KISAH
KERAJAAN SAUNGGALAH
Orientasi
Kerajaan Saunggalah adalah kerajaan yang berada di Kabupaten Kuningan
sekarang. Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di Kampung Salia, Desa
Ciherang, Kecamatan Nusaherang, Kuningan—ada pula yang menunjuk Desa Ciherang
di Kec. Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang. Disebutkan bahwa Saunggalah
adalah nama Ibukota Kerajaan Kuningan. nama Kuningan telah lama ada dan
dikenal. kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi. Pertama
kali diketahui Kerajaan Kuningan diperintah oleh seorang raja bernama Sang Pandawa atau Sang Wiragati. Raja ini memerintah
sejaman dengan masa pemerintahan Sang Wretikandayun di Galuh (612-702 M).
Sejarah
Menurut Carita Parahyangan yang berbahasa dan beraksara Sunda Kuno, riwayat
Saunggalah bermula dari Rahyang Kuku
alias Sang Seuweukarma alias Rahyang Demunawan. Putra dari Rahyang Sempakwaja penguasa
Galunggung. Carita Parahyangan menuturkan bahwa Rahyang Sempakwaja merupakan anak pertama Sang Wretikandayun. Sempakwaja
memiliki dua adik, yaitu Rahyang Kedul dan Rahyangtang Mandiminyak.
Rahyangtang Mandiminyak berputrakan Sang Sena; Sang Sena lalu punya anak
bernama Rahyang Sanjaya. Sementara itu, Sang Wretikandayun adalah putra
bungsu dari Sang Kandiawan. Ada
pun keempat kakak Wretikandayun adalah Rahyangtang
Kulikuli, Rahyangtang Surawulan, Rahyangtang Pelesawi, dan Rahyangtang
Rawunglangit. Wretikandayun lalu memerintah di Galuh selama 90 tahun. Dari 612
hingga 702 M. Ia kemudian menikah dengan putri Bagawat Resi Makandria, Pwah
Bungatak Mangalengale.
Karena Rahyang Sempakwaja dan Rahyang Kedul memiliki
kekurangan fisik, yang menjadi raja Kerajaan Galuh selanjutnya adalah
Rahyangtang Mandiminyak. Sempakwaja
ini bergigi ompong (sempakwaja berarti “bergigi ompong”) lalu menjadi pendeta
di Galunggung, bergelar Batara
Dangiang Guru. Sedangkan Rahyang Kidul menderita kemir (hernia), maka
memilih menjadi pendeta di Mandala Denuh dengan gelar Batara Hyang Buyut di
Denuh.
Status Denuh, dalam Fragmen Carita Parahyangan (FCP), setingkat dengan Galungung,
yang langsung bertanggung jawab kepada Tohaan di Sunda. Selain Galunggung dan
Denuh, ada sepuluh wilayah lain yang langsung berada dalam wibawa Tohaan di
Sunda dan harus mengirim pamwat
(upeti) ke Pakuan, yakni: Sanghyang Talaga Warna, Mandala Cidatar, Gegergadung,
Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa,
dan Kandangwesi.
Rahyangtang Kuku atau Sang
Seuweukarma atau Sang Maniti Saungkalah
Rahyangtang Kuku lahir di
Patapan, demikian diceritakan dalam Fragmen
Carita Parahyangan. Gelar
Rahyangtang Kuku setelah menjadi “Tohaan
di Kuningan” di Arile adalah Sang
Seuweukarma, yang juga disebut Demunawan. Pada masa pemerintahannyalah,
letak ibukota Kerajaan berada di Saunggalah atau Saungkalah menurut Nashkah Carita Parahyangan. Lokasi Saunggalah ini diperkirakan kini berada di
Kampung Salia, Desa Ciherang, Kecamatan Nusaherang, Kuningan—ada pula yang
menunjuk Desa Ciherang di Kec. Kadugede, kecamatan tetangga Nusaherang.
Dalam Carita Parahyangan, dijelaskan wilayah-wilayah
yang telah diperangi dan ditaklukkan Rahyangtang
Kuku, yakni:
1.
Rahyangtang Luda di Puntang
2.
Rahyangtang Wulukapeu di Kahuripan
3.
Rahyangtang Supremana di Wiru
4.
Rahyang Isora di Jawa (Balitar)
5.
Sang Ratu Bima di Bali
6.
Rahyangtang Gana ratu di Kemir
7.
Sang Sriwijaya di Malayu
8.
Sang Wisnujaya di Barus
9.
Sang Bramasidi di Keling
10. Sang Kandarma
di Berawan
11. Sang Mawuluasu
di Cimara Upatah
12. Sang Pacadana
ratu di Cina.
Keberhasilan Rahyangtang Kuku alias Seuweukarma, yang
juga bergelar Sang Maniti Saungkalah, karena keteguhannya dalam mengamalkan
ajaran Dangiang Kuning. Melihat
keberhasilan penguasa Kuningan itu, Rahyang
Sanjaya merasa iri, lalu mengutus patihnya menghadap Rahyangtang Kuku. Sanjaya ingin
menyelidiki apakah Rahyangtang Kuku benar-benar diakui oleh rakyat Kuningan
sebagai penguasa.
Oleh Rahyangtang Kuku dijelaskan bahwa dirinyalah
memang penguasa dan yang diagung-agungkan oleh kawula Kuningan. Menurutnya, tak
mungkin Rahyang Sanjaya seperti dirinya, dipuja-puja rakyat, karena Rahyang
Sanjaya gemar membunuh sesama saudara. Namun begitu, Rahyangtang Kuku tak ingin
mengganggu dan diganggu oleh Sanjaya. Sekembalinya ke Kerajaan Galuh, sang patih
melapor pada Rahyang Sanjaya.
Dikatakan olehnya kepada Sanjaya, bahwa Rahyangtang
Kuku adalah seorang yang gemar bertapa, menguasai Sanghyang Darma dan Sanghyang
Siksa, mematuhi ajaran Sang Rumuhun (ajaran leluhur?). Dikatakan oleh Aki
Patih, bahwa seyogyanya antara Rahyang Sanjaya dan Rahyangtang Kuku terjalin
kerjasama dan saling menghormati, karena keduanya sama-sama keturunan dewata.
Atas saran patihnya pula, Rahyang Sanjaya pergi
menaklukkan wilayah-wilayah lain sebagai bukti bahwa dirinya pun mampu
menguasai ajaran-ajaran yang dikuasai oleh Rahyangtang Kuku. Carita Parahyangan memberitakan bahwa Sanjaya berhasil mengalahkan
Mananggul, Kahuripan, Balitar, Malayu, Kadul, Bali, Kemir, Keling, Barus, dan
Cina. Di antara tempat-tempat taklukan ini, terdapat sejumlah wilayah yang
telah ditaklukkan Rahyangtang Kuku sebelumnya.
Beberapa lama kemudian, Rahyangtang Kuku menemui
Sanjaya di Galuh, membicarakan soal pembagian wilayah. Karena Sanjaya juga tak
ingin berseteru dengan saudaranya itu, maka ia berkata: “Kini kita tetapkan:
tanah bagian Dangiang Guru di tengah; bagian Rahyang Isora ti timur, sampai ke
utara Paraga dan Cilotiran; dari barat Tarum hingga barat adalah wilayah Tohaan
di Sunda.” Dalam perjanjian tersebut telah terjadi pegeseran status: Galunggung
menjadi setingkat dengan wilayah Tohaan di Sunda. Untuk memastikan hal ini
diperlukan penelitian khusus tentunya, jadi takkan dibahas di sini.
Setelah pembagian dipetakan oleh Sanjaya, Rahyangtang
Kuku kembali ke Arile, tak lama kemudian meninggal dalam usia yang telah sepuh.
Ada pun Sanjaya menasehati anaknya, Rahyang Panaraban alias Rahyang Tamperan:
“Jangan ikut agamaku (Bhairawa), karena itu
aku ditakuti orang banyak.” Setelah menjadi raja Kerajaan Galuh selama 9
tahun, Sanjaya digantikan oleh Tamperan.
Berbicara mengenai keberadaan Saunggalah, ada sebuah
naskah Sunda Kuno lain yang memuat nama Saunggalah, yakni Bujangga Manik yang ditulis pada awal abad ke-16. Dikisahkan, ketika
tokoh Bujangga Manik pulang dari timur (alas Jawa) hendak ke barat, dirinya
tiba di Hujung Galuh, “berjalan ke Geger Gadung, aku menyeberangi Sungai
Ciwulan, berjalan terus aku ke baratlaut. Sesampai ke Saung Galah, lalu pergi
dari sana, Saung Galah telah kutelusuri, Gunung Galunggung kulewati,
Panggarangan sudah kulewati, melalui Pada Beunghar, Pamipiran di belakangku.
Melewati Timbang Jaya, tiba ke Gunung Cikuray, kuberjalan menurun di sana,
datang ke Mandala Puntang….”
Bila memperhatikan rute Bujangga Manik dari timur ke
barat di atas, jelas bahwa lokasi Saunggalah berada di antara Sungai Ciwulan
(kini Sungai Cibulan atau Cikembulan) dengan Gunung Galunggung, dan berada di
utara Geger Gadung (kini Sela Gadung).
Rakeyan Darmasiksa Penguasa
Saunggalah
Rakeyan Darmasiksa sendiri yang
meminta dirinya ditempatkan di Saunggalah kepada Batara Dangiang Guru (padahal
jarak masa hidup kedua tokoh tersebut bertautan lima abad). Letak Saunggalah
sendiri diceritakan berada di “selatan Gegergadung, Geger Handiwung, Pasir
Taritih yang bermuara di Cipager Jampang.”
Dikisahkan Rakeyan Darmasiksa bertakhta di Saunggalah
selama 12 tahun. Setelah itu, ia pindah ke Pakuan, bertakhta di keraton Sri
Bima Punta Narayana Madura Suradipati, dan memerintah selama 110 tahun di
Pakuan Pajajaran.
Memeh angkat ka Pakwa(n) ngadegkeun
premana di Saunggalah ku Rak[y]ean Darmasiksa. Ti inya angkat sabumi ka Pakwan.
Datang ka Pakwan mangadeg di kadaton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
….Kacarita Rak[y]ean Darmasiksa heubeul siya ngadeg di Pakwan saratus sapuluh
tahun. Heubeul siya adeg ratu di Pakwan Pajajaran, pun.
Kata-kata “ngadegkeun premana di
Saunggalah”, bisa diartikan sebagai “mendirikan tempat istimewa di
Saunggalah”. Apakah ini berarti bahwa oleh Rakeyan Darmasiksa Saunggalah
dijadikan ibukota? Atau ia hanya mendirikan semacam tempat kabuyutan, yang oleh Carita Parahyangan disebut Sanghyang
Binajapanti? Bila benar yang terakhir, maka status Saunggalah tidak
pernah menjadi ibukota, melainkan tetap begitu adanya sejak masa Rahyangtang
Kuku—berada dalam wilayah Galunggung.
Ayah Rakeyan Darmasiksa sendiri menurut naskah Wangsakerta adalah Prabu Dharmakusumah (1157-1175), seorang raja
Sunda yang berkedudukan di Kawali, atau Sang Lumahing Winduraja (Yang
Didarmakan di Winduraja) menurut Fragmen
Carita Parahyangan. Menurut naskah Wangsakerta, Rakeyan Darmasiksa memerintah di Saunggalah karena
menggantikan mertuanya yang merupakan penguasa Saunggalah, karena ia menikan
dengan putri Saunggalah.
Ketika Darmasiksa memerintah di Pakuan Pajajaran,
Saunggalah diberikan kepada putranya yang bernama Ragasuci (Fragmen Carita Parahyanga menyebutnya
Rajaputra). Sebagai penguasa Saunggalah, Ragasuci dijuluki Rahyantang Saunggalah (1175-1298). Ia
memperistri Dara Puspa, putri seorang raja Melayu. Pada tahun 1298 M, Ragasuci diangkat menjadi Raja Sunda menggantikan
ayahnya (1298-1304). Kedudukannya di Saunggalah digantikan putranya bernama
Citraganda. Pada masa Citraganda, menurut naskah Wangsakerta, Pakuan untuk kesekian kalinya menjadi ibukota Kerajaan Sunda
Poesponegoro (2008: 384-385) menafsirkan bahwa sosok
Darmasiksa tak lain adalah tokoh Maharaja
Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana
Mandaleswaranindhita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, penguasa “Prahajyan Sunda”. Nama terakhir ini
tertulis dalam Prasasti Sanghyang Tapak yang ditemukan
di Kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang di tepi Sungai Citatih, Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat,
berasal dari 952 Saka atau 1030 M, berbahasa
dan berhuruf Jawa Kuno.
Identifikasi tersebut dilakukan atas dasar sejumlah
petunjuk bahwa kedua tokoh tersebut penganut Hindu Waisnawa atau Wisnu.
Carita Parahyangan memberitakan, bahwa Sang Rakeyan Darmasiksa merupakan
titisan Sanghyang Wisnu, yang membangun Sanghyang Binajapanti. Begitu pula
rupanya Sri Jayabhupati, sama-sama penganut Hindu Wisnu, terlihat dari
gelarnya: Wisnumurti Haro Gowardhana.
Selain itu, alasan Poesponegoro menyamakan kedua tokoh
tersebut adalah karena keduanya pernah melakukan peresmian kawasan keagamaan.
Rakeyan Darmasiksa, membangun Sanghyang Binajapanti, yakni panti atau kabuyutan yang
diperuntukkan bagi sang rama (sesepuh masyarakat), sang resi (kaum agamawan),
sang disri (peramal), sang tarahan (pelaut) di Parahyangan.
Maka dari itu, raja ini sangat lama memerintah—150
tahun, sebagaimana lazimnya raja-raja Sunda yang panjang umur dan lama masa
berkuasanya—karena mempraktikkan jati Sunda, mengimani Sanghyang
Darma, serta mengamalkan Sanghyang
Siksa.
Raja-raja di Kerajaan
Saunggalah
Menurut Ali Sasramidjaya, penulis buku "Data Kala
Sejarah Kerajaan – Kerajaan di Jawa Barat" disebutkan bahwa kala
verdirinya kerajaan Saunggalah adalah mulai dari tahun 645 – 1262 Caka = 617
tahun candra, atau dalam hitungan Masehi mulai dari tahun 748 – 1346 Masehi.
jadi keberadaan kerajaan ini, berdiri selama 598 tahun. Berikut ini ada para
penguasa kerajaan Saunggalah :
Sang Demunawan. Berkuasa mulai tahun 645 – 696 Caka
(748 – 797 Masehi): 51 tahun. Penobatan di Saunggalah. Sang Demunawan berusia
lebih kuran 77-128 tahun. Ia bergelar Seuweukarma, Rahyangtang Kuku, Sang
Resiguru Demunawan. Permaisuri Dewi Sangkari, putri Sang Pandawa alias
Wiragati, raja Kuningan. Berputra (1) Tambakwesi (0-51th)(2) Tambakbaya, kelak
menjadi ahli menulis pada lontar, diantarnya hal sejarah. Selama
pemerintahannya terjadi peristiwa pada tahun 645 C (748 M), Sang Pandawa alias
Sang Wiragati, raja Kuningan, turun tahta dan menjadi resiguru di Mandala
Layuwatang, mandala bekas pertapaan Rajaresi Dewaraja Sura Liman Sakti raja
Kendan II. Setelah Pandawa turun tahta, Sempakwaja mendirikan kerajaan
Saunggalah, mendirikan istana di Saunggalah dan mengangkat putranya, Demunawan
sebagai Prabunya di bekas kerajaan Kuningan.
Sang Demunawan ialah putra ke 2 Rababu dan Sempakwaja.
Ia Wafat pada tahun 696 Caka (797 Masehi.) Demunawan wafat dalam usia 128
tahun. Dengan demikian, diperkirakan Sang Demunawan lahir pada tahun 568 Caka. Sang
Tambakwesi raja ke-2 Kerajaan Saunggalah. Mulai berkuasa tahun 696 – 747 Caka
(797 – 847 Masehi): 51 tahun. Penobatannya di Saunggalah 2.Ia berusia 51-102
tahun. Nama Permaisuri tidak diketahui. Berputra Sang Kretamanggala
Sang Kretamanggala naik tahta menjadi raja ke-3
Kerajaan Saunggalah. Mulai berkuasa pada tahun 747 (847 Masehi). Penobatannya
di Saunggalah 3. Nama permaisuri tidak diketahui. Berputra (1) Déwi
Kencanawangi, bersuami Sang Manarah atau Ciung Wanara (2) Déwi
Kencanasari, bersuami Sang Banga.
Referensi
1. "Kerajaan
Saunggalah". Artshangkala (dalam
bahasa Inggris). 2009-07-19. Diakses tanggal 2018-04-05.
2. Noorduyn, J dan
A. Teeuw. 2009. Tiga Pesona Sunda Kuna.
Terjemahan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
3. Poesponegoro,
Marwati Djoenoed dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sumber
: Google Wikipedia
Sejarah
Kerajaan Saunggalah Kuningan
Kalau
kita mengungkap kembali eksistensi Kerajaan Saunggalah Kuningan yang dipimpin
oleh Resiguru Demunawan, ada peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi
berkaitan dengan peranan tokoh tua dari Saunggalah ini yang berhasil membawa
Kerajaan Saunggalah sebagai satu kerajaan “penting & menentukan” di
tengah-tengah pergaulan dengan kerajaan lainnya, khususnya di Jawa Barat, pada
kurun waktu abad ke-8 Masehi. Peranan Resiguru Demunawan itu antara lain
berhasil menjadikan Kerajaan Saunggalah sebagai kerajaan “besar” menurut ukuran
zaman waktu itu, mampu mensejajarkan diri dengan kebesaran Kerajaan Galuh dan
Kerajaan Sunda yang telah berdiri terlebih dulu. Selanjutnya Resiguru Demunawan
juga merupakan tokoh yang dipercaya untuk menengahi pertikaian ketika terjadi
perang saudara antara Manarah (Ciung Wanara) dengan Rahyang Banga di Galuh pada
tahun 739 Masehi.
Melihat
kondisi umum abad ke-8 Masehi di Jawa Barat, penulis sejarah banyak yang
terpaku perhatiannya pada kebesaran dan kejayaan raja Sanjaya yang berhasil
menyatukan Kerajaan Galuh dan Sunda. Padahal di lain pihak masih ada satu
kerajaan di Jawa Barat yang tidak ditundukkan oleh Sanjaya dan dibiarkan tetap
berdiri sebagai negara merdeka, yaitu Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya
demikian disebabkan ketaatan Sanjaya pada ayahnya, Prabu Sanna atau Sang Sena,
agar Sanjaya bersikap lunak pada Kerajaan Saunggalah. Sikap Sanjaya terhadap
Demunawan digambarkan dalam Pustaka Kretabhumi I/2 halaman 39-40 sbb:
Rasika tanana katakut ring Sang Demunawan ing Saunggalah, tathapyan
mangkana sira tanan angga malurug ring kedatwan uwanira. Hetunya ayayah nira ya
ta Sang Prabhu Senna haneng Medang ri Bhumi Mataram ri Jawa Wetan. Kumonaken
ajnanihangta: kinon ta sarikadibyaguna ring santana praisantana nira. Haywatta
sira lumage wwang sanak ya ta Sang Demunawan. Rumakettamuwang hatut madulur
parasparo-pasarpana. Gorawa ning wwang atuha.
[Ia
tidak merasa takut kepada Sang Demunawan di Saunggalah, tetapi ia tidak berniat
menyerang keraton uwanya, karena ayahnya yaitu Sang Prabu Senna di Medang di
Bumi Mataram di Jawa Timur (sekarang Jawa Tengah) mengirimkan perintah begini:
ia diharuskan bersikap mulia kepada sanak keluarganya. Tidak boleh ia memerangi
kerabatnya, yaitu sang Demunawan. Hormatilah orang tua] (Danasasminta, 1983/1984:
68).
Pada
tahun 732 Masehi Sanjaya dinobatkan menjadi penguasa Medang Bumi Mataram yang
ditandai dengan pendirian prasasti Canggal yang berangka 654 Saka (6 Oktober
732 Masehi) (Sumadio [ed.], 1984: 98). Sanjaya mewarisi takhta di Medang Bumi
Mataram dari ayahnya, Sang Sena (Sang Bratasenna) yang menikah dengan Dewi
Sannaha, yaitu puteri Mandiminyak (raja Galuh) dengan Dewi Parwati. Parwati
adalah puteri pasangan Ratu Sima dengan Kartikeyasingha raja Keling (Kalingga)
di Jawa Tengah. Ketika Ratu Sima wafat, Kalingga dibagi dua kepada Parwati dan
adiknya, Narayana. Parwati memperoleh bagian utara yang disebut Bumi Mataram,
sedangkan Narayana (bergelar Iswarakesawa
Lingga Jagatnata Buwanatala) mendapat bagian selatan dan timur yang
disebut Bumi Sambara. Tokoh ini yang disebut Hyang Isora raja Balitar dalam CP
(Danasasmita, 1983/1984: 51; Ekadjati et al., 1991: 5).
Sebagai
konsekuensi dari kepindahan Sanjaya ke Mataram tersebut, maka wilayah
kekuasaannya di Jawa Barat diserahkan kepada puteranya yaitu Tamperan
Barmawijaya. Karena kepindahan Sanjaya ke Mataram inilah rupanya dianggap suatu
moment oleh para penulis Sejarah Kuningan selama ini bahwa pada tahun 732
Masehi adalah berdirinya Kerajaan Saunggalah, yang mungkin dianggap telah lepas
dari kekuasaan Sanjaya. Padahal seperti telah diterangkan terdahulu, Kerajaan
Saunggalah berdiri tahun 723 Masehi atas bentukan Batara Dangiang Guru (Rahyang
Sempakwaja) dan Kerajaan Saunggalah tidak pernah ditundukkan oleh Sanjaya
(Kerajaan Sunda).
Dalam
rangka hubungan dengan kerajaan lain, terutama yang ada di Jawa Barat, Resiguru
Demunawan mempunyai peranan menentukan ketika berhasil mendamaikan perang
saudara antara Manarah – Banga di Galuh tahun 739 M. Perdamaian akhirnya
berhasil disepakati dengan dibuatnya keputusan sebagai berikut:
1. Negeri Sunda dari wilayah Citarum ke Barat
dirajai oleh Sang Kamarasa alias Banga dengan gelar Prabu Kretabuana Yasawiguna
Ajimulya.
2. Negeri Galuh dari wilayah Citarum ke Timur
dirajai oleh Sang Surotama alias Manarah dengan gelar Prabu Jayaprakosa
Mandaleswara Salakabuana.
3. Resiguru Demunawan masih menguasai negeri
Saunggalah dan bekas Kerajaan Galunggung; dan Sanjaya tetap memerintah di Jawa
Tengah. (Danasasmita, 1983/1984: 79-80).
Sebagai
upaya mengukuhkan kerukunan antara keturunan Wretikandayun dan Tarusbawa ini,
Manarah dan Banga dijodohkan dengan dua orang cicit Resiguru Demunawan. Manarah
menikah dengan Kencanawangi, Banga menikah dengan Kencanasari. Dengan demikian
berbaurlah darah Sunda-Galuh- Saunggalah. Hal ini kiranya menandakan bahwa
telah terjadi upaya pembinaan kerukunan keluarga antara tiga kerajaan di Jawa
Barat melalui ikatan pernikahan.
Peranan
Resiguru Demunawan yang demikian menentukan dalam saat-saat keturunan
Wretikandayun menghadapi kemusnahan karena pertikaian bersenjata, dalam CP
dilukiskan sebagai berikut: “...Tembey
sang resiguru ngayuga taraju Jawadwipa. Taraju mainya Galunggung, Jawa mati
wetan…”, (mulailah sang resiguru mengatur kesetimbangan di Pulau
Jawa. Timbangannya adalah Galunggung dan Jawa di sebelah Timur) (Atja, 1968:
28, 53).
Langkah
yang diambil Resiguru Demunawan itu kiranya merupakan langkah politik yang
bijaksana untuk kepentingan anak cucunya. Resiguru Demunawan telah berhasil
menghapus noda darah yang pernah menggenangi keraton Galuh akibat perbuatan
kakaknya, Rahyang Purbasora, yang merebut takhta Galuh dari Prabu Sanna (Sang
Sena) pada tahun 716 Masehi.
DEMUNAWAN,
RAJARESI DARI SAUNGGALAH (KUNINGAN)
Salah
seorang yang banyak dibicarakan dalam Naskah Carita Parahiyangan adalah tokoh
yang bernama Rahiyangtang Kuku atau disebut juga dengan nama Sang Seuweukarma,
atau dikenal juga dengan nama Resi Demunawan. Resi Demunawan merupakan pendiri
istana Saunggalah di Kuningan.
SILSILAH DAN KEKUASAAN
Rajaresi Demunawan atau rahiyangtang Kuku atau dikenal
juga dengan nama Sang Seuweu Karma. Ia dkienal sebagai raja yang adil,
sehingga gelar Seuweu Karma berkaitan dengan keadilan ini. Seuweu dalam bahasa
indonesia berarti anak atau putra, karma berarti adil, atau berkaitan dengan huku
keadilan. Karena ia sangat bijak dalam menentukan hukum, dan ia sendiri dikenal
dengan gelar rajaresi (resiguru) artinya raja yang ahli juga dalam bidang
keagamaan, dikenal arif dan bijaksana. Dan dalam Naskah Carita Parahiyangan
diungkapkan betapa arifnya dia sehinngga dikenal sebagai “tempat panyuluhan
jalma rea (Tempat meminta pendapat banyak orang)”.
Rajaresi Demunawan merupakan putra kedua dari pasangan
Rahiyang Sempak Waja dengan istrinya, Pwah Rababu. Ia merupakan adik dari Prabu
Purbasora (Raja Galuh ke-4 yang mengkudeta Prabu Sena), dan kakak lain bapak,
Prabu Sena (Raja galuh ke-3). Demunawan menikah dengan putri penguasa Kuningan,
Sang Pandawa atau Prabu Wiragati, yang bernama Pohaci Sangkari pada tahun 671
M.
Ketika masih di Kuningan, dalam naskah
Wangsakaerta (Pustaka rajya rajya-i Bhumi Nusantara) ia tinggal di
keraton yang ada di kuningan yang dinamakan Sangkarmasaya, yang berarti
tempat sang karma, yaitu tempat Demunawan tinggal menetap dan memerintah
daerahnya. Tetapi ketika ia berkuasa atas Kuningan dan Galunggung, ia berkuasa
di saunggalah. Saunggalah berasal dari kata saung berarti Rumah, dan Galah
berarti panjang. Dengan demikian arti Saung Galah berarti Rumah panjang, atau
Keraton yang memanjang.
1. Rahiyang Sempak Waja (620- M)
Rahiyang Semplak Waja atau Batara dangiang Guru merupakan anak tertua Wretikandayun yang lahir tahun 620 M.
Sempak waja tidak menjadi raja karena ia ompong. Dengan demikian ia kemudin
memilih menjadi resiguru (batara
dangiang guru) di Galunggung. Sempak Waja menikah
dengan Pwah Rababu dan mempunyai 2 anak, yaitu: Prabu Purbasora dan Resi
Demunawan. Prabu Purbasora karena merasa anak tertua dan dilahirkan dari anak
tertua raja pendiri Galuh. Karena itu ia merasa paling berhak atas tahta galuh.
Dengan alasan moralitas kemudian Prabu Purbasora pada tahun 716 M
mengkudeta Raja Galuh, yaitu Prabu Sena yang merupakan adiknya seibu.
2. Menerima Tahta dari Ayah dan Mertua
Setelah pasca
kudeta Sonjaya terhadap Prabu Purbasora (kakak Demunawan). Untuk mengeksiskan
kekuasaan Demunawan, maka pada tahun 723 M Demunawan mendapatkan tahta
raja Kuningan dari mertuanya, Sang Pandawa. Dan ia juga mendapat tahta
Galunggung dari ayahnya, Batara dangiang Guru sempak Waja. Dengan demikian
kekuasaan Demunawan kemudian meliputi Kuningan dn juga Galunggung. Dengan
berlalunya waktu, dan menjadikan kerajaan Saunggalah menjadi kerajaan yang
disegani baik otoritasnya dalam kekuasaan dan juga dalam keagamaan.
KONSTALASI POLITIK GALUH
TAHUN 723 M PASCA KUDETA SONJAYA TERHADAP PURBASORA
Setelah terjadi kudeta Sonjaya terhadap Prabu
Purbasora pada tahun 723 M, maka konstalasi perpolitikan di kerajaan galuh
berubah. Meskipun Sonjaya dapat mengalahkan Prabu Purbasora dan dapat menguasai
Galuh. Tetapi Sonjaya tidak serta merta menguasai galuh secara keseluruhan.
Galuh dalam sejarahnya dibangun dalam otokrasi
keagamaan. Karena itu otokrasi keagamaan mempunyai wilayahnya yang independen.
Dengan demikian meskipun sistem pemerintahan Galuh dikuasai tidak
otomatis menguasai seluruhnya. Karena Galuh mengakui kekuasaan otokrasi dari
para penguasa agama. Sehingga dengan dikuasainya Galuh tidak serta merta dapat
menguasai seluruh wilayah, terutama yang berkaitan dengan otokrasi kekuasaan
keagamaan. Dan otokrasi kekuasaan keagamaan yang sangat dihormati di Galuh
adalah Kabataraan Galunggung, yang didirikan oleh putra pertama pendiri Galuh,
Wretikandayun, yang bernama Batara dangiang Guru Sempak Waja.
Otoritas Galunggung waktu itu masih dipegang oleh
tokoh yang sangat dihormati oleh masyarakat Galuh, yaitu Batara Dangiang Guru
Rahiyang Sempak Waja. Yang secara silsilah merupakan ayah dari Prabu Purbasora,
dan kakek dari Sonjaya itu sendiri.
Dengan demikian, meskipun Sonjaya dapat menguasai
istana galuh, tetapi secara de fakto masih tidak diakui sebagai penguasa
Galuh secara keseluruhan, karena belum diakui oleh otokrasi kekuasaan
keagamaan, terutama Galunggung. Apalagi ketika Sonjaya diuji oleh Batara
dangiang Guru untuk mengalahkan raja raja di daerah Kuningan, Tetapi Sonjaya
tidak mampu mengalahkannya.
Sehingga Sonjaya kemudian meminta ijin kepada Batara
dangiang Guru Sempak Waja, untuk menjadikan Resi Demunawan dari Saunggalah
untuk menjadi raja Galuh. Sonjaya memandang bahwa Resi Demunawan
merupakan adik dari Prabu Purbasora. Tetapi permintaan ini ditolak
oleh Sempak waja, karena ia merasa curiga bahwa hal itu hanya siasat Sonjaya
untuk memancing Demunawan masuk dalam perangkapnya di galuh, setelah itu
membinasakannya. Dan alasan Sempak waja yang kedua adalah karena ia tidak rela
Demunawan menjadi bawahan Sonjaya. Di ketahui juga bahwa Sonjaya waktu itu juga
telah menjadi raja di Pakuan.
Karena Sonjaya tidak dapat menguasai ketiga penguasa
di Kuningan (tiga serangkai dari Kuningan: sang Pandawa, sang wulan dan ), maka
Sonjaya akhirnya menerima siapapun yang ditunjuk oleh Batara dangiang Guru yang
hendak memegang pemerintahan di galuh. Batara dangiang Guru sempak waja
kemudian menunjuk Premanadikusumh, putra patih Wijaya atau cucu Purbasora (atau
buyut Sempak Waja itu sendri). Dan untuk mengontrol kekuasaan di Galuh sebagai
penyeimbang, maka sonjaya kemudian menunjuk putranya, yang bernama Temperan
Barmawijaya menjadi patih di Galuh.
Tidak hanya itu, dalam membendung kekuasaan Sonjaya di
Galuh, maka Batara Dangiang guru Sempak Waja kemudian mengukuhkan kedudukan
Demunawan di Kuningan. Pada tahun 723 M, Demunawan dinobatkan menjadi raja di
Kuningan menggantikan kedudukan mertuanya, Sang pandawa atau Prabu Wiragati.
Dan pada waktu itu juga ia kemudian meyerahkan wilayah kekuasaan galunggung
kepadanya. Karena ia menerima tahta Galunggung, yang mempunyai otoritas
keagamaan yang sangat disegani, maka dikemudian hari ia dikenal dengan gelar
raja Resi Demunawan.
Dengan demikian Demunawan berkuasa atas wilayah
Kuningan dan juga Galunggung, yang kemudian hari dinamakan kerajaan Saunggalah,
karena memilih Saunggalah sebagai ibukota pemerintahannya. Dengan pembentukan
kerajaan baru yang independen ini seolah Batara Dangiang Guru telah membuat
tandingan kerajaan Galuh. Karena kerajaan Sunda dan Galuh itu sendiri tidak
berani mengutak ngatik kekuasaan Resiguru demunawan di Saunggalah.
1. Sonjaya Pada Tahun 732 M Mendapat Tahta Medang Bumi Mataram
Setelah
kekuasaan galuh diserahkan kepada Premanadikusumah, Sonjaya kemudian kembali ke
Pakuan. Tetapi pada tahun 732 M, Sonjaya dinobatkan menjadi penguasa (raja)
menggantikan ayahnya, Prabu Sena, yang telah berkuasa sebelumnya. Prabu Sena
setelah dikudeta oleh Prabu Sena pada tahun 716 M, ia melarikan diri ke Medang
Bhumi Mataram, kerajan istrinya, sanaha, berasal. Ia kemudian menjadi raja di
sana. Sebagai konsekwensi kepindahan Sonjaya ke Bhumi Mataram, maka
kekuasaan Sunda kemudian di serahkan kepada putranya, Prabu Temperan
Barmawiajaya.
2. Prabu Temperan Barmawijaya
Setelah
mendapat tahta kerajaan Sunda pada tahun 732 M, dari ayahnya, Sonjaya. Prabu
Temperan merasa perlu untuk mengeksikan diri sebagai raja, terutama ddi daerah
Galuh. Karena itu untuk mengeksiskan kekuasaannya di kedua kerajaan Prabu
Temperan kemudian menyingkirkan kekuasaan Premanadikusumah dari tahta Galuh.
Dan hal ini mendapat kesempatan ketika Premanadikusumah sedang dalam
pertapaannya. Dan hal ini diungkapkan dalam Naskah Carita
Parahiyangan:
“Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa
dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala. Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang
Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung dulurna Rahiang Banga. Sang
manarah males pati.”
GALUH TAHUN 739 M PASCA
KUDETA SANG MANARAH
Pada tahun 739 M terjadi perang besar di Kerajaan
Galuh. Hal ini diakibatkan oleh kudeta yang dilakukan oleh Sang Manarah (Ciung
Wanara) terhadap penguasa Sunda Galuh, Prabu Temperan, yang menyebabkan
Prabu temperan meninggal dunia pada tahun 739 M. Dengan demikian tahta galuh
sejak tahun 739 M dipegang oleh Sang Manarah. Sisa pasukan kerajaan
dipimpin anak Temperan, yang beernama Hariang Banga, juga mulai
terdesak. Hariang Banga dapat ditangkap dan dipenjara oleh Ciung Wanara,
tetapi Hariang Banga dapat meloloskan diri. Dan ia mulai menyusun kembali
pasukan untuk menyerang Galuh.
Prabu Sonjaya yang sudah menjadi raja di Jawa (Medang
Mataram) sangat marah ketika mendengar anaknya, Prabu Temperan, meninggal
akibat kudeta tersebut. Sehingga ia kemudian mengerahkan pasukan dari Mataram
untuk menyerang Galuh dengan 4 kekuatan besar.
Pasukan satu bernama Tomarasakti dipimpin oleh Sanjaya; pasukan 2 bernama
Samberjiwa dipimpin oleh Rakai Panangkaran (putra sanjaya), pasukan 3 bernama
Bairawamamuk dipimpin oleh Panglima Jagat Bairawa, pasukan 4 bernama
Batarakroda, dipimpin oleh Langlang Sebrang. Dan dari barat juga bergerak
tentara dari ibukota Pakuan menuju menyerang Galuh yang dipimpin oleh Hariang
Banga dan patihnya.
Tetapi perang besar ini kemudian dapat dihentikan oleh
Raja resi Demunawan yang waktu itu berusia 93 tahun, dengan diadakan gencatan
senjata. Perundingan gencatan
senjata digelar di keraton Galuh pada tahun 739 M. Kesepakatanpun
tercapai: Galuh harus diserahkan kepada Sang Manarah, dan Sunda kepada Rahiyang
Banga (cucu Sanjaya), dan Sanjaya memimpin Medang Mataram. Dengan demikian
Sunda Galuh yang selama tahun 723-739 M, merupakan satu kekuasaan terpecah
kembali.
Dan untuk menjaga agar tak terjadi
perseturuan, Manarah dan banga kemudian dinikahkan dengan kedua cicit
Demunawan. Manarah dengan gelar Prabu Jayaperkosa Mandaleswara Salakabhuwana,
memperistri Kancanawangi, sedang Banga sebagai raja Sunda bergelar Prabu
Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya, mengawini adik Kancanawangi yang bernama
Kancanasari.
Dengan demikian Resi Demunawan telah melakukan
kebijakan yang sangat cerdas, meskipun sistem kenegaraan telah terpisah, tetapi
seluruh tataran sunda dibangun dengan kekeluargaan. Dengan perkawinan keluarga
Saunggalah dengan istana Galuh dan juga Istana Pakuan, seolah ikatan keluarga
dijalin lagi melalui suatu ikatan perkawinan keraton Saunggalah, Galuh dan
Pakuan. Dan dikemudian hari ikatan tersebut dijalin, sehingga kerajaan sunda di
Pakuan, Galuh dan Saunggalah, seolah menjadi satu kesatuan. Dan ketiga kota
tersebut kemudian dijadikan menjadi ibukota kerajaan sunda, tergantung raja
sunda dimana berasal. Dan penguasa terkenal dikemudian hari, Prabu Darmasiksa,
yang digelari titisan Wisnu berasal dari istana saunggalah ini.
(lanjut)
By Adeng lukmantara
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Peminat Studi Peradaban Sunda dan Islam
Sumber: dari berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar