bumi negeri Bharata (India). Dua wangsa inilah yang sangat banyak
berdatangan disini (pulau Jawa), dengan menaiki beberapa puluh perahu besar
kecil. Mereka yang dipimpin oleh Sang Dewawarman ini mula-mula tiba di Jawa Kulwan (Barat) dengan tujuan
untuk berdagang dan mengusahakan pelayanan. Mereka sering datang kesini, dan
saat kembali mereka lalu membawa rempah-rempah ke negerinya. Disini, Sang
Dewawarman telah bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan (Barat), Agni Nusa (Pulau Api) dan Pulau
Sumatera sebelah selatan. Terlebih Sang Dewawarman juga sebagai duta dari wangsa Saka di tanah India.
Permulaan
pertama tahun Saka, di pulau-pulau Nusantara telah banyak golongan warga
masyarakat yang menjadi pribumi di tiap dusun. Di antaranya ada yang
bermusuhan, ada juga yang berkasih-kasihan, berbimbingan tangan. Dukuh itu ada
yang besar, ada yang kecil. Dukuh besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari
muara sungai. Selang berapa lama kemudian berdatanganlah orang lain atau yang
dari wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri Bharata (India), negeri Singhala (Sri Langka), negeri Gaudi (Bangladesh), negeri China dan sebagainya.
Dan
ramailah kemudian dukuh-dukuh di tepi laut. Dengan demikian, ramai pula
perdagangan antara pulau-pulau di bumi Nusantara dengan negara lain dari benua
utara sebelah barat dan timur. Tetapi, yang banyak datang dari negeri Bharata (India). Golongan pendatang
dari negeri Bharata (India)
itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa Kulwan (Barat). Para pendatang
itu bersahabat dengan penghulu dukuh dan warga masyarakat disini. Adapun
penghulu atau penguasa wilayah pesisir Jawa
Kulwan (Barat) sebelah barat, namanya terkenal, yaitu Aki Tirem
atau Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur
Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh
Sang Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai Dewawarman pertama.
Ia yang mendirikan kerajaan Salakanagara
sekitar tahun 52 Saka atau 130 Masehi.
Akhirnya
semua anggota pasukan Dewawarman menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena
itu, Dewawarman dan pasukannya tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap
dan menjadi penduduk disitu, lalu mereka beranak pinak. Beberapa tahun
sebelumnya, Sang Dewawarman menjadi duta keliling negaranya (wangsa Saka) untuk negeri-negeri
lain yang bersahabat, seperti kerajaan-kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan
Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan
mempererat persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang-barang lainnya.
Lalu,
tatkala Aki Tirem sakit, sebelum meninggal ia menyerahkan kekuasaannya kepada
sang menantu. Dewawarman tidak menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu,
sedangkan semua penduduk menerimanya dengan senang hati karena tahu karakter
dan kemampuan yang dimilikinya. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena
mereka telah menjadi penduduk disitu, lagi pula banyak di antara mereka yang
telah mempunyai anak, mereka pun setuju. Setelah Aki Tirem wafat, Sang
Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa disitu, dengan nama penobatannya
yaitu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya
Pohaci Larasati langsung menjadi permaisuri, dengan nama penobatannya yaitu
Dewi Dwanu Rahayu. Sang Dewawarman lalu mendirikan kerajaan yang diberi nama Salakanagara (salaka = perak, nagara = negara, sehingga berarti
negara penghasil perak yang berlimpah). Ini terjadi pada sekitar tahun 52 Saka
atau 130 Masehi.
Daerah
kekuasaan Salakanagara,
meliputi Jawa Kulwan
bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa. Laut di antara pulau Jawa dengan Sumatera,
masuk pula dalam wilayahnya. Oleh karena itu, daerah-daerah sepanjang
pantainya, dijaga oleh pasukan Sang Dewawarman, sebab jalur ini merupakan
gerbang laut. Perahu-perahu yang berlayar dari timur ke barat dan sebaliknya
harus berhenti dan membayar upeti kepada kerajaan Salakanagara. Dan pelabuhan-pelabuhan yang ada di
pesisir barat Jawa Kulwan
(barat), Nusa Mandala
(sekitar pulau Panaitan), Nusa Api
(Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan, dijaga ketat oleh pasukan Sang
Dewawarman.
Wangsa
Dewawarman akhirnya memerintah di bumi Jawa
Kulwan (barat), dengan kerajaan bernama Salakanagara dan ibukotanya di Rajatapura (Kota Perak). Konon
kota Rajatapura inilah
yang disebut Argyre oleh
Claudius Ptolemeus dalam tahun 150 Masehi. Sebuah kota yang terletak di daerah
Teluk Lada Pandeglang, Banten. Filosof Yunani ini juga merupakan seorang ahli
bumi (geografi). Ia lalu menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang terletak di wilayah
Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat pulau Labodio (Papua) yang selalu
dikaitkan dengan Yawadwipa
yang kemudian juga di asumsikan sebagai pulau Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian
”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai Merak (wilayah pelabuhan di Banten) di
masa sekarang.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar