KISAH
KERAJAAN KAHURIPAN
Orientasi
Kahuripan
adalah nama yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur
yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009. Kerajaan ini dibangun sebagai
kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006.
Runtuhnya Kerajaan Medang
Raja Kerajaan
Medang yang terakhir bernama Dharmawangsa Teguh, saingan berat Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1006 Raja
Wurawari dari Lwaram (sekutu Sriwijaya) menyerang Watan, ibu kota Kerajaan
Medang, yang tengah mengadakan pesta perkawinan. Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan
keponakannya yang bernama Airlangga lolos dalam serangan itu. Airlangga
adalah putera pasangan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh) dan Udayana
raja Bali.
Ia lolos ditemani pembantunya yang bernama Narotama. Sejak saat itu Airlangga
menjalani kehidupan sebagai pertapa di hutan pegunungan (wonogiri/vana giri).
Airlangga Mendirikan Kerajaan
Pada
tahun 1009, datang para utusan rakyat meminta agar Airlangga
membangun kembali Kerajaan Medang. Karena kota Watan sudah
hancur, maka, Airlangga pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di
dekat Gunung Penanggungan. Pada mulanya wilayah
kerajaan yang diperintah Airlangga hanya meliputi daerah Gunung Penanggungan dan sekitarnya, karena
banyak daerah-daerah bawahan Kerajaan
Medang yang membebaskan diri. Baru setelah Kerajaan Sriwijaya dikalahkan Rajendra Coladewa
raja Colamandala dari India tahun 1023. Airlangga
merasa leluasa membangun kembali kejayaan Wangsa Isyana.
Peperangan
demi peperangan dijalani Airlangga. Satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur
dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1032 Airlangga
kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai
raksasa.Raja wanita itu adalah Dyah Tulodong,yang merupakan salah satu raja
Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur). Dyah Tulodong
digambarkan sebagai ratu yang memiliki kekuatan luar biasa.
Salah
satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran antara bala tentara Raja
Erlangga berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong. Pertemuan tersebut terjadi
lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi Airlangga yang waktu itu
sudah menguasai wilayah di sekitar kerajaannya. Bahkan di beberapa riwayat,
diceritakan pasukan khusus yang dibawa Dyah merupakan prajurit-prajurit wanita
pilihan. Pasukan ini berhasil memukul mundur pasukan Airlangga dari pusat
kerajaan Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan hingga ke Patakan (Sambeng,
Lamongan, Jawa Timur). Peristiwa ini terjadi pada tahun 1031.
Tetapi
satu tahun kemudian Dyah Tulodong berhasil dikalahkan Airlangga lewat
pertempuran sengit di penghujung tahun 1032. Dari utara, pasukan Airlangga
bergerak ke selatan menuju Lodoyong. Musuh wanita dapat dikalahkan, bahkan kemudian
Raja Wurawari pun dapat dihancurkan pula. Saat itu wilayah kerajaan mencakup
hampir seluruh Jawa Timur. Airlangga
kemudian membangun ibu kota baru bernama Kahuripan di daerah Sidoarjo
sekarang. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama
kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari
yang sebenarnya cuma nama ibu kota, lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang
dipimpin Kertanagara.
Pusat kerajaan Airlangga kemudian dipindah lagi ke Daha, berdasarkan prasasti
Pamwatan, 1042 dan Serat Calon
Arang.
Kahuripan sebagai ibu kota Janggala
Pada
akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan
takhta antara kedua putranya. Calon raja yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih
menjadi pertapa dari pada naik takhta. Pada akhir November 1045, atas saran
penasehat kerajaan Mpu Barada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu
bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri
Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala
beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji
Garasakan. Setelah turun takhta, Airlangga
menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049.
Kahuripan dalam sejarah Majapahit
Nama
Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. Raden Wijaya
sang pendiri kerajaan tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu
diciptakan oleh Airlangga. Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri
alias Daha,
dan Janggala
alias Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya
dijadikan sebagai daerah bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan
di timur, sedangkan Majapahit sebagai pusat.
Pararaton
mencatat beberapa nama yang pernah menjabat sebagai Bhatara i Kahuripan,
atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya.
Setelah tahun 1319, pemerintahannya dibantu oleh Gajah Mada
yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa menumpas pemberontakan Ra Kuti.
Hayam Wuruk
sewaktu menjabat yuwaraja juga berkedudukan sebagai raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha.
Setelah naik takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana Tunggadewi.
Sepeninggal
Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre
Kahuripan adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya,
yaitu Ratnapangkaja. Sepeninggal Ratnapangkaja,
gelar Bhre Kahuripan disandang oleh keponakan istrinya (Suhita)
yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana
menjadi raja Majapahit,
gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang bernama Samarawijaya.
Kisah
dan asal-usul Kerajaan Kahuripan, Kerajaan Nusantara
Kahuripan adalah nama
yang lazim dipakai untuk sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Airlangga pada tahun 1009. Kerajaan
ini dibangun sebagai kelanjutan Kerajaan Medang yang runtuh tahun 1006.
Airlangga atau sering pula disingkat Erlangga, adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang
memerintah tahun 1009-1042, dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa.
Nama Airlangga berarti air yang melompat. Ia lahir
tahun 990. Ibunya bernama Mahendradatta, seorang putri Wangsa Isyana dari
Kerajaan Medang. Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa
Warmadewa. Airlangga memiliki dua orang adik, yaitu Marakata (menjadi raja Bali
sepeninggal ayah mereka) dan Anak Wungsu (naik takhta sepeninggal Marakata).
Ia disebutkan sebagai seorang yang memerintah Mpu
Kanwa untuk menulis Kakawin Arjunawiwaha. Ia dibesarkan di istana Watugaluh
(Kerajaan Medang) di bawah pemerintahan raja Dharmawangsa. Waktu itu Medang
menjadi kerajaan yang cukup kuat, bahkan mengadakan penaklukan ke Bali,
mendirikan koloni di Kalimantan Barat, serta mengadakan serangan ke Sriwijaya. Pada
tahun 1006, ketika Airlangga berusia 16 tahun, Sriwijaya mengadakan pembalasan
atas Medang. Wurawari (sekutu Sriwijaya) membakar Istana Watugaluh,
Dharmawangsa beserta bangsawan tewas dalam serangan itu. Airlangga berhasil
melarikan diri ke hutan.
Berdirinya
Kerajaan Kahuripan
Menurut prasasti Pucangan, pada tahun 1006 Airlangga
menikah dengan putri pamannya yaitu Dharmawangsa Teguh (saudara Mahendradatta)
di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tiba-tiba kota Watan diserbu Raja Wurawari
dari Lwaram, yang merupakan sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu,
Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan
(wanagiri) ditemani pembantunya yang bernama Mpu Narotama. Saat itu ia berusia
16 tahun, dan mulai menjalani hidup sebagai pertapa. Salah satu bukti petilasan
Airlangga sewaktu dalam pelarian dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang,
Jawa Timur.
Nama kerajaan yang didirikan Airlangga pada umumnya
lazim disebut Kerajaan Kahuripan. Padahal sesungguhnya, Kahuripan hanyalah
salah satu nama ibu kota kerajaan yang pernah dipimpin Airlangga. Setelah tiga
tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi utusan rakyat yang memintanya supaya
membangun kembali Kerajaan Medang. Mengingat kota Watan sudah hancur, Airlangga
pun membangun ibu kota baru bernama Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
Nama kota ini tercatat dalam prasasti Cane (1021).
Menurut
prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga
melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu
kota kerajaan sudah pindah ke Kahuripan (daerah Sidoarjo sekarang). Menurut
prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (daerah Kediri
sekarang). Berita ini sesuai dengan naskah Serat Calon Arang yang menyebut
Airlangga sebagai raja Daha. Bahkan, Nagarakretagama juga menyebut Airlangga
sebagai raja Panjalu yang berpusat di Daha.
Masa
Peperangan
Ketika Airlangga naik takhta tahun 1009, wilayah
kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena
sepeninggal Dharmawangsa Teguh, banyak daerah bawahan yang melepaskan diri.
Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan
kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas pulau Jawa. Pada tahun 1023 Kerajaan
Sriwijaya yang merupakan musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa
raja Colamandala dari India. Hal ini membuat Airlangga merasa lebih leluasa
mempersiapkan diri menaklukkan pulau Jawa. Yang pertama dikalahkan oleh
Airlangga adalah Raja Hasin. Pada tahun 1030 Airlangga mengalahkan
Wisnuprabhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja
Lewa. Pada tahun 1031 putra Panuda mencoba membalas dendam namun dapat
dikalahkan oleh Airlangga. Ibu kota Lewa dihancurkan pula.
Pada tahun 1032 seorang raja wanita dari daerah
Tulungagung sekarang berhasil mengalahkan Airlangga. Istana Watan Mas
dihancurkannya. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani
Mapanji Tumanggala. Airlangga membangun ibu kota baru di Kahuripan. Raja wanita
dapat dikalahkannya. Dalam tahun 1032 itu pula Airlangga dan Mpu Narotama mengalahkan
Raja Wurawari, membalaskan dendam Wangsa Isyana.
Pancuran Candi Belahan Peninggalan Airlangga
Terakhir tahun 1035 Airlangga menumpas pemberontakan
Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan
diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Masa Pembangunan
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan
pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat
dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain:
1. Membangun Sri
Wijaya Asrama tahun 1036Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk
mencegah banjir musiman.Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di
muara Kali Brantas, dekat Surabaya sekarang.Membangun jalan-jalan yang
menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.Meresmikan pertapaan Gunung
Pucangan tahun 1041.Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha.
2. Airlangga juga
menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna
Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan
perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga
mengalahkan Wurawari.
Pembelahan Kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi
pendeta. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga
Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun
yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut
gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka
Catraning Bhuwana. Menurut cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak
menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama
asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang
(1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi.
Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung
memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta.
Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah
satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali
mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan
Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan
Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya.
Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur.
Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan
prasasti Turun Hyang II.
Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru,
yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya.
Kerajaan timur bernama Janggala berpusat di kota lama,
yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan. Dalam prasasti Pamwatan, 20
November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti
Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan
demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua
tanggal tersebut.
Akhir Pemerintahan Airlangga
Setelah membagi kerajaan menjadi 2 Airlangga Kemudian
menjadi pertapa, dan meninggal tahun 1049. Airlangga semasa hidupnya dianggap
titisan Wisnu, dengan lancana kerajaan Garudamukha. Sehingga sebuah arca indah yang
disimpan di musium Mojokerto mewujudkannya sebagai Wisnu yang menaiki garuda.
Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi
Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang
paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng
Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua
dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut
Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai
lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu
Mapanji Garasakan.
Pada Candi Belahan ditemukan angka tahun 1049. Tidak
diketahui dengan pasti apakah tahun itu adalah tahun kematian Airlangga,
ataukah tahun pembangunan candi pemandian tersebut. Kisah Airlangga digambarkan
dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Dalam perkembangannya
Kahuripan mempunyai peranan penting pada jaman Kerajaan Janggala dan Majapahit
Kahuripan sebagai ibu kota
Janggala
Pada akhir pemerintahannya, Airlangga berhadapan
dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya. Calon raja
yang sebenarnya, yaitu Sanggramawijaya Tunggadewi, memilih menjadi pertapa dari
pada naik takhta. Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi
kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha,
diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu
kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mahapanji Gasarakan. Setelah turun takhta,
Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049.
Kahuripan dalam sejarah
Majapahit
Nama Kahuripan muncul kembali dalam catatan sejarah
Kerajaan Majapahit yang berdiri tahun 1293. Raden Wijaya sang pendiri kerajaan
tampaknya memperhatikan adanya dua kerajaan yang dahulu diciptakan oleh
Airlangga. Dua kerajaan tersebut adalah Kadiri alias Daha, dan Janggala alias
Kahuripan atau Jiwana. Keduanya oleh Raden Wijaya dijadikan sebagai daerah
bawahan yang paling utama. Daha di barat, Kahuripan di timur, sedangkan
Majapahit sebagai pusat.
Pararaton mencatat beberapa nama yang pernah menjabat
sebagai Bhatara i Kahuripan, atau disingkat Bhre Kahuripan. Yang pertama ialah
Tribhuwana Tunggadewi putri Raden Wijaya. Setelah tahun 1319, pemerintahannya
dibantu oleh Gajah Mada yang diangkat sebagai patih Kahuripan, karena berjasa
menumpas pemberontakan Ra-Kuti.
Hayam Wuruk sewaktu menjabat Yuwaraja juga
berkedudukan sebagai raja Kahuripan bergelar Jiwanarajyapratistha. Setelah naik
takhta Majapahit, gelar Bhre Kahuripan kembali dijabat ibunya, yaitu Tribhuwana
Tunggadewi. Sepeninggal Tribhuwana Tunggadewi yang menjabat Bhre Kahuripan
adalah cucunya, yang bernama Surawardhani. Lalu digantikan putranya, yaitu
Ratnapangkaja. Sepeninggal Ratnapangkaja, gelar Bhre Kahuripan disandang oleh
keponakan istrinya (Suhita) yang bernama Rajasawardhana. Ketika Rajasawardhana
menjadi raja Majapahit, gelar Bhre Kahuripan diwarisi putra sulungnya, yang
bernama Samarawijaya.
Karya Sastra Kahuripan
Di bawah pemerintahan Airlangga, seni sastra
berkembang. Tahun 1035, Mpu Kanwa menggubah kitab Arjuna Wiwaha, yang
diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan Arjuna, inkarnasi
Wisnu yang tak lain adalah kiasan Airlangga sendiri. Kisah Airlangga
digambarkan dalam Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan.
Salah satu karya Sastra peninggalan kerajaan Kahuripan
adalah Kakawin Arjuna Wiwaha karangan Empu Kanwa Arjunawiwaha merupakan salah
satu kakawin yang diwujudkan pada jaman Kahuripan dibawah raja besarnya
Airlangga. Sang pengarang, yakni Mpu Kanwa, mendapat kehormatan untuk
menggubahnya dengan mencuplik dari seri Mahabharata sub-bagian “wanaparwa”.
Cerita ini bertitik tolak dari tokoh Arjuna yang
merupakan kekasih para Dewa di Kahyangan. Karena dialah yang nantinya mampu
menyelamatkan Kahyangan beserta para penghuninya para Dewa dari ancaman mara
bahaya. Relief cerita ini dipahatkan pada candi Tigowangi, kecamatan Pare,
kabupaten Kediri, jawa Timur.
Menurut data sejarah yang ada, dipercaya kuat
Arjunawiwaha merupakan sebuah kakawin tertua dari “periode” Jawa Timur setelah
peta politik berpindah dari Jawa Tengah. Hal ini jaman-jaman pendahulu
Airlangga seperti Dharmawangsa hingga ke raja besar pendiri “periode” Jawa
Timur yakni Mpu Sindok tidak meninggalkan sebuah kakawinpun yang dapat kita
lihat sampai saaat ini. Kakawin Arjunawiwaha mengandung suatu kaitan sejarah
dimasa lalu. Lihatlah bagian awal dan akhirnya :
Awal :
-Ambek sang paramarthapandita huwus limpad sakeng sunyata tan sangkeng
wisaya prayojana nira lwir sanggraheng lokita siddha ning yasawirya don ira
sukha ning rat kiningkin nira santosaheletan kelir sira sakeng sang hyang
jagatkarana.
-Usnisangkwi lebu ni paduka nira sang mangkana lwir nira menggeh manggala
ning miket kawijayan sang Parta ring kahyangan
Terjemahannya :
-Batin yang bijak sungguh-sungguh telah tembus sampai ketingkat
(kesempurnaan) tertinggi. Dari keadaan sunyata (kosong) bukan dari kawasan panca
Indra, timbulah tekadnya untuk mengabadikan diri (membuka diri ) pada
urusa-urusan duniwai.
-Semoga amal baktinya
yang penuh pahala serta tindakannya yang bersifat ksatriya, mencapau tujuannya.
Daulat terhadap dirinya sendiri dan penuh santosa (ketentraman batin) ia
menerima keadaan ini, yakni tetap terpisah oleh tabir dari Sebab Abadi dunia
ini
Akhir
:
-Sampun keketan ing katharjunawiwaha
pangarana nikeSaksat tambay ira mpu Kanwa tumatametu-metu kakawinBhrantapan
teher angharep samarakarya mangiring ing hajiSri Airlangghya namo ‘stu sang
panikelan tanah anganumata.
Terjemahannya
-Kuletakkan puncak
kepalaku pada debu sandal raja yang menampakkan diri dengan cara ini
(keutamannya). Ia merupakan sumber berkat yang tak pernah kering untuk
menuangkan kemenangan Partha (Arjuna) dikediaman para dewa di Kahyangan.
Gambaran
ini sesuai sekali dengan kenyataan bahwa Airlangga yang selanjutnya berhasil
menegakkan kembali kerajaan Kahurian setelah wafatnya raja Dharmawangsa atas
serangan dari kerajaan lain (Wengker) , yang tidak berhak atas kedaulatannya.
Airlangga melakukan perlawanan dengan tinggal di hutan-hutan bersama para resi
dan tokoh-tokoh suci agama selama bertahun-tahun guna mempersiapkan usaha
merebut kembali kerajaan Kahuripan yang bagaimanapun juga dia masih tergolong
kerabat raja Dharmawangsa walau berasal dari keluarga di Bali. Akhirnya dia
berhasil mengusir raja penjajah beserta sekutunya sehingga kedamaian berhasil
ditegakkan kembali.
Selesailah penyusunan kitab yang dengan tepat dapat
dinamakan Arjunawiwaha. Gubahan ini merupakan usaha Mpu Kanwa dalam menyusun
kakawinIa bingung karena saat inipun ia sedang bersiap-siap mengikuti suatu
ekspedisi militer Terpujilah sei Baginda Airlangga
Diriwayatkan bahwa tahun 1028 – 1035 Airlangga
berhasil mengalahkan musuh-musuhnya yang dulu pernah membuat kerajaan Kahuripan
berantakan. Sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa periode pembuatan
kakawin ini adalah sesudah kejayaan Airlangga tersebut.
Bahwa dia telah tinggal selama bertahun-tahun
dihutan-hutan serta pertapaan atau mandala dan ditemani oleh para rsi atau
pendeta tentulah juga merupakan suatu periode penggemblengan spiritual dan
latihan-latihan rohani sehingga akhirnya diapun berhasil mencapai tingkatan
kesempurnaan tertinggi sunyata (pada awal kakawin). Ia pun akhirnya dapat
diyakinkan untuk kembali ke dunia dan membaktikan diri dengan tugas berat serta
mulia yakni memulihkan kedaulatan kerajaannya dan dengan demikian mengusahakan
terjadinya kesejahteraan dunia.
Riwayat hidupnya sangat sesuai sekali dengan peran
tokoh utama kakawin ini yakni Arjuna, sehingga pemilihan cerita ini merupakan
titik tolak tema kakawin ini. Pada bagian akhir disebutkan bahwa sang Mpu Kanwa
juga sedang disibukkan dalam persiapan sebuah ekspedisi peperangan. Mungkin itu
bagian dari rangkaian perlawanan Airlangga dalam menaklukkan musuh-musuhnya,
atau bisa juga bagian dari pertempuran terakhir.
Namun bila ditelaah dalam cerita Mahabarata, bahwa
usaha Arjuna dalam bertapa di gunung Indrakila untuk memperoleh senjata sakti
dalam rangka melawan Kurawa dan persiapannya dalam perang akbar Baratayudha
nantinya, mungkin kita bisa berasumsi bahwa periode pembuatan kakawin tersebut
pada waktu usaha Airlangga dalam merebut kembali kerajaan Kahuripan dari
musuh-musuhnya. Sehingga sebagai seorang penyair adalah suatu bentuk
partisipasi terhadap “perang” tersebut dengan membuat suatu karangan atau
tulisan atau tepatnya kakawin. Tujuannya juga adalah untuk menggelorakan
semangat dan pujian terhadap Airlangga agar dapat kelak mencapai cita-cita
luhur tersebut.
Diceritakan bahwa setelah kalah dalam permainan judi
(yang curang) melawan Kurawa, Pendawa yang terdiri dari 5 bersaudara
(Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa) telah kehilangan hak atas
kerajaan Amertha dan harus hidup di pengasingan selama 12 tahun dan 1 tahun
hidup dalam penyamaran total sebagai Pandawa. Setelah itu mereka baru berhak
kembali atas kerajaannya. Dalam persiapan merebut kembali kerajaan Amertha,
Arjuna diperintahkan oleh Yudhistira agar memohon senjata-senjata sakti dewa
Siwa. Untuk maksud tersebut, Arjuna akan melakukan samadha di gunung Indrakila,
sebuah bukit dipegunungan Himalaya.
Ditempat lain diceritakan bahwa ada seorang raja
raksasa sakti mandraguna bernama Niwatakawaca. Raja tersebut telah mendengar
tentang adanya seorang bidadari yang cantik luar bisa bernama Suprabha.
Kemudian berangkatlah ia ke kahyangan tempat kerajaan dewa Indra untuk meminta
Suprabha menjadi istrinya. Para dewa dan dewa Indra tentu saja marah atas
permintaan ini karena tidak sesuai kodrat dan juga martabat. Namun mereka juga
sadar bahwa raja Niwatakawaca memiliki kesaktian luar biasa dan bahkan para
dewa tidak mampu mengalahkannya.
Mereka akhirnya melaporkan permintaan ini kepada dewa
Siwa. Oleh Siwa dijelaskan bahwa itu semua memang sudah merupakan takdir dan
jalan sejarah yang harus ditempuh. Niwatakawaca tidak bisa dikalahkan oleh
siapapun termasuk para dewa. Namun takdir pulalah yang mengatakan bahwa raja
raksasa maha sakti hanya dapat dikalahkan oleh seorang insan. Oleh karena itu
yang dapat mereka lakukan sekarang adalah memperpanjang waktu agar supaya
ketika waktunya tiba maka jagoan para dewa nantinya sudah dapat ditemukan dan
dengan demikian dia akan dapat menghadapi serta mengalahkan Niwatakawaca.
Selanjutnya kepada sang raja diberitahu bahwa nanti
pada saatnya bidadari Suprabha akan diserahkan kepadanya karena sekarang mereka
akan mempersiapkannya sebaik-baiknya supaya nanti tidak akan mengecewakan raja
tersebut. Untuk sementara untuk mengobati kekecewaan sang raja, dia diberi
beberapa apsara (mahluk wanita setengah dewi) lain. Sang raja Niwatakawaca
menyanggupi hal itu dan kemudian kembali kerajaanya. Selanjutnya kepada sang
raja diberitahu bahwa nanti pada saatnya bidadari Suprabha akan diserahkan
kepadanya karena sekarang mereka akan mempersiapkannya sebaik-baiknya supaya
nanti tidak akan mengecewakan raja tersebut. Untuk sementara untuk mengobati
kekecewaan sang raja, dia diberi beberapa apsara (mahluk wanita setengah dewi)
lain. Sang raja Niwatakawaca menyanggupi hal itu dan kemudian kembali
kerajaanya.
Dalam kebingungan ketika para dewa mencari jagoan yang
diharapkan, kahyangan diterpa kegaduhan karena goncangan hebat akibat yoga tapa
seorang insan di bumi. Setelah dilihat ternyata Arjuna penyebab kegaduhan semua
ini. Arjuna melakukan samadhi tersebut dengan segala kemampuan dan yoga-nya
yang dahsyat. Mereka pun kemudian berharap bahwa Arjuna-lah yang nantinya
merupakan jagoan yang dicari-cari tersebut.
Untuk itu maka Indra memutuskan untuk menguji
ketabahannya dalam melakukan yoga, karena ini juga merupakan jaminan agar
bantuannya sungguh akan membawa hasil seperti yang diharapkan. Maka diutuslah 2
orang bidadari yang kecantikannya menakjubkan yakni Tilotama dan Suprabha untuk
mengujinya. Konon setelah mereka diciptakan mereka menghormati para dewa dengan
melakukan pradaksina, para dewa demikian terpesonanya sehingga Brahma
mengenakan 4 muka dan Indra seribu mata agar selalu dapat mengamati kemana
keduanya tanpa merugikan martabatnya denga berputar-putar juga : dalam cerita
Sansekerta Siwalah yang ber caturmuka, sementara Brahma tetap tenang).
Sebagai satriya pilihan, maka Arjuna sangat tabah dan
tahan dengan godaan tersebut. Walau kedua bidadari tersebut menggunakan segala
akal dan upaya yang dapat mereka pikirkan, tetap saja Arjuna bergeming dan
usaha mereka sia-sia. Bahkan konon dalam beberapa versi diceritakan Suprabha
justru jadi jatuh hati dengan Arjuna.
Dengan rasa kecewa akhirnya mereka pulang ke kahyangan
dan melaporkan hal ini kepada Indra. Bagi para dewa kegagalan ini justru
merupakan suatu berita gembira karena dengan demikian terbuktilah salah satu
syarat calon mereka. Mengetahui hal ini, selanjutnya Siwa memutuskan untuk
turun sendiri kedunia. Kali ini dia berwujud sebagai seorang pemburu. Sementara
itu tempat lain, para raja raksasa disekitar pertapaan Arjuna mendengar berita
apa yang telah terjadi di gunung Indrakila. Kemudian mereka mengutus seorang
raksasa bernama Muka untuk mengusik Arjuna dan membatalkan yoga-nya. Dengan
berwujud seekor babi hutan, ia mengacaukan tempat pertapaan Arjuna. Terkejut
oleh segala hiruk pikuk, Arjuna keluar dari pertapaannya dan mengangkat
senjata. Dengan sekali panah maka babi hutan itupun mati tertikam oleh panah
Arjuna.
Tanpa diduga sama sekali ternyata ketika didekati,
tubuh babi hutan tersebut telah tertancap 2 buah panah. Ternyata pada saat
bersamaan sang pemburu, yang aslinya adalah Siwa, juga berhasil menancapkan
panahnya. Terjadilah perselisihan diantara keduanya atas siapa yang berhak
menuntut binatang tersebut. Perselisihan memuncak hingga diputuskan beradu
menggunakan panah. Panah-panah sakti Siwa berhasil dipatahkan kekuatannya oleh
Arjuna. Akhirnya bertempuran dilanjutkan dengan berkelahi. Arjuna hampir kalah,
memegangi kaki lawannya (atau bahkan Arjuna akan membanting tubuh pemburu), dan
sang pemburu-pun lenyap.
Yang muncul selanjutnya adalah Siwa, bersemayam selaku
ardhanariswara (setengah pria – setengah wanita – diatas bunga padma). Arjuna
kemudian memujanya dengan suatu wadah pujian yang mengungkapkan pengakuannya
terhadap Siwa yang hadir dalam segala bentuk. Siwa kemudian menghadiahkan Arjuna
sebuah panah yang maha sakti dan tidak dapat dipatahkan oleh apapun juga,
namanya Pasupati. Sekaligus diberikan pengetahuan bagaimana cara menyimpannya
secara gaib dan menggunakannya kelak. Sesudah itu Siwa lenyap.
Ketika Arjuna bersiap-siap kembali kepada
saudara-saudaranya dan berniat memberitahkan keberhasilannya dalam memperoleh
senjata maha sakti dari Siwa, datanglah 2 orang dewi utusan Indra. Mereka
memberitahukan Arjuna supaya menghadap Indra untuk membantu para dewa dalam
membunuh raja raksasa maha sakti Niwatakawaca. Untuk sesaat Arjuna merasa
ragu-ragu karena jika ia mengabulkan permintaan tersebut maka ia akan lebih lama
lagi terpisah dari saudara-saudaranya. Namun akhirnya ia menyetujui.
Ketika sampai di kahayangan, Arjuna disambut dengan
riang gembira. Para bidadari menjadi semakin tergila-gila dengan kehadiran
Arjuna dikahyangan, demikian pula dengan Suprabha. Indra menjelaskan keadaan
yang tidak menguntungkan karena adanya permintaan dan niat jahat dari raja
Niwatakawaca. Dan sudah menjadi garis takdirnya bahwa raja tersebut hanya dapat
dikalahkan oleh seorang manusia terpilih. Namun mereka juga harus dapat menemukan
pusat kesaktian raja tersebut, sehingga nanti dari situlah dia dapat
dikalahkan.
Setelah menerima semua penjelasan tersebut Arjuna
menyetujui untuk membantu. Kemudian disusunlah suatu strategi untuk tujuan itu
semua. Walau agak malu-malu namun dalam hatinya senang, karena tugas itu pula
maka Suprabha jadi semakin dekat dengan Arjuna. Disetujui bahwa Suprabha akan
diserahkan kepada Niwatakawaca. Namun sebagai pendamping disertakan juga Arjuna
dengan sembunyi-sembuny. Tugas utama Suprabha nantinya adalah merayu sang raja
supaya mau membocorkan rahasia kekuatannya.
Ketika sampai di kerajaan Niwatakawaca, Suprabha
sempat ragu-ragu apakah dia nanti akan mampu menjalankan tugas yang diembannya.
Arjuna memberi semangat dan dorongan bahwa terpujilah dia yang mendapat tugas
mulia tersebut demi kesejateraan dan kedamaian para dewa serta jagat raya.
Arjuna akhirnya meyakinkan Suprabha bahwa dia akan berhasil asal ia menggunakan
segala rayuan seperti yang ia perlihatkannya ketika Arjuna sdang bertapa
didalam gua, biarpun waktu itu sia-sia. Setibanya di kerajaan Niwatakawaca,
Suprabha disambut oleh para bidadari yang dulu mengenalinya. Mereka menanyakan
bagaimana keadaan di kahyangan. Suprabha menceritakan bagaimana ia meninggalkan
kahyangan atas kemauannya sendiri karena tahu bahwa kahyangan akan dihancurkan.
Maka sebelum semua itu terjadi ddan dia menjadi barang rampasan perang, ia
memutuskan untuk menyebrang ke raja Niwatakawaca. Suprabha selanjutnya dibawa
menghadap sang raja.
Seketika ia bangun dan bergegas menuju tamansari.
Suprabha menolak segala desakan dan bujuk rayu penuh birahi sang raja. Dia
menjelaskan agar sang raja bersabar hingga fajar menyingsing. Ia justru
sekarang merayunya sambil memuji-muji kekuatan dan kesaktian sang raja yang tak
terkalahkan itu. Ia terus berusaha mengorek keterangan bagaimana yoga
Niwatakawaca dulu berhasil memperoleh restu dan kesaktian laur biasa dari dewa
Rudra. Sang raja akhirnya terjebak oleh bujuk rayu dan kecantikan Suprabha dan
membuka rahasianya. Dikatakan bahwa ujung lidahnya adalah tempat kesaktiannya.
Mendengar berita itu, Arjuna segera meninggalkan tempat persembuyiannya dan
mulai mengadakan kegaduhan di istana raja. Niwatakawaca terkejut oleh kekacauan
dahsyat mendadak tersebut.
Dia segera mencari tahu apa gerangan penyebabnya.
Dilain pihak suasana itu justru dimanfaatkan oleh Suprabha untuk melarikan diri
bersama Arjuna. Meluaplah amarah sang raja dan segera menyadari bahwa ia telah
tertipu. Segera ia memerintahkan pasukannya untuk mempersiapkan diri meyerbu
kahyangan tempat para dewa.
Di kahyangan suasana menjadi cerah dengan datangnya
kembali Arjuna dan Suprabha dengan selamat. Segera pula didakan persiapan dan
taktik untuk menyambut serangan pasukan raja Niwatakawaca. Sementara hanya
Arjuna dan dibantu oleh Indra yang nanti bertugas untuk membunuh Niwatakawaca
dengan senjata pamungkas karena ucapan sang raja yang kurang hati-hati. Tentara
para dewa, apsara dan gandarwa menuju medan pertempuran di lereng sebelah
selatan pegunungan Himalaya dan mengatur barisan dalam sebuah posisi disebut
makara (berbentuk seperti udang raksasa). Akhirnya pertempuranpun tak
terelakkan dan terjadi dengan sengit sampai-sampai Niwatakawaca sendiri terjun
ke medan tersebut dan mencerai-beraikan pasukan para dewa. Mereka terpaksa
segera mengundurkan diri.
Karena juga sebagai taktik, Arjuna yang bertempur
dibagian dibelakang pura-pura terhanyut dalam pasukan yang lari terbirit-birit
tersebut tapi dengan busur dan panah sakti yang telah disiapkannya. Ketika
pasukan musuh terus memburu dan raja Niwatakawaca berteriak-teriak dengan
seagala amarah dan sumpah serapahnya, Arjuna manarik busurnya. Melesat lurus
dan langsung menembus ujung lidah sang raja. Seketika itu pula ia tersungkur
dan mati. Para pasukan raksasa segera melarikan diri atau dibunuh. Para dewa,
apsara, dan gandarwa yang mati kemudian dihidupkan kembali dengan cipratan air
suci amertha dan kembali ke kahyangan.
Atas segala upaya dan keberhasilan Arjuna, maka dia
menerima penghargaan dari dewa Indra. Selama tujuh hari tujuh malam dia
menikmati kenikmatan surgawi (setara dengan tujuh bulan di dunia) atas
tindakannya yang penuh kejantanan. Ia bersemayam bagaikan seorang raja di atas
tahta Indra dan bersanding dengan bidadari cantik jelita Suprabha.
Namun seiring bergulirnya waktu, Arjuna semakin
gelisah dan rindu akan saudara-saudaranya. Akhirnya dengan ijin Indra, maka
Arjuna kembali lagi ke dunia dan menmui saudara-saudaranya tanpa menceritakan
hadiah surgawi yang diterimanya kecuali hadiah senjata panah maha sakti
Pasupati hasil tapa bratanya di gunung Indrakila.
Demikian
cerita singkat Arjuna wiwaha yang merupakan salah satu Karya Sastra Jaman
Kerajaan Khuripan. Selain Karya sastra Kahuripan juga meninggalkan bangunan
bersejarah yang disebut Candi sebagai sarana pemujaan.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar