Minggu, 04 November 2018

KISAH PRABU GEUSAN ULUN


KISAH PRABU GEUSAN ULUN

Orientasi
Pangeran Angkawijaya yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun dalam silsilah keluarga Sumedang adalah putra Pangeran Kusumahdinata I (Pangeran Santri) selain dianggap sebagai raja daerah atau mandala Kerajaan Sumedang Larang juga mendapat gelar jabatan Nalendra dari Kerajaan Pakuan Pajajaran. Dia dijadikan titik tolak urutan para keturunan Sumedang serta diposisikan sebagai Bupati pertama walaupun istilah Bupati belum dikenal pada waktu itu. Mulailah urutan para penguasa atau Bupati yang memerintah Sumedang secara turun menurun, dimulai dari pewarisan kekuasaan/ kerajaan kepada salah satu putranya yang bernama Prabu Geusan Ulun atau Pangeran Kusumadinata II dan bergelar Nalendra yang memerintah dari tahun 1578 sampai tahun 1610

Meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran
Pada masa pemerintahannya datang menghadap untuk mengabdi serombongan orang yang dipimpin oleh empat Kandage Lante (bangsawan/ abdi raja setingkat bupati) dari Pakuan Pajajaran yang telah hancur diserang Kesultanan Banten, kedatangannya selain melaporkan bahwa Pajajaran telah bubar juga meminta agar Prabu Geusan Ulun meneruskan kepemimpinan Pakuan Pajajaran, diserahkanlah mahkota emas milik Raja Pakuan Pajajaran yang bernama Binokasih (Mahkota Binokasih) berikut perhiasan serta atribut kebesaran lainnya sebagai bentuk pernyataan bahwa Kerajaan Sumedang Larang telah ditetapkan sebagai penerus kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Ke empat Kandaga Lante tersebut adalah :
1. Batara Sang Hyang Hawu (Sanghyang Hawu atau lebih dikenal sebagai Eyang atau Embah Jaya Perkasa).
2.    Batara Pancar Buana (Terong Peot).
3.    Batara Dipati Wiradijaya (Nangganan).
4.    Batara Sang Hyang Kondang Hapa.

Dengan kejadian tadi berarti kedudukan dan kekuasaan Prabu Geusan Ulun, Raja Sumedang Larang, menjadi lebih besar dengan menerima hibah sebagian besar wilayah bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran (seluruh Tatar Sunda kecuali Banten dan Cirebon), sementara Raja Pakuan Pajajaran terakhir (Prabu Nusiya Mulya/Raga Mulya/ Suryakancana) menurut kabar menyingkir ke Gunung Salak sambil menghimpun kekuatan untuk serangan balasan, namun tidak pernah terlaksana karena dia keburu meninggal dunia. Walaupun telah menerima wilayah kekuasaan dari bekas Kerajaan Pakuan Pajajaran, sulit bagi dia untuk mengembangkan kekuasaannya karena posisi Kerajaan Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuatan besar kerajaan yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon yang sama-sama mengincar wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Pada masa pemerintahannya terkenal dengan peristiwa yang menggemparkan sekaligus memalukan yaitu, dibawa kaburnya Ratu Harisbaya salah satu istri Raja Cirebon Pangeran Girilaya Panembahan Ratu pada saat Prabu Geusan Ulun berkunjung ke Keraton Cirebon sekembalinya dari Kerajaan Demak dalam rangka memperdalam agama Islam, terjadi penyerbuan Cirebon yang mengakibatkan dia terpaksa menyingkir ke Dayeuh Luhur bersama Ratu Harisbaya serta sebagian kecil rakyat dan pengikutnya. Meski pada akhirnya tercapai perdamaian dengan Cirebon namun Sumedang Larang mengalami kerugian besar yaitu hilangnya wilayah Sindang Kasih yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Majalengka diserahkan kepada Panembahan Ratu Cirebon sebagai pengganti talak tiga atas nama Ratu Harisbaya, sejak itulah pusat pemerintahan Sumedang Larang pindah dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur dan akhirnya dia wafat dan dimakamkan disana bersama Ratu Harisbaya.

Ratu Harisbaya diperistri oleh Pangeran Geusan Ulun sebagai istri kedua dan memiliki anak salah satunya bernama Suriadiwangsa yang kelak bergelar Pangeran Kusumadinata IV, sementara dari istri pertama yang bernama Nyai Mas Cukang Gedeng Waru memiliki anak salah satunya bernama Rangga Gede dan diberi gelar Pangeran Kusumadinata III, untuk tidak menimbulkan pertengkaran di kemudian hari maka pada tahun 1601 wilayah Sumedang Larang dibagi dua yang masing-masing dipimpin oleh kedua putranya diatas.

Dalam masa Kesultanan Mataram
Dalam masa tersebut Kesultanan Mataram-Jawa Tengah di bawah pimpinan Sultan Agung mengalami masa keemasan dan merupakan kesultanan yang sangat kuat, dilatar belakangi kekhawatiran terhadap ekspansi kesultanan Banten ke arah Timur setelah menaklukkan Pakuan Pajajaran, mendorong Suriadiwangsa berangkat ke Mataram meminta perlindungan.  Setibanya di Mataram dia menyampaikan maksudnya kepada Sultan Agung, dan mendapat sambutan hangat serta mendapat gelar Rangga Gempol Kusumadinata dari Sultan Agung yang dalam urutan silsilah Sumedang disebut Rangga Gempol I. Penghargaan lain dari Sultan Agung ialah menjuluki wilayah kekuasaan Sumedang tersebut dengan nama Prayangan artinya daerah yang berasal dari pemberian dibarengi oleh hati yang ikhlas dan tulus. Di kemudian hari dengan lafal setempat nama Prayangan berubah menjadi Priangan, berbeda dengan kata Parahyangan (Para-Hyang-an) yang artinya identik tempat tinggal para dewa atau orang suci (Hyang).

Latar belakang lainnya yang mendorong Sumedang menempatkan diri di bawah pretensi atau proteksi Mataram:  Hanya Kerajaan atau Kesultanan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung yang dianggap dapat mengimbangi kekuatan Banten. Ratu Harisbaya merupakan kerabat Raja atau Sultan Mataram, sehingga yang berangkat ke Mataram adalah putranya sendiri (Raden Suriadiwangsa alias Rangga Gempol I). Seperti halnya Sumedang Larang, Kerajaan atau Kesultanan Mataram memiliki pendahulu yang sama yaitu Kerajaan Galuh, sehingga masih memiliki kekerabatan. Rasa sakit hati terhadap Banten yang telah menghancurkan Pakuan Pajajaran, dibarengi pula rasa takut menghadapi kemungkinan ekspansi Kesultanan Banten dalam rangka menguasai wilayah bekas Pakuan Pajajaran.

Akibat peristiwa Harisbaya hubungan Sumedang Larang dengan Cirebon menjadi kurang harmonis, timbul pula kekhawatiran terhadap ekspansi Cirebon. Sementara itu sedang terjadi perang dingin antara Kesultanan Banten dengan Kesultanan Cirebon sementara Sumedang Larang terjepit di antara dua kekuasaan tadi sehingga mengambil jalan keluar dengan mengabdikan diri ke Mataram, yang memiliki kekuatan melebihi kedua Kesultanan tadi.

Sumedang baru pertama kali memiliki meriam dan senjata api ± 30 tahun kemudian pada periode pemerintahan Pangeran Rangga Gempol III (Pangeran Panembahan) itupun dalam jumlah sedikit yang diperoleh dari pemberian Belanda. Aria Suriadiwangsa alias Kusumadinata IV alias Rangga Gempol I diangkat sebagai Bupati Wadana Prayangan, jabatan yang setingkat dengan Gubernur masa kini yang membawahi wilayah seluruh Jawa Barat kecuali Cirebon dan Banten (sebelum Banten menjadi propinsi di era reformasi) termasuk membawahi wilayah yang dikuasai Rangga Gede alias Pangeran Kusumahdinata III, tidak berapa kemudian dia mendapat perintah untuk menaklukkan Sampang Madura.

Sumpah Embah Jaya Perkasa dan Pelarangan Memakai Baju Batik
Memakai baju batik bagi keturunan Embah Jaya Perkasa ternyata dilarang bagi keturunannya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Konon hal ini terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun.  Embah Jaya Perkasa atau Sanghiyang Hawu adalah salah satu Patih Kerajaan Sumedang Larang saat diperintah Raden Angka Wijaya atau lebih dikenal sebagai Prabu Geusan Ulun.
 
Sebelumnya Sanghiyang Hawu adalah Patih di Kerajaan Pakuan Padjajaran saat dipimpin Prabu Nilakendra. Namun saat itu di Pakuan Padjajaran sedang ditimpa kekacauan karena mendapat serangan dari Kerajaan Banten yang dipimpin Syeh Maulana Yusuf.  Sehingga Prabu Nilakendra berangkat meninggalkan kerajaan. Hanya sebelum berangkat Prabu Nilakendra memanggil dulu empat patih kepercayaan kerajaan (Kandaga Lente) yaitu Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa); Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan);  Sanghiyang Kondang Hapa; Batara Pancer Buana (Embah Terong Peot). Amanat Prabu Nilakendra memberikan mahkota kerajaan kepada Prabu Geusan Ulun Raja Sumedang Larang sebagai penerus Kerajaan Padjajaran.  Pada akhirnya ke empat Kandaga Lente tersebut datang ke Sumedang Larang untuk menyampaikan amanat Prabu Nilakendra, yaitu untuk berbakti kepada Kerajaan Sumedang Larang (Geusan Ulun) sebagai penerus Padjajaran.
 
Dengan adanya penyerahan mahkota dan penyertaan berbakti dari Raja Padjajaran, maka seluruh wilayah kekuasaan Padjajaran dikuasai oleh Sumedang Larang. Sehingga Embah Jaya Perkasa dan ke tiga saudaranya diangkat sebagai patih di Sumedang Larang. Konon waktu itu di daerah Sumedang sudah banyak masyarakat yang menganut agama Islam. Karenanya sang raja karena masih merasa banyak kekurangan di bidang Agama Islam. Prabu Geusan Ulun pun berangkat ke Demak untuk belajar agama Islam. Keberangkatan Prabu Geusan Ulun diiringi ke empat patih yang setia tersebut. Usai berguru di Demak hingga akhirnya Prabu Geusan Ulun pulang, sebelum sampai ke Sumedang Larang dia mampir dulu ke Cirebon untuk bersilaturahmi dengan Pangeran Giri Laya (Raja Cirebon). Pangeran Giri Laya menerima kedatangan Prabu Geusan Ulun dan dirinya masih satu keturunan dari Sunan Gunung Jati. Rakyat dan keluarga kerajaan di Cirebon semua merasa segan bahkan memuji kepada sang Prabu Geusan Ulun.
 
Ini dikarenakan sikap Prabu yang ramah, masyarakat juga ditambah dengan ketampanan Sang Prabu yang tiada duanya. Ketika Geusan Ulun memasuki pendapa, para menak dan Pangeran Cirebon terpesona melihat Raja Sumedang Larang. Badannya tinggi besar, wajahnya tampan, hidungnya mancung, keningnya bercahaya, dan sikapnya ramah tamah. Ketika Pangeran Geusan Ulun bertukar pikiran dengan Pangeran Girilaya, permaisuri Pangeran Girilaya, Ratu Harisbaya menyajikan santapan. Ketika melihat Prabu Geusan Ulun, permaisuri itu terpukau dan jatuh hati dengan ketampanan Prabu Geusan. Kemudian Prabu Geusan Ulun bermalam di masjid dengan alasan hendak menenangkan pikiran. Namun pada suatu hari, ketika Prabu Geusan Ulun tidur di masjid, pada tengah malam terdengar bunyi langkah orang yang mendekatinya.
 
Ketika sudah dekat ternyata orang itu adalah Ratu Harisbaya. Prabu Geusan Ulun sangat terkejut, seluruh badannya menggigil ketakutan, pikirannya gelap tidak tahu apa yang harus diperbuat. Segeralah dia memanggil keempat patihnya, baginda mengajak berunding bagaimana caranya menasihati Ratu Harisbaya yang sudah tergila-gila olehnya, yang akan bunuh diri jika tidak terlaksana. Prabu Geusan Ulun sangat bingung menghadapi perkara yang sangat sulit itu. Namun menurut saran Embah Jaya Perkasa, Ratu Harisbaya lebih baik dibawa ke Sumedang Larang sebab jika dibawa atau tidak tetap akan menimbulkan keributan. Sehingga malam itu juga Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Ratu Harisbaya berangkat ke Sumedang Larang tanpa pamit lebih dulu kepada Pangeran Girilaya.
 
Keesokan harinya di Keraton Cirebon gempar bahwa Ratu Harisbaya hilang meninggalkan Pangeran Gerilaya. Dicarinya ke masjid, teryata tamu pun sudah tidak ada.  Segeralah Pangeran Girilaya membentuk pasukan untuk mengejar dan menyerang Prabu Geusan Ulun. Dalam pengejaran di suatu tempat tercium bau wangi pakaian Ratu Harisbaya.  Tempat itu kemudian disebut Darmawangi. Pasukan tentara Cirebon bersiap - siap hendak menyergap Prabu Geusan Ulun. Terjadilah pertempuran yang seru antara ke empat pengiring dengan pasukan Cirebon. Namun pasukan Cirebon diamuk oleh Embah Jaya Perkasa sehingga lari tunggang langgang.

Prabu Geusan Ulun, keempat pengiringnya, dan Putri Harisbaya sudah tiba di Kutamaya. Ratu Harisbaya ditempatkan di sebuah tempat yang dijaga ketat oleh hulubalang. Baginda Prabu Geusan Ulun tidak berani dekat-dekat apalagi memegang tangannya sebab Putri Harisbaya belum menjadi istri, belum diceraikan oleh Pangeran Girilaya.  Pada suatu waktu terbetiklah berita oleh Embah Jaya Perkasa bahwa Cirebon akan menyerang Sumedang Larang. Berita itu segera disampaikan kepada ketiga temannya dan kemudian keempat orang itu menghadap Prabu Geusan Ulun untuk dirundingkan. Dalam perundingan diputuskan bahwa tentara Cirebon sebelum menyerang harus dihadang di perbatasan jangan sampai Sumedang Larang dijadikan medan pertempuran. Embah Jaya Perkasa berkata kepada Prabu Geusan Ulun.
 
"Paduka yang mulia!. Hamba berempat sanggup menghadap musuh. Gusti jangan khawatir dan jangan gentar, diam saja di keraton. Hanya hamba akan memberi tanda yaitu hamba akan menanamkan pohon hanjuangi)  di sudut alun - alun. Nanti, jika perang sudah selesai, lihatlah! Jika pohon hanjuang itu rontok daunnya suatu tanda bahwa hamba gugur di medan perang, tetapi jika pohon itu tetap segar dan tumbuh subur itu suatu tanda bahwa hamba unggul di medan perang,". Setelah berkata demikian Embah Jaya Perkasa segera menanamkan pohon hanjuang di sudut alun-alun. Pohon hanjuang itu tumbuh dengan suburnya bagai ditanam sudah beberapa minggu saja.  Selesai menanamkan pohon hanjuang, berangkatlah keempat andalan negara itu ke medan perang, mempertaruhkan nyawanya.
 
Sesampainya di perbatasan, terlihat tentara Cirebon sedang berjalan berbaris menuju Sumedang Larang. Melihat barisan tentara Cirebon yang sangat panjang itu segeralah keempat patih bersujud memohon perlindungan kepada Yang Maha Agung. Terjadilah perang yang seru sekali.  Berkat kesaktian keempat patih itu tentara Cirebon banyak yang tewas. Embah Jaya Perkasa mengamuk di tengah-tengah barisan tentara Cirebon, terus mengobrak-abrik. Mayat bergelimpangan bertumpang tindih tak terhitung banyaknya sehingga beberapa tentara Cirebon yang masih hidup lari tunggang-langgang. Tentara Cirebon yang masih hidup itu terus dikejar oleh keempat patih. Embah Jaya Perkasa yang telah banyak membunuh, makin bersemangat, dia terus mengejarnya, makin lama makin jauh dari ketiga temannya. Setelah sekian lamanya Embah Jaya Perkasa tidak kelihatan kembali. Karena tidak kunjung datang, ketiga patih lainnya pulang ke Sumedang Larang akan mengabarkan keadaan Embah Jaya Perkasa kepada Prabu Geusan Ulun. Mendengar berita hilangnya Embah Jaya Perkosa, Prabu Geusan Ulun bingung, tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Akhirnya tanpa melihat pohon hanjuang di sudut alun-alun, sang prabu memerintahkan agar semua rakyat yang mau mengabdi segera meninggalkan Sumedang Larang.

Mendengar titah rajanya itu segeralah rakyat mengikuti rajanya dengan membawa apa saja yang dapat dibawanya. Rombongan Prabu Geusan Ulun sudah sampai di Batugara. Di sana permaisuri baginda, yang bernama Nyi Mas Gedeng Waru, sakit keras sampai wafatnya. Karena Batugara tidak cocok untuk keraton kemudian terus menuju lereng sebuah gunung, di sana dapat melihat pemandangan ke mana-mana. Sesudah beristirahat, lereng gunung itu dibuka dan didirikanlah keraton serta alun-alun. Bekas alun-alun itu sekarang masih ada disebut Dayeuhluhur.

Syahdan, Embah Jaya Perkasa yang mengejar-ngejar sisa tentara Cirebon, kemudian kembali ke tempat ketiga patih menunggu. Ketika tiba di sana ketiganya tidak ada, dicarinya ke mana-mana tidak dijumpainya, kemudian dia menuju Kutamaya. Setiba di sana seorang pun tidak ditemukannya, terus dia lari ke alun-alun melihat pohon hanjuang yang ditanamnya dahulu. Ternyata pohon itu tumbuh subur, daunnya banyak. Dengan demikian dia bertambah marah. Ketika berpaling ke sebelah timur terlihat olehnya asap mengepul-ngepul di lereng gunung. Dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke bumi, seketika itu juga dia sudah berdiri, di lereng gunung itu.  Gunung itu sekarang disebut Gunung Pangadegan. Tidak lama Embah Jaya Perkasa sudah berhadapan dengan Prabu Geusan Ulun, dia menyembah kemudian berkata:

"Gusti! Mengapa kerajaan Gusti tinggalkan? Tidaklah Gusti percaya kepada hamba?" Prabu Geusan Ulun bertitah dengan suara perlahan-lahan. "Oh, Eyang! Eyanglah tulang punggung Kerajaan Sumedang Larang. Kami merasa gugup setelah mendengar berita bahwa Eyang tewas dalam medan perang. Kami ingin menyelamatkan rakyat maka kami pergi meninggalkan Kutamaya. Dari sini terlihat jelas ke mana-mana dan musuh pun dari jauh sudah terlihat,". Kemudian Embah Jaya Perkasa berkata," Mengapa Gusti tidak melihat tanda yaitu pohon hanjuang yang hamba tanam?,".
 
"Maafkan kami Eyang. Ketika itu kami sama sekali lupa." "Dari siapa Gusti mendengar kabar bahwa hamba telah tewas,?". "Dari Embah Nanganan," kata sang Prabu. Mendengar jawaban Prabu Geusan Ulun demikian itu, Embah Jaya Perkasa menjadi - jadilah marahnya. Ketika itu juga Embah Nanganan ditikamnya sampai meninggal dunia.  Adapun temannya yang dua orang lagi yaitu Embah Kondang Hapa dan Embah Batara Pencar Buana ditangkapnya dan dilemparkan melampaui gunung. Embah Kondang Hapa jatuh di Citengah. Sampai sekarang penduduk Citengah masih percaya bahwa tidak boleh mengucapkan kata "hapa" sebab roh Embah Kondang Hapa menitis kepada yang mengucapkannya.
 
Makamnya sampai sekarang masih ada di Citengah. Embah Batara Pencar Buana atau Embah Terong Peot jatuhnya di daerah Cibungur. Konon, setelah ketiga temannya menjadi korban kemarahannya, Embah Jaya Perkasa mengucapkan kata-kata. "Kalau ada keturunan di Kutamaya sejak saat ini janganlah mau mengabdi kepada menak sebab kerja berat tetapi tidak terpakai. Besok lusa jika aku dipanggil oleh Yang Maha Agung, mayatku janganlah sekali - kali dibaringkan, tetapi harus didudukkan. Jika ada anak cucuku atau siapa saja yang hendak menengok kuburanku janganlah memakai kain batik (dari Jawa),".
 
Setelah mengucapkan kata-kata itu Embah Jaya Perkasa terus ke Gunung Rengganis, di puncak gunung itu dia berdiri, kemudian menghilang, menghilang tanpa bekas. Di atas gunung tempat berdirinya Embah Jaya Perkasa kemudian ditemukan batu yang berdiri sampai sekarang batu itu menjadi batu keramat. Adapun Prabu Geusan Ulun sepeninggal keempat patihnya itu tidak pindah ke mana-mana, tetap mengolah negara Dayeuh luhur sampai wafatnya.
Sumber:
- Wikipedia dan diolah berbagai sumber
-  Adamfirdaus75.blogspot

Pesona Ratu Harisbaya Memicu Konflik Sumedang vs Cirebon
Antara Kerajaan Sumedang Larang dan Kesultanan Cirebon sebenarnya pernah terjalin ikatan kekerabatan yang erat. Bahkan, Sumedang sempat menggabungkan diri dengan wilayah Cirebon dan hidup akur selama 55 tahun. Namun, kemesraan itu mulai retak karena pesona Ratu Harisbaya. Harisbaya merupakan istri kedua Panembahan Ratu, penguasa Cirebon yang bertakhta pada 1568-1649. Drama dimulai ketika Raja Sumedang era 1578-1610, Prabu Geusan Ulun, berkunjung ke Cirebon dalam perjalanan pulang dari Kesultanan Pajang yang berpusat di Kartasura, dekat Solo. Di Kraton Cirebon, Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya yang konon pernah menjadi kekasihnya. Dari situlah cinta lama bersemi kembali walau terlarang. Harisbaya secara diam-diam meminta kepada Geusan Ulun agar membawanya kabur meskipun ia masih istri sah Panembahan Ratu. Prabu Geusan Ulun mengiyakan permintaan sang mantan. Harisbaya dilarikan ke Sumedang dan tentu saja memicu murka Panembahan Ratu yang segera mengirimkan pasukan untuk menyerbu.

Terjadilah perang antara sesama kerajaan Sunda itu. Nantinya, polemik ini berakhir dengan perjanjian damai kendati Sumedang Larang akhirnya harus mengakhiri riwayatnya setelah menyerahkan diri kepada Kesultanan Mataram Islam, kerajaan Jawa penerus Pajang, pada 1620.
Kisah cinta terlarang ini telah diceritakan oleh berbagai sumber, baik yang bersifat tradisional seperti Babad Sumedang, Babad Cirebon, juga Babad Limbangan, maupun catatan para peneliti dari Eropa, termasuk Petrus de Roo de la Faille, Theodore van Deventer, H.J. de Graaf, Th. G. Pigeaud, dan lainnya.

Raja Sumedang Pewaris Pajajaran
Sumedang Larang dikenal sebagai suatu kerajaan kecil yang bernaung di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Prabu Geusan Ulun bergelar Angkawijaya sebagai pemimpinnya mendapat gelar raja daerah dari Raja Pajajaran, yakni Raga Mulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579). Meskipun Pajajaran merupakan kerajaan Hindu, namun Sumedang Larang sudah menganut Islam. Geusan Ulun adalah anak dari Pangeran Santri dengan Ratu Setyasih, putri penguasa Sumedang sebelum tahun 1530. Pangeran Santri semula datang ke Sumedang untuk menyebarkan agama Islam, dan memiliki hubungan baik dengan Kesultanan Cirebon.

Pangeran Santri kemudian bersama-sama dengan istrinya memimpin Sumedang Larang (Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad 17, 2010:222). Setelah Pangeran Santri wafat, roda pemerintahan dilanjutkan oleh Geusan Ulun yang mulai bertakhta pada 1578. Baru setahun Geusan Ulun berkuasa di Sumedang, Pajajaran hancur akibat serangan Kesultanan Banten pada 1579. Di tengah kekacauan itu, Geusan Ulun mendeklarasikan Sumedang Larang sebagai penerus Kerajaan Pakuan Pajajaran (Agus Arismunandar, ed., Widyasancaya, 2006:84).

Klaim tersebut memperoleh dukungan karena Geusan Ulun masih keturunan para Prabu Siliwangi yang berkuasa pada 1482 hingga 1521. Dengan demikian, Geusan Ulun diyakini punya hak memimpin bekas wilayah Pajajaran yang meliputi hampir seluruh tanah Sunda kecuali daerah milik Kesultanan Banten dan Cirebon.

Cinta Lama Bersemi Kembali
Kisah itu bermula ketika Geusan Ulun masih berstatus pangeran, seorang putra mahkota kerajaan kecil dari pedalaman Sunda yang sedang menempuh pedidikan di Kesultanan Pajang. Oleh sang ayah, Pangeran Santri, Geusan Ulun dikirim ke Pajang untuk belajar agama Islam sekaligus ilmu tata negara. Pusat pemerintahan dan pendidikan Islam di Jawa kala itu telah dipindahkan ke Pajang –tidak jauh dari Surakarta– seiring runtuhnya Kesultanan Demak pada 1548. Demak dan Pajang adalah penerus Majapahit dari wangsa Mataram. Hubungan antara Pajang, Cirebon, Sumedang, dan Banten cukup harmonis pada masa-masa ini.

Dalam buku Sejarah Jawa Barat: Yuganing Rajakawasa karya Yoseph Iskandar (1997:301) disebutkan, semasa menetap di Pajang itulah Geusan Ulun bertemu dengan Harisbaya, putri cantik berdarah ningrat-Mataram yang berasal dari Madura. Mereka akhirnya menjalin hubungan asmara. Setelah lima tahun tinggal di Pajang, Geusan Ulun harus segera pulang ke Sumedang Larang untuk melanjutkan pemerintahan ayahnya. Jalinan cinta Geusan Ulun dan Harisbaya pun usai tanpa kejelasan.  Lagipula, Harisbaya akan dinikahkan dengan Panembahan Ratu, penguasa Kesultanan Cirebon yang juga menantu Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. Dengan kata lain, Harisbaya menjadi istri kedua sang Panembahan.

Beberapa warsa berselang atau tujuh tahun sejak Geusan Ulun dinobatkan sebagai pemimpin Sumedang Larang, ia berjumpa kembali dengan Harisbaya yang saat itu sudah berstatus sebagai istri Panembahan Ratu.  Cinta lama pun bersemi kembali. Harisbaya meminta Geusan Ulun untuk membawanya kabur. Dan, itulah yang kemudian terjadi hingga memicu perang antara Cirebon dengan Sumedang.

Asmara Terlarang Memicu Perang
Selain versi di atas, ada pula versi lain yang menceritakan kisah berbeda ihwal hubungan Geusan Ulun dengan Harisbaya. Uka Tjandrasasmita (2009:124) dalam buku Arkeologi Islam Nusantara menuliskan bahwa pertemuan keduanya terjadi ketika Geusan Ulun singgah ke Kraton Cirebon dalam perjalanan pulang dari Demak (atau Pajang).
 
Diceritakan, Harisbaya langsung jatuh hati melihat ketampanan Geusan Ulun, raja muda dari Sumedang itu. Lantaran tidak mencintai Panembahan Ratu yang usianya jauh lebih tua darinya, Harisbaya menemui Geusan Ulun agar bersedia mengajaknya keluar dari Cirebon. Gayung bersambut, Geusan Ulun secara diam-diam melarikan Harisbaya ke Sumedang. Saat itu, Ratu Harisbaya sedang mengandung. Setelah lahir, bayi tersebut diberi nama Raden Suriadiwangsa yang oleh Geusan Ulun dianggap seperti anak sendiri, bahkan nantinya melanjutkan pemerintahan Kerajaan Sumedang Larang.

Terlepas dari dua versi yang berbeda terkait pertemuan Geusan Ulun dan Harisbaya itu, peristiwa pelarian tersebut tentu saja memantik murka Panembahan Ratu yang segera mengerahkan pasukan untuk menyerbu Sumedang.  Cerita perselisihan antara Cirebon dan Sumedang ini pernah dituliskan oleh beberapa peneliti Barat, termasuk Veth, van Deventer, de Roo da Le Faille, dan juga dari cerita (babad) di Sumedang dan Cirebon dari Kraton Kasepuhan dan Kacirebonan (Asikin Wijayakusuma & R. Mohammad Saleh, Rucatan Sajarah Sumedang, 1960:51).

Perang pun terjadi. Panembahan Ratu mengerahkan lebih dari 2.000 prajurit untuk menyerang Sumedang. Di sisi lain, pasukan Sumedang dengan gagah berani menghadapi serbuan tersebut di bawah komando Jayaperkasa, mantan panglima Kerajaan Pajajaran yang menyatakan ikrar setia kepada Prabu Geusan Ulun. Pertempuran berlangsung selama 4 hari 4 malam yang kemudian menewaskan Panglima Jayaperkasa. Hingga akhirnya, disepakati perjanjian damai untuk menghindari korban yang lebih besar dari kedua belah pihak.

Tamatnya Sumedang Larang
Sebagai penyelesaian konflik, Panembahan Ratu meminta Geusan Ulun menyerahkan wilayah perbatasan antara Sumedang dan Cirebon (kini Majalengka). Penyerahan ini juga dimaksudkan sebagai pengganti talak Panembahan Ratu kepada Harisbaya (Edi S. Ekadjati, eds., Empat Sastrawan Sunda Lama, 1994:88).

Setelah Geusan Ulun wafat pada 1610, takhta dilanjutkan oleh Raden Suriadiwangsa –anak Harisbaya dengan Panembahan Ratu– sebagaimana wasiat almarhum. Sebelumnya, sebagian wilayah Sumedang Larang telah diserahkan kepada putra Geusan Ulun dari istri lainnya, Raden Rangga Gede, agar tidak menimbulkan polemik di kemudian hari. Pada era Raden Suriadiwangsa inilah Sumedang Larang meleburkan diri dengan Kesultanan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) sebagai penerus Kesultanan Pajang yang runtuh pada 1587. Raden Suriadiwangsa melakukannya agar mendapat bantuan Mataram untuk menghadapi Banten.

Bagi Sultan Agung, ini keuntungan besar. Berserah dirinya Raden Suriadiwangsa berarti seluruh wilayah Priangan, ditambah Karawang, dikuasai Mataram. Priangan adalah wilayah Sumedang Larang (Pajajaran) yang meliputi Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, hingga Bogor.
Sultan Agung menjadikan Priangan sebagai basis pertahanan bagian barat (Bupati di Priangan dan Kajian Lainnya Mengenai Budaya Sunda, 2004:22). Raden Suriadiwangsa sendiri ditunjuk sebagai wakil Mataram di Priangan dan nantinya turut membantu Sultan Agung menyerang VOC di Batavia pada 1628 dan 1629. Meleburnya Sumedang Larang dengan Kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta sekaligus menjadi penegas tamatnya riwayat kerajaan Sunda penerus Pajajaran itu.

Sumber : Google Wikipedia

 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...