Orientasi
Kerajaan
Medang (atau sering juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram
Hindu) adalah nama sebuah kerajaan yang berdiri di Jawa Tengah pada abad ke-8, kemudian berpindah ke Jawa Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh
pada awal abad
ke-11.
Nama
Pada umumnya, istilah Kerajaan Medang hanya lazim
dipakai untuk menyebut periode Jawa
Timur saja, padahal berdasarkan prasasti-prasasti yang telah ditemukan,
nama "Medang" sudah dikenal sejak periode sebelumnya, yaitu periode Jawa Tengah. Sementara itu,
nama yang lazim dipakai untuk menyebut Kerajaan Medang periode Jawa Tengah adalah Kerajaan Mataram, yaitu merujuk
kepada salah satu daerah ibu kota kerajaan ini. Kadang untuk membedakannya
dengan Kerajaan Mataram Islam yang berdiri pada abad ke-16, Kerajaan Medang periode Jawa Tengah biasa pula
disebut dengan nama Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu.
Pusat Kerajaan Medang
"Bhumi
Mataram" adalah sebutan lama untuk Yogyakarta dan sekitarnya. Di daerah inilah
untuk pertama kalinya istana Kerajaan Medang diperkirakan berdiri (Rajya Medang i Bhumi Mataram). Nama
ini ditemukan dalam beberapa prasasti, misalnya prasasti Minto dan prasasti Anjuk ladang. Istilah
"Mataram" kemudian lazim dipakai untuk
menyebut nama kerajaan secara keseluruhan, meskipun tidak selamanya kerajaan
ini berpusat di sana.
Sebenarnya,
pusat Kerajaan Medang pernah mengalami beberapa kali perpindahan, bahkan sampai
ke daerah Jawa
Timur sekarang.
Beberapa daerah yang pernah menjadi lokasi istana Medang berdasarkan
prasasti-prasasti yang sudah ditemukan antara lain,
1. Medang i Bhumi
Mataram (zaman Sanjaya)
2. Medang i
Mamrati (zaman Rakai Pikatan)
3. Medang i Poh
Pitu (zaman Dyah Balitung)
4. Medang i Bhumi
Mataram (zaman Dyah Wawa)
5. Medang i
Tamwlang (zaman Mpu Sindok)
6. Medang i
Watugaluh (zaman Mpu Sindok)
7. Medang i Wwatan
(zaman Dharmawangsa Teguh)
Menurut perkiraan, Mataram terletak di daerah Yogyakarta sekarang.
Mamrati dan Poh Pitu diperkirakan terletak di daerah Kedu. Sementara itu, Tamwlang sekarang disebut dengan nama
Tembelang, sedangkan Watugaluh sekarang disebut Megaluh. Keduanya terletak di
daerah Jombang. Istana
terakhir, yaitu Wwatan, sekarang disebut dengan nama Wotan, yang terletak di
daerah Madiun.
Awal berdirinya kerajaan
Prasasti Mantyasih
tahun 907 atas nama Dyah Balitung menyebutkan dengan jelas bahwa raja
pertama Kerajaan Medang (Rahyang ta
rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan prasasti Canggal tahun 732, namun tidak menyebut dengan jelas apa nama
kerajaannya. Ia hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya, bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi
kacau. Sanjaya kemudian tampil menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu
Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Sanna,
juga dikenal dengan nama "Sena" atau "Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716 M).
Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh Purbasora
(saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan diri ke
Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa.
Tarusbawa yang merupakan raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna.
Persahabatan ini pula yang mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi
menantunya.
Sanjaya,
anak Sannaha saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga
Purbasora. Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan
sahabat Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang
memerintah atas nama isterinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan
Sunda, Kerajaan Galuh dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan
kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan,
dan Resi Guru Demunawan.
Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru
Demunawan, putera bungsu Sempakwaja.
Kisah hidup Sanjaya secara panjang lebar terdapat dalam Carita Parahyangan [5] yang baru ditulis ratusan tahun
setelah kematiannya, yaitu sekitar abad ke-16.
Dinasti yang berkuasa
Pada
umumnya para sejarawan menyebut ada tiga dinasti yang pernah berkuasa di
Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sanjaya dan Wangsa Sailendra pada periode Jawa Tengah, serta Wangsa Isyana pada periode Jawa Timur. Istilah Wangsa Sanjaya merujuk pada nama
raja pertama Medang, yaitu Sanjaya. Dinasti ini menganut agama Hindu aliran Siwa. Menurut teori van Naerssen, pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran (pengganti Sanjaya sekitar tahun 770-an), kekuasaan atas Medang direbut oleh Wangsa
Sailendra yang beragama Buddha Mahayana.
Mulai
saat itu Wangsa Sailendra berkuasa di Pulau Jawa, bahkan berhasil pula menguasai Kerajaan Sriwijaya
di Pulau Sumatra.
Sampai akhirnya, sekitar tahun 840-an, seorang keturunan Sanjaya bernama Rakai Pikatan berhasil menikahi Pramodawardhani putri mahkota Wangsa Sailendra.
Berkat perkawinan itu ia bisa menjadi raja Medang, dan memindahkan istananya ke
Mamrati. Peristiwa tersebut dianggap sebagai awal kebangkitan kembali Wangsa
Sanjaya. Menurut teori Bosch, nama
raja-raja Medang dalam Prasasti Mantyasih
dianggap sebagai anggota Wangsa Sanjaya secara keseluruhan. Sementara itu Slamet Muljana berpendapat bahwa daftar tersebut
adalah daftar raja-raja yang pernah berkuasa di Medang, dan bukan daftar
silsilah keturunan Sanjaya.
Contoh
yang diajukan Slamet Muljana adalah Rakai Panangkaran yang diyakininya bukan
putra Sanjaya. Alasannya ialah, prasasti Kalasan tahun 778 memuji Rakai Panangkaran sebagai “permata wangsa
Sailendra” (Sailendrawangsatilaka).
Dengan demikian pendapat ini menolak teori van Naerssen tentang kekalahan Rakai
Panangkaran oleh seorang raja Sailendra. Menurut teori Slamet Muljana, raja-raja Medang
versi Prasasti Mantyasih mulai dari Rakai Panangkaran sampai dengan Rakai Garung adalah anggota Wangsa Sailendra.
Sedangkan kebangkitan Wangsa Sanjaya baru dimulai sejak Rakai Pikatan naik
takhta menggantikan Rakai Garung.
Istilah
Rakai pada zaman Medang identik
dengan Bhre pada zaman Majapahit, yang bermakna “penguasa di”. Jadi,
gelar Rakai Panangkaran sama artinya dengan “Penguasa di Panangkaran”. Nama
aslinya ditemukan dalam prasasti Kalasan, yaitu Dyah Pancapana. Slamet Muljana
kemudian mengidentifikasi Rakai Panunggalan sampai Rakai Garung dengan nama-nama raja Wangsa
Sailendra yang telah diketahui, misalnya Dharanindra ataupun Samaratungga. yang selama ini cenderung dianggap
bukan bagian dari daftar para raja versi Prasasti Mantyasih. Sementara itu, dinasti ketiga yang berkuasa di
Medang adalah Wangsa Isana
yang baru muncul pada ‘’periode Jawa Timur’’. Dinasti ini didirikan oleh Mpu Sindok yang membangun istana baru di
Tamwlang sekitar tahun 929. Dalam prasasti-prasastinya, Mpu
Sindok menyebut dengan tegas bahwa kerajaannya adalah kelanjutan dari Kadatwan Rahyangta i Medang i Bhumi Mataram.
Daftar raja-raja Medang
Apabila
teori Slamet Muljana
benar, maka daftar raja-raja Medang sejak masih berpusat di Bhumi Mataram
sampai berakhir di Wwatan dapat disusun secara lengkap sebagai berikut:
10.
Mpu Daksa
Pada daftar di atas hanya Sanjaya yang memakai gelar Sang Ratu, sedangkan raja-raja
sesudahnya semua memakai gelar Sri
Maharaja.
Struktur pemerintahan
Raja
merupakan pemimpin tertinggi Kerajaan Medang. Sanjaya sebagai raja pertama memakai gelar Ratu. Pada zaman itu istilah Ratu belum identik dengan kaum perempuan. Gelar ini setara
dengan Datu yang berarti
"pemimpin". Keduanya merupakan gelar asli Indonesia. Ketika Rakai Panangkaran dari Wangsa Sailendra berkuasa, gelar Ratu dihapusnya dan diganti dengan
gelar Sri Maharaja. Kasus yang
sama terjadi pada Kerajaan Sriwijaya
di mana raja-rajanya semula bergelar Dapunta
Hyang, dan setelah dikuasai Wangsa Sailendra juga berubah menjadi Sri Maharaja. Pemakaian gelar Sri Maharaja di Kerajaan
Medang tetap dilestarikan oleh Rakai Pikatan meskipun Wangsa Sanjaya berkuasa kembali. Hal ini dapat
dilihat dalam daftar raja-raja versi Prasasti Mantyasih
yang menyebutkan hanya Sanjaya yang bergelar Sang Ratu.
Jabatan
tertinggi sesudah raja ialah Rakryan
Mahamantri i Hino atau kadang ditulis Rakryan Mapatih Hino. Jabatan ini dipegang oleh putra atau
saudara raja yang memiliki peluang untuk naik takhta selanjutnya. Misalnya, Mpu Sindok merupakan Mapatih Hino pada masa pemerintahan Dyah Wawa. Jabatan Rakryan Mapatih Hino pada zaman ini berbeda dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Patih zaman Majapahit setara
dengan perdana menteri
namun tidak berhak untuk naik takhta.
Jabatan
sesudah Mahamantri i Hino
secara berturut-turut adalah Mahamantri
i Halu dan Mahamantri i Sirikan.
Pada zaman Majapahit jabatan-jabatan ini masih ada namun hanya sekadar gelar
kehormatan saja. Pada zaman Wangsa Isana berkuasa masih ditambah lagi dengan
jabatan Mahamantri Wka dan Mahamantri Bawang.
Jabatan
tertinggi di Medang selanjutnya ialah Rakryan
Kanuruhan sebagai pelaksana perintah raja. Mungkin semacam perdana
menteri pada zaman sekarang atau setara dengan Rakryan Mapatih pada zaman Majapahit. Jabatan Rakryan Kanuruhan pada zaman
Majapahit memang masih ada, namun kiranya setara dengan menteri dalam negeri
pada zaman sekarang.
Keadaan penduduk
Penduduk
Medang sejak periode Bhumi Mataram sampai periode Wwatan pada umumnya bekerja
sebagai petani. Kerajaan Medang memang terkenal
sebagai negara agraris, sedangkan saingannya, yaitu Kerajaan Sriwijaya
merupakan negara maritim. Agama resmi
Kerajaan Medang pada masa pemerintahan Sanjaya adalah Hindu aliran Siwa. Ketika Sailendrawangsa berkuasa, agama resmi kerajaan
berganti menjadi Buddha aliran Mahayana. Kemudian pada saat Rakai Pikatan dari Sanjayawangsa berkuasa, agama Hindu dan Buddha
tetap hidup berdampingan dengan penuh toleransi.
Konflik takhta periode Jawa Tengah
Pada
masa pemerintahan Rakai Kayuwangi
putra Rakai Pikatan
(sekitar 856 – 880–an), ditemukan beberapa prasasti atas nama raja-raja
lain, yaitu Maharaja Rakai Gurunwangi dan Maharaja Rakai Limus Dyah Dewendra.
Hal ini menunjukkan kalau pada saat itu Rakai Kayuwangi bukanlah satu-satunya
maharaja di Pulau
Jawa. Sedangkan
menurut prasasti Mantyasih,
raja sesudah Rakai Kayuwangi adalah Rakai Watuhumalang.
Dyah Balitung yang diduga merupakan menantu Rakai
Watuhumalang berhasil mempersatukan kembali kekuasaan seluruh Jawa, bahkan
sampai Bali. Mungkin karena kepahlawanannya
itu, ia dapat mewarisi takhta mertuanya. Pemerintahan Balitung diperkirakan berakhir
karena terjadinya kudeta oleh Mpu Daksa yang mengaku sebagai keturunan asli
Sanjaya. Ia sendiri kemudian digantikan
oleh menantunya, bernama Dyah Tulodhong. Tidak diketahui dengan pasti
apakah proses suksesi ini berjalan damai ataukah melalui kudeta pula. Tulodhong
akhirnya tersingkir oleh pemberontakan Dyah Wawa yang sebelumnya menjabat sebagai
pegawai pengadilan.
Teori van Bammelen
Menurut
teori van Bammelen, perpindahan istana Medang dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur disebabkan oleh letusan Gunung Merapi yang sangat dahsyat. Konon sebagian
puncak Merapi hancur. Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya
sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan
lempengan Pegunungan Menoreh. Letusan tersebut disertai gempa bumi dan hujan
material vulkanik berupa abu dan batu. Istana
Medang yang diperkirakan kembali berada di Bhumi Mataram hancur. Tidak
diketahui dengan pasti apakah Dyah Wawa tewas dalam bencana alam tersebut
ataukah sudah meninggal sebelum peristiwa itu terjadi, karena raja selanjutnya
yang bertakhta di Jawa Timur bernama Mpu Sindok.
Mpu
Sindok yang menjabat sebagai Rakryan Mapatih Hino mendirikan istana baru di
daerah Tamwlang. Prasasti tertuanya berangka tahun 929. Dinasti yang berkuasa di Medang periode Jawa Timur
bukan lagi Sanjayawangsa, melainkan sebuah keluarga baru
bernama Isanawangsa, yang merujuk pada gelar abhiseka
Mpu Sindok yaitu Sri Isana Wikramadharmottungga.
Permusuhan dengan Sriwijaya
Selain
menguasai Medang, Wangsa Sailendra juga menguasai Kerajaan Sriwijaya
di pulau Sumatra.
Hal ini ditandai dengan ditemukannya Prasasti Ligor tahun 775 yang menyebut nama Maharaja Wisnu dari Wangsa Sailendra sebagai
penguasa Sriwijaya. Hubungan senasib
antara Jawa dan Sumatra berubah menjadi permusuhan ketika Wangsa Sanjaya bangkit kembali memerintah Medang.
Menurut teori de Casparis, sekitar tahun 850–an, Rakai Pikatan berhasil menyingkirkan seorang
anggota Wangsa Sailendra bernama Balaputradewa putra Samaragrawira.
Balaputradewa
kemudian menjadi raja Sriwijaya di mana ia tetap menyimpan dendam terhadap
Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan
turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga
bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia Tenggara.
Rasa
permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya datang menyerangnya.
Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu
Sindok.
Peristiwa Mahapralaya
Mahapralaya
adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan berita dalam
prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut tidak dapat dibaca
dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat. Sebagian sejarawan menyebut
Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006, sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016. Raja terakhir
Medang adalah Dharmawangsa Teguh,
cicit Mpu Sindok. Kronik
Cina dari Dinasti Song mencatat telah beberapa kali
Dharmawangsa mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas saat itu.
Pada
tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta
perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari
Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa
tersebut, Dharmawangsa tewas. Tiga tahun
kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan
baru sebagai kelanjutan Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa ibunya adalah
keturunan Mpu
Sindok. Kerajaan
yang ia dirikan kemudian lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Peninggalan sejarah
Selain
meninggalkan bukti sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kerajaan Medang juga membangun
banyak candi, baik itu yang bercorak Hindu maupun Buddha. Temuan Wonoboyo berupa artifak emas yang ditemukan
tahun 1990 di Wonoboyo, Klaten, Jawa Tengah; menunjukkan kekayaan dan kehalusan
seni budaya kerajaan Medang. Candi-candi peninggalan Kerajaan Medang antara
lain, Candi Kalasan,
Candi Plaosan,
Candi Prambanan,
Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Pawon, Candi Sambisari, Candi Sari, Candi Kedulan, Candi Morangan, Candi Ijo, Candi Barong, Candi Sojiwan, dan tentu saja yang paling kolosal
adalah Candi Borobudur.
Candi megah yang dibangun oleh Sailendrawangsa ini telah ditetapkan UNESCO (PBB) sebagai salah satu warisan budaya dunia.
Kepustakaan
1. Marwati
Poesponegoro & Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
2. Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta:
Media Ilmu
4. Slamet Muljana.
1979. Nagarakretagama dan Tafsir
Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
5. Slamet Muljana.
2006. Sriwijaya (terbitan ulang
1960). Yogyakarta: LKIS
Sumber
: Google Wikipedia
Sejarah
Lengkap Kerajaan Medang Atau Mataram Kuno
Kerajaan Medang (atau sering
juga disebut Kerajaan Mataram Kuno atau Kerajaan Mataram Hindu)
adalah nama sebuah kerajaan yang
berdiri di Jawa Tengah pada abad
ke-8, kemudian berpindah ke Jawa
Timur pada abad ke-10. Para raja kerajaan ini banyak meninggalkan bukti
sejarah berupa prasasti-prasasti yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta membangun banyak candi baik yang bercorak Hindu maupun Buddha. Kerajaan Medang akhirnya runtuh pada awal abad ke-11.
Awal berdirinya kerajaan Medang Atau Mataram Kuno
Disebutkan dalam Prasasti
Mantyasih tahun 907 atas nama Dyah Balitung bahwa raja pertama Kerajaan
Medang (Rahyang ta rumuhun ri Medang ri Poh Pitu) adalah Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya. Pada tahun 732, Sanjaya mengeluarkan prasasti Canggal, namun di
dalam prasasti tersebut ia tidak jelas menyebut apa nama kerajaannya. Ia
hanya memberitakan adanya raja lain yang memerintah pulau Jawa sebelum dirinya,
bernama Sanna. Sepeninggal Sanna, negara menjadi kacau. Sanjaya kemudian tampil
menjadi raja, atas dukungan ibunya, yaitu Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Sanna, juga dikenal dengan nama "Sena" atau
"Bratasenawa", merupakan raja Kerajaan Galuh yang ketiga (709 - 716
M). Bratasenawa alias Sanna atau Sena digulingkan dari tahta Galuh oleh
Purbasora (saudara satu ibu Sanna) dalam tahun 716 M. Sena akhirnya melarikan
diri ke Pakuan, meminta perlindungan pada Raja Tarusbawa. Tarusbawa yang merupakan
raja pertama Kerajaan Sunda (setelah Tarumanegara pecah menjadi Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh) adalah sahabat baik Sanna. Persahabatan ini pula yang
mendorong Tarusbawa mengambil Sanjaya menjadi menantunya. Sanjaya, anak Sannaha
saudara perempuan Sanna, berniat menuntut balas terhadap keluarga Purbasora.
Untuk itu ia meminta bantuan Tarusbawa (mertuanya yangg merupakan sahabat
Sanna). Hasratnya dilaksanakan setelah menjadi Raja Sunda yang memerintah atas
nama istrinya. Akhirnya Sanjaya menjadi penguasa Kerajaan Sunda, Kerajaan Galuh
dan Kerajaan Kalingga (setelah Ratu Shima mangkat). Dalam tahun 732 M Sanjaya
mewarisi tahta Kerajaan Mataram dari orangtuanya. Sebelum ia meninggalkan
kawasan Jawa Barat, ia mengatur pembagian kekuasaan antara puteranya, Tamperan,
dan Resi Guru Demunawan. Sunda dan Galuh menjadi kekuasaan Tamperan, sedangkan
Kerajaan Kuningan dan Galunggung diperintah oleh Resi Guru Demunawan, putera
bungsu Sempakwaja.
Dari prasasti Canggal, bisa diperoleh informasi jika
Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sekitar abad ke-7 M dengan
raja yang pertama adalah Sanjaya yang memiliki gelar
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Puncak kejayaan kerajaan Medang Atau Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno mencapai puncak
kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balitung (898-910 M). Di masa
kekuasaannya, daerah-daerah di sebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya.
Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen
(Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur). Oleh karena itu pada tahun 929 M
ibukota Mataram Kuno dipindahkan ke Jawa Timur (di bagian hilir Sungai Brantas)
oleh Empu Sindok. Pemindahan ibukota ke Jawa Timur ini dianggap sebagai cara
yang paling baik. Selain Jawa Timur masih wilayah kekuasaan Mataram Kuno, wilayah
ini dianggap lebih strategis. Hal ini mengacu pada letak sungai Brantas yang
terkenal subur dan mempunyai akses pelayaran sungai menuju Laut Jawa. Kerajaan
itu kemudian dikenal dengan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur atau Kerajaan
Medang Kawulan.
Keruntuhan kerajaan Medang Atau Mataram Kuno
Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan
antara Jawa dan Sumatra yang dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai
Pikatan. Balaputradewa yang kemudian menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam
terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara kedua raja ini berkembang menjadi
permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya. Selain itu, Medang dan
Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di Asia
Tenggara. Rasa
permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa
Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan
Sriwijaya datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang
(sekarang Nganjuk, Jawa Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Kehidupan masyarakat pada masa kerajaan Medang
Atau Mataram Kuno
Bidang ekonomi
Kehidupan ekonomi masyarakat pada
masa kerajaan Medang atau Mataram Kuno bertumpu pada pertanian. Kondisi alam
bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas
perekonominan dengan pesat.
Bidang sosial
Bumi Mataram diperintah oleh dua
dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra. Dinasti Sanjaya beragama
Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara dengan hasil budayanya berupa
candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng. Dinasti Syailendra beragama Bundha
dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan, dan hasil budayanya dengan
mendirikan candi-candi seperti candi Borobudur, Mendut, dan Pawon.
Bidang budaya
Candi-candi Budha dan Hindu merupakan
ciri khas kebudayaan masyarakat kerajaan Medang atau Mataram Kuno.
Raja-raja kerajaan Medang
Atau Mataram Kuno
Sejak pertama didirikan, kerajaan
Medang atau Mataram kuno memiliki beberapa raja yang berkuasa. Berikut adalah
raja-raja kerajaan Medang atau Mataram kuno :
1.
Sanjaya, pendiri
Kerajaan Medang
2.
Rakai Panangkaran, awal
berkuasanya Wangsa Syailendra
3.
Rakai Panunggalan alias Dharanindra
4.
Rakai Warak alias Samaragrawira
5.
Rakai Garung alias Samaratungga
6.
Rakai Pikatan suami Pramodawardhani,
awal kebangkitan Wangsa Sanjaya
7.
Rakai Kayuwangi alias Dyah
Lokapala
8.
Rakai Watuhumalang
9.
Rakai Watukura Dyah Balitung
10. Mpu Daksa
11. Rakai Layang Dyah Tulodong
12. Rakai Sumba Dyah Wawa
13. Mpu Sindok, awal periode Jawa Timur
14. Sri Lokapala, suami Sri Isanatunggawijaya
15. Makuthawangsawardhana
16. Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang berakhir
Peninggalan sejarah kerajaan Medang Atau Mataram
Kuno
Kerajaan kutai memiliki banyak
peninggalan sejarah, berikut peninggalan sejarah kerajaan kutai :
1.
Prasasti Tangeran (933 M), isinya Mpu Sindok
memerintah bersama permaisurinya Sri Wardhani pu Kbi.
2.
Prasasti Bangil, isinya Mpu Sindok memerintahkan
pembangunan candi untuk tempat peristirahatan mertuanya yang bernama Rakyan
Bawang.
3.
Prasasti Lor (939 M), isinya Mpu Sindok memerintahkan
membangun Candi Jayamrata dan Jayamstambho di Desa Anyok Lodang.
4.
Prasasti Kalkuta, isinya tentang peristiwa hancurnya
istana milik Dharmawangsa juga memuat silsilah raja-raja Medang Kamulan.
5.
Candi Kalasan
6.
Candi Plaosan
7.
Candi Prambanan
8.
Candi Sewu
9.
Candi Mendut
10. Candi Pawon
11. Candi Sambisari
12. Candi Sari
13. Candi Kedulan
14. Candi Morangan
15. Candi Ijo
16. Candi Barong
17. Candi Sojiwan,
18. Candi Borobudur
Demikian adalah informasi mengenai
kerajaan Medang Atau Mataram Kuno yang dapat saya berikan. Semoga informasi ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca. Terimakasih.
Sumber
: Google Wikipedia dan blog lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar