Senin, 12 November 2018

KISAH KERAJAAN SAUNGGALAH


KISAH KERAJAAN SAUNGGALAH

Orientasi
Kerajaan Saunggalah adalah kerajaan yang berada di Kabupaten Kuningan sekarang. Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Nusaherang, Kuningan—ada pula yang menunjuk Desa Ciherang di Kec. Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang. Disebutkan bahwa Saunggalah adalah nama Ibukota Kerajaan Kuningan. nama Kuningan telah lama ada dan dikenal. kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi. Pertama kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M).

Sejarah
Menurut Carita Parahyangan yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuno, riwayat Saunggalah bermula dari Rahyang Kuku alias Sang Seuweukarma alias Rahyang Demunawan. Putra dari Rahyang Sempakwaja penguasa Galunggung. Carita Parahyangan menuturkan bahwa Rahyang Sempakwaja merupakan anak pertama Sang Wretikandayun. Sempakwaja memiliki dua adik, yaitu Rahyang Kedul dan Rahyangtang Mandiminyak.

Rahyangtang Mandiminyak berputrakan Sang Sena; Sang Sena lalu punya anak bernama Rahyang Sanjaya. Sementara itu, Sang Wretikandayun adalah putra bungsu dari Sang Kandiawan. Ada pun keempat kakak Wretikandayun adalah Rahyangtang Kulikuli, Rahyangtang Surawulan, Rahyangtang Pelesawi, dan Rahyangtang Rawunglangit. Wretikandayun lalu memerintah di Galuh selama 90 tahun. Dari 612 hingga 702 M. Ia kemudian menikah dengan putri Bagawat Resi Makandria, Pwah Bungatak Mangalengale.

Karena Rahyang Sempakwaja dan Rahyang Kedul memiliki kekurangan fisik, yang menjadi raja Kerajaan Galuh selanjutnya adalah Rahyangtang Mandiminyak. Sempakwaja ini bergigi ompong (sempakwaja berarti “bergigi ompong”) lalu menjadi pendeta di Galunggung, bergelar Batara Dangiang Guru. Sedangkan Rahyang Kidul menderita kemir (hernia), maka memilih menjadi pendeta di Mandala Denuh dengan gelar Batara Hyang Buyut di Denuh.

Status Denuh, dalam Fragmen Carita Parahyangan (FCP), setingkat dengan Galungung, yang langsung bertanggung jawab kepada Tohaan di Sunda. Selain Galunggung dan Denuh, ada sepuluh wilayah lain yang langsung berada dalam wibawa Tohaan di Sunda dan harus mengirim pamwat (upeti) ke Pakuan, yakni: Sanghyang Talaga Warna, Mandala Cidatar, Gegergadung, Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa, dan Kandangwesi.

Rahyangtang Kuku atau Sang Seuweukarma atau Sang Maniti Saungkalah
Rahyangtang Kuku lahir di Patapan, demikian diceritakan dalam Fragmen Carita Parahyangan. Gelar Rahyangtang Kuku setelah menjadi “Tohaan di Kuningan” di Arile adalah Sang Seuweukarma, yang juga disebut Demunawan. Pada masa pemerintahannyalah, letak ibukota Kerajaan berada di Saunggalah atau Saungkalah menurut Nashkah Carita Parahyangan. Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Nusaherang, Kuningan—ada pula yang menunjuk Desa Ciherang di Kec. Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang.

Dalam Carita Parahyangan, dijelaskan wilayah-wilayah yang telah diperangi dan ditaklukkan Rahyangtang Kuku, yakni:
1.        Rahyangtang Luda di Puntang
2.        Rahyangtang Wulukapeu di Kahuripan
3.        Rahyangtang Supremana di Wiru
4.        Rahyang Isora di Jawa (Balitar)
5.        Sang Ratu Bima di Bali
6.        Rahyangtang Gana ratu di Kemir
7.        Sang Sriwijaya di Malayu
8.        Sang Wisnujaya di Barus
9.        Sang Bramasidi di Keling
10.    Sang Kandarma di Berawan
11.    Sang Mawuluasu di Cimara Upatah
12.    Sang Pacadana ratu di Cina.

Keberhasilan Rahyangtang Kuku alias Seuweukarma, yang juga bergelar Sang Maniti Saungkalah, karena keteguhannya dalam mengamalkan ajaran Dangiang Kuning. Melihat keberhasilan penguasa Kuningan itu, Rahyang Sanjaya merasa iri, lalu mengutus patihnya menghadap Rahyangtang Kuku. Sanjaya ingin menyelidiki apakah Rahyangtang Kuku benar-benar diakui oleh rakyat Kuningan sebagai penguasa.

Oleh Rahyangtang Kuku dijelaskan bahwa dirinyalah memang penguasa dan yang diagung-agungkan oleh kawula Kuningan. Menurutnya, tak mungkin Rahyang Sanjaya seperti dirinya, dipuja-puja rakyat, karena Rahyang Sanjaya gemar membunuh sesama saudara. Namun begitu, Rahyangtang Kuku tak ingin mengganggu dan diganggu oleh Sanjaya. Sekembalinya ke Kerajaan Galuh, sang patih melapor pada Rahyang Sanjaya.

Dikatakan olehnya kepada Sanjaya, bahwa Rahyangtang Kuku adalah seorang yang gemar bertapa, menguasai Sanghyang Darma dan Sanghyang Siksa, mematuhi ajaran Sang Rumuhun (ajaran leluhur?). Dikatakan oleh Aki Patih, bahwa seyogyanya antara Rahyang Sanjaya dan Rahyangtang Kuku terjalin kerjasama dan saling menghormati, karena keduanya sama-sama keturunan dewata.

Atas saran patihnya pula, Rahyang Sanjaya pergi menaklukkan wilayah-wilayah lain sebagai bukti bahwa dirinya pun mampu menguasai ajaran-ajaran yang dikuasai oleh Rahyangtang Kuku. Carita Parahyangan memberitakan bahwa Sanjaya berhasil mengalahkan Mananggul, Kahuripan, Balitar, Malayu, Kadul, Bali, Kemir, Keling, Barus, dan Cina. Di antara tempat-tempat taklukan ini, terdapat sejumlah wilayah yang telah ditaklukkan Rahyangtang Kuku sebelumnya.

Beberapa lama kemudian, Rahyangtang Kuku menemui Sanjaya di Galuh, membicarakan soal pembagian wilayah. Karena Sanjaya juga tak ingin berseteru dengan saudaranya itu, maka ia berkata: “Kini kita tetapkan: tanah bagian Dangiang Guru di tengah; bagian Rahyang Isora ti timur, sampai ke utara Paraga dan Cilotiran; dari barat Tarum hingga barat adalah wilayah Tohaan di Sunda.” Dalam perjanjian tersebut telah terjadi pegeseran status: Galunggung menjadi setingkat dengan wilayah Tohaan di Sunda. Untuk memastikan hal ini diperlukan penelitian khusus tentunya, jadi takkan dibahas di sini.

Setelah pembagian dipetakan oleh Sanjaya, Rahyangtang Kuku kembali ke Arile, tak lama kemudian meninggal dalam usia yang telah sepuh. Ada pun Sanjaya menasehati anaknya, Rahyang Panaraban alias Rahyang Tamperan: “Jangan ikut agamaku (Bhairawa), karena itu aku ditakuti orang banyak.” Setelah menjadi raja Kerajaan Galuh selama 9 tahun, Sanjaya digantikan oleh Tamperan.

Berbicara mengenai keberadaan Saunggalah, ada sebuah naskah Sunda Kuno lain yang memuat nama Saunggalah, yakni Bujangga Manik yang ditulis pada awal abad ke-16. Dikisahkan, ketika tokoh Bujangga Manik pulang dari timur (alas Jawa) hendak ke barat, dirinya tiba di Hujung Galuh, “berjalan ke Geger Gadung, aku menyeberangi Sungai Ciwulan, berjalan terus aku ke baratlaut. Sesampai ke Saung Galah, lalu pergi dari sana, Saung Galah telah kutelusuri, Gunung Galunggung kulewati, Panggarangan sudah kulewati, melalui Pada Beunghar, Pamipiran di belakangku. Melewati Timbang Jaya, tiba ke Gunung Cikuray, kuberjalan menurun di sana, datang ke Mandala Puntang….”

Bila memperhatikan rute Bujangga Manik dari timur ke barat di atas, jelas bahwa lokasi Saunggalah berada di antara Sungai Ciwulan (kini Sungai Cibulan atau Cikembulan) dengan Gunung Galunggung, dan berada di utara Geger Gadung (kini Sela Gadung).

Rakeyan Darmasiksa Penguasa Saunggalah
Rakeyan Darmasiksa sendiri yang meminta dirinya ditempatkan di Saunggalah kepada Batara Dangiang Guru (padahal jarak masa hidup kedua tokoh tersebut bertautan lima abad). Letak Saunggalah sendiri diceritakan berada di “selatan Gegergadung, Geger Handiwung, Pasir Taritih yang bermuara di Cipager Jampang.”

Dikisahkan Rakeyan Darmasiksa bertakhta di Saunggalah selama 12 tahun. Setelah itu, ia pindah ke Pakuan, bertakhta di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dan memerintah selama 110 tahun di Pakuan Pajajaran.

Memeh angkat ka Pakwa(n) ngadegkeun premana di Saunggalah ku Rak[y]ean Darmasiksa. Ti inya angkat sabumi ka Pakwan. Datang ka Pakwan mangadeg di kadaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati. ….Kacarita Rak[y]ean Darmasiksa heubeul siya ngadeg di Pakwan saratus sapuluh tahun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran, pun.

Kata-kata “ngadegkeun premana di Saunggalah”, bisa diartikan sebagai “mendirikan tempat istimewa di Saunggalah”. Apakah ini berarti bahwa oleh Rakeyan Darmasiksa Saunggalah dijadikan ibukota? Atau ia hanya mendirikan semacam tempat kabuyutan, yang oleh Carita Parahyangan disebut Sanghyang Binajapanti? Bila benar yang terakhir, maka status Saunggalah tidak pernah menjadi ibukota, melainkan tetap begitu adanya sejak masa Rahyangtang Kuku—berada dalam wilayah Galunggung.

Ayah Rakeyan Darmasiksa sendiri menurut naskah Wangsakerta adalah Prabu Dharmakusumah (1157-1175), seorang raja Sunda yang berkedudukan di Kawali, atau Sang Lumahing Winduraja (Yang Didarmakan di Winduraja) menurut Fragmen Carita Parahyangan. Menurut naskah Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa memerintah di Saunggalah karena menggantikan mertuanya yang merupakan penguasa Saunggalah, karena ia menikan dengan putri Saunggalah.

Ketika Darmasiksa memerintah di Pakuan Pajajaran, Saunggalah diberikan kepada putranya yang bernama Ragasuci (Fragmen Carita Parahyanga menyebutnya Rajaputra). Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu. Pada tahun 1298 M, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan ayahnya (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan putranya bernama Citraganda. Pada masa Citraganda, menurut naskah Wangsakerta, Pakuan untuk kesekian kalinya menjadi ibukota Kerajaan Sunda

Poesponegoro (2008: 384-385) menafsirkan bahwa sosok Darmasiksa tak lain adalah tokoh Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandaleswaranindhita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, penguasa “Prahajyan Sunda”. Nama terakhir ini tertulis dalam Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan di Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat, berasal dari 952 Saka atau 1030 M, berbahasa dan berhuruf Jawa Kuno.

Identifikasi tersebut dilakukan atas dasar sejumlah petunjuk bahwa kedua tokoh tersebut penganut Hindu Waisnawa atau Wisnu. Carita Parahyangan memberitakan, bahwa Sang Rakeyan Darmasiksa merupakan titisan Sanghyang Wisnu, yang membangun Sanghyang Binajapanti. Begitu pula rupanya Sri Jayabhupati, sama-sama penganut Hindu Wisnu, terlihat dari gelarnya: Wisnumurti Haro Gowardhana.

Selain itu, alasan Poesponegoro menyamakan kedua tokoh tersebut adalah karena keduanya pernah melakukan peresmian kawasan keagamaan. Rakeyan Darmasiksa, membangun Sanghyang Binajapanti, yakni panti atau kabuyutan yang diperuntukkan bagi sang rama (sesepuh masyarakat), sang resi (kaum agamawan), sang disri (peramal), sang tarahan (pelaut) di Parahyangan.

Maka dari itu, raja ini sangat lama memerintah—150 tahun, sebagaimana lazimnya raja-raja Sunda yang panjang umur dan lama masa berkuasanya—karena mempraktikkan jati Sunda, mengimani Sanghyang Darma, serta mengamalkan Sanghyang Siksa.
Raja-raja di Kerajaan Saunggalah

Menurut Ali Sasramidjaya, penulis buku "Data Kala Sejarah Kerajaan – Kerajaan di Jawa Barat" disebutkan bahwa kala verdirinya kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 645 – 1262 Caka = 617 tahun candra, atau dalam hitungan Masehi mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi. jadi keberadaan kerajaan ini, berdiri selama 598 tahun. Berikut ini ada para penguasa kerajaan Saunggalah :
Sang Demunawan. Berkuasa mulai tahun 645 – 696 Caka (748 – 797 Masehi): 51 tahun. Penobatan di Saunggalah. Sang Demunawan berusia lebih kuran 77-128 tahun. Ia bergelar Seuweukarma, Rahyangtang Kuku, Sang Resiguru Demunawan. Permaisuri Dewi Sangkari, putri Sang Pandawa alias Wiragati, raja Kuningan. Berputra (1) Tambakwesi (0-51th)(2) Tambakbaya, kelak menjadi ahli menulis pada lontar, diantarnya hal sejarah. Selama pemerintahannya terjadi peristiwa pada tahun 645 C (748 M), Sang Pandawa alias Sang Wiragati, raja Kuningan, turun tahta dan menjadi resiguru di Mandala Layuwatang, mandala bekas pertapaan Rajaresi Dewaraja Sura Liman Sakti raja Kendan II. Setelah Pandawa turun tahta, Sempakwaja mendirikan kerajaan Saunggalah, mendirikan istana di Saunggalah dan mengangkat putranya, Demunawan sebagai Prabunya di bekas kerajaan Kuningan.

Sang Demunawan ialah putra ke 2 Rababu dan Sempakwaja. Ia Wafat pada tahun 696 Caka (797 Masehi.) Demunawan wafat dalam usia 128 tahun. Dengan demikian, diperkirakan Sang Demunawan lahir pada tahun 568 Caka. Sang Tambakwesi raja ke-2 Kerajaan Saunggalah. Mulai berkuasa tahun 696 – 747 Caka (797 – 847 Masehi): 51 tahun. Penobatannya di Saunggalah 2.Ia berusia 51-102 tahun. Nama Permaisuri tidak diketahui. Berputra Sang Kretamanggala
Sang Kretamanggala naik tahta menjadi raja ke-3 Kerajaan Saunggalah. Mulai berkuasa pada tahun 747 (847 Masehi). Penobatannya di Saunggalah 3. Nama permaisuri tidak diketahui. Berputra (1) Déwi Kencanawangi, bersuami Sang Manarah atau Ciung Wanara (2) Déwi Kencanasari, bersuami Sang Banga.

Referensi
1.  "Kerajaan Saunggalah". Artshangkala (dalam bahasa Inggris). 2009-07-19. Diakses tanggal 2018-04-05.
2. Noorduyn, J dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna. Terjemahan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
3. Poesponegoro, Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumber : Google Wikipedia


Sejarah Kerajaan Saunggalah Kuningan
Kalau kita mengungkap kembali eksistensi Kerajaan Saunggalah Kuningan yang dipimpin oleh Resiguru Demunawan, ada peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi berkaitan dengan peranan tokoh tua dari Saunggalah ini yang berhasil membawa Kerajaan Saunggalah sebagai satu kerajaan “penting & menentukan”  di tengah-tengah pergaulan dengan kerajaan lainnya, khususnya di Jawa Barat, pada kurun waktu abad ke-8 Masehi. Peranan Resiguru Demunawan itu antara lain berhasil menjadikan Kerajaan Saunggalah sebagai kerajaan “besar” menurut ukuran zaman waktu itu, mampu mensejajarkan diri dengan kebesaran Kerajaan Galuh dan Kerajaan Sunda yang telah berdiri terlebih dulu. Selanjutnya Resiguru Demunawan juga merupakan tokoh yang dipercaya untuk menengahi pertikaian ketika terjadi perang saudara antara Manarah (Ciung Wanara) dengan Rahyang Banga di Galuh pada tahun 739 Masehi.

Melihat kondisi umum abad ke-8 Masehi di Jawa Barat, penulis sejarah banyak yang terpaku perhatiannya pada kebesaran dan kejayaan raja Sanjaya yang berhasil menyatukan Kerajaan Galuh dan Sunda. Padahal di lain pihak masih ada satu kerajaan di Jawa Barat yang tidak ditundukkan oleh Sanjaya dan dibiarkan tetap berdiri sebagai negara merdeka, yaitu Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya demikian disebabkan ketaatan Sanjaya pada ayahnya, Prabu Sanna atau Sang Sena, agar Sanjaya bersikap lunak pada Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya terhadap Demunawan digambarkan dalam Pustaka Kretabhumi I/2 halaman 39-40 sbb:

Rasika tanana katakut ring Sang Demunawan ing Saunggalah, tathapyan mangkana sira tanan angga malurug ring kedatwan uwanira. Hetunya ayayah nira ya ta Sang Prabhu Senna haneng Medang ri Bhumi Mataram ri Jawa Wetan. Kumonaken ajnanihangta: kinon ta sarikadibyaguna ring santana praisantana nira. Haywatta sira lumage wwang sanak ya ta Sang Demunawan. Rumakettamuwang hatut madulur parasparo-pasarpana. Gorawa ning wwang atuha.

[Ia tidak merasa takut kepada Sang Demunawan di Saunggalah, tetapi ia tidak berniat menyerang keraton uwanya, karena ayahnya yaitu Sang Prabu Senna di Medang di Bumi Mataram di Jawa Timur (sekarang Jawa Tengah) mengirimkan perintah begini: ia diharuskan bersikap mulia kepada sanak keluarganya. Tidak boleh ia memerangi kerabatnya, yaitu sang Demunawan. Hormatilah orang tua] (Danasasminta, 1983/1984: 68).

Pada tahun 732 Masehi Sanjaya dinobatkan menjadi penguasa Medang Bumi Mataram yang ditandai dengan pendirian prasasti Canggal yang berangka 654 Saka (6 Oktober 732 Masehi) (Sumadio [ed.], 1984: 98). Sanjaya mewarisi takhta di Medang Bumi Mataram dari ayahnya, Sang Sena (Sang Bratasenna) yang menikah dengan Dewi Sannaha, yaitu puteri Mandiminyak (raja Galuh) dengan Dewi Parwati. Parwati adalah puteri pasangan Ratu Sima dengan Kartikeyasingha raja Keling (Kalingga) di Jawa Tengah. Ketika Ratu Sima wafat, Kalingga dibagi dua kepada Parwati dan adiknya, Narayana. Parwati memperoleh bagian utara yang disebut Bumi Mataram, sedangkan Narayana (bergelar Iswarakesawa Lingga Jagatnata Buwanatala) mendapat bagian selatan dan timur yang disebut Bumi Sambara. Tokoh ini yang disebut Hyang Isora raja Balitar dalam CP (Danasasmita, 1983/1984: 51; Ekadjati et al., 1991: 5).

Sebagai konsekuensi dari kepindahan Sanjaya ke Mataram tersebut, maka wilayah kekuasaannya di Jawa Barat diserahkan kepada puteranya yaitu Tamperan Barmawijaya. Karena kepindahan Sanjaya ke Mataram inilah rupanya dianggap suatu moment oleh para penulis Sejarah Kuningan selama ini bahwa pada tahun 732 Masehi adalah berdirinya Kerajaan Saunggalah, yang mungkin dianggap telah lepas dari kekuasaan Sanjaya. Padahal seperti telah diterangkan terdahulu, Kerajaan Saunggalah berdiri tahun 723 Masehi atas bentukan Batara Dangiang Guru (Rahyang Sempakwaja) dan Kerajaan Saunggalah tidak pernah ditundukkan oleh Sanjaya (Kerajaan Sunda).
Dalam rangka hubungan dengan kerajaan lain, terutama yang ada di Jawa Barat, Resiguru Demunawan mempunyai peranan menentukan ketika berhasil mendamaikan perang saudara antara Manarah – Banga di Galuh tahun 739 M. Perdamaian akhirnya berhasil disepakati dengan dibuatnya keputusan sebagai berikut:

1. Negeri Sunda dari wilayah Citarum ke Barat dirajai oleh Sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna Ajimulya.
2. Negeri Galuh dari wilayah Citarum ke Timur dirajai oleh Sang Surotama alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana.
3. Resiguru Demunawan masih menguasai negeri Saunggalah dan bekas Kerajaan Galunggung; dan Sanjaya tetap memerintah di Jawa Tengah. (Danasasmita, 1983/1984: 79-80).

Sebagai upaya mengukuhkan kerukunan antara keturunan Wretikandayun dan Tarusbawa ini, Manarah dan Banga dijodohkan dengan dua orang cicit Resiguru Demunawan. Manarah menikah dengan Kencanawangi, Banga menikah dengan Kencanasari. Dengan demikian berbaurlah darah Sunda-Galuh- Saunggalah. Hal ini kiranya menandakan bahwa telah terjadi upaya pembinaan kerukunan keluarga antara tiga kerajaan di Jawa Barat melalui ikatan pernikahan.

Peranan Resiguru Demunawan yang demikian menentukan dalam saat-saat keturunan Wretikandayun menghadapi kemusnahan karena pertikaian bersenjata, dalam CP dilukiskan sebagai berikut: “...Tembey sang resiguru ngayuga taraju Jawadwipa. Taraju mainya Galunggung, Jawa mati wetan…”, (mulailah sang resiguru mengatur kesetimbangan di Pulau Jawa. Timbangannya adalah Galunggung dan Jawa di sebelah Timur) (Atja, 1968: 28, 53).

Langkah yang diambil Resiguru Demunawan itu kiranya merupakan langkah politik yang bijaksana untuk kepentingan anak cucunya. Resiguru Demunawan telah berhasil menghapus noda darah yang pernah menggenangi keraton Galuh akibat perbuatan kakaknya, Rahyang Purbasora, yang merebut takhta Galuh dari Prabu Sanna (Sang Sena) pada tahun 716 Masehi.

DEMUNAWAN, RAJARESI DARI SAUNGGALAH (KUNINGAN)
Salah seorang yang banyak dibicarakan dalam Naskah Carita Parahiyangan adalah tokoh yang bernama Rahiyangtang Kuku atau disebut juga dengan nama Sang Seuweukarma, atau dikenal juga dengan nama Resi Demunawan. Resi Demunawan merupakan pendiri istana Saunggalah di Kuningan.

SILSILAH DAN KEKUASAAN
Rajaresi Demunawan atau rahiyangtang Kuku atau dikenal juga dengan nama  Sang Seuweu Karma. Ia dkienal sebagai raja yang adil, sehingga gelar Seuweu Karma berkaitan dengan keadilan ini. Seuweu dalam bahasa indonesia berarti anak atau putra, karma berarti adil, atau berkaitan dengan huku keadilan. Karena ia sangat bijak dalam menentukan hukum, dan ia sendiri dikenal dengan gelar rajaresi (resiguru) artinya raja yang ahli juga dalam bidang keagamaan, dikenal arif dan bijaksana. Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan diungkapkan betapa arifnya dia sehinngga dikenal sebagai “tempat panyuluhan jalma rea (Tempat meminta pendapat banyak orang)”.

Rajaresi Demunawan merupakan putra kedua dari pasangan Rahiyang Sempak Waja dengan istrinya, Pwah Rababu. Ia merupakan adik dari Prabu Purbasora (Raja Galuh ke-4 yang mengkudeta Prabu Sena), dan kakak lain bapak, Prabu Sena (Raja galuh ke-3). Demunawan menikah dengan putri penguasa Kuningan, Sang Pandawa atau Prabu Wiragati, yang bernama Pohaci Sangkari pada tahun 671 M.

Ketika masih di Kuningan,  dalam naskah Wangsakaerta (Pustaka rajya rajya-i Bhumi Nusantara) ia tinggal di  keraton yang ada di kuningan yang dinamakan  Sangkarmasaya, yang berarti tempat sang karma, yaitu tempat Demunawan tinggal menetap dan memerintah daerahnya. Tetapi ketika ia berkuasa atas Kuningan dan Galunggung, ia berkuasa di saunggalah. Saunggalah berasal dari kata saung berarti Rumah, dan Galah berarti panjang. Dengan demikian arti Saung Galah berarti Rumah panjang, atau Keraton yang memanjang.

1.    Rahiyang Sempak Waja (620-   M)
Rahiyang Semplak Waja atau Batara dangiang Guru merupakan anak tertua Wretikandayun  yang lahir tahun 620 M. Sempak waja tidak menjadi raja karena ia ompong. Dengan demikian ia kemudin  memilih menjadi resiguru (batara dangiang guru)  di Galunggung. Sempak Waja menikah dengan Pwah Rababu dan mempunyai 2 anak, yaitu: Prabu Purbasora dan Resi Demunawan. Prabu Purbasora karena merasa anak tertua dan dilahirkan dari anak tertua raja pendiri Galuh. Karena itu ia merasa paling berhak atas tahta galuh. Dengan alasan moralitas kemudian Prabu Purbasora pada tahun 716 M mengkudeta  Raja Galuh, yaitu Prabu Sena yang merupakan adiknya seibu.

2.    Menerima Tahta dari Ayah dan Mertua
Setelah pasca kudeta Sonjaya terhadap Prabu Purbasora (kakak Demunawan). Untuk mengeksiskan kekuasaan Demunawan, maka pada tahun 723 M Demunawan mendapatkan tahta  raja Kuningan dari mertuanya, Sang Pandawa. Dan ia juga mendapat tahta Galunggung dari ayahnya, Batara dangiang Guru sempak Waja. Dengan demikian kekuasaan Demunawan kemudian meliputi Kuningan dn juga Galunggung. Dengan berlalunya waktu, dan menjadikan kerajaan Saunggalah menjadi kerajaan yang disegani baik otoritasnya dalam kekuasaan dan juga dalam keagamaan. 

KONSTALASI POLITIK GALUH TAHUN  723 M PASCA KUDETA SONJAYA TERHADAP PURBASORA
Setelah terjadi kudeta Sonjaya terhadap Prabu Purbasora pada tahun 723 M, maka konstalasi perpolitikan di kerajaan galuh berubah. Meskipun Sonjaya dapat mengalahkan Prabu Purbasora dan dapat menguasai Galuh. Tetapi Sonjaya tidak serta merta menguasai galuh secara keseluruhan.

Galuh dalam sejarahnya dibangun dalam otokrasi keagamaan. Karena itu otokrasi keagamaan mempunyai wilayahnya yang independen. Dengan demikian meskipun sistem pemerintahan Galuh dikuasai  tidak otomatis menguasai seluruhnya. Karena Galuh mengakui kekuasaan otokrasi dari para penguasa agama. Sehingga dengan dikuasainya Galuh tidak serta merta dapat menguasai seluruh wilayah, terutama yang berkaitan dengan otokrasi kekuasaan keagamaan. Dan otokrasi kekuasaan keagamaan yang sangat dihormati di Galuh adalah Kabataraan Galunggung, yang didirikan oleh putra pertama pendiri Galuh, Wretikandayun, yang bernama Batara dangiang Guru Sempak Waja.

Otoritas Galunggung waktu itu masih dipegang oleh tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Galuh, yaitu Batara Dangiang Guru Rahiyang Sempak Waja. Yang secara silsilah merupakan ayah dari Prabu Purbasora, dan kakek dari Sonjaya itu sendiri.

Dengan demikian, meskipun Sonjaya dapat menguasai istana galuh, tetapi  secara de fakto masih tidak diakui sebagai penguasa Galuh secara keseluruhan, karena belum diakui oleh otokrasi kekuasaan keagamaan, terutama Galunggung. Apalagi ketika Sonjaya diuji oleh Batara dangiang Guru untuk mengalahkan raja raja di daerah Kuningan, Tetapi Sonjaya tidak mampu mengalahkannya.

Sehingga Sonjaya kemudian meminta ijin kepada Batara dangiang Guru Sempak Waja, untuk menjadikan Resi Demunawan dari Saunggalah untuk menjadi raja Galuh. Sonjaya memandang bahwa  Resi Demunawan merupakan adik dari Prabu Purbasora.  Tetapi permintaan  ini ditolak oleh Sempak waja, karena ia merasa curiga bahwa hal itu hanya siasat Sonjaya untuk memancing Demunawan masuk dalam perangkapnya di galuh, setelah itu membinasakannya. Dan alasan Sempak waja yang kedua adalah karena ia tidak rela Demunawan menjadi bawahan Sonjaya. Di ketahui juga bahwa Sonjaya waktu itu juga telah menjadi raja di Pakuan.

Karena Sonjaya tidak dapat menguasai ketiga penguasa di Kuningan (tiga serangkai dari Kuningan: sang Pandawa, sang wulan dan ), maka Sonjaya akhirnya menerima siapapun yang ditunjuk oleh Batara dangiang Guru yang hendak memegang pemerintahan di galuh. Batara dangiang Guru sempak waja kemudian menunjuk Premanadikusumh, putra patih Wijaya atau cucu Purbasora (atau buyut Sempak Waja itu sendri). Dan untuk mengontrol kekuasaan di Galuh sebagai penyeimbang, maka sonjaya kemudian menunjuk putranya, yang bernama Temperan Barmawijaya menjadi patih di Galuh.

Tidak hanya itu, dalam membendung kekuasaan Sonjaya di Galuh, maka Batara Dangiang guru Sempak Waja kemudian mengukuhkan kedudukan Demunawan di Kuningan. Pada tahun 723 M, Demunawan dinobatkan menjadi raja di Kuningan menggantikan kedudukan mertuanya, Sang pandawa atau Prabu Wiragati.  Dan pada waktu itu juga ia kemudian meyerahkan wilayah kekuasaan galunggung kepadanya. Karena ia menerima tahta Galunggung, yang mempunyai otoritas keagamaan yang sangat disegani, maka dikemudian hari ia dikenal dengan gelar raja Resi Demunawan.

Dengan demikian Demunawan  berkuasa atas wilayah Kuningan dan juga Galunggung, yang kemudian hari dinamakan kerajaan Saunggalah, karena memilih Saunggalah sebagai ibukota pemerintahannya. Dengan pembentukan kerajaan baru yang independen ini seolah Batara Dangiang Guru telah membuat tandingan kerajaan Galuh. Karena kerajaan Sunda dan Galuh itu sendiri tidak berani mengutak ngatik kekuasaan Resiguru demunawan di Saunggalah.

1.    Sonjaya Pada Tahun 732 M Mendapat Tahta Medang Bumi Mataram
Setelah kekuasaan galuh diserahkan kepada Premanadikusumah, Sonjaya kemudian kembali ke Pakuan. Tetapi pada tahun 732 M, Sonjaya dinobatkan menjadi penguasa (raja) menggantikan ayahnya, Prabu Sena, yang telah berkuasa sebelumnya. Prabu Sena setelah dikudeta oleh Prabu Sena pada tahun 716 M, ia melarikan diri ke Medang Bhumi Mataram, kerajan istrinya, sanaha, berasal. Ia kemudian menjadi raja di sana.  Sebagai konsekwensi kepindahan Sonjaya ke Bhumi Mataram, maka kekuasaan Sunda kemudian di serahkan kepada putranya, Prabu Temperan Barmawiajaya.

2.    Prabu Temperan Barmawijaya
Setelah mendapat tahta kerajaan Sunda pada tahun 732 M, dari ayahnya, Sonjaya. Prabu Temperan merasa perlu untuk mengeksikan diri sebagai raja, terutama ddi daerah Galuh. Karena itu untuk mengeksiskan kekuasaannya di kedua kerajaan Prabu Temperan kemudian menyingkirkan kekuasaan Premanadikusumah dari tahta Galuh. Dan hal ini mendapat kesempatan ketika Premanadikusumah sedang dalam pertapaannya. Dan hal ini diungkapkan dalam Naskah Carita Parahiyangan:
“Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala. Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga. Sang manarah males pati.”

GALUH TAHUN 739 M PASCA KUDETA SANG MANARAH
Pada tahun 739 M terjadi perang besar di Kerajaan Galuh. Hal ini diakibatkan oleh kudeta yang dilakukan oleh Sang Manarah (Ciung Wanara) terhadap penguasa Sunda Galuh,  Prabu Temperan, yang menyebabkan Prabu temperan meninggal dunia pada tahun 739 M. Dengan demikian tahta galuh sejak tahun 739 M dipegang oleh Sang Manarah. Sisa pasukan kerajaan  dipimpin anak Temperan, yang beernama  Hariang Banga, juga mulai terdesak.  Hariang Banga dapat ditangkap dan dipenjara oleh Ciung Wanara, tetapi Hariang Banga dapat meloloskan diri. Dan ia mulai menyusun kembali pasukan untuk menyerang Galuh.

Prabu Sonjaya yang sudah menjadi raja di Jawa (Medang Mataram) sangat marah ketika mendengar anaknya, Prabu Temperan, meninggal akibat kudeta tersebut. Sehingga ia kemudian mengerahkan pasukan dari Mataram untuk menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar. Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang. Dan dari barat juga bergerak tentara dari ibukota Pakuan menuju menyerang Galuh yang dipimpin oleh Hariang Banga dan patihnya.

Tetapi perang besar ini kemudian dapat dihentikan oleh Raja resi Demunawan yang waktu itu berusia 93 tahun, dengan diadakan gencatan senjata. Perundingan gencatan senjata  digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah kembali. 

Dan untuk menjaga agar tak terjadi perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan  dengan kedua cicit Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana, memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda  bergelar Prabu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama Kancanasari.

Dengan demikian Resi Demunawan telah melakukan kebijakan yang sangat cerdas, meskipun sistem kenegaraan telah terpisah, tetapi seluruh tataran sunda dibangun dengan kekeluargaan. Dengan perkawinan keluarga Saunggalah dengan istana Galuh dan juga Istana Pakuan, seolah ikatan keluarga dijalin lagi melalui suatu ikatan perkawinan keraton Saunggalah, Galuh dan Pakuan. Dan dikemudian hari ikatan tersebut dijalin, sehingga kerajaan sunda di Pakuan, Galuh dan Saunggalah, seolah menjadi satu kesatuan. Dan ketiga kota tersebut kemudian dijadikan menjadi ibukota kerajaan sunda, tergantung raja sunda dimana berasal. Dan penguasa terkenal dikemudian hari, Prabu Darmasiksa, yang digelari titisan Wisnu berasal dari istana saunggalah ini.

(lanjut)
By Adeng lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Sumber: dari berbagai Sumber
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

    KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA Orientasi Asahan ( Jawi : اسهن ) adalah sebuah kabupaten yang terletak di provinsi S...