Selasa, 06 November 2018

KISAH KERAJAAN SALAKANAGARA


KISAH KERAJAAN SALAKANAGARA

Orientasi
Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara. Salakanagara diyakini sebagai leluhur Suku Sunda, hal dikarenakan wilayah peradaban Salakanagara sama persis dengan wilayah peradaban orang Sunda selama berabad-abad. Dan yang memperkuat lagi adalah kesamaan kosakata antara Sunda dan Salakanagara. Disamping itu ditemukan bukti lain berupa Jam Sunda atau Jam Salakanagara, suatu cara penyebutan Waktu/Jam yang juga berbahasa Sunda.

Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Pasundan memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tubagus H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.  Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyrè oleh Ptolemeus dalam tahun 150, dikarenakan Salakanagara diartikan sebagai "Negara Perak" dalam bahasa Sansakerta.

Kota ini terletak di daerah Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua duta dari Pallawa Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pohaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya. Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agninusa (Negeri Api) yang berada di Pulau Krakatau.

Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Pendahulu Kerajaan Tarumanagara
Jayasinghawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Memang banyak para ahli yang masih memperdebatkan masalah institusi kerajaan sebelum Tarumanegara melalui berbagai sumber sejarah seperti berita Cina dan bangsa Eropa atau naskah-naskah Kuna. Claudius Ptolemaeus, seorang ahli bumi masa Yunani Kuno menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang terletak di wilayah Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat Pulau Iabodio yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang kemudian diasumsikan sebagai Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian ”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai Merak.
Kemudian sebuah berita Cina yang berasal dari tahun 132 M menyebutkan wilayah Ye-tiao  yang sering diartikan sebagai Yawadwipa dengan rajanya Pien yang merupakan lafal Cina dari bahasa Sansakerta Dewawarman. Namun tidak ada bukti lain yang dapat mengungkap kebenaran dari dua berita asing tersebut.

Raja-raja Salakanagara
Daftar nama-nama raja yang memerintah Kerajaan Salakanagara adalah:
Tahun berkuasa
Nama raja
Julukan
Keterangan
130-168 M
Dewawarman I
Prabu Darmalokapala Aji Raksa Gapura Sagara
Pedagang asal Bharata (India)
168-195 M
Dewawarman II
Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra
Putera tertua Dewawarman I
195-238 M
Dewawarman III
Prabu Singasagara Bimayasawirya
Putera Dewawarman II
238-252 M
Dewawarman IV

Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon
252-276 M
Dewawarman V

Menantu Dewawarman IV
276-289 M
Mahisa Suramardini Warmandewi

Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut
289-308 M
Dewawarman VI
Sang Mokteng Samudera
Putera tertua Dewawarman V
308-340 M
Dewawarman VII
Prabu Bima Digwijaya Satyaganapati
Putera tertua Dewawarman VI
340-348 M
Sphatikarnawa Warmandewi

Puteri sulung Dewawarman VII
348-362 M
Dewawarman VIII
Prabu Darmawirya Dewawarman
Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
Mulai
362 M
Dewawarman IX

Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara

Kerajaan Bawahan Salakanagara
Salakanagara membawahi kerajaan-kerajaan kecil, yang didirikan oleh orang-orang yang berasal dari dinasti Dewawarman (raja-raja yang memerintah Salakanagara). Kerajaan yang menjadi bawahan Salakanagara antara lain :

1.    Kerajaan Ujung Kulon
Kerajaan Ujung Kulon berlokasi di wilayah Ujung Kulon dan didirikan oleh Senapati Bahadura Harigana Jayasakti (adik kandung Dewawarman I). Saat kerajaan ini dipimpin oleh Darma Satyanagara, sang raja menikah dengan putri dari Dewawarman III dan kemudian menjadi raja ke-4 di Kerajaan Salakanagara. Ketika Tarumanagara tumbuh menjadi kerajaan yang besar, Purnawarman (raja Tarumanagara ke-3) menaklukan Kerajaan Ujung Kulon. Akhirnya Kerajaan Ujung Kulon menjadi Kerajaan bawahan dari Tarumanagara. Lebih dari itu, pasukan Kerajaan Ujung Kulon juga ikut membantu pasukan Wisnuwarman (raja Tarumanagara ke-4) untuk menumpas pemberontakan Cakrawarman.

2.    Kerajaan Tanjung Kidul
Kerajaan Tanjung Kidul beribukota Aghrabintapura (Sekarang termasuk wilayah Cianjur Selatan). Kerajaan ini dipimpin oleh Sweta Liman Sakti (adik ke-2 Dewawarman I). 
Pengaruh dari India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman, merupakan seorang duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Salankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai an Magada. Sementara Kerajaan Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.

Salakanagara, Kerajaan (Sunda) Tertua di Nusantara
Kerajaan Paling Awal di Nusantara?
Riwayat Kerajaan Salakanagara memang berselimut misteri yang cukup pekat. Tak hanya soal mitos Argyre, hal-hal lain terkait kerajaan yang didirikan pada 130 M –tepat 20 tahun sebelum Ptolemaeus menerbitkan Geographia– ini masih menjadi perdebatan di kalangan peneliti dan pakar sejarah. Perdebatan yang paling mendasar adalah keyakinan bahwa Salakanagara merupakan kerajaan tertua di Nusantara (Halwany Michrob, dkk., Catatan Masa Lalu Banten, 1993:33). Sementara yang lebih umum diketahui tentang kerajaan paling awal di kepulauan ini adalah Kutai Martadipura di Kalimantan Timur.

Jika dilihat dari waktu berdirinya, Salakanagara yang sudah eksis sejak abad ke-2 jelas lebih tua ketimbang Kutai yang baru muncul pada abad ke-4 M. Namun, yang melemahkan klaim Salakanagara adalah bukti fisik terkait asal-muasal kerajaan ini sangat minim. Berbeda dengan riwayat Kutai yang dilacak melalui penemuan sejumlah prasasti. Modal untuk mempertahankan argumen bahwa Salakanagara adalah kerajaan pertama di Nusantara hanya berupa catatan perjalanan dari Cina. Kerajaan Salakanagara memang telah menjalin hubungan dagang dengan Dinasti Han. Bahkan, kerajaan Sunda ini pernah mengirimkan utusan ke Cina pada abad ke-3.
Selain itu, penelusuran sejarah Salakanagara juga diperoleh dari naskah Wangsakerta, tepatnya pada bagian Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara (Ayatrohaedi, Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah Panitia Wangsakerta Cirebon, 2005:61). Disebutkan pula, wilayah kekuasaan Salakanagara mencakup Jawa bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa.

Yang menjadi persoalan, naskah Wangsakerta sendiri masih menjadi kontroversi. Naskah yang digarap oleh semacam panitia riset dari Kesultanan Cirebon ini konon disusun selama 21 tahun dan selesai pada 1698. Meskipun penemuan naskah ini sempat sangat disyukuri karena terbilang lengkap, tetapi tidak sedikit kalangan sejarawan yang meragukan keasliannya. Perdebatan terkait kerajaan tertua di Nusantara pun sebenarnya tidak hanya melibatkan Salakanagara dan Kutai Martadipura saja. Jauh sebelum itu, tersebutlah Kerajaan Kandis di Riau yang diperkirakan telah berdiri sedari tahun 1 Sebelum Masehi (Sejarah Daerah Riau, 1987:40).

Hanya saja, apakah pemerintahan Kandis pada saat itu sudah “memenuhi syarat” untuk disebut sebagai kerajaan, juga  belum dapat dipertanggungjawabkan secara pasti. Begitu pula dengan kerajaan-kerajaan lain di tanah Melayu sekitarnya yang bermunculan kemudian, macam Kerajaan Kancil Putih dan Kerajaan Koto Alang. Terlepas berbagai kontroversi dan perdebatan itu, jejak-rekam Kerajaan Salakanagara sudah bisa sedikit diungkap. Meskipun label kerajaan pertama di Nusantara masih belum mampu meyakinkan semua kalangan, tapi setidaknya Salakanagara boleh dibilang adalah kerajaan tertua di Pulau Jawa.

Melacak Ibukota Salakanagara
Lokasi yang diyakini sebagai pusat Kerajaan Salakanagara juga masih belum pasti. Sedikitnya ada tiga versi terkait perkiraan di mana pemerintahan Salakanagara dijalankan, yakni di Pandeglang (Banten), Condet (Jakarta), atau di lereng Gunung Salak di Bogor, Jawa Barat. Versi pertama, ibukota Salakanagara berada di Teluk Lada, Pandeglang, Banten. Versi yang diambil dari naskah Wangsakerta ini menyebut pusat Kerajaan Salakanagara bernama Rajatapura yang diyakini merupakan kota paling tua di Pulau Jawa (Abdur Rahman, dkk., Carita Parahiyangan Karya Pangeran Wangsakerta, 1991:57). Rajatapura menjadi pusat pemerintahan Raja Dewawarman I (130-168 M) hingga era Raja Dewawarman VIII (348-362 M). Di era raja selanjutnya, Dewawarman IX, Salakanagara tamat setelah dikuasai oleh Tarumanegara. Menariknya, Salakanagara pernah dua kali dipimpin oleh ratu, yakni Mahisa Suramardini Warmandewi (276-289 M) dan Sphatikarnawa Warmandewi (340-348 M).

Dalam Wangsakerta juga disebutkan bahwa Dewawarman adalah seorang pedagang dari India yang tiba di barat Pulau Jawa dan akhirnya menikah dengan putri tokoh masyarakat setempat, yakni Aki Tirem, yang bernama Dewi Pwahaci Larasati. Dari sinilah riwayat Kerajaan Salakanagara bermula. Yang menjadi keraguan atas kebenaran versi pertama ini, Pandeglang tidak memiliki pelabuhan besar yang menjadi bandar dagang, melainkan hanya pelabuhan nelayan biasa. Sedangkan salah satu simbol kejayaan Salakanagara adalah dari sektor ekonomi dengan bukti, misalnya, kerajaan ini telah menjalin relasi dagang dengan Dinasti Han di Cina.

Moyang Orang Sunda dan Betawi
Dari situlah kemudian muncul versi kedua yang meyakini bahwa ibukota Salakanagara bukan berada di Pandeglang, melainkan di suatu tempat bernama Ciondet (Condet) yang kini terletak di wilayah Jakarta Timur (Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, 2005:71). Ciondet alias Condet berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa, hanya sekira 30 kilometer ke arah utara. Pelabuhan ini pada masanya dikenal sebagai pusat perdagangan paling ramai di Nusantara dan salah satu yang terpenting di Asia karena merupakan segitiga emas bersama Malaka dan Maluku.

Di kawasan ini juga mengalir Sungai Tiram. Inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar untuk meyakinkan bahwa Salakanagara bukan berada di Banten, melainkan di Jakarta. “Tiram” dipercaya berasal dari nama Aki Tirem yang tidak lain adalah mertua Dewawarman I, pendiri Kerajaan Salakanagara (Abdurrahman Misno & Bambang Prawiro, Reception Through Selection-Modification, 2016:327). Adapun menurut versi ketiga, Salakanagara dibangun di lereng Gunung Salak, Bogor. Disebutkan, di suatu bagian di kaki Gunung Salak sering terlihat keperak-perakan ketika diterpa sinar matahari (Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3, 2005:71). Dari situlah lalu dikait-kaitkan dengan arti Salakanagara, yakni “Negara Perak”. Ditambah lagi, penyebutan “Salaka” dengan “Salak” hampir mirip.

Selain itu, pada perkembangannya nanti, lereng Gunung Salak juga menjadi tempat berdirinya kerajaan-kerajaan Sunda lainnya yang jika dirunut masih turunan dari Salakanagara, termasuk Kerajaan Pajajaran. Dengan cakupan wilayahnya itu, penduduk mayoritas Salakanagara adalah mereka yang kemudian dikenal sebagai orang-orang Sunda. Lebih dari itu, jika mengikuti versi kedua, orang-orang dari berbagai suku bangsa dan negara yang tumpah-ruah di pelabuhan Sunda Kelapa, lalu membaur dan beranak-pinak, juga merupakan warga Salakanagara. Mereka inilah yang nantinya menurunkan kaum Betawi. Salakanagara runtuh pada pertengahan abad ke-4 M, seiring kemunculan dan semakin kuatnya kerajaan baru bernama Tarumanegara. Kendati hanya bertahan dua abad saja, namun garis turunan penguasa Salakanagara dipercaya melahirkan raja-raja di banyak kerajaan besar di Nusantara, termasuk Pajajaran, Sriwijaya, juga Majapahit.

Kerajaan Salakanagara dan Keturunannya
Wahai saudaraku. Dalam setiap pembahasan tentang kerajaan-kerajaan yang muncul di era tarikh Masehi, khususnya di tanah Jawa, Sumatera dan Kalimantan, maka tidaklah bijak jika kita tidak mengaitkannya dengan kerajaan Salakanagara. Kerajaan kuno ini bisa dikatakan sebagai asal-usul dari banyak kerajaan besar yang pernah ada di kawasan barat Nusantara. Memang ada banyak distorsi sejarah disini, bahkan ada yang menganggapnya sebagai mitos belaka. Namun begitu kami akan tetap mencoba untuk menjelaskannya sebisa mungkin, yang disarikan dari berbagai sumber dan diskusi. Tujuannya hanya untuk membuka cakrawala pikiran kita tentang jati diri bangsa ini.
Untuk lebih jelasnya mari ikuti penelusuran berikut ini:
1.    Asal usul kerajaan
Berdasarkan naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara parwa I sarga 1, yang di tulis oleh Pangeran Wangsakerta, maka diriwayatkanlah sebagai berikut:
/jwah tambaya ping prathama sa kawarsa riking wus akweh wwang bharata nagari tekan jaruadwipa mwang nusantara i bhumi nusantara// denira pramanaran dwipantara nung wreddhi prethiwi// pantara ning sinarung teka n jawadwipa/ hana nupakriya wikriya/ hansing mawarah marahaken sanghyang agama/ hanasing luputaken sakeng bhaya kaparajaya/ ya thabhuten nagarinira/ mwang moghangde nikang agong panigit ring nusa nusa i bhumi nusantara//
Terjemahannya:
“Kelak, mulai awal pertama tahun Saka disini telah banyak orang orang negeri Bharata (India) tiba di Pulau Jawa dan pulau pulau di bumi Nusantara. Karena Nusantara terkenal sebagai tanah yang gembur. Di antara mereka, yang tiba di Pulau Jawa, ada yang berdagang dan mengusahakan pelayanan, ada yang mengajarkan Sanghyang Agama (ajaran agama), ada yang menghindarkan diri dari bahaya yang akan membinasakan dirinya, seperti yang telah terjadi di negeri asalnya, yang menyebabkan mengungsi ke pulau-pulau di bumi Nusantara”

Jadi, karena mereka semua mengharapkan kesejahteraan hidupnya bersama anak isterinya, terutama para pedagang dan pendatang, banyak yang berasal dari wangsa Calankayana, wangsa Saka dan wangsa Pallawa di bumi negeri Bharata (India). Dua wangsa inilah yang sangat banyak berdatangan disini (pulau Jawa), dengan menaiki beberapa puluh perahu besar kecil. Mereka yang dipimpin oleh Sang Dewawarman ini mula-mula tiba di Jawa Kulwan (Barat) dengan tujuan untuk berdagang dan mengusahakan pelayanan. Mereka sering datang kesini, dan saat kembali mereka lalu membawa rempah-rempah ke negerinya. Disini, Sang Dewawarman telah bersahabat dengan warga masyarakat di pesisir Jawa Kulwan (Barat), Agni Nusa (Pulau Api) dan Pulau Sumatera sebelah selatan. Terlebih Sang Dewawarman juga sebagai duta dari wangsa Saka di tanah India.

Permulaan pertama tahun Saka, di pulau-pulau Nusantara telah banyak golongan warga masyarakat yang menjadi pribumi di tiap dusun. Di antaranya ada yang bermusuhan, ada juga yang berkasih-kasihan, berbimbingan tangan. Dukuh itu ada yang besar, ada yang kecil. Dukuh besar ada di tepi laut, atau tidak jauh dari muara sungai. Selang berapa lama kemudian berdatanganlah orang lain atau yang dari wilayah lain. Terutama pedagang dari negeri Bharata (India), negeri Singhala (Sri Langka), negeri Gaudi (Bangladesh), negeri China dan sebagainya.

Dan ramailah kemudian dukuh-dukuh di tepi laut. Dengan demikian, ramai pula perdagangan antara pulau-pulau di bumi Nusantara dengan negara lain dari benua utara sebelah barat dan timur. Tetapi, yang banyak datang dari negeri Bharata (India). Golongan pendatang dari negeri Bharata (India) itu dipimpin oleh Sang Dewawarman, tiba di dukuh pesisir Jawa Kulwan (Barat). Para pendatang itu bersahabat dengan penghulu dukuh dan warga masyarakat disini. Adapun penghulu atau penguasa wilayah pesisir Jawa Kulwan (Barat) sebelah barat, namanya terkenal, yaitu Aki Tirem atau Sang Aki Luhur Mulya namanya yang lain. Selanjutnya, puteri Sang Aki Luhur Mulya, namanya terkenal Pwahaci Larasati (Pohaci Larasati), diperisteri oleh Sang Dewawarman. Dewawarman ini, disebut oleh mahakawi (pujangga besar) sebagai Dewawarman pertama. Ia yang mendirikan kerajaan Salakanagara sekitar tahun 52 Saka atau 130 Masehi.

Akhirnya semua anggota pasukan Dewawarman menikah dengan wanita pribumi. Oleh karena itu, Dewawarman dan pasukannya tidak ingin kembali ke negerinya. Mereka menetap dan menjadi penduduk disitu, lalu mereka beranak pinak. Beberapa tahun sebelumnya, Sang Dewawarman menjadi duta keliling negaranya (wangsa Saka) untuk negeri-negeri lain yang bersahabat, seperti kerajaan-kerajaan di Ujung Mendini, Bumi Sopala, Yawana, Syangka, China, dan Abasid (Mesopotamia), dengan tujuan mempererat persahabatan dan berniaga hasil bumi, serta barang-barang lainnya.

Lalu, tatkala Aki Tirem sakit, sebelum meninggal ia menyerahkan kekuasaannya kepada sang menantu. Dewawarman tidak menolak diserahi kekuasaan atas daerah itu, sedangkan semua penduduk menerimanya dengan senang hati karena tahu karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Demikian pula para pengikut Dewawarman, karena mereka telah menjadi penduduk disitu, lagi pula banyak di antara mereka yang telah mempunyai anak, mereka pun setuju. Setelah Aki Tirem wafat, Sang Dewawarman menggantikannya sebagai penguasa disitu, dengan nama penobatannya yaitu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara, sedangkan isterinya Pohaci Larasati langsung menjadi permaisuri, dengan nama penobatannya yaitu Dewi Dwanu Rahayu. Sang Dewawarman lalu mendirikan kerajaan yang diberi nama Salakanagara (salaka = perak, nagara = negara, sehingga berarti negara penghasil perak yang berlimpah). Ini terjadi pada sekitar tahun 52 Saka atau 130 Masehi.

Daerah kekuasaan Salakanagara, meliputi Jawa Kulwan bagian barat dan semua pulau di sebelah barat Nusa Jawa. Laut di antara pulau Jawa dengan Sumatera, masuk pula dalam wilayahnya. Oleh karena itu, daerah-daerah sepanjang pantainya, dijaga oleh pasukan Sang Dewawarman, sebab jalur ini merupakan gerbang laut. Perahu-perahu yang berlayar dari timur ke barat dan sebaliknya harus berhenti dan membayar upeti kepada kerajaan Salakanagara. Dan pelabuhan-pelabuhan yang ada di pesisir barat Jawa Kulwan (barat), Nusa Mandala (sekitar pulau Panaitan), Nusa Api (Krakatau), dan pesisir Sumatera bagian selatan, dijaga ketat oleh pasukan Sang Dewawarman.

Wangsa Dewawarman akhirnya memerintah di bumi Jawa Kulwan (barat), dengan kerajaan bernama Salakanagara dan ibukotanya di Rajatapura (Kota Perak). Konon kota Rajatapura inilah yang disebut Argyre oleh Claudius Ptolemeus dalam tahun 150 Masehi. Sebuah kota yang terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang, Banten. Filosof Yunani ini juga merupakan seorang ahli bumi (geografi). Ia lalu menyebutkan sebuah negeri bernama Argyrè yang terletak di wilayah Timur Jauh. Negeri ini terletak di ujung barat pulau Labodio (Papua) yang selalu dikaitkan dengan Yawadwipa yang kemudian juga di asumsikan sebagai pulau Jawa. Argyrè sendiri berarti perak yang kemudian ”diterjemahkan” oleh para ahli sebagai Merak (wilayah pelabuhan di Banten) di masa sekarang.

Sumber : Google Wikipedia


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...