KISAH
KERAJAAN SRIWIJAYA
Orientasi
Sriwijaya
(atau juga disebut Srivijaya; (Bahasa Jawa: Sriwijaya); Thai: ศรีวิชัย; Siwichai) adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di
pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
berdasarkan peta membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatera, Jawa Barat dan kemungkinan Jawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti "bercahaya" atau "gemilang", dan
wijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna
"kemenangan yang gilang-gemilang".
Bukti
awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta
Tiongkok dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi
Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang
paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan
Bukit di Palembang,
bertarikh 682.
Kemunduran
pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan
beberapa peperangan di antaranya tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183
kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya. Setelah keruntuhannya,
kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat
publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.
Catatan
Sejarah
Belum
banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan. Tidak terdapat
catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya
yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia
modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana
Perancis George Cœdès
mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa
referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca
"Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang
sama.
Historiografi
Sriwijaya diperoleh dan disusun dari dua macam sumber utama; catatan sejarah
Tiongkok dan sejumlah prasasti batu Asia Tenggara yang telah ditemukan dan
diterjemahkan. Catatan perjalanan bhiksu peziarah I Ching sangat penting, terutama dalam
menjelaskan kondisi Sriwijaya ketika ia mengunjungi kerajaan itu selama 6 bulan
pada tahun 671. Sekumpulan prasasti siddhayatra
abad ke-7 yang ditemukan di Palembang dan Pulau Bangka juga merupakan sumber
sejarah primer yang penting. Di samping itu, kabar-kabar regional yang beberapa
mungkin mendekati kisah legenda, seperti Kisah mengenai Maharaja Javaka dan Raja Khmer
juga memberikan sekilas keterangan. Selain itu, beberapa catatan musafir India
dan Arab juga menjelaskan secara samar-samar mengenai kekayaan raja Zabag yang
menakjubkan.
Selain
berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang
diperkirakan ada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai
Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten
Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu
kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17 keping perahu
yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan
perahu yang terdiri dari bagian badan dan
bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu
ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk.
Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain
bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan
dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya
menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan terbesar Nusantara. Pada abad ke-20, kedua kerajaan
tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara
sebelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan
bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh
dan Javadeh. Bangsa Arab
menyebutnya Zabaj dan Khmer
menyebutnya Malayu. Banyaknya
nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara
dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.
Pusat
Sriwijaya
Menurut
Prasasti Kedukan
Bukit, yang bertarikh 605 Saka (683 M), Kadatuan Sriwijaya pertama
kali didirikan di sekitar Palembang, di tepian Sungai Musi. Prasasti ini menyebutkan bahwa
Dapunta Hyang berasal dari Minanga Tamwan.
Lokasi yang tepat dari Minanga Tamwan masih diperdebatkan. Teori Palembang
sebagai tempat di mana Sriwijaya pertama kali bermula diajukan oleh Coedes dan
didukung oleh Pierre-Yves Manguin. Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi (Sungai Batanghari, Jambi) dan Muara Takus (pertemuan Sungai Kampar Kanan
dan Kiri, Riau) juga diduga sebagai ibu kota Sriwijaya.
Sekitar
tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat
Sriwijaya berada di Sungai Musi
antara Bukit Seguntang
dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di
sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman
Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto
udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk
bangunan air, yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang
disusun rapi yang dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini
terdiri atas kolam dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi
panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan
ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini
pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktivitas manusia.
Namun
sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya
terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke
Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan
catatan Malayu tidak
berada di kawasan tersebut. Jika Malayu berada pada kawasan tersebut, ia
cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa
letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau
sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan
dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya
(Se li chu la wu ni fu ma tian hwa
atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu,
salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Poerbatjaraka mendukung pendapat Moens. Ia
berpendapat bahwa Minanga Tamwan
disamakan dengan daerah pertemuan Sungai Kampar Kanan dan Kampar Kiri, Riau,
tempat di mana Candi Muara Takus kini berdiri. Menurutnya, kata tamwan berasal dari kata
"temu", lalu ditafsirkannya "daerah tempat sungai bertemu".
Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah
beribukota di Kadaram (Kedah
sekarang).
Akan
tetapi, pada tahun 2013, penelitian arkeologi yang digelar oleh Universitas
Indonesia menemukan beberapa situs keagamaan dan tempat tinggal di Muaro Jambi.
Hal ini menunjukkan bahwa pusat awal Sriwijaya mungkin terletak di Kabupaten Muaro Jambi,
Jambi pada tepian sungai Batang Hari, dan bukanlah di Sungai Musi
seperti anggapan sebelumnya. Situs arkeologi mencakup delapan candi yang sudah
digali, di kawasan seluas sekitar 12 kilometer persegi, membentang 7,5
kilometer di sepanjang Sungai Batang Hari, serta 80 menapo atau gundukan reruntuhan candi yang belum dipugar. Situs
Muaro Jambi bercorak Buddha Mahayana-Wajrayana. Hal ini menunjukkan bahwa situs
tersebut adalah pusat pembelajaran Buddhis, yang dikaitkan dengan tokoh
cendekiawan Buddhis terkenal Suvarṇadvipi Dharmakirti dari abad ke-10. Catatan
sejarah dari Tiongkok juga menyebutkan bahwa Sriwijaya menampung ribuan biksu.
Teori
lain mengajukan pendapat bahwa Dapunta Hyang berasal dari pantai timur Semenanjung Malaya,
bahwa Chaiya di Surat Thani, Thailand Selatan adalah pusat kerajaan
Sriwijaya.[20] Ada pula pendapat yang
menyatakan bahwa nama kota Chaiya berasal dari kata "Cahaya" dalam
bahasa Melayu. Ada pula yang percaya bahwa nama Chaiya berasal dari Sri Wijaya, dan kota ini adalah pusat Sriwijaya. Teori ini kebanyakan
didukung oleh sejarahwan Thailand, meskipun secara umum teori ini dianggap
kurang kuat.
Sejarah
Pembentukan dan pertumbuhan
Kerajaan
ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini
tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara,
dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar
sejauh 3.300 mil di barat. Beberapa ahli masih memperdebatkan kawasan yang
menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya, selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa
memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap
diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya
diperintah oleh datu
setempat.
Perjalanan Siddhayatra
Kemaharajaan
Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing. Dari prasasti Kedukan
Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan
Dapunta Hyang. Bahwa beliau berangkat dalam
perjalanan suci siddhayatra
untuk "mengalap berkah", dan memimpin 20.000 tentara dan 312 orang di
kapal dengan 1.312 prajurit berjalan kaki dari Minanga Tamwan menuju Jambi
dan Palembang. Diketahui, Prasasti Kedukan
Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa
prasasti ini mengadaptasi ortografi India
untuk menulis prasasti ini. Pada abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa
terdapat dua kerajaan yaitu Malayu
dan Kedah menjadi bagian
kemaharajaan Sriwijaya.
Berdasarkan
prasasti Kota Kapur
yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai
bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan
bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi
militer untuk menghukum Bhumi Jawa
yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan
besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa
adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan,
Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Penaklukan kawasan
Ekspansi
kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan
simpul jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan observasi,
ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu
melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura
di tepi sungai Mekong,
di awal abad ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan
dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer,
memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8
beberapa kerajaan di Jawa, antara lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di sana. Pada abad
ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi bagian kerajaan. Pada masa
berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara
Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.
Setelah
Dharmasetu, Samaratungga
menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada periode 792 sampai 835. Tidak
seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melakukan ekspansi
militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa.
Selama masa kepemimpinannya, ia membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai
pada tahun 825.
Masa
Keemasan
Berdasarkan
sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana)
sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam
catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya,
dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu
dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil
bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu
gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi
lainya.
Catatan
lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini disimpulkan dari
seorang ahli dari Bangsa Persia
yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang
pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan
Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan
kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.
Hubungan dengan wangsa Sailendra
Munculnya
keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena adanya
nama Śailendravamśa pada
beberapa prasasti di antaranya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan
prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto
dijumpai nama Dapunta Selendra.
Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu Kuno, dan bahasa Melayu
umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera, maka diduga wangsa
Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa Melayu ini masih
menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar
berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari
Kalinga di selatan India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga
dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[30] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini
berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan
kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di Jawa yang berbahasa Melayu
Kuno di antaranya prasasti Sojomerto.
Kemaharajaan
Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada kekuatan
armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan
membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya dalam
mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga
wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi,
pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir seluruh
kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya,
Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai
pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea
dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari
jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Sriwijaya berkuasa di Jawa
Wangsa
Sailendra di Jawa membina dan memelihara persekutuan dengan trah Sriwijaya di
Sumatera, dan kemudian selanjutnya mendirikan pemerintahan mereka di Kerajaan Medang Mataram di Jawa Tengah.
Di
Jawa, pewaris Dharanindra adalah Samaragrawira (memerintah 800—819), yang
disebutkan dalam Prasasti Nalanda
(bertarikh 860) sebagai ayah dari Balaputradewa, dan putra dari Śailendravamsatilaka (perhiasan
keluarga Śailendra) dengan nama gelaran Śrīviravairimathana
(pembunuh perwira musuh), yang merujuk kepada Dharanindra. Tidak seperti
pendahulunya, Raja Dharanindra yang germar berperang, Rakai Warak tampaknya
cenderung cinta damai, ia menikmati kemakmuran dan kedamaian Dataran Kedu di pedalaman Jawa, dan lebih
tertarik untuk menyelesaikan proyek pembangunan candi Borobudur.
Dia
menunjuk seorang pangeran Khmer bernama Jayawarman sebagai gubernur Indrapura di delta Sungai Mekong di bawah
kekuasaan Sailendra. Keputusan ini terbukti sebagai kesalahan, karena
Jayawarman kemudian memberontak, memindahkan ibukota lebih jauh ke pedalaman
utara dari Tonle Sap ke Mahendraparwata, memutuskan ikatan dan
memproklamasikan kemerdekaan Kamboja dari Jawa pada tahun 802. Rakai
Warak disebut-sebut sebagai raja Jawa yang menikahi Tara, putri Dharmasetu dari
Sriwijaya. Ia disebut dalam nama yang lainnya; Rakai Warak dalam Prasasti Mantyasih.
Sejarawan
sebelumnya, seperti N. J. Krom, dan Coedes, cenderung menyamakan Rakai Warak
dengan Samaratungga. Namun, sejarawan kemudian seperti Slamet
Muljana menyamakan Samaratungga dengan Rakai Garung, yang disebutkan dalam
Prasasti Mantyasih sebagai raja kelima kerajaan Mataram. Yang berarti
Samaratungga adalah penerus dari Rakai Warak. Dewi Tara, putri Dharmasetu, menikahi
Samaratungga, seorang anggota keluarga
Sailendra yang kemudian naik takhta Sriwijaya sekitar tahun 792. Pada abad ke-8
Masehi, istana Sriwijaya bertempat di Jawa, karena para raja dari wangsa
Sailendra diangkat sebagai Maharaja Sriwijaya.
Setelah
Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja Sriwijaya berikutnya. Dia memerintah
sebagai penguasa pada kurun 792-835. Berbeda dari Dharmasetu yang ekpansionis,
Samaratungga tidak terjun dalam kancah ekspansi militer, melainkan lebih suka
untuk memperkuat pemerintahan dan pengaruh Sriwijaya atas Jawa. Dia secara
pribadi mengawasi pembangunan candi agung Borobudur; sebuah mandala besar dari batu yang selesai pada
825, pada masa pemerintahannya.
Menurut
George Coedes, "pada paruh kedua abad
kesembilan, Jawa dan Sumatra bersatu di bawah kekuasaan wangsa Sailendra yang
memerintah di Jawa... dengan pusat perdagangan di Palembang." Samaratungga
seperti Rakai Warak, tampaknya sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Buddha
Mahayana yang cinta damai. Beliau berusaha untuk menjadi seorang penguasa yang
welas asih. Penggantinya adalah Putri Pramodhawardhani yang bertunangan dengan Rakai Pikatan yang menganut aliran Siwa.
Dia adalah putra Rakai Patapan, seorang rakai
(penguasa daerah) yang cukup berpengaruh di Jawa Tengah. Langkah politik ini
tampaknya sebagai upaya untuk mengamankan perdamaian dan kekuasaan Sailendra di
Jawa, dengan cara mendamaikan hubungan antara golongan Buddha aliran Mahayana
dengan penganut Hindu aliran Siwa.
Kembali ke Palembang
Akan
tetapi, Pangeran Balaputradewa
menentang pemerintahan Pikatan dan Pramodhawardhani di Jawa Tengah. Hubungan
antara Balaputra dan Pramodhawardhani ditafsirkan secara berbeda oleh beberapa
sejarawan. Teori yang lebih tua menurut Bosch dan De Casparis menyatakan bahwa
Balaputra adalah anak dari Samaratungga, yang berarti ia adalah adik dari
Pramodhawardhani. Sejarawan dari angkatan kemudian, seperti Muljana, di sisi
lain, berpendapat bahwa Balaputra adalah anak dari Rakai Warak dan adik dari
Samaratungga, yang berarti dia adalah paman dari Pramodhawardhani.
Tidak
diketahui secara jelas, apakah Balaputradewa tersingkir dari Jawa Tengah karena
kalah dalam sengketa suksesi melawan Pikatan, atau dia memang sudah memerintah
di Suwarnadwipa (Sumatera) sebelum pecahnya perselisihan mengenai suksesi
kekuasaan ini. Bagaimanapun, tampaknya wangsa Sailendra akhirnya terpecah
menjadi dua; antara Jawa Tengah yang dikuasai Pikatan-Pramodhawardhani dan
Palembang yang dikuasai Balaputradewa. Bahwa Balaputradewa akhirnya menguasai
cabang Sumatera dari wangsa Sailendra dan bertahta di ibukota Sriwijaya dari Palembang. Sebagian sejarawan berpendapat
bahwa, hal ini karena ibunda Balaputra - Dewi Tara, permaisuri Raja Rakai Warak
adalah putri dari Sriwijaya, hal ini menjadikan Balaputra sekaligus sebagai
pewaris takhta Sriwijaya di Sumatera. Balaputradewa kemudian dinobatkan sebagai
Maharaja Sriwijaya, kemudian dia menyatakan klaimnya sebagai pewaris sah wangsa
Sailendra dari Jawa, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Nalanda yang bertarikh 860.
Berperang
melawan Jawa
Sriwijaya
menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang abad ke-10, akan
tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh
menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita
Tiongkok dari Dinasti Song
menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa
dengan nama She-po. Dikisahkan
bahwa, San-fo-tsi dan She-po terlibat persaingan untuk
menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke Tiongkok.
Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika hendak pulang, karena
negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga
berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara tahun 988 dan 992 pada masa
pemerintahan Sri Cudamani
Warmadewa.
Pada
musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun kembali
tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia
meminta kaisar Song agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di
Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja
baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut
Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun kemudian pasukan Medang
berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung
Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan Jawa terhadap
Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal karena Jawa
tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang
tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala Sriwijaya
tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja
Sriwijaya, Sri Cudamani
Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling
menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk
memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan
mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur angkatan laut Jawa.
Sri
Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi
dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, ia
mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah selesai
dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan agar Kaisar
Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan
itu menamai candi itu cheng tien wan
shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang
di candi itu. (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus).
Serangan
dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka
Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan
Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah
peristiwa Mahapralaya, yaitu
peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan
Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja
Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.
Masa
Penurunan
Serbuan
Kerajaan Chola
ahun
1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India
selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030,
Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah
Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja
Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.
Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada
dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan
peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap
tunduk kepadanya. Hal ini dapat dikaitkan dengan adanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.
Faktor
lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor alam. Karena adanya pengendapan lumpur
di Sungai Musi dan beberapa anak sungai
lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang semakin berkurang. Akibatnya,
Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi tidak
strategis. Akibat kapal dagang yang datang semakin berkurang, pajak
berkurang dan memperlemah ekonomi dan posisi
Sriwijaya.
Kerajaan
Tanjungpura dan Nan Sarunai
di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan
Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada saat itu
Sriwijaya diserang Kerajaan Chola
mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.
Namun
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola.
Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079,
Kulothunga Chola I
(Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola disebut juga sebagai raja
San-fo-ts'i, yang kemudian mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi
dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa
kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan
utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta besar
tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi
bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan
negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13
potong pakaian. Kemudian juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.
Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja
bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai muncul Dharmasraya
dan Pagaruyung
sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya
mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
Munculnya Malayu Dharmasraya
Pada
tahun 1079 dan 1088,
catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina.
Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut
mengunjungi Cina. Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari
satu kota maupun kota lainnya selama periode
tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang,
yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan
sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi
yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua
menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang
sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia
menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat
San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga,
Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi
(Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating,
pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai
(Semawe,
pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a
(Sungai
Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh),
Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).
Namun,
istilah San-fo-tsi terutama
pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik
dengan Dharmasraya.
Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah wilayah
jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut
San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu
atau Pamalayu, dan kemudian
menghadiahkan Arca Amoghapasa
kepada raja Melayu, Srimat
Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya
sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang
Roco. Peristiwa ini kemudian dikaitkan dengan manuskrip yang
terdapat pada prasasti Grahi.
Pemerintahan dan ekonomi
Struktur
Pemerintahan
Masyarakat
Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu
negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik Sriwijaya, dapat
dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda,
mandala dan bhūmi.
Kadātuan
dapat bermakna kawasan dātu,
(tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai
(drawy) sebagai kawasan yang
mesti dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai kawasan kota dari Sriwijaya
yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi
masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti
bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis,
samaryyāda merupakan kawasan
yang berbatasan dengan vanua,
yang terhubung dengan jalan khusus (samaryyāda-patha)
yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi
yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan
Sriwijaya.
Penguasa
Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang
atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja
(putra mahkota), pratiyuvarāja
(putra mahkota kedua) dan rājakumāra
(pewaris berikutnya). Prasasti Telaga
Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur pemerintahan
kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain diceritakan
kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, diceritakan pula
bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman Sriwijaya. Adapun,
jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim).
Kemudian terdapat juga Tuha an watak
wuruh (pengawas kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata pisau),
kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham
(nakhoda kapal),
waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang cuci), dan hulun haji (budak raja).
Menurut
kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu
luas dibagi menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang
diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja
(putra mahkota), pratiyuvarāja
(putra mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti
Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di antara
anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.
Perdagangan
Di
dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara India
dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa
Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh,
pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya
raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya
membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya
di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan
mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat
berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan
bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara Tiongkok dan India.
Karena
alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan
selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara
jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong
Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan
pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala
Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan
pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan
Chaiya di semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan
dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan
sejarah Champa adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa
terhadap beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja.
Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena
saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian dari mandala Sriwijaya. Hal ini
merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia
Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah
berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670
hingga 1025 M.
Kejayaan
bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik
ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara sekitar abad ke-8
Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu.
Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang
membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang
diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang digunakan
armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan
bahari yang menguasai kawasan pada kurun abad ke-7 hingga ke-13 masehi.
Selain
menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin
perdagangan dengan tanah Arab.
Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat
kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz
dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke
Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji
(budak wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman)
pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada
paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar
negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan
Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya
mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini.
Pada
masa inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum.
& Nakai), yang
masuk melalui perdagangan mereka.
Penyebaran penduduk Kemaharajaan
Bahari
Upaya
Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berjalan
seiring dengan perluasan Sriwijaya sebagai sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar
pelabuhan negara jiran yang berpotensi sebagai pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis
juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Sebagai
kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah
pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir
pantai dan kawasan sungai besar yang dapat dijangkau armada perahu angkatan
lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal
dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang
terletak 3.300 mil atau 8.000 kilometer di sebelah barat di seberang Samudra Hindia.
Sebuah
penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Proceedings of The Royal Society,
bahwa sebagian nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka
adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[60] Migrasi ke Madagaskar
diperkirakan terjadi sekitar kurun tahun 830 M. Berdasarkan data DNA
mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut
silsilah mereka kepada 30 nenek moyang perempuan perintis tiba dari Indonesia
1200 tahun yang lalu. Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa
Sanskerta dengan modifikasi linguistik melalui bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah
petunjuk bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari
Sriwijaya. Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika
Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan
Samudra Hindia.
Budaya dan masyarakat
Sebuah
masyarakat yang kompleks, berlapis, kosmopolitan, dan makmur; dengan cita rasa
nan halus dalam seni, sastra, dan budaya, dengan serangkaian ritual yang
dipengaruhi ajaran Buddha Mahayana; berkembang di masyarakat Sriwijaya. Tatanan
sosial mereka yang rumit dapat dilihat melalui studi prasasti, catatan sejarah
asing, serta peninggalan candi-candi yang berasal dari periode ini. Kerajaan
telah mengembangkan masyarakat yang maju; yang ditandai oleh kemajemukan
masyarakat mereka, stratifikasi sosial, dan pembentukan lembaga administratif
nasional kerajaan mereka.
Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha
Vajrayana,
Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia.
Antara lain pendeta dari Tiongkok I Tsing,
yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India,
pada tahun 671
dan 695,
I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga
menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita
yang dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang
belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang
pendeta terkenal di Sriwija.
“Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta
mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka menganalisa dan mempelajari semua
topik ajaran sebagaimana yang ada di India; vinaya dan ritual-ritual mereka
tidaklah berbeda sama sekali [dengan yang ada di India]. Apabila seseorang
pandita Tiongkok akan pergi ke Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan
mempelajari naskah-naskah Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya
dalam kurun waktu 1 atau 2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa
sansekerta dengan tepat.”
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa
koin emas
telah digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha
Hinayana dan Buddha Mahayana juga turut berkembang di
Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10, Atiśa,
seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di
Tibet
dalam kertas kerjanya Durbodhāloka
menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya
Hindu
kemudian diikuti pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha
dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand.
Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan dan
penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9,
sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu
beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat
dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat perdagangan
di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama Muslim dari
Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan bagian dari
Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di
Sumatera kelak, di saat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Seni dan Budaya
Berdasarkan
berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang
sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota
Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti Prasasti Talang Tuo
menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah yaitu
peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga
Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan,
sementara Prasasti Kota Kapur
menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini
menggunakan bahasa Melayu Kuno,
leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7,
bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya
berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang
dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu,
karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak saat itu,
bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara
meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun
disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya
meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera.
Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat kepemimpinan wangsa
Syailendra yang banyak membangun monumen
besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal
dari masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti
candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera
terbuat dari bata merah.
Beberapa
arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca
Bodhisatwa Awalokiteswara
dari Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan.
Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang disebut
"Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan
langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
Hubungan dengan kekuatan regional
Untuk
memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin
hubungan diplomasi dengan kekaisaran China,
dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti. Sejarawan S.Q. Fatimi
menyebutkan bahwa pada tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya
(diperkirakan adalah Sri Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah
Umar bin Abdul Aziz
dari Kekhalifahan
Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan
ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu
dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid
karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba, Spanyol), dan dengan redaksi
sedikit berbeda dalam Al-Nujum
Az-Zahirah fi Muluk Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo,
Mesir).
Peristiwa
ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia
Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berarti bahwa raja
Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang
raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat
dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya saat itu;
yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada
masa awal, Kerajaan Khmer
merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di provinsi Surat Thani, Thailand Selatan, sebagai ibu kota kerajaan
tersebut. Pengaruh Sriwijaya tampak pada bangunan pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya.
Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang)
Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.
Seperti
disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah dengan
perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa
Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa.
Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, yaitu Sumatera dan Jawa.
Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya
dan Medang memburuk. Balaputradewa kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa
di Sriwijaya, dan permusuhan ini diwariskan hingga beberapa generasi
berikutnya. Dalam prasasti Nalanda
yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal usulnya sebagai keturunan raja
Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata
lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja
Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di Sumatera dan Medang
di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh
menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan
penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari (sebagai sekutu
Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.
Sriwijaya
juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat
bahwa raja Balaputradewa
mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India
juga cukup baik. Dari prasasti Leiden
disebutkan raja Sriwijaya di Kataha
Sri
Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi
buruk setelah Rajendra Chola I
naik tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini
kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I,
di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang meminta
dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun
pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan
bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo)
sebagai raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079.
Pada masa dinasti Song
candi ini disebut dengan nama Tien
Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan nama Yuan Miau Kwan.
Raja yang memerintah
Para
Maharaja Sriwijaya
Nama
Raja
|
Tahun
|
Ibukota
|
Prasasti,
catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
|
671
|
Shih-li-fo-shih
|
Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685,
Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
Prasasti Kedukan Bukit
(683), Talang Tuo
(684), Kota Kapur
(686), Karang Brahi
dan Palas Pasemah
|
|
Liu-t'eng-wei-kung
|
728-742
|
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
|
Utusan ke Tiongkok 728-742
|
743-774
|
Belum ada berita pada periode ini
|
||
Shih-li-t-'o-pa-mo
|
702
|
Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
|
Utusan ke Tiongkok 702-716, 724
|
775
|
Sriwijaya
|
Prasasti Ligor
B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
|
|
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta)
|
Wangsa Sailendra
mengantikan Wangsa Sanjaya
|
||
778
|
Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara
kompleks Candi Prambanan
Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan
|
||
Samaragrawira
atau
Rakai Warak |
782
|
Jawa
|
Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih
tahun 907
|
Samaratungga
atau
Rakai Garung |
792
|
Jawa
|
Prasasti Karang
Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
|
840
|
Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
|
||
856
|
Suwarnadwipa
|
Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke
Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun 860, India
|
|
861-959
|
Belum ada berita pada periode ini
|
||
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
|
960
|
Sriwijaya
San-fo-ts'i
|
Utusan ke Tiongkok 960, & 962
|
980
|
Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
|
||
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
|
988
|
Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i
|
990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou |
Se-li-ma-la-pi
|
1008
|
San-fo-ts'i
Kataha
|
Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok
1008
|
Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
|
1017
|
Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan
|
|
1025
|
Sriwijaya
Kadaram
|
Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan
Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada
candi Rajaraja, Tanjore, India
|
|
1030
|
Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
|
||
1079
|
Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I
(Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok
1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
|
||
1082
|
Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082
dan 1088
|
||
1089-1177
|
Belum ada berita
|
||
1178
|
Laporan Chou-Ju-Kua
dalam buku Chu-fan-chi berisi
daftar koloni San-fo-ts'i
|
||
1183
|
Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand
|
Warisan
Sejarah
Meskipun
Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya
sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali
kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan
kesadaran bahwa suatu bentuk persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang
terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangkit, tumbuh, dan
berjaya pada masa lalu.
Pada
abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi Sriwijaya
masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang mengaku sebagai
keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para pengikut dan
tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan Singapura
di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China yang
ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan
Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul
mundur.
Warisan
terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, kekuatan
ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan besar atas tersebarluasnya
penggunaan Bahasa Melayu Kuno
di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja
atau bahasa yang berfungsi sebagai penghubung (lingua franca) yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di
kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah
membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
Malaysia, dan Bahasa Indonesia
sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno
masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.
Kaum
nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya sebagai sumber kebanggaan dan
bukti kejayaan masa lampau Indonesia. Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi
sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah
menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga
berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang
menciptakan kembali tarian Sevichai
yang berdasarkan pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.
Di
Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan sebagai nama jalan di
berbagai kota, dan nama ini juga digunakan oleh Universitas
Sriwijaya yang didirikan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam
II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di
Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Stadion Gelora
Sriwijaya, dan Sriwijaya
Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan
demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya
yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya,
Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertajuk
"Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional
Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk
menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.
Sumber
: Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar