KISAH
KERAJAAN KEDIRI
Orientasi
Kerajaan Kadiri
atau Kediri atau Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang
terdapat di Jawa Timur
antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.
Latar
Belakang
Sesungguhnya
kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan
dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini
sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa,
saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat
kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke
Daha.
Pada
akhir November 1042, Airlangga terpaksa
membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan
kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha.
Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan
kerajaan timur bernama Janggala yang
berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut
Nagarakretagama, sebelum
dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu,
yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai
pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah
nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu
kota Janggala.
Pada
mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai daripada nama
Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh
raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Nama
"Kediri" atau "Kadiri" sendiri berasal dari kata Khadri yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti pohon pacé atau mengkudu (Morinda
citrifolia). Batang kulit kayu pohon ini menghasilkan zat
perwarna ungu kecokelatan yang digunakan dalam pembuatan batik, sementara
buahnya dipercaya memiliki khasiat pengobatan tradisional.
Perkembangan
Kerajaan
Masa-masa
awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti Turun Hyang
II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal Airlangga. Sejarah Kerajaan Panjalu
mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa hanya Sri Samarawijaya yang sudah
diketahui, sedangkan urutan raja-raja sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui
dengan jelas berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan. Kerajaan Panjalu di
bawah pemerintahan Sri Jayabhaya
berhasil menaklukkan Kerajaan
Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti Ngantang
(1135), yaitu Panjalu Jayati,
atau Panjalu Menang.
Pada
masa pemerintahan Sri Jayabhaya
inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa kejayaannya. Wilayah kerajaan ini
meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara, bahkan sampai
mengalahkan pengaruh Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra. Hal ini
diperkuat kronik Cina
berjudul Ling wai tai ta karya
Chou Ku-fei tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu
yang berkuasa di Arab adalah
Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu, sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Chou Ju-kua menggambarkan di Jawa penduduknya menganut 2 agama : Buddha
dan Hindu. Penduduk Jawa sangat berani dan emosional. Waktu luangnya untuk
mengadu binatang. Mata uangnya terbuat dari campuran tembaga dan perak.
Buku
Chu-fan-chi menyebut Jawa adalah maharaja yang punya wilayah jajahan :
Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pen (Tumapel, Malang), Hi-ning
(Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua
Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Papua), Ma-li (Bali), Kulun (Gurun,
mungkin Gorong atau Sorong di Papua Barat atau Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo
(Tanjungpura di Borneo), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi), dan
Wu-nu-ku (Maluku). Penemuan Situs Tondowongso pada awal tahun
2007, yang diyakini sebagai peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat
membantu memberikan lebih banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
Keruntuhan
Kerajaan
Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun
1222 Kertajaya sedang berselisih melawan
kaum brahmana yang kemudian meminta
perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga bercita-cita
memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah
bawahan Kadiri. Perang antara Kadiri dan
Tumapel terjadi dekat desa Ganter.
Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan
pasukan Kertajaya. Dengan demikian
berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
Setelah
Ken Arok mengalahkan Kertajaya, Kadiri menjadi suatu wilayah di bawah kekuasaan
Singhasari. Ken Arok mengangkat Jayasabha,
putra Kertajaya sebagai bupati Kadiri. Tahun 1258 Jayasabha digantikan putranya
yang bernama Sastrajaya. Pada
tahun 1271 Sastrajaya digantikan putranya, yaitu Jayakatwang. Jayakatwang
memberontak terhadap Singhasari yang dipimpin oleh Kertanegara, karena dendam masa
lalu dimana leluhurnya Kertajaya dikalahkan oleh Ken Arok. Setelah berhasil
membunuh Kertanegara, Jayakatwang membangun kembali Kerajaan Kadiri, namun
hanya bertahan satu tahun dikarenakan serangan gabungan yang dilancarkan oleh
pasukan Mongol dan pasukan menantu Kertanegara, Raden Wijaya.
Daftar raja-raja
Berikut adalah nama-nama raja yang pernah memerintah
di Daha, ibu kota Kadiri. Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang
masih utuh. Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan.
Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha
kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu.
Menurut Nagarakretagama,
kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu. Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu :
1. Sri
Samarawijaya, merupakan putra Airlangga
yang namanya ditemukan dalam prasasti
Pamwatan (1042).
2. Sri Jayawarsa,
berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah
ia adalah pengganti langsung Sri
Samarawijaya atau bukan.
3. Sri Bameswara,
berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan
prasasti Tangkilan (1130).
4. Sri Jayabhaya,
merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti
Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
5. Sri
Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti
Kahyunan (1161).
6. Sri Aryeswara,
berdasarkan prasasti Angin (1171).
7. Sri Gandra,
berdasarkan prasasti Jaring (1181).
8. Sri Kameswara,
berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
9. Sri Kertajaya,
berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah
(1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama,
dan Pararaton.
Pada saat Daha menjadi
bawahan Singhasari
Kerajaan Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan
Singhasari.
Berdasarkan prasasti Mula Malurung, diketahui
raja-raja Daha zaman Singhasari, yaitu:
1. Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
2. Guningbhaya
adik Mahisa Wunga Teleng
3. Tohjaya
kakak Guningbhaya
4. Kertanagara
cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang
kemudian menjadi raja Singhasari
Pada saat Daha menjadi ibu
kota Kadiri
Jayakatwang, adalah keturunan Kertajaya
yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun 1292 ia memberontak hingga menyebabkan
runtuhnya Kerajaan Singhasari. Jayakatwang
kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun 1293 ia dikalahkan Raden Wijaya
pendiri Majapahit.
Pada saat Daha menjadi
bawahan Majapahit
Sejak tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit
yang paling utama. Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tetapi hanya bersifat
simbol, karena pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Bhre Daha yang
pernah menjabat ialah:
1. Jayanagara
1295-1309 Nagarakretagama.47:2;
Prasasti Sukamerta -
didampingi Patih Lembu Sora.
2. Rajadewi
1309-1375 Pararaton.27:15;
29:31; Nag.4:1 - didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
5. Jayeswari 1429-1464 Pararaton.30:8;
31:34; 32:18; Waringin Pitu
Pada saat Daha menjadi ibu
kota Majapahit
Menurut Suma Oriental
tulisan Tome Pires,
pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota Majapahit
yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik dengan Dyah
Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan
Trenggana raja Demak tahun 1527. Sejak saat itu nama Kediri
lebih terkenal daripada Daha. Dan pada saat ini berdasarkan peta daerah
kekuasaan Kerajaan Majapahit dan peta Provinsi Jawa Timur maka dapat dilihat
bahwa Kota Daha pada saat ini berada di daerah sekitar Pare-Kandangan,
Kabupaten Kediri, Jawa Timur yang memiliki banyak peninggalan arkeologis sampai
sekarang.
Daftar pustaka
1. H.J.de Graaf
dan T.H. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam
Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
2. Slamet
Muljana. 1979. Nagarakretagama
dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
3. Poesponegoro
& Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sumber
: Google Wikipedia
Kerajaan
Kediri : Sejarah, Raja, Dan Peninggalan, Serta Kehidupan Politiknya Lengkap
Tahukah
anda tentang Kerajaan kediri ??? Jika anda belum mengetahuinya anda tepat
sekali mengunjungi gurupendidikan.com. Karena pada kesempatan kali ini
akan membahas tentang sejarah Kerajaan Kediri, raja-raja Kerajaan kediri,
peninggalan Kerajaan kediri, dan kehidupan politik Kerajaan kediri secara
lengkap. Oleh karena itu marilah simak ulasan yang ada dibawah berikut ini.
Kerajaan
Kediri
Asal
Mula
Kerajaan
Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Wangsa Isyana (Kerajaan Medang
Kamulan). Kerajaan Kediri atau Kerajaan Panjalu, adalah sebuah kerajaan yang
bercorak Hindu terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini
berpusat di kota Daha,
yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang. Sesungguhnya kota Daha sudah ada
sebelum Kerajaan Kediri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang
berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun
1042.
Hal
ini sesuai dengan berita dalam Serat
Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat
kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Kerajaan ini merupakan salah satu dari dua kerajaan pecahan Kahuripan pada
tahun 1045 Wilayah Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.
Pada
akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena
kedua putranya bersaing memperebutkan tahta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan
kerajaan barat bernama Panjalu
yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan
kerajaan timur bernama Jenggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Tidak
ada bukti yang jelas bagaimana kerajaan tersebut dipecah dan menjadi beberapa
bagian. Dalam babad disebutkan bahwa kerajaan dibagi empat atau lima bagian.
Tetapi dalam perkembangannya hanya dua kerajaan yang sering disebut, yaitu
Kediri (Panjalu) dan Jenggala. Samarawijaya sebagai pewaris sah kerajaan
mendapat ibukota lama, yaitu Dahanaputra, dan nama kerajaannya diubah menjadi
Panjalu atau dikenal juga sebagai Kerajaan Kediri. Perkembangan Kerajaan Kediri
Dalam perkembangannya Kerajaan Kediri yang beribukota Daha tumbuh menjadi
besar, sedangkan Kerajaan Jenggala semakin tenggelam. Diduga Kerajaan Jenggala
ditaklukkan oleh Kediri.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama
kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha.
Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan
adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi
ibu kota Janggala.
Pada
mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama
Kediri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh
raja-raja Kediri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam
kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Wilayah
Kerajaan Kediri adalah bagian selatan Kerajaan Kahuripan.Tak banyak yang
diketahui peristiwa di masa-masa awal Kerajaan Kediri. Raja Kameswara
(1116-1136) menikah dengan Dewi Kirana, puteri Kerajaan Janggala. Dengan
demikian, berakhirlah Janggala kembali dipersatukan dengan Kediri. Kediri
menjadi kerajaan yang cukup kuat di Jawa. Pada masa ini, ditulis kitab Kakawin
Smaradahana, yang dikenal dalam kesusastraan Jawa dengan cerita Panji.
Nama Kediri ada yang
berpendapat berasal dari kata “Kedi” yang artinya “Mandul” atau “Wanita yang
tidak berdatang bulan”.Menurut kamus Jawa Kuno Wojo Wasito, ‘Kedi” berarti
Orang Kebiri Bidan atau Dukun. Di dalam lakon Wayang, Sang Arjuno pernah
menyamar Guru Tari di Negara Wirata, bernama “Kedi Wrakantolo”.Bila kita
hubungkan dengan nama tokoh Dewi Kilisuci yang bertapa di Gua Selomangleng,
“Kedi” berarti Suci atau Wadad. Disamping itu kata Kediri berasal dari kata
“Diri” yang berarti Adeg, Angdhiri, menghadiri atau menjadi Raja (bahasa Jawa
Jumenengan).
Untuk
itu dapat kita baca pada prasasti “WANUA” tahun 830 saka, yang diantaranya
berbunyi :
”Ing Saka 706 cetra
nasa danami sakla pa ka sa wara, angdhiri rake panaraban”, artinya : pada tahun
saka 706 atau 734 Masehi, bertahta Raja Pake Panaraban. Nama Kediri banyak
terdapat pada kesusatraan Kuno yang berbahasa Jawa Kuno seperti : Kitab
Samaradana, Pararaton, Negara Kertagama dan Kitab Calon Arang.Demikian pula pada
beberapa prasasti yang menyebutkan nama Kediri seperti : Prasasti Ceber,
berangka tahun 1109 saka yang terletak di Desa Ceker, sekarang Desa Sukoanyar
Kecamatan Mojo.Dalam prasasti ini menyebutkan, karena penduduk Ceker berjasa
kepada Raja, maka mereka memperoleh hadiah, “Tanah Perdikan”. Dalam prasasti
itu tertulis “Sri Maharaja Masuk Ri Siminaninaring Bhuwi Kadiri” artinya raja
telah kembali kesimanya, atau harapannya di Bhumi Kadiri.Prasasti Kamulan di
Desa Kamulan Kabupaten Trenggalek yang berangkat tahun 1116 saka, tepatnya
menurut Damais tanggal 31 Agustus 1194.Pada prasasti itu juga menyebutkan nama,
Kediri, yang diserang oleh raja dari kerajaan sebelah timur.
“Aka ni satru wadwa
kala sangke purnowo”, sehingga raja meninggalkan istananya di Katangkatang
(“tatkala nin kentar sangke kadetwan ring katang-katang deni nkir malr yatik
kaprabon sri maharaja siniwi ring bhumi kadiri”).
Tatkala Bagawantabhari
memperoleh anugerah tanah perdikan dari Raja Rake Layang Dyah Tulodong yang
tertulis di ketiga prasasti Harinjing.Nama Kediri semula kecil lalu berkembang
menjadi nama Kerajaan Panjalu yang besar dan sejarahnya terkenal hingga
sekarang.
Raja-Raja Kerajaan
Kediri
Kerajaan
Kediri yang termasyhur pernah diperintah 8 raja dari awal berdirinya sampai
masa keruntuhan kerajaan ini. Dari kedelapan raja yang pernah memerintah
kerajaan ini yang sanggup membawa Kerajaan Kediri kepada masa keemasan adalah
Prabu Jayabaya, yang sangat terkenal hingga saat ini.
Adapun
8 raja Kediri tersebut urutannya sebagai berikut :
1.
Sri
Jayawarsa
Sejarah tentang raja Sri Jayawarsa
ini hanya dapat diketahui dari prasasti Sirah Keting (1104 M). Pada masa
pemerintahannya Jayawarsa memberikan hadiah kepada rakyat desa sebagai tanda
penghargaan, karena rakyat telah berjasa kepada raja. Dari prasasti itu
diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat besar perhatiannya terhadap masyarakat
dan berupaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
2.
Sri
Bameswara
Raja Bameswara banyak meninggalkan
prasasti seperti yang ditemukan di daerah Tulung Agung dan Kertosono. Prasasti
seperti yang ditemukan itu lebih banyak memuat masalah-masalah keagamaan,
sehingga sangat baik diketahui keadaan pemerintahannya.
3.
Prabu
Jayabaya
Kerajaan Kediri mengalami masa
keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Strategi kepemimpinan Prabu
Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat mengagumkan. Kerajaan yang
beribu kota di Dahono Puro, bawah kaki Gunung Kelud, ini tanahnya amat
subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh menghijau.
Hasil pertanian dan perkebunan berlimpah
ruah. Di tengah kota membelah aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak
hidup aneka ragam ikan, sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu
tercukupi. Hasil bumi itu kemudian diangkut ke kota Jenggala, dekat Surabaya,
dengan naik perahu menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar,
sehingga Kerajaan Kediri benar-benar dapat disebut sebagai negara yang “Gemah
Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Karta Raharja”. Prabu Jayabaya memerintah antara
tahun 1130 sampai 1157 Masehi. Dukungan spiritual dan material dari Prabu
Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap
merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak
dikenang sepanjang masa. Jika rakyat kecil hingga saat ini ingat kepada beliau,
hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakan beliau yang selalu
bijaksana dan adil terhadap rakyat.
4.
Sri
Sarwaswera
Sejarah tentang raja ini didasarkan
pada prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161). Sebagai raja
yang taat beragama dan berbudaya, Sri Sarwaswera memegang teguh prinsip “tat
wam asi”, yang berarti “dikaulah itu, dikaulah (semua) itu, semua makhluk
adalah engkau”. Menurut Prabu Sri Sarwaswera, tujuan hidup manusia yang
terakhir adalah moksa, yaitu pemanunggalan jiwatma dengan paramatma. Jalan yang
benar adalah sesuatu yang menuju arah kesatuan, sehingga segala sesuatu yang
menghalangi kesatuan adalah tidak benar.
5.
Sri Aryeswara
Berdasarkan prasasti Angin (1171),
Sri Aryeswara adalah raja Kediri yang memerintah sekitar tahun 1171. Nama gelar
abhisekanya ialah Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara
Arijamuka.
Tidak diketahui dengan pasti kapan
Sri Aryeswara naik tahta. peninggalan sejarahnya berupa prasasti Angin, 23
Maret 1171. Lambang Kerajaan Kediri pada saat itu Ganesha. Tidak diketahui pula
kapan pemerintahannya berakhir. Raja Kediri selanjutnya berdasarkan prasasti
Jaring adalah Sri Gandra.
6.
Sri
Gandra
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra
(1181 M) dapat diketahui dari prasasti Jaring, yaitu tentang penggunaan nama
hewan dalam kepangkatan seperti seperti nama gajah, kebo, dan tikus. Nama-nama
tersebut menunjukkan tinggi rendahnya pangkat seseorang dalam istana.
7.
Sri
Kameswara
Masa pemerintahan Raja Sri Gandra
dapat diketahui dari Prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradhana. Pada masa
pemerintahannya dari tahun 1182 sampai 1185 Masehi, seni sastra mengalami
perkembangan sangat pesat, diantaranya Empu Dharmaja mengarang kitab
Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikeal cerita-cerita panji
seperti cerita Panji Semirang.
8.
Sri
Kertajaya
Berdasarkan prasasti Galunggung
(1194), prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205),
Nagarakretagama, dan Pararaton, pemerintahan Sri Kertajaya berlangsung pada
tahun 1190 hingga 1222 Masehi.
Raja
Kertajaya juga dikenal dengan sebutan “Dandang Gendis”. Selama masa
pemerintahannya, kestabilan kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Kertajaya
ingin mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Keadaan ini ditentang oleh kaum
Brahmana. Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri waktu itu semakin tidak
aman. Kaum Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu
diperintah oleh Ken Arok. Mengetahui hal ini Raja Kertajaya kemudian
mempersiapkan pasukan untuk menyerang Tumapel. Sementara itu Ken Arok dengan
dukungan kaum Brahmana melakukan serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu
bertemu di dekat Ganter (1222 M).
Kitab Perundang-undangan
Sistem
Perundang-undangan Kerajaan Kediri disusun oleh para ahli hukum yang tergabung
dalam Dewan Kapujanggan Istana. Sebelum menjalankan tugasnya para pakar hukum
tadi senantiasa melakukan studi banding dalam hal penyusunan hukum serta
konstitusi dari negeri lain. Produk hukum yang telah dihasilkan oleh dewan
tersebut yaitu Kitab Darmapraja. Kitab ini merupakan karya pustaka yang berisi
Tata Tertib Penyelenggaraan Pemerintahan dan Kenegaraan. Dalam soal pengadilan,
Raja selalu mengikuti Undang-undang ini, sehingga adil segala keputusan yang
diambilnya, membuat puas semua pihak (Brandes, 1896:88).
Pada
pasal-pasal kitab tersebut, kata “agama” dapat ditafsirkan sebagai
Undang-undang atau Kitab Perundang-undangan. Kadang yang berbeda ini
perumusannya saja, yang satu lebih panjang daripada yang lain dan merupakan
kelengkapan atau penjelasan dari pasal sejenis yang pendek. Kitab
Perundang-undangan Agama adalah terutama Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun di samping Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat juga Undang-undang
Hukum Perdata.
Tata
cara jual-beli, pembagian warisan, pernikahan dan perceraian masuk dalam
Undang-undang Hukum Perdata (Hazeu, 1987:87). Memang pada zaman Kadiri belum
ada perincian tegas antara Undang-undang Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
Menurut sejarah per Undang-undangan Hukum Perdata tumbuh dari Hukum Pidana,
jadi percampuran Hukum Perdata dan Hukum Pidana dalam Kitab Perundang-undangan
Agama di atas bukan suatu keganjilan ditinjau dari segi sejarah hukum.
Sistem Peradilan Kerajaan
Sistem
peradilan Kerajaan Kediri bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan kerajaan (Stutterheim, 1930:254). Dengan
adanya kepastian hukum, maka hak dan kewajiban semua warga kerajaan dapat
dijamin. Keseimbangan antara hak dan kewajiban warga kerajaan telah membuktikan
serta membuahkan ketentraman lahir dan batin. Aparat dan rakyat menghormati
hukum atau darma semata-mata demi terjaganya kepentingan bersama.
Semua
keputusan dalam pengadilan diambil atas nama Raja yang disebut Sang Amawabhumi
artinya orang yang mempunyai atau menguasai negara. Dalam Mukadimah Darmapraja
ditegaskan demikian:
1. Semoga Sang Amawabhumi teguh hatinya dalam
menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah trap. Jangan sampai orang
yang bertingkah salah, luput dari tindakan. Itulah kewajiban Sang Amawabhumi,
jika beliau mengharapkan kerahayuan negaranya (Moedjanto, 1994:56).
2. Dalam
soal pengadilan, Raja dibantu oleh dua orang Adidarma Dyaksa. Seorang Adidarma
Dyaksa Kasiwan dan seorang Adidarma Dyaksa Kabudan, yakni kepala agama Siwa dan
kepala agama Buda dengan sebutan Sang Maharsi, karena kedua agama itu merupakan
agama utama dalam Kerajaan Kadiri dan segala Perundang-undangan didasarkan
agama.
3. Kedudukan
Adidarma Dyaksa boleh disamakan dengan kedudukan Hakim Tinggi. Mereka itu
dibantu oleh lima Upapati artinya : pembantu dalam pengadilan adalah pembantu
Adidarma Dyaksa. Mereka itu biasa disebut Pamegat atau Sang Pamegat artinya :
Sang Pemutus alias Hakim. Baik Adidarma Dyaksa maupun Upapati bergelar Sang
Maharsi. Mula-mula jumlahnya hanya lima yakni : Sang Pamegat Tirwan, Sang
Pamegat Kandamuhi, Sang Pamegat Manghuri, Sang Pamegat Jambi, Sang Pamegat
Pamotan.
4. Mereka
itu semuanya termasuk golongan Kasiwan, karena agama Siwa adalah agama resmi
negara Kadiri dan mempunyai pengikut paling banyak. Pada zaman pemerintahan
Prabu Jayabhaya jumlah Upapati ditambah dua menjadi tujuh. Keduanya termasuk
golongan Kabudan, sehingga ada lima Upapati Kasiwan dan dua Upapati Kabudan.
Perbandingan itu sudah layak mengingat jumlah pemeluk agama Buda kalah banyak
dengan jumlah pemeluk agama Siwa. Dua Upapati Kabudan itu ialah Sang Pamegat
Kandangan Tuha dan Sang Pamegat Kandangan Rare.
Ketika
Prabu Jayabaya bertahta di Mamenang, beliau dihadap oleh pelbagai pembesar, di
antaranya Dyaksa, Upapati dan Para Panji yang paham tentang Undang-undang
(Rassers, 1959:243). Dari uraian itu nyata bahwa Para Panji adalah pembantu
para Upapati dalam melakukan pengadilan di daerah-daerah. Pangkat Panji masih
dikenal di kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1940. Para Panji di Kesultanan
Yogya diserahi tugas pengadilan. Jadi tidak berbeda dengan Para Panji pada
zaman Kadiri.
Lembaga
peradilan kerajaan ini bertanggung jawab kepada Raja secara langsung. Akan
tetapi silang sengketa yang menyangkut kepenting¬an Raja dan keluarganya,
menggunakan peradilan khusus, sehingga kontaminasi dan intervensi terhadap
hasil putusan dapat dihindari. Dalam hal ini Raja mempunyai staf hukum yang
mumpuni, profesional dan tidak diragukan lagi integritas serta kredibilitasnya.
Hukum Positif dan
Budaya Simbolik
Dalam
masa pemerintahan Prabu Jayabaya, prinsip pelaksanaan kenegaraan terbagi
menjadi dua yakni hukum positif dan budaya simbolik. Hukum positif merupakan
hukum yang berlaku berdasar peraturan tertulis yang disepakati bersama.
Biasanya hukum ini bersifat praktis, teknis dan mikro. Semua transaksi dan
lika-liku kehidupan yang menyang kut jual beli, dagang, ekonomi, politik,
karier, birokrasi, organisasi dan perkawinan diatur secara rinci. Pelanggaran
hukum dan dendanya pun diatur secara detail.
Di
samping hukum positif, dalam menata masyarakatnya Prabu Jayabhaya menggunakan
pendekatan budaya simbolik. Untuk menunjang keberhasilan program ini, maka
diperintahkanlah para pujangga untuk menulis karya cipta. Tujuannya agar aparat
dan rakyat patuh pada norma susila. Hanya saja apabila terjadi pelanggaran maka
hukuman dan sangsinya bersifat ghaib spiritual. Pujangga yang diberi tugas
menulis kitab spiritual itu di antaranya adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Empu
Sedah adalah penyusun Kakawin Baratayudha pada tahun 1079 Saka atau 1157
Masehi, dengan sengkalan berbunyi Sangha Kuda Suddha Candrama. Hanya saja, Empu
Sedah keburu meninggal sebelum karyanya selesai. Kakawin Baratayudha
dipersembahkan kepada Prabu Jayabhaya, Mapanji Jayabhaya, Jayabhaya Laksana
atau Sri Warmeswara.
Tingkat
kecerdasan rakyat memang berbeda-beda. Hukum positif yang disusun oleh elit
negara, kadang kala kurang bisa dipahami oleh rakyat awam. Keadaan ini disadari
oleh para Raja Kadiri. Oleh karena itu demi terciptanya susasana yang harmonis,
lantas diciptakan nasehat-nasehat simbolis berbau mistis. Kenyataannya
pesan-pesan spitirual Prabu Jayabhaya yang dibungkus dengan ramalan ghaib tadi
dipercaya oleh sebagian besar masyarakat. Sebagai pelengkap dan pengiring hukum
positif, maka budaya simbolik tersebut dapat digunakan untuk mencapai ketertiban
sosial.
Prabu
Jayabaya adalah raja besar laksana Dewa Keadilan yang angejawantah ing
madyapada. Sikap hidupnya benar-benar bijaksana. Kewibawaannya telah membuat
ketentraman dan kemuliaan jagat raya, yang membuat Kerajaan Kadiri mencapai
masa kejayaan dan keemasan.
Selama
Prabu Jayabaya memegang kendali pemerintahan dan tata praja, Nusantara
sungguh-sungguh diperhitungkan di kawasan Asia Tenggara, Asia Tengah dan Asia
Selatan. Beliau berhasil mewujudkan negara yang Gedhe Obore, Padhang Jagade, Dhuwur
Kukuse, Adoh Kuncarane, Ampuh Kawibawane. Masyarakat merasakan negara yang
Gemah Ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Karta Raharja. Konsep Saptawa, dijadikan
sebagai program utama yaitu :
1.
Wastra
(sandang)
2.
Wareg
(pangan)
3.
Wisma
(papan)
4.
Wasis
(pendidikan)
5.
Waras
(kesehatan)
6.
Waskita
(keruhanian), dan
7.
Wicaksana
(kebijaksanaan).
Masyarakat
Jawa percaya bahwa Prabu Jayabaya selalu bersikap arif dan bijaksana serta
menjunjung hukum yang berlaku. Semua golongan masyarakat bersatu padu mendukung
pemerintahannya. Refleksi kearifan warisan para leluhur raja Jawa dijadikan
referensi untuk membawa kebesaran Nusantara.
Kebesaran
dan kejayaan Kerajaan Kediri, di samping faktor kepemimpinan rajanya yang
selalu mengutamakan kepentingan umum, juga didukung oleh kejeliannya dalam
menyusun Undang-undang dasar yang mengikat sekalian warganya. Kepatuhan pada konstitusi
telah membuat ketertiban di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri. Aparat kerajaan
yang terdiri dari pejabat sipil dan militer bekerja sesuai dengan amanat
konstitusi, sehingga segala kebijakan kerajaan membuahkan kemakmuran dan
ketentraman rakyat.
Peninggalan Kerajaan Kediri
Sumber sejarah kerajaan Kediri dapat di
telusuri dari beberapa prasasti dan berita asing di antaranya
:
1. Prasasti Banjaran berangka tahun 1052 M menjelaskan
kemenangan Panjalu atas Jenggala.
2. Prasasti Hantang berangka tahun 1052 M menjelaskan
Panjalu pada masa Jayabaya.
3. Prasasti Sirah Keting (1104 M), memuat pemberian
hadiah tanah kepada rakyat desa oleh Jayawarsa.
4.
Prasasti yang ditemukan di Tulungagung dan Kertosono
berisi masalah keagamaan , berasal dari raja
Bameswara.
5. Prasasti Ngantang (1135M), menyebutkan raja
Jayabaya yang memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang sebidang
tanah yang bebas dari pajak.
6. Prasasti Jaring (1181M), dari raja Gandra yang memuat
sejumlah nama pejabat dengan menggunakan nama hewan seperi Kebo Waruga dan
Tikus Jinada.
7. Prasasti Kamulan (1194M) , memuat masa pemerintahan
Kertajaya , dimana Kediri berhasil mengalahkan musuh yang telah memusuhi istana
Katang-Katang.
8. Candi Penataran : Candi termegah dan terluas di Jawa
Timur ini terletak di lereng barat daya Gunung Kelud, di sebelah utara Blitar,
pada ketinggian 450 meter dpl. Dari prasasti yang tersimpan di bagian candi
diperkirakan candi ini dibangun pada masa Raja Srengga dari Kerajaan Kediri
sekitar tahun 1200 Masehi dan berlanjut digunakan sampai masa pemerintahan
Wikramawardhana, Raja Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1415.
9. Candi Gurah : Candi Gurah terletak di kecamatan di
Kediri, Jawa Timur. Pada tahun 1957 pernah ditemukan sebuah candi yang jaraknya
kurang lebih 2 km dari Situs Tondowongso yang dinamakan Candi Gurah namun
karena kurangnya dana kemudian candi tersebut dikubur kembali.
10. Candi
Tondowongso : Situs Tondowongso merupakan situs temuan purbakala yang ditemukan
pada awal tahun 2007 di Dusun Tondowongso, Kediri, Jawa Timur. Situs seluas
lebih dari satu hektare ini dianggap sebagai penemuan terbesar untuk periode
klasik sejarah Indonesia dalam 30 tahun terakhir (semenjak penemuan Kompleks
Percandian Batujaya), meskipun Prof.Soekmono pernah menemukan satu arca dari
lokasi yang sama pada tahun 1957. Penemuan situs ini diawali dari ditemukannya
sejumlah arca oleh sejumlah perajin batu bata setempat.Berdasarkan bentuk dan
gaya tatahan arca yang ditemukan, situs ini diyakini sebagai peninggalan masa
Kerajaan Kediri awal (abad XI), masa-masa awal perpindahan pusat politik dari
kawasan Jawa Tengah ke Jawa Timur. Selama ini Kerajaan Kediri dikenal dari
sejumlah karya sastra namun tidak banyak diketahui peninggalannya dalam bentuk
bangunan atau hasil pahatan.
11. Arca Buddha
Vajrasattva : Arca Buddha Vajrasattva ini berasal dari zaman Kerajaan Kediri
(abad X/XI). Dan sekarang merupakan Koleksi Museum für Indische Kunst,
Berlin-Dahlem, Jerman.
12. Prasasti
Galunggung : Prasasti Galunggung memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80
cm, lebar bawah 75 cm. Prasasti ini terletak di Rejotangan, Tulungagung. Di
sekeliling prasasti Galunggung banyak terdapat tulisan memakai huruf Jawa kuno.
Tulisan itu berjajar rapi. Total ada 20 baris yang masih bisa dilihat mata.
Sedangkan di sisi lain prasasti beberapa huruf sudah hilang lantaran rusak
dimakan usia. Di bagian depan, ada sebuah lambang berbentuk lingkaran. Di
tengah lingkaran tersebut ada gambar persegi panjang dengan beberapa logo.
Tertulis pula angka 1123 C di salah satu sisi prasasti.
13. Candi Tuban :
Pada tahun 1967, ketika gelombang tragedi 1965 melanda Tulungagung. Aksi
Ikonoklastik, yaitu aksi menghancurkan ikon – ikon kebudayaan dan benda yang
dianggap berhala terjadi. Candi Mirigambar luput dari pengrusakan karena adanya
petinggi desa yang melarang merusak candi ini dan kawasan candi yang dianggap
angker.Massa pun beralih ke Candi Tuban, dinamakan demikian karena candi ini
terletak di Dukuh Tuban, Desa Domasan, Kecamatan Kalidawir, Kabupaten
Tulungagung. Candi ini terletak sekitar 500 meter dari Candi Mirigambar. Candi
Tuban sendiri hanya tersisa kaki candinya. Setelah dirusak, candi ini dipendam
dan kini diatas candi telah berdiri kandang kambing, ayam dan bebek.Menurut Pak
Suyoto, jika warga mau kembali menggalinya, maka kira – kira setengah sampai
satu meter dari dalam tanah, pondasi Candi Tuban bisa tersingkap dan relatif
masih utuh. Pengrusakan atas Candi Tuban juga didasari legenda bahwa Candi
Tuban menggambarkan tokoh laki – laki Aryo Damar, dalam legenda Angling Dharma
dan jika sang laki – laki dihancurkan, maka dapat dianggap sebagai kemenangan.
14. Prasasti
Panumbangan : Pada tanggal 2 Agustus 1120 Maharaja Bameswara mengeluarkan
prasasti Panumbangan tentang permohonan penduduk desa Panumbangan agar piagam
mereka yang tertulis di atas daun lontar ditulis ulang di atas batu. Prasasti
tersebut berisi penetapan desa Panumbangan sebagai sima swatantra oleh raja
sebelumnya yang dimakamkan di Gajapada. Raja sebelumnya yang dimaksud dalam
prasasti ini diperkirakan adalah Sri Jayawarsa.
15. Prasasti Talan
: Prasasti Talan/ Munggut terletak di Dusun Gurit, Kabupaten Blitar. Prasasti
ini berangka tahun 1058 Saka (1136 Masehi). Cap prasasti ini adalah berbentuk
Garudhamukalancana pada bagian atas prasasti dalam bentuk badan manusia dengan
kepala burung garuda serta bersayap.Isi prasasti ini berkenaan dengan anugerah
sima kepada Desa Talan yang masuk wilayah Panumbangan memperlihatkan prasasti
diatas daun lontar dengan cap kerajaan Garudamukha yang telah mereka terima
dari Bhatara Guru pada tahun 961 Saka (27 Januari 1040 Masehi) dan menetapkan
Desa Talan sewilayahnya sebagai sima yang bebas dari kewajiban iuran pajak
sehingga mereka memohon agar prasasti tersebut dipindahkan diatas batu dengan
cap kerajaan Narasingha.Raja Jayabhaya mengabulkan permintaan warga Talan
karena kesetiaan yang amat sangat terhadap raja dan menambah anugerah berupa
berbagai macam hak istimewa.
Peninggalan Kitab
Kerajaan Kediri
Pada
zaman Kediri karya sastra berkembang pesat sehingga banyak karya sastra yang
dihasilkan. Karya sastra tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kitab
Wertasancaya karangan Empu Tan Akung yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair
yang baik.
2. Kitab
Smaradhahana yang digubah oleh Empu Dharmaja dan berisi pujian kepada raja sebagai
titisan Dewa Kama. Kitab ini juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya
adalah Dahana.
3. Kitab
Lubdaka karangan Empu Tan Akung yang berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu
yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa
dan rohnya diangkat ke surga.
4. Kitab
Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal,
tetapi dikasihi setiap orang karean suka menolong dan sakti.
5. Kitab
Samanasantaka karangan Empu Monaguna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkenal
untuk Begawan Trenawindu.
6.
Kitab
Baharatayuda yang diubah oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh.
7.
Kitab
Gatotkacasraya dan Kitab Hariwangsa yang diubah oleh Empu Panuluh.
Kehidupan Politik
Dan Pemerintahan Kerajaan Kediri
Mapanji
Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 –
1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha.
Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama
60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga
munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri.
Pada
masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga
kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan
lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa
disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan
Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala.
Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
Pada
tahun 1019 M Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan. Airlangga
berusaha memulihkan kembali kewibawaan Medang Kamulan, setelah kewibawaan
kerajaan berahasil dipulihkan, Airlangga memindahkan pusat pemerintahan dari
Medang Kamulan ke Kahuripan. Berkat jerih payahnya , Medang Kamulan mencapai
kejayaan dan kemakmuran. Menjelang akhir hayatnya , Airlangga memutuskan untuk
mundur dari pemerintahan dan menjadi pertapa dengan sebutan Resi Gentayu.
Airlangga meninggal pada tahun 1049 M.
Pewaris
tahta kerajaan Medang Kamulan seharusnya seorang putri yaitu Sri
Sanggramawijaya yang lahir dari seorang permaisuri. Namun karena memilih
menjadi pertapa, tahta beralih pada putra Airlangga yang lahir dari selir.
Untuk menghindari perang saudara, Medang Kamulan dibagi menjadi dua yaitu
kerajaan Jenggala dengan ibu kota Kahuripan, dan kerajaan Kediri (Panjalu)
dengan ibu kota Dhaha. Tetapi upaya tersebut mengalami kegagalan.
Hal
ini dapat terlihat hingga abad ke 12 , dimana Kediri tetap menjadi kerajaan
yang subur dan makmur namun tetap tidak damai sepenuhnya dikarenakan dibayang-
bayangi Jenggala yang berada dalam posisi yang lebih lemah. Hal itu menjadikan
suasana gelap, penuh kemunafikan dan pembunuhan berlangsung terhadap pangeran
dan raja – raja antar kedua negara. Namun perseteruan ini berakhir dengan
kekalahan jenggala, kerajaan kembali dipersatukandi bawah kekuasaan Kediri.
Kehidupan Ekonomi
Kerajaan Kediri
Strategi
kepemimpinan Prabu Jayabaya dalam memakmurkan rakyatnya memang sangat
mengagumkan (Gonda, 1925 : 111). Kerajaan yang beribukota di Dahanapura bawah
kaki Gunung Kelud ini tanahnya amat subur, sehingga segala macam tanaman tumbuh
menghijau. Pertanian dan perkebunan hasilnya berlimpah ruah. Di tengah kota membelah
aliran sungai Brantas. Airnya bening dan banyak hidup aneka ragam ikan,
sehingga makanan berprotein dan bergizi selalu tercukupi.
Hasil
bumi itu kemudian diangkut ke Kota Jenggala, dekat Surabaya, dengan naik perahu
menelusuri sungai. Roda perekonomian berjalan lancar sehingga Kerajaan Kadiri
benar-benar dapat disebut sebagai negara yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata
Tentrem Karta Raharja. Dalam kehidupan ekonomi diceritakan bahwa perekonomian
Kediri bersumber atas usaha perdagangan, peternakan, dan pertanian.
Kediri terkenal sebagai penghasil beras,menanam kapas dan memelihara ulat
sutra. Dengan demikian dipandang dariaspek ekonomi, kerajaan Kediri sudah cukup
makmur. Hal ini terlihat dari kemampuan kerajaan memberikan penghasilan tetap
kepada para pegawainya walaupun hanya dibayar dengan hasil bumi. Demikian
keterangan yang diperoleh berdasarkan kitab Chi-Fan-Chi dan kitab Ling-wai-tai-ta. Untuk
menopang penghasilan kerajaan , diberlakukan sistem pajak. Komoditas
dagang berupa beras, emas, perak, daging, dan kayu cendana. Adapun bentuk
pajak berupa beras, kayu, dan palawija.
Kehidupan Agama dan
Spriritual Kerajaan Kediri
Agama
yang berkembang di Kediri adalah agama hindu aliran Waisnawa ( Airlangga
titisan Wisnu). Dalam bidang spiritual di Kerajaan Kediri juga sangat maju
(Pigeaud, 1924:67). Tempat ibadah dibangun di mana-mana. Para guru kebatinan
mendapat tempat yang terhormat. Bahkan Sang Prabu sendiri kerap melakukan
tirakat, tapa brata dan semedi. Beliau suka bermeditasi di tengah hutan yang
sepi. Laku prihatin dengan cegah dhahar lawan guling, mengurangi makan tidur. Hal
ini menjadi aktifitas ritual sehari-hari. Tidak mengherankan apabila Prabu
Jayabhaya ngerti sadurunge winarah (Tahu sebelum terjadi) yang bisa meramal
owah gingsire jaman. Ramalan itu sungguh relevan untuk membaca tanda-tanda
jaman saat ini.
Prabu
Jayabaya memerintah antara 1130 – 1157 M. Dukungan spiritual dan material dari
Prabu Jayabaya dalam hal hukum dan pemerintahan tidak tanggung-tanggung. Sikap
merakyat dan visinya yang jauh ke depan menjadikan Prabu Jayabaya layak
dikenang sepanjang masa. Kalau rakyat kecil hingga saat ini ingat pada beliau,
hal itu menunjukkan bahwa pada masanya berkuasa tindakannya selalu bijaksana
dan adil terhadap rakyatnya.
Kehidupan
beragama sudah diatur juga dalam Undang-undang. Tiap bab memuat pasal-pasal
yang sejenis, sehingga ada sistematika dalam penyusunan. Sudah pasti bahwa
susunannya semula menganut suatu sistem. Kitab hukum per Undang-undangan itu
disusun sebagai berikut :
BAB
|
I
|
:
|
Sama Beda Dana Denda, berisi ketentuan diplomasi,
aliansi, konstribusi dan sanksi.
|
BAB
|
II
|
:
|
Astadusta, berisi tentang sanksi delapan kejahatan
(penipuan, pemerasan, pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, pembalakan,
penindasan dan pembunuhan)
|
BAB
|
III
|
:
|
Kawula, berisi tentang hak-hak dan kewajiban
masyarakat sipil.
|
BAB
|
IV
|
:
|
Astacorah, berisi tentang delapan macam
penyimpangan administrasi kenegaraan.
|
BAB
|
V
|
:
|
Sahasa, berisi tentang sistem pelaksanaan transaksi
yang berkaitan pengadaan barang dan jasa.
|
BAB
|
VI
|
:
|
Adol-atuku, berisi tentang hukum perdagangan.
|
BAB
|
VII
|
:
|
Gadai atau Sanda, berisi tentang tata cara
pengelolaan lembaga pegadaian.
|
BAB
|
VIII
|
:
|
Utang-apihutang, berisi aturan pinjam-meminjam.
|
BAB
|
IX
|
:
|
Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
|
BAB
|
X
|
:
|
Pasok Tukon, berisi tentang hukum perhelatan.
|
BAB
|
XI
|
:
|
Kawarangan, berisi tentang hukum perkawinan.
|
BAB
|
XII
|
:
|
Paradara, berisi hukum dan sanksi tindak asusila.
|
BAB
|
XIII
|
:
|
Drewe kaliliran, berisi tentang sistem pembagian
warisan.
|
BAB
|
XIV
|
:
|
Wakparusya, berisi tentang sanksi penghinaan dan
pencemaran nama baik.
|
BAB
|
XV
|
:
|
Dendaparusya, berisi tentang sanksi pelanggaran
administrasi.
|
BAB
|
XVI
|
:
|
Kagelehan, berisi tentang sanksi kelalaian yang
menyebabkan kerugian publik.
|
BAB
|
XVII
|
:
|
Atukaran, berisi tentang sanksi karena menyebarkan
permusuhan.
|
BAB
|
XVIII
|
:
|
Bumi, berisi tentang tata cara pungutan pajak.
|
BAB
|
XIX
|
:
|
Dwilatek, berisi tentang sanksi karena melakukan
kebohongan publik.
|
BAB
|
XX
|
:
|
-
|
Kehidupan Sosial
Dan Budaya
Kondisi
masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah
lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan,
keluarga pengantin wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit
memohon kesembuhan kepada dewa dan Buddha.
Perhatian
raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka
yang berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya
martabat seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi
berdasarkan moral dan tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan
menghormati hak-hak rakyatnya. Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat.
Banyak karya sastra yang dihasilkan. Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja
pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk mengubah kitab Bharatayuda ke
dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu dilanjutkan oleh
Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali sebagai
sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala,
sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh
juga menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya
sastra, antara lain sebagai berikut.
Kitab
Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu
ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu
Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa
Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
Kitab
Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai
seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa,
ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga. Selain karya sastra tersebut,
masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri, antara lain sebagai
berikut :
1. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi
riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka
menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
2. Kitab Samanasantaka karangan Empu
Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan
Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief
pada suatu candi. Misalnya, cerita Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago
bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
Karya di Bidang
Hukum Tata Negara
1. Empu
Triguna hidup pada masa pemerintahan Prabu Jayawarsa di Panjalu pada tahun 1026
Saka atau 1104 Masehi (Poerbatjaraka, 1957: 18). Prabu Jayawarsa ini juga
menjadi patron bagi para pujangga dalam mengembangkan dinamika ilmu hukum dan
tata praja. Para cendekiawan yang berbakat diberi fasilitas untuk mengaktualisasikan
idealismenya. Pernyataan ini didukung, sebenarnya sudah digarisbawahi oleh
pujangga kita dahulu. Karya hukum dan tata praja yang telah diciptakan oleh Empu
Triguna adalah Kakawin Kresnayana.
Kakawin Kresnayana berisi tentang ilmu hukum dan pemerintahan. Prabu Jayawarsa
juga amat peduli dengan kehidupan ilmu pengetahuan, sebagai tanda bahwa beliau
juga seorang humanis.
2. Empu Manoguna
adalah rekan seangkatan Empu Triguna. Keduanya merupakan pujangga istana jaman
Prabu Jayawarsa di Kerajaan Kadiri. Menilik nama Empu Manoguna dan Triguna ada
bagian yang sama, kemungkinan besar dapat diduga keduanya masih ada hubungan
kerabat atau seperguruan. Yang jelas kedua Empu ini adalah konsultan dan
penasehat utama Prabu Jayawarsa. Karya hukum dan tata praja ciptaan Empu Manoguna adalah Kakawin Sumanasantaka, cerita
yang bersumber dari Kitab Raguwangsa karya pujangga besar dari India, Sang
Kalisada. Pengaruh India ke dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno memang besar,
baik yang bersifat Hindu maupun Buda. Hal ini tampak dengan ungkapan bahasa
Sansekerta yang masuk dalam kosakata ilmu pengetahuan Jawa Kuno. Sumanasantaka
berasal dari kata sumanasa = kembang dan antaka = mati. Artinya adalah mati
oleh kembang. Serat Sumanasantaka menceritakan kebijaksanaan seorang raja dalam
memimpin rakyatnya.
3.
Karya
hukum dan tata praja Empu
Dharmaja yang terkenal adalah Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bomakawya. Kitab
Smaradahana menceritakan Batara Kamajaya yang punya sifat keagungan. Kitab
Bomakawya menurut Teeuw (1946:97) menceritakan cara memimpin yang berdasarkan
pada nilai keadilan dan perdamaian.
Kerajaan
Kediri mengalami masa keemasan ketika diperintah oleh Prabu Jayabaya. Sukses
gemilang Kerajaan Kediri didukung oleh tampilnya cendekiawan terkemuka Empu Sedah, Empu Panuluh,
Empu Darmaja, Empu Triguna dan Empu Manoguna. Mereka adalah jalma sulaksana,
manusia paripurna yang telah memperoleh derajat oboring jagad raya. Di bawah
kepemimpinan Prabu Jayabhaya, Kerajaan Kadiri mencapai puncak peradaban,
terbukti dengan lahirnya kitab-kitab hukum dan kenegaraan sebagaimana terhimpun
dalam karya-karya Kakawin Bharatayuda oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh ,
Gathotkacasraya dan Hariwangsa oleh Empu Panuluh yang hingga kini merupakan
warisan ruhani bermutu tinggi,
Kejayaan Kerajaan
Kediri
Kerajaan
Kediri mencapai puncak kejayaan ketika masa pemerintahan Raja Jayabaya. Daerah
kekuasaannya semakin meluas yang berawal dari Jawa Tengah meluas hingga hampir
ke seluruh daerah Pulau Jawa. Selain itu, pengaruh Kerajaan Kediri juga sampai
masuk ke Pulau Sumatera yang dikuasai Kerajaan Sriwijaya. Kejayaan pada saat
itu semakin kuat ketika terdapat catatan dari kronik Cina yang bernama Chou
Ku-fei pada tahun 1178 M berisi tentang Negeri paling kaya di masa kerajaan
Kediri pimpinan Raja Sri Jayabaya. Bukan hanya daerah kekuasaannya saja yang
besar, melainkan seni sastra yang ada di Kediri cukup mendapat perhatian.
Dengan demikian, Kerajaan Kediri semakin disegani pada masa itu.
Runtuhnya Kerajaan
Kediri
Kerajaan
Panjalu / Kediri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya yang juga lebih
dikenal dengan sebutan Dandang Gendis., dan dikisahkan dalam ”Pararaton” dan
”Nagarakretagama”. Pada tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum
brahmana. Selama pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya
kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud mengurangi
hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana. Kedudukan kaum
Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum
Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu diperintah
oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum Brahmana banyak yang
lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan pasukannya untuk menyerang
Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan dukungan kaum Brahmana melakukan
serangan ke Kerajaan Kediri. Kedua pasukan itu bertemu di dekat Genter ,
sekitar Malang (1222 M). Dalam pertempuran itu pasukan Kediri berhasil
dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan diri.
Dengan
demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri . Akhirnya kerajaan Kediri
menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah Kerajaan
Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.
Kesimpulan
Kerajaan
Kediri / Panjalu yang merupakan kerajaan hasil bagi dari kerajaan Kahuripan di
Jawa Timur pada masa raja Airlangga merupakan kerajaan yang patut
diperhitungkan. Kerajaan yang berada di sekitar wilayah Kediri ( sekarang ) ini
mengalami masa puncak kejayaan pada masa raja Jayabaya yang sangat terkenal
dengan ilmu dan keahliannya dalam membaca masa depan atau meramal. Tak hanya
cakap dalam meramal, bahkan raja Jayabaya yang membawa kemakmuran bagi Kediri
telah mampu mengelola dan memimpin kerajaannya dengan sangat baik.
Hal
ini terbukti dari berbagai peninggalan sejarah yang telah direkonstruksikan dan
memberitahukan kepada pembaca sekarang bahwa pada zaman kerajaan Kediri telah
muncul berbagai sastra dan budaya yang sangat luar biasa, mulai dari kitab
Bharatayudha, Hariwangsa sampai Gatotkacasraya. Kerajaan Kediri pada masa itu
merupakan kerajaan yang mandiri dan makmur, yang secara ekonomi mengalami
kecukupan dengan mendayagunakan pertanian, perdagangan, dan peternakan.
Kehidupan
yang makmur membuat masyarakat dalam aspek sosial mengalami hal yang senada.
Karena dipimpin raja yang bijak, tak urung kemajuan dari masyarakat yang
berkecukupan dalam hal sandang, pangan dan papan. Tak hanya dalam hal fisik
yang mencoba dibangun oleh raja Jayabaya pada saat itu juga telah
diberlakukan ketertiban dan hukum yang jelas dank eras bagi seluruh rakyat Kediri.
Walaupun kemakmuran tersebut tidak berlangsung lama karena kemudian kegelapan
mengganti masa-masa jaya kerajaan Kediri pada masa pemerintahan Kertajaya (1222
M).
Kerincuhan
dan selisih paham yang berlaku dan terjadi antara Kertajaya dan kaum brahmana
ternyata membawa akhir bagi kerajaan Kediri. Brahnama yang tidak sepahan
meminta bantuan Ken Arok yang pada saat itu juga sedang gencar-gencarnya
melakukan usaha ekspansionis untuk mendirikan sebuah kerajaan yang pada
akhirnya bernama Singasari.
Namun,
keberadaab kerajaan Kediri merupakan sebuah bukti eksistensi dan kemakmuan
salah satu kerajaan di Jawa Timur sebagai penerus dinasti Isyana. Dengan sistem
pemerintahan, birokrasi, ekonomi, sosial, budaya, dan agama yang mengalami
kemajuan secara gilang-gemilang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hidayat Yoedoprawiro, 2000. Relevansi Ramalan
Jayabaya dan Indonesia Abad XXI. Jakarta : Balai Pustaka.
2. Meinsma, 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit
Saking Nabi Adam Dumugi ing Tahun 1647. S’Gravenhage.
3. Moedjanto, 1994. Konsep Kekuasaan Jawa,
Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
4. Pigeaud, 1924. De Tantu Panggelaran Uitgegeven,
Vertaald en Toegelicht. Disertasi Leiden.
5.
Poerbatjaraka, 1957. Kapustakan Jawi. Jakarta :
Djambatan.
6.
Rassers, 1959. De Panji Roman, Leiden :
Dissertatie.
7. Stutterheim, 1930. Rama Legenden und Rama
Reliefs in Indonesia, Munchen : Kulturkreis der Indische.
8.
Teeuw, 1946. Het Bhomakawya, Leiden :
Dissertatie.
9. Zoetmulder, 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna
Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.
Sumber : Google Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar